Kamis, 11 Juni 2020

SEDEKAH DENGAN HARTA HARAM TIDAK BISA MENYELAMATKAN DIRINYA


Salah satu kegundahan manusia pada hari ditegakkannya hisab adalah terkait hisab dalam masalah harta, karena ada dua perhitungan teliti yang akan dihadapinya, kalau ia selamat dalam hal mendapatkan hartanya, bisa jadi ia tidak selamat didalam membelanjakannya atau sebaliknya, cara memperolehnya sudah hitam, maka tidak bisa diputihkan dengan mengeluarkannya di jalan kebaikan, lantas bagaimana lagi nasib orang yang masuk dan keluar hartanya berkubang di keharaman -nas`alullah as-salâmah wa al-'afiyyah -. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ ... وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ ...

“Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba nanti pada hari kiamat, sehingga Allah akan menanyakan ... tentang hartanya, darimana dia peroleh dan kemana dia habiskan....” 
(HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abu Barzah Al Aslami. Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Al-Imam Abu Dawud dalam kitabnya "Al-Marâsîl" (no. 131) meriwayatkan dengan sanadnya :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ الطَّائِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ سُلَيْمَانَ، سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنِ اكْتَسَبَ مَالًا مِنْ مَأْثَمٍ، فَوَصَلَ بِهِ رَحِمًا أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ جُمِعَ ذَلِكَ جَمْعًا، فَقُذِفَ بِهِ فِي جَهَنَّمَ»

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Auf Ath Thaa`iy; Telah menceritakan kepada kami Abul Mughiirah; Telah menceritakan kepada kami Al Auzaa'iy; Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Sulaimaan; Aku telah mendengar Al-Qaasim bin Mukhaimirah berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : 

"Barangsiapa yang mencari hartanya dari perbuatan dosa, lalu ia gunakan untuk menyambung tali silaturahmi atau disedekahkan atau diinfakkan di jalan Allah, semuanya itu akan dikumpulkan, lalu dilemparkan kepadanya di neraka jahanam."

Semua perawinya tsiqah, Abul Mughîirah adalah 'Abdul Qudus bin Al-Hajjâj, muridnya Imam Al-Auzaâ'iy. Dikecualikan Muusa bin Sulaimaan, ia statusnya hanya perawi shaduq hasanul hadits. Kemudian Al-Qaâsim bin Mukhaimirah adalah seorang Tabi'i, dikelompokkan sebagai thabaqah kedua oleh Imam ibnu Sa'ad, sehingga haditsnya dalam hal ini adalah mursal.

Hadits mursal jika ada pendukungnya maka statusnya bisa naik menjadi hasan lighairihi. Asy Syaikh Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap "At-Targhîb wa At-Tarhîb" memberikan penilaian HASAN LIGHAIRIHI untuk hadits mursal di atas. Saya belum tahu alasan beliau menaikkan statusnya, karena qadarullah belum mendapatkan takhrij yang lengkap dari beliau terkait hadits di atas. Barangkali yang menjadi penguat untuk hadits mursal di atas adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu' dalam Shahih Ibnu Hibban (no. 3367) bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

"Barangsiapa yang mengumpulkan harta haram, lalu menyedekahkannya, maka ia tidak mendapatkan pahala dan masih harus mempertanggungjawabkan (perbuatan dosanya)."

Hadits ini dihasankan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dan Al-'Alamah Syu'aib Arnauth rahimahumâllah.

Fiqih Hadits :

Asy-Syaikh Ahmad Khathîbah dalam transkip darsnya terhadap kitab At-Targhîb menjelaskan hadits Al-Qâsim di atas :

المال وصاحبه في نار جهنم ولن ينفعه ما تصدق به، لذلك فتصدق من شيء طيب ولو قليلاً

"Harta dan pelakunya itu di neraka jahanam - Na'udzubillahi min Dzâlik -, sekali-kali tidak bermanfaat apa yang disedekahkannya (dari hartanya yang haram), oleh sebab itu, bersedekahlah dari harta yang bagus, sekalipun sedikit."

Faedah :

Sebagian orang yang membawakan hadits Al-Qâsim bin Mukhairimah mengatakan diriwayatkan oleh Abu Dawud secara mutlak (HR. Abu Dawud), maka ini menyelisihi aturan yang biasa berlaku di kalangan ahli hadits bahwa apabila disebutkan semisal Riwayat Abu Dawud, riwayat Bukhari, Muslim dan semisalnya, maka itu adalah untuk riwayat yang mereka tulis haditsnya dalam kitab-kitab induk hadits yang dikenal dengan kutubus sittah dan seterusnya, namun jika salah satu dari mereka, misal Al-Imam Abu Dawud menulis sebuah hadits di luar kitab Sunan Abu Dawud, maka harus dicantumkan bukunya, sehingga dalam permasalahan yang kami angkat ini, seharusnya setelah membawakan hadits Al-Qâsim di atas, ditulis riwayat Abu Dawud dalam kitabnya "Al-Marâsîl", maka perhatikanlah!.

Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar