Kamis, 25 Juni 2020

Jika Imam Batal Ketika Sujud

Apa yang harus dilakukan imam jika dia batal dalam posisi sujud? Makmum kan gak liat dia pergi..

Jawab :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Ketika imam batal wudhu dalam posisi sujud, ada beberapa proses yang bisa dilakukan :

1. Imam yang batal langsung bangkit diam-diam, tanpa membaca takbir intiqal, karena dia sudah batal.

2. Kemudian dia tepuk salah satu jamaah yang berada di belakangnya untuk menggantikan dirinya jadi imam.

3. Selanjutnya, imam yang baru ini bertakbir bangkit dari sujud tetap di shaf pertama (posisi semula).

4. Setelah berdiri, dia bisa maju menggantikan posisi imam, kemudian menyelesaikan shalat.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, ‘Apa yang harus dilakukan apabila imam batal wudhunya dalam posisi sujud?’

Jawab beliau :

العمل في هذه الحال أن ينصرف من الصلاة ، ويأمر أحد المأمومين الذين خلفه بتكميل الصلاة بالجماعة

"Yang harus dia lakukan dalam kondisi ini, dia harus membatalkan shalat, lalu menyuruh salah satu makmum yang berada di belakangnya untuk melanjutkan shalat jamaah."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/154)

Jika imam lupa atau tidak tahu, sehingga tidak langsung membatalkan, namun dia bangkit dengan membaca takbir, padahal dia sudah batal, kemudian diikuti makmum, maka shalat makmum tetap sah. Dalam dalam kasus ini ada udzur untuk makmum.

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan :

وإذا حصل للإمام سبب الاستخلاف في ركوع أو سجود فإنه يستخلف، كما يستخلف في القيام وغيره، ويرفع بهم من السجود الخليفة بالتكبير  ويرفع الإمام رأسه بلا تكبير؛ لئلا يقتدوا به، ولا تبطل صلاة المأمومين إن رفعوا رءوسهم برفعه

"Jika ada sebab yang mengharuskan imam harus diganti dalam posisi rukuk atau sujud, maka imam bisa langsung nunjuk pengganti sebagaimana yang biasa dilakukan dalam posisi berdiri. Kemudian Imam pengganti mengangkat kepalanya dari sujud dengan mengeraskan takbir intiqal. Sementara imam yang batal, tidak boleh membaca takbir ketika bangkit, agar makmum tidak mengikutinya. Meskipun shalat makmum tetap sah jika dia bangkit karena mengikuti takbir imam." 
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 3/253)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

TAHNIK BAYI

Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Anak adalah karunia Allâh Azza wa Jalla yang tiada terhingga bagi semua keluarga. Keberadaannya sangat dinantikan karena akan menjadi penerus sejarah manusia, dan menjadi salah satu penguat ikatan rumah tangga. Banyak pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sangat berharap agar segera mendapatkannya. Ini menunjukkan demikian penting kehadiran anak bagi semua umat manusia.

Agama Islam telah memberikan perhatian yang sangat detail terhadap anak, sejak proses konsepsi, kehamilan, kelahiran, sampai pendidikan ketika anak lahir dan masa tumbuh kembang hingga dewasa. Semua mendapatkan perhatian dan tuntunan yang teliti.

Agama Islam mengajarkan beberapa adab atau tuntunan dalam menyambut kelahiran bayi. Diantaranya adalah tahnîk yang tersebar di sejumlah artikel dikatakan sebagai imunisasi yang dinisbatkan pada Islam. Lalu bagaimana hakekat tahnîk menurut syariat dan para Ulama, berikut penjelasan seputar tahnîk.

APA ITU TAHNIK ?

Tahnîk, berasal dari bahasa Arab yang bermakna melembutkan kurma dan sejenisnya dan memijat langit-langit mulut dengan kurma tersebut. 
[Lihat Maqâyis Al-Lughah 2/111]

Sedangkan secara istilah, telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah bahwa tahnîk ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan atau memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit mulut. Ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika mentahnîk, mulut (bayi) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) bisa masuk ke perutnya. Yang lebih utama, mentahnîk dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya. 
[Fathul Bâri 9/588]

HUKUM TAHNIK MENURUT SYARIAT

Para Ulama ahli fikih sepakat bahwa hukum tahnîk bayi adalah sunnah, seperti diceritakan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahîh Muslim (14/122). Hukum ini berdasarkan beberapa hadits, diantaranya :

1. Hadits Abu Burdah dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :

وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

"Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Ibrâhîm dan mentahnîknya dengan sebiji kurma (tamr)." 
[HR. Al-Bukhâri no. 5467 dan Muslim no. 2145]

2. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :

كَانَ ابْنٌ ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ، فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.

"Dahulu, anak Abu Thalhah sakit, (tapi) Abu Thalhah (tetap) keluar rumah. Tidak berselang lama, anak itu meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah bertanya, ‘Apa yang dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Dia lebih tenang dari sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma menghidangkan makan malam kepadanya, selanjutnya Abu Thalhah menggaulinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘Ya,’ jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allâh, berikanlah keberkahan kepada keduanya.’

Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah Radhiyallahu anhu berkata kepadaku (Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu ), ‘Bawalah anak ini sampai engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ada sesuatu yang menyertainya (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, beberapa biji kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu, lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.” 
[HR. Al-Bukhâri no. 5470 dan Muslim no. 2144]

3. Hadits ‘Aisyah binti Abi Bakar Radhiyallahu 'anhuma yang berkata :

أُتِىَ النَّبِىُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ

“Ada bayi laki-laki yang dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnîknya. Kemudian bayi itu kencing di pangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memercikkan air di atas kencing tersebut.” 
[HR. Al-Bukhâri no. 5468 dan Muslim no. 286. Lafazh hadits ini adalah lafazh Al-Bukhâri]

Dalam lafazh Shahih Muslim berbunyi :

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ

"Diriwayatkan dari 'Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada beberapa bayi yang dibawa kehadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnîk mereka. Lalu ada bayi yang dihadirkan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (namun) kemudian bayi itu kencing di pangkuan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas Beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan Beliau tidak sampai mencucinya."

Hadits-hadits di atas juga ada hadits lainnya menunjukkan bahwa tahnîk adalah sunnah yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperhatikan sekali para sahabat sehingga mereka membawa bayi mereka yang baru lahir kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditahnîk.

TATA CARA TAHNIK

Tahnîk dilakukan pada bayi dengan cara melembutkan satu biji kurma atau lebih atau yang manis-manis dengan mulut pentahnîk dan menekan-nekan langit-langit mulut bayi dengan cara meletakkan sebagian yang telah dilembutkan tersebut keujung jari dan memasukkannya kemulut sang bayi kemudian menggerakkan jari tersebut di dalam mulut sang bayi hingga mulut dipenuhi dengan kurma yang telah dilembutkan tersebut. 
[Lihat Hâsyiyah I’ânatuth Thâlibin 2/334 dan Ahkâm Al-Maulûd fi Fiqhil Islam, hlm 109]

Kalau bisa, mulut bayi dibuka hingga sebagian dari kurma yang sudah dihaluskan tersebut sampai ke lambungnya. 
[Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 8/434-435]

Sebaiknya mentahnîk dengan tamr (kurma kering), apabila tidak ada maka dengan ruthab (kurma basah) dan kalau tidak ada maka dengan makanan yang manis yang tidak dibakar, seperti anggur kering (kismis) dan madu serta sejenisnya. Ini disampaikan para Ulama Syâfi’iyah  dan Hanabilah 
[Lihat Al-Majmû’, 4/434 dan Fathul Bâri, 9/588].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : 
"Yang lebih utama, mentahnîk dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya." 
[Fathul Bâri, 9/588]

Sedangkan Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata : 
“Menurut Ulama yang membolehkan tahnîk (bukan perbuatan khusus bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah pendapat Ulama Syâfi’iyyah dan Hanabilah.” 
[Al Inshâf lil Mawardi, 4/104]

Kesimpulannya adalah tahnîk diperbolehkan dengan semua yang memiliki rasa manis alami yang dapat merangsang bayi bergerak dan melatihnya menghisap agar mampu menghisap air susu ketika sang ibu mengeluarkan air susunya.

ORANG YANG MENTAHNIK

Orang yang melakukan tahnîk boleh laki-laki atau perempuan, sebagaimana disampaikan Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah memiliki anak dan yang mentahnîknya adalah wanita. 
[Lihat Tuhfatul Maudûd, hlm. 66]

Sebagian ahli fikih memandang perlu dan menganjurkan membawa bayi kepada orang shalih yang mentahnîknya seperti Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits-hadits tentang masalah tahnîk dalam bab :
”Dianjurkan mentahnîk bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang shalih untuk ditahnîk.” 
[Lihat Syarh Shahih Muslim, 14/110]

Namun Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri (1/327) menyatakan bahwa ini khusus untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dianalogikan kepada selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan keberkahan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhususkannya untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak untuk lain. Juga karena para Shahabat tidak melakukan hal tersebut bersama selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mereka orang yang paling mengetahui syariat sehingga mereka wajib dicontoh. Juga karena jika hal seperti ini dibolehkan kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu bisa mengantar kepada perbuatan syirik.

Penulis kitab Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd fi Syarhi Kitâb At-Tauhîd (hlm. 185-186) menyatakan bahwa sebagian orang mutaakhirin menyebutkan bahwa tabarruk (mencari berkah) pada bekas orang-orang shalih adalah mustahab (dianjurkan), seperti minum minuman bekas mereka dan membawa bayi ke salah seorang dari mereka untuk mentahnîknya dengan kurma sehingga yang masuk pertama kali kedalam perutnya adalah ludah orang-orang shalih. Ini adalah kesalahan besar, karena beberapa alasan :

1. Mereka tidak bisa mendekati apalagi setara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keutamaan dan keberkahan.

2. Keshalihan mereka adalah perkara yang belum pasti, karena keshalihan tidak terwujud kecuali dengan keshalihan hati. Ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali dari nash syariat, seperti para Shahabat yang dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya juga Imam para tabi’in, orang-orang yang terkenal dengan keshalihan dan agamanya seperti Imam Syâfi’i, Abu Hanîfah, Mâlik dan Ahmad bin Hambal dan yang semisal dengan mereka. Adapun selain mereka kita hanya bisa menduga dan berharap mereka adalah orang-orang shalih.

3. Seandainya kita sudah menganggap dia orang shalih, tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang itu tidak akan diwafatkan oleh Allâh matikan dalam keadaan su’ul khâtimah, padahal amalan seorang manusia itu tergantung amalannya yang terakhir, sehingga tidak berhak dijadikan tempat mengambil berkah.

4. Para Shahabat tidak pernah melakukannya kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik disaat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah wafat. Seandainya (perbuatan tersebut) baik tentu mereka telah lebih dahulu melakukannya sebelum kita.

5. Perbuatan ini (jika dilakukan) pada selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak aman dari fitnah sehingga mengakibatkan ujub dan sombong, sehingga ini termasuk seperti pujian didepannya bahkan lebih besar lagi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahnîk dilakukan oleh siapa saja tanpa kekhususan tertentu. Orang tuanya apabila melakukannya maka telah mendapatkan pahala sunnahnya dan telah sah tanpa syarat harus mencapai derajat takwa dan keshalihan dalam mentahnîk.

WAKTU MELAKUKAN TAHNIK

Sepakat para ahli fikih menyatakan waktu tahnîk bayi itu dilakukan di saat bayi baru lahir.

Diantara dalil yang menunjukkan agar bayi yang baru lahir segera ditahnîk adalah hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :

فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.

"Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Mâlik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ’

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ada sesuatu yang menyertainya (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, beberapa biji kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu, lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.” 
[HR. Al-Bukhâri no. 5470 dan Muslim no. 2144]

HIKMAH TAHNIK DAN PENJELASAN ULAMA

Tidak ada nash syariat yang menjelaskan secara jelas tentang hikmah tahnîk ini, namun para Ulama memberikan beberapa hikmah dilakukannya tahnîk selain mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya :

1. Agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnîk dengan kurma.

Hikmah ini terungkap dalam ilmu kedokteran dengan penelitian-penelitian dokter spesialis, seperti dr. Muhammad Ali al-Bâr salah seorang anggota Hai’ah al-I’jaz al-‘Ilmi yang menyatakan bahwa ilmu modern menemukan hikmah dari tahnîk ini setelah empat belas abad lamanya. Baru saja terbukti bahwa setiap anak khususnya yang baru lahir dan menyusui beresiko kematian apabila terjadi pada mereka salah satu dari dua hal; yaitu kekurangan gula dalam darah dan menurunnya derajat suhu badan ketika menghadapi udara dingin disekitarnya.

Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir itu sangat kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi premature yang beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/100 ml darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 ml.

Kadar gula bila sampai turun drastis bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit :

- Bayi menolak untuk menyusui;
- Otot-otot melemas;
- Tidak bisa bernafas dan kulit bayi menjadi kebiruan;
- Kontraksi atau kejang-kejang.

Sebagaimana juga bisa menyebabkan bahaya berlipat dan akut, diantaranya :

- Pertumbuhan fisik dan akal lambat;
- Kelumpuhan otak;
- Cacat pendengaran atau penglihatan atau kedua-duanya;
- Epilepsi.

Apabila tidak segera diberikan pengobatan maka bisa menimbulkan kematian. Padahal pengobatannya sangat mudah yaitu memberikan gula glukosa yang dilarutkan kedalam air bisa dengan melalui mulut atau pembuluh darah. Ini dapat diatasi dengan tahnîk.

Jadi tahnîk adalah tindakan prefentif dari penyakit kekurangan gula dalam darah, karena mengandung gula glukosa dalam jumlah besar dan khususnya setelah larut dengan air ludah yang mengandung banyak enzim yang dapat merubah gula sukrosa menjadi glukosa. Demikian juga ludah memudahkan larutnya gula-gula tersebut. Dari sini akan memudahkan bayi mengambil manfaat darinya.

Oleh karena itu rumah sakit bersalin ibu dan anak biasanya memberikan bayi-bayi yang terlahir larutan glukosa segera setelah kelahirannya dan sebelum sang ibu menyusuinya. Dari sini tampak jelas hikmah tahnîk sebagai satu sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
(Dinukil dari http://articles.islamweb.net/media/index.php?id=143055&lang=A&page=article)

2. Tahnîk dapat memperkuat otot-otot mulut dengan gerakan lidah dengan langit-langit dan kedua tulang rahang dengan gerakan-gerakan saat menikmati rasa manis hingga sang bayi siap untuk mengisap air susu ibunya dengan kuat dan alami. 
[Tarbiyatul Aulâd fil Islâm 1/71, dinukil dari Ahkâm Al-Maulûd, hlm. 113]

Disamping juga memberikan pengaruh pada bentuk mulut yang alami sehingga memudahkan anak mengeluarkan huruf-huruf dengan benar ketika memulai memasuki masa kanak-kanak.

3. Tahnîk bisa melatih dan menguatkan sang bayi untuk makan. 
[Lihat Fathul Bâri, 9/588]

4. Rasa manis akan cepat masuk kedalam liver dan khususnya apabila dari Ruthab atau kurma, sehingga mudah diterima dan bermanfaat besar bagi liver. 
[Lihat Ahkâm Al-Maulûd, hlm. 113]

5. Adanya do’a untuk mengharapkan keberkahan, seperti yang dilakukan para Shahabat dengan membawa anak-anak mereka ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian sebagian dari hikmah yang disampaikan para Ulama. Namun walaupun tidak diketahui hikmahnya tetap saja semua yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terbaik bagi kita semua.

BERDOA UNTUK BAYI YANG DITAHNIK

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahnîk tidak lupa mendoakan kebaikan kepada sang bayi, sebagaimana ada dalam banyak hadits diantaranya hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu dalam riwayat imam al-Bukhâri dan juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam Shahîh Muslim. Demikianlah seharusnya seorang yang mentahnîk hendaknya menyertai doa kebaikan buat sang bayi.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalâni rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca, 
“Maksud mentahnîk adalah meletakkan kurma (yang sudah dikunyah sampai lembut) ke dalam mulut bayi, kemudian menggosoknya, kemudian mendoakannya dengan do’a Bârakallâhu fîhi (Semoga Allâh melimpahkan berkah untuknya)”, atau “Allâhumma bârik fîhi (Ya Allâh! Berkahilah dia).” 
[Fathul Bâri, 7/248]

Demikianlah beberapa hukum syariat berkenaan dengan tahnîk yang tidak diketahui oleh banyak kaum Muslimin. Semoga hal ini dapat mencerahkan wawasan keilmuan kaum Muslimin dan dapat menjadi sebab diamalkannya sunnah yang baik ini.

HUKUMAN BAGI TUKANG SIHIR DALAM SYARI’AT ISLAM

Oleh : Ustadz Wahid bin Abdissalam Baali

1. Imam Malik rahimahullah berkata : 
“Tukang sihir yang melakukan penyihiran yang tidak dilakukan oleh orang lain untuknya, perumpamaannya adalah seperti apa yang difirmankan oleh Allah Tabara wa Ta’ala di dalam kitab-Nya :

وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ

“Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat….” [Al-Baqarah : 102]

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa orang itu harus dibunuh jika dia sendiri mengerjakan hal tersebut."[1]

2. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : 
“Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, Hafshah, Jundub bin ‘Abdillah, Jundub bin Ka’ab, Qais bin Sa’ad dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Itu pula yang menjadi pendapat Abu Hanifah dan Malik.”

3. Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengemukakan : 
“Para ahli fiqih telah berbeda pendapat mengenai hukum tukang sihir muslim dan dzimmi. Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim jika melakukan sihir sendiri dengan suatu ucapan yang dapat menjadikannya kufur, maka dia harus dibunuh tanpa harus diminta untuk bertaubat, dan tidak pula taubatnya diterima, karena itu merupakan perbuatan yang dilakukan dengan senang hati seperti orang zindiq atau pelaku perzinahan. Dan karena Allah Ta’ala telah menyebut sihir itu sebagai kekufuran melalui firman-Nya :

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ 

“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir…’” [Al-Baqarah : 102]

Yang demikian merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ishaq, Asy-Syafi’i [2] dan Abu Hanifah.”[3]

4. Imam Ibnu Mundzir rahimahullah mengemukakan : 
“Jika ada seseorang yang mengaku bahwa dia telah melakukan sihir dengan ucapan yang mengakibatkan kekufuran, maka dia wajib dibunuh jika dia tidak bertaubat. Demikian juga jika dia terbukti melakukannya dan ada bukti yang menyatakan (bahwa) ucapan itu berupa kekufuran.

Jika ucapan yang dia sebutkan bahwa dia telah melakukan sihir dengan ucapan tersebut tidak termasuk suatu (ucapan) yang kufur, maka tidak boleh membunuhnya. Dan jika merupakan kejahatan pada orang yang disihir, maka diharuskan hukuman qishash baginya jika dia melakukannya dengan sengaja. Dan jika tidak termasuk tindakan yang tidak mengharuskan qishash padanya, maka dia harus membayar diyat (denda).” [4]

5. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan : 
“Para ulama yang berpendapat tentang kafirnya tukang sihir, telah menjadikan ayat berikut sebagai dalil :

وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا

“Seandainya mereka itu beriman dan bertaqwa….” [Al-Baqarah : 103]

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sejumlah ulama salaf. Ada yang mengatakan: “Tidak perlu dikafirkan, tetapi hukumannya adalah memenggal lehernya,” sebagaimana yang diriwayatkan Imam Syafi’i dan Ahmad, di mana keduanya berkata, “Sufyan bin ‘Uyainah telah mengabarkan, dari ‘Amr bin Dinar, dimana dia telah mendengar Bajalah bin ‘Abadah berkata: “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu'anhu telah memutuskan agar kalian membunuh setiap tukang sihir baik laki-laki maupun perempuan. Lalu kami pun membunuh tiga orang tukang sihir.”

Lebih lanjut, Ibnu Katsir mengatakan: “Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya.”[5]

Dia juga mengatakan: “Demikianlah riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Hafshah, Ummul Mukminin, pernah disihir oleh seorang budak perempuan miliknya, maka dia menyuruh agar wanita itu dibunuh, sehingga wanita itu pun dibunuh.

Imam Ahmad mengatakan : “Dibenarkan riwayat dari tiga orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembunuhan terhadap seorang tukang sihir.”[6]

6. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : 
“Menurut Malik, hukum tukang sihir ini sama dengan hukum yang berlaku pada orang zindiq, di mana taubatnya tidak diterima, dan dibunuh sebagai hukuman jika hal itu terbukti padanya. Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh Ahmad.”

Imam Asy-Syafi’i mengatakan : 
“Tukang sihir tidak boleh dibunuh kecuali jika dia telah mengaku bahwa dia telah membunuh orang dengan sihirnya, sehingga dia pun harus dibunuh karenanya.”[7]

Ringkasan :

Dari penjelasan di atas tampak jelas bahwa Jumhur Ulama berpendapat mengharuskan pembunuhan terhadap tukang sihir, kecuali Imam Syafi’i rahimahullah saja, di mana dia menyatakan bahwa tukang sihir tidak harus dibunuh kecuali jika dengan sihirnya itu dia membunuh orang, sehingga dia harus diberikan hukuman qishash.

[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

Footnote :

[1] Kitab Al-Muwaththa’, hal. 628. Kitab Al-‘Uquul (43), Bab Maa Jaa-a fil Ghiilati was Sihr (19) hal. 871, cet. ‘Abdulbaqi.

[2] Demikian yang dikatakannya. Dan yang popular dari Imam Asy-Syafi’i bahwa dia tidak berpendapat untuk mengharuskan pembunuhan terhadap tukang sihir hanya karena sihirnya semata, tetapi dia dibunuh jika dengan sihirnya itu dia melakukan pembunuhan. Pendapat itu dinukil dari Imam Asy-syafi’i oleh Imam Ibnul Mundzir dan lainnya.

[3] Tafsir Al-Qurthubi (2/48).

[4] Dinukil dari Tafsir Al-Qurthubi (2/48).

[5] Benar, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6/257 –Fat-hul Baari) tanpa menyebut kisah.

Tukang Sihir (Dukun) Harus Dibunuh ?

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ مَرْفُوعًا إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْمَكِّيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ الْبَصْرِيُّ قَالَ وَكِيعٌ هُوَ ثِقَةٌ وَيُرْوَى عَنْ الْحَسَنِ أَيْضًا وَالصَّحِيحُ عَنْ جُنْدَبٍ مَوْقُوفٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ و قَالَ الشَّافِعِيُّ إِنَّمَا يُقْتَلُ السَّاحِرُ إِذَا كَانَ يَعْمَلُ فِي سِحْرِهِ مَا يَبْلُغُ بِهِ الْكُفْرَ فَإِذَا عَمِلَ عَمَلًا دُونَ الْكُفْرِ فَلَمْ نَرَ عَلَيْهِ قَتْلًا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii'; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'aawiyah, dari Isma'iil bin Muslim, dari Al Hasan, dari Jundub ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Hukuman bagi penyihir adalah dipenggal dengan pedang." 

Abu 'Iisa berkata; Hadits ini tidak kami ketahui diriwayatkan secara marfu' kecuali dari jalur ini dan Isma'iil bin Muslim Al Makkiy didha'ifkan dalam periwayatan hadits dari segi hafalannya, sedangkan Isma'iil bin Muslim Al 'Abdiy Al Bashriy, Wakii' berkata tentangnya; Ia seorang yang tsiqah dan hadits ini diriwayatkan juga dari Al Hasan. Dan yang shahih dari Jundub adalah riwayat mauquf. 

Hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka, ini menjadi pendapat Maalik bin Anas. Asy Syafi'i berkata; Sesungguhnya seorang penyihir dibunuh jika ia melakukan perbuatan sihir yang mencapai kekufuran namun jika ia melakukan perbuatan selain kekufuran maka kami tidak berpendapat ia harus dibunuh.
[HR. Tirmidzi no. 1460. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Adh Dhaifah no. 1446]

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو سَمِعَ بَجَالَةَ يَقُولُ
كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ فَأَتَانَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ أَنْ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ وَسَاحِرَةٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنْ الزَّمْزَمَةِ فَقَتَلْنَا ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ وَجَعَلْنَا نُفَرِّقُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ حَرِيمَتِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَصَنَعَ جَزْءٌ طَعَامًا كَثِيرًا وَعَرَضَ السَّيْفَ عَلَى فَخِذِهِ وَدَعَا الْمَجُوسَ فَأَلْقَوْا وِقْرَ بَغْلٍ أَوْ بَغْلَيْنِ مِنْ وَرِقٍ وَأَكَلُوا مِنْ غَيْرِ زَمْزَمَةٍ وَلَمْ يَكُنْ عُمَرُ أَخَذَ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ قَبِلَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
و قَالَ أَبِي قَالَ سُفْيَانُ حَجَّ بَجَالَةُ مَعَ مُصْعَبٍ سَنَةَ سَبْعِينَ

Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari 'Amru dia mendengar Bajaalah berkata :

"Aku seorang juru tulis Jaza' bin Mu'aawiyah, paman Ahnaf bin Qais, kemudian datanglah surat 'Umar kepada kami setahun sebelum dia wafat, yang berisi : 

"Bunuhlah setiap tukang sihir laki laki.." -dan terkadang Sufyaan menyebutkan; "Dan tukang sihir perempuan."- "dan pisahkan setiap orang (suami istri) yang semahram dari kalangan Majusi, serta larang mereka mengucapkan zamzamah." 

Maka kami membunuh tiga orang tukang sihir dan kami memisahkan antara laki-laki (yang beristrikan) mahramnya dengan kitabullah. Jaza' juga membuat makanan dalam jumlah besar, kemudian dia menghunuskan pedang di pahanya lalu memanggil orang Majusi, mereka menyerahkan bawaan sepenuh keledai atau dua keledai dari perak, dan mereka makan tanpa mengucapkan zamzamah. 'Umar tidak mengambilnya. -Sufyaan berkata; "…memungut jizyah dari orang Majusi sampai 'Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memungut dari orang-orang Majusi hajar." 

Bapakku berkata; Sufyaan menerangkan; "Bajaalah berhaji bersama Mush'ab pada tahun ke tujuh puluh hijriyah."
[HR. Ahmad no. 1569]

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ سَمِعَ بَجَالَةَ يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ وَأَبَا الشَّعْثَاءِ قَالَ
كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنْ الزَّمْزَمَةِ فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ وَفَرَّقْنَا بَيْنَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَحَرِيمِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَصَنَعَ طَعَامًا كَثِيرًا فَدَعَاهُمْ فَعَرَضَ السَّيْفَ عَلَى فَخْذِهِ فَأَكَلُوا وَلَمْ يُزَمْزِمُوا وَأَلْقَوْا وِقْرَ بَغْلٍ أَوْ بَغْلَيْنِ مِنْ الْوَرِقِ وَلَمْ يَكُنْ عُمَرُ أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ الْمَجُوسِ حَتَّى شَهِدَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari 'Amr bin Diinaar, ia mendengar Bajaalah, menceritakan kepada 'Amr bin Aus, serta Abu Asy Sya'tsaa`, ia berkata : 

"Dahulu aku adalah seorang sekretaris Jaz` bin Mu'aawiyah paman Al Ahnaf bin Qais, tiba-tiba terdapat surat 'Umar datang kepada kami satu tahun sebelum ia meninggal, ia berkata; 
bunuhlah seluruh tukang sihir, dan pisahkan antara setiap orang yang memiliki mahram dari kalangan orang-orang majusi, dan laranglah mereka dari bersuara rendah yang hampir tidak terdengar suaranya. Maka kami dalam sehari telah membunuh tiga orang tukang sihir, dan memisahkan antara setiap laki-laki majusi dan mahramnya dalam kitab Allah. Dan 'Umar membuat makanan yang banyak kemudian mengundang mereka kemudian ia memperlihatkan pedang di atas pahanya. Kemudian mereka makan tanpa mengeluarkan suara samar yang tidak jelas dan mereka menjatuhkan bawaan seekor atau dua ekor bighal dari perak, dan 'Umar tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga 'Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengambilnya dari majusi Hajar."
[HR. Abu Dawud no. 3043]

و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
قَتَلَ نَفَرًا خَمْسَةً أَوْ سَبْعَةً بِرَجُلٍ وَاحِدٍ قَتَلُوهُ قَتْلَ غِيلَةٍ وَقَالَ عُمَرُ لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ جَمِيعًا

Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Maalik, dari Yahya bin Sa'iid, dari Sa'iid bin Musayyab,

"Bahwa 'Umar bin Khaththaab membunuh lima atau tujuh orang, sebab mereka telah membunuh seorang laki-laki dengan tipu muslihat (sihir). 'Umar berkata; "Seandainya (seluruh) penduduk Shan'a berkomplot melakukannya, niscaya aku akan membunuh mereka semuanya."
[HR. Malik no. 1671. Dhaif Munqathi]

و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ حَفْصَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَتَلَتْ جَارِيَةً لَهَا سَحَرَتْهَا وَقَدْ كَانَتْ دَبَّرَتْهَا فَأَمَرَتْ بِهَا فَقُتِلَتْ

Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Maalik, dari Muhammad bin 'Abdurrahman bin Sa'ad bin Zaraarah telah sampai kepadanya, 

"Bahwa Hafshah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membunuh seorang budak wanitanya yang telah menyihirnya, padahal sebelum itu ia pernah menjanjikannya untuk merdeka jika ia (Hafshah) telah meninggal. Namun Hafshah tetap memerintahkannya hingga budak itu pun dibunuh."
[HR. Malik no. 1672. Dhaif Munqathi]

Tatkala diketahui bahwasanya sihir dan perdukunan merupakan penyakit meresahkan masyarakat yang berbahaya, manakala didiamkan akan menimbulkan kerusakan yang menyebar dan keburukan yang merajalela berupa pembunuhan (dengan santet atau teluh), mengambil harta dengan cara yang batil (dengan babi ngepet, tuyul, pesugihan, atau kasus dukun menipu pasiennya), memisahkan pasangan suami istri (dengan guna-guna), maka hukuman yang tepat untuknya dengan satu kata: yakni HUKUMAN MATI. Dengannya masyarakat menjadi tenang dan suasana menjadi kondusif apabila menerapkan syariat Islam.

Faedah Hadits : 

1. Haramnya mempelajari ilmu sihir (perdukunan, santet, teluh, hipnotis, mentalist, magic, pesugihan, dan ilmu sihir lainnya), haram pula mengajarkannya.

2. Hukuman dalam syariat Islam bagi para tukang sihir, dukun, paranormal, dan yang semakna dengannya adalah hukuman mati dengan cara dipenggal lehernya dengan pedang.

Hadits ini sebagai dalil atas hukuman dalam syariat Islam bagi para tukang sihir, dukun, paranormal, dan yang semakna dengannya adalah hukuman mati. Hadits ini juga menjadi dalil atas haramnya mempelajari ilmu sihir dan perdukunan dengan segala macam bentuknya, haram pula mengajarkannya.

Haramnya sihir dikarenakan bahwasanya sihir itu dibangun di atas kesyirikan (seseorang bisa mempraktikkan sihir dengan syarat ia pasti berbuat syirik).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah menegaskan :  
"Orang yang mempraktikkan ilmu sihir, maka dia telah kafir. Karena tidaklah para setan mengajarkan sihir kepada manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala."
[Syarah Al Kabaair lil Imam Adz Dzahabi, Ibnu ‘Utsaimin, Cet. Dar Al Kutub ‘Ilmiyah, hal. 20]

Referensi :
 
Kitab Al-Jadid Syarhu Kitabut Tauhid, Penulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Sulaiman Al-Qar’awi, hal. 226-227

Selasa, 23 Juni 2020

HUKUM WANITA MENGIRINGI JENAZAH / MENGANTAR MAYIT SAMPAI KE KUBURAN

 حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أُمِّ الْهُذَيْلِ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah bin 'Uqbah; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Khaalid Al Hadzdzaa', dari Ummu Al Hudzail, dari Ummu 'Athiyyah radhiallahu 'anha berkata : 

"Kami dilarang mengantar jenazah namun Beliau tidak menekankan (mengharamkan) hal tersebut kepada kami."
(Shahih Bukhari no. 1278)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ قَالَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ
كُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyuub; Telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ulayyah; Telah mengabarkan kepada kami Ayyuub, dari Muhammad bin Siiriin ia berkata; Ummu 'Athiyyah berkata :

"Kami dilarang untuk turut mengiring jenazah, tetapi (larangan itu) tidak begitu ditekankan atas kami."
(Shahih Muslim no. 938)  

Mayoritas ulama berpandangan bahwa wanita dimakruhkan keluar mengiringi jenazah. Demikian dinukil oleh Imam Nawawi dari pendapat mayoritas ulama dan mayoritas sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, dan ‘Aisyah. 
(Lihat Al Majmu’, 5/78)

Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Makna hadits adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita untuk mengiringi jenazah dan larangannya adalah makruh tanzih, bukan makruh yang menunjukkan keharaman. Madzhab kami -Syafi’iyah- berpendapat hal itu makruh dan bukanlah haram berdasarkan pemahaman dari hadits ini. Al Qadhi ‘Iyadh berkata bahwa mayoritas ulama melarang para wanita mengiringi jenazah. Sedangkan ulama Madinah membolehkannya. Begitu pula dengan Imam Malik, namun beliau memakruhkan untuk para gadis.” 
(Syarh Muslim, 1/46)

Namun kemakruhan ini barlaku bagi wanita yang tidak bisa menahan ratapan kesedihan untuk jenazah. Jika sekiranya wanita tersebut bisa menahan ratapan kesedihan dan bisa menjaga diri dari fitnah dengan menutup aurat dan sebagainya, maka boleh mengantar jenazah hingga ke kuburan. Apalagi yang meninggal adalah keluarga dekatnya, misalnya anak, suami, orangtua, saudara.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Alfiqhul Islami bahwa ulama Malikiyah membolehkan wanita untuk mengantar jenazah, terutama jika yang meninggal adalah keluarga dekatnya dan selamat dari fitnah.

أجاز المالكية خروج امرأة متجالَّة: عجوز لا أرب للرجل فيها، أو شابة لم يخش فتنتها في جنازة من عظُمت مصيبته عليها كأب وأم وزوج وابن وبنت وأخ وأخت

“Ulama Malikiyah membolehkan wanita tua yang tidak membuat laki-laki tertarik atau wanita muda yang tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah untuk mengantar jenazah seseorang yang kematiannya merupakan musibah besar baginya, seperti ayah, ibu, suami, anak laki-laki atau wanita, saudara laki-laki atau wanita.”

Namun bukan berarti kita bermudah-mudahan dalam hal ini karena meskipun larangan itu bersifat makruh kita tetap diperintahkan untuk menjauhinya.

حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ قَالَا كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya At Tujiibiy; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihaab; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdur Rahman dan Sa'iid bin Al Musayyab keduanya berkata; Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
"Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan semampu kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka."
(Shahih Muslim no. 1337)

Dan membiasakan diri melakukan hal-hal yang dimakruhkan ditakutkan bisa menjadikan seseorang dengan mudah melakukan yang haram.

Wallahu a'lam





Malaikat dan Setan Berebut Menemani Orang yang Hendak Tidur

Dalam sebuah hadits dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَوَى الرَّجُلُ إِلَى فِرَاشِهِ أَتَاهُ مَلَكٌ وَشَيْطَانٌ، فَيَقُولُ الْمَلَكُ: اخْتِمْ بِخَيْرٍ، وَيَقُولُ الشَّيْطَانُ: اخْتِمْ بِشَرٍّ، فَإِنْ ذَكَرَ اللَّهَ، ثُمَّ نَامَ بَاتَتِ الْمَلَائِكَةُ تَكْلَؤُهُ

“Apabila manusia berbaring di pembaringannya (akan tidur), malaikat dan setan segera menghampirinya..
Malaikat membisikkan, “Akhiri (malam-mu) dengan kebaikan”,
sedangkan setan membisikan, “Akhiri (malam-mu) dengan keburukan”.
Apabila dia berdzikir menyebut nama Allah kemudian tidur, maka malaikat melindungi dia di malam itu.“

[HR. Ibnu Hibban no. 5533, Hakim dalam Al-Mustadrak no. 1969 dan beliau shahihkan, kemudian disepakati oleh Adz-Dzahabi]

Allahu a'lam

MAKNA SURAT AL IKHLAS SETARA DENGAN SEPERTIGA AL QUR`AN

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَالضَّحَّاكُ الْمَشْرِقِيُّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ الْقُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ وَقَالُوا أَيُّنَا يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ ثُلُثُ الْقُرْآنِ

Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy; Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim dan Adh Dhahaak Al Masyriqiy, dari Abu Sa'iid Al Khudriy radhiallahu 'anhu, ia berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya: "Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu bila ia membaca sepertiga dari Al Qur`an pada setiap malamnya?" dan ternyata para sahabat merasa kesulitan seraya berkata, "Siapakah di antara kami yang mampu melakukan hal itu wahai Rasulullah?" maka beliau pun bersabda: "ALLAHUL WAAHID ASH SHAMAD (maksudnya surat al-ikhlas) nilainya adalah sepertiga Al Qur`an."
(Shahih Bukhari no. 5015)

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبَانُ الْعَطَّارُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَفِي حَدِيثِهِمَا مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَزَّأَ الْقُرْآنَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ فَجَعَلَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ جُزْءًا مِنْ أَجْزَاءِ الْقُرْآنِ

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Basysyaar - Zuhair berkata-; Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa'iid, dari Syu'bah, dari Qataadah, dari Saalim bin Abul Ja'd, dari Ma'daan bin Abu Thalhah, dari Abu Dardaa`, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

"Tidak sanggupkah salah seorang dari kalian membaca sepertiga Al Qur`an dalam semalam?" Mereka balik bertanya, "Bagaimana cara membaca sepertiganya?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "'QUL HUWALLAHU AHAD' (surat Al Ikhlash) sama dengan sepertiga Al Qur`an." 

Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibraahiim; Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Bakr; Telah menceritakan kepada kami Sa'iid bin Abu 'Aruubah -dalam jalur lain-; Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami 'Affaan; Telah menceritakan kepada kami Aban Al Aththaar semuanya dari Qataadah dengan isnad ini. Dan di dalam hadits keduanya adalah dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 

"Sesungguhnya Allah 'azza wajalla menjadikan Al Qur`an itu tiga bagian. Lalu Dia menjadikan, 'QUL HUWALLAHU AHAD.' Sebagai satu bagian dari bagian-bagian Al Qur`an."
(Shahih Muslim no. 811)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
أَنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ يُرَدِّدُهَا فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Maalik, dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah bin 'Abdurrahman, dari Ayahnya, dari Abu Sa'iid, 

"Ada seorang laki-laki membaca QUL HUWALLAHU AHAD, ia membacanya secara berulang-ulang. Pagi harinya, laki-laki tadi menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan menceritakan kisahnya, seolah-olah si laki-laki tadi menganggap remeh bacaannya. Kontan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-NYA, sungguh bacaan itu menyamai sepertiga al qur`an."
(Shahih Bukhari no. 6643)

و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَيَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى قَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْشُدُوا فَإِنِّي سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ فَحَشَدَ مَنْ حَشَدَ ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ثُمَّ دَخَلَ فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ إِنِّي أُرَى هَذَا خَبَرٌ جَاءَهُ مِنْ السَّمَاءِ فَذَاكَ الَّذِي أَدْخَلَهُ ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي قُلْتُ لَكُمْ سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ أَلَا إِنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Haatim dan Ya'quub bin Ibraahiim semuanya dari Yahyaa - Ibnu Haatim - berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa'iid; Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Kaisaan; Telah menceritakan kepada kami Abu Haazim, dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Berkumpullah kalian semuanya, karena aku akan membacakan kepada kalian sepertiga Al Qur`an." Maka berkumpullah kami, yang sempat berkumpul, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar dan membaca: "QUL HUWALLAHU AHAD." Setelah itu, beliau masuk kembali. Maka kami saling berkata satu sama lain. "Aku mengira bahwa wahyu ini baru diturunkan dari langit, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam segera masuk ke dalam kamarnya." Tak berapa lama kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar seraya bersabda: "Tadi aku berjanji akan membacakan sepertiga Al Qur`an kepada kalian. Ketahuilah bahwa, 'QUL HUWALLAHU AHAD' adalah sama nilainya dengan sepertiga Al Qur`an."
(Shahih Muslim no. 812)

Yang dimaksud dengan surat Al Ikhlas itu "setara dengan sepertiga Al Qur`an", barangkali penjelasan yang terbaik adalah apa yang disampaikan oleh Al-'Allamah Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Syarah Aqidah Wasithiyyah, kata beliau :

فهذه السورة تعدل ثلث القرآن في الجزاء لا في الإجزاء

"Surat ini setara dengan sepertiga Al Qur`an dalam hal pahala, bukan dalam hal ketercukupannya."

Menurut beliau hal ini seperti sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

من قال: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير، عشر مرات فكأنما أعتق أربع أنفس من بني إسماعيل

"Barangsiapa yang berdzikir "Laa Ilaaha illallah....kulli sya`in qadiir", sebanyak 10 kali, maka seolah-olah ia seperti membebaskan 4 budak dari keturunan anak Ismaa'iil." (HR. Bukhari)

Maka apakah seseorang misalnya terkena kafarah yang diwajibkan membebaskan budak, lalu dengan membaca dzikir di atas sudah lunas bayar kafarahnya?, Jawabannya tentunya tidak, sekalipun dalam masalah pahala ia setara dengan membebaskan 4 budak, sebagaimana sabda Nabi di atas. Oleh sebab itu, orang yang shalat tidak sah ketika misalnya ia membaca surat Al Ikhlas sebanyak 3 kali, tanpa membaca surat Al Fatihah, dengan alasan sebagaimana dalam masalah pembebasan budak.

Kemudian alasan terbaik yang disampaikan oleh para ulama mengapa surat Al Ikhlas dianggap setara dengan sepertiga Al Qur`an adalah perkataan mereka yang membagi konten Al Qur`an menjadi 3 kandungan, yaitu : 

1. Kandungan membahas tentang Allah secara dzat, sifat-sifatNya, nama-namaNya, dan semua perbuatanNya.

2. Kandungan membahas tentang kabar dan kisah-kisah, semisal kabar tentang makhlukNya seperti para Rasul, orang-orang shalih, atau kabar tentang hari akhir.

3. Kandungan membahas tentang perintah dan laranganNya.

Dan surat Al-Ikhlas adalah surat yang kandungannya fokus membahas tentang Allah jalla wa 'alaa. Sehingga pahala membacanya setara dengan ⅓ Al-Qur'an.
(Faedah kitab Taudhiih Maqaasidi Al-Aqidah Al-Waasithiyyah Syaikh 'Abdurrahman Al-Barrak)

Allahu a'lam

Larangan Mengungkit-ngungkit Pemberian dan Menyakiti Hati Penerima

Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Ikhlas adalah fondasi dalam seluruh jenis ibadah, termasuk ketika berinfak dan bersedekah. Allâh Azza wa Jalla akan melipatgandakan balasan bagi orang yang berinfak di jalan-Nya dengan ikhlas. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

"Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allâh melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
[QS. Al-Baqarah : 261]

Tetapi balasan yang besar tersebut disyaratkan dengan ikhlas, yang di antara tandanya adalah tidak mengungkit infak tersebut dan tidak mengiringi dengan perbuatan atau perkataan yang menyakitkan. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla pada ayat berikutnya :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
[QS. Al-Baqarah : 262]

Oleh karena dengan kasih sayang-Nya, Allâh Azza wa Jalla melarang para hamba-Nya yang beriman melakukan manna (mengungkit pemberian) dan adza (perkataan atau perbuatan yang menyakitkan), karena hal itu akan membatalkan pahala sedekah yang telah mereka berikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." 
[QS. Al-Baqarah : 264]

Di dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan 4 perkara yang bisa merusak sedekah :

1. Menyebut-nyebut sedekah.
2. Menyakiti perasaan si penerima.
3. Berinfak karena riya' (mencari pujian/nama) kepada manusia.
4. Tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian.

Makna Manna dan Adza 

Di dalam ayat di atas diterangkan bahwa manna (menyebut-nyebut sedekah) bisa membatalkan pahala sedekah. Oleh karena itu, kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan manna tersebut dan berusaha menjauhinya.

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi rahimahullah (wafat th 1438 H) berkata, 
“Al-mann adalah menyebut sedekah dan menghitung-hitungnya kepada orang yang menerima sedekah dengan bentuk pemberian kebaikan kepadanya. Sedangkan al adza adalah: menyakiti orang yang menerima sedekah dan menghinakannya dengan kalimat yang pedas, atau kalimat yang merusak kehormatannya, atau menjatuhkan kemuliaannya.” 
[Tafsîr Aisarut Tafâsir, 1/254, surat Al-Baqarah ayat 262]

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Makkiy rahimahullah (wafat th 974 H) berkata,

إنَّ الْمَنَّ هُوَ أَنْ يُعَدِّدَ نِعْمَتَهُ عَلَى الْآخِذِ أَوْ يَذْكُرَهَا لِمَنْ لَا يُحِبُّ الْآخِذُ اطِّلَاعَهُ عَلَيْهِ، وَقِيلَ: هُوَ أَنْ يَرَى أَنَّ لِنَفْسِهِ مَزِيَّةً عَلَى الْمُتَصَدَّقِ عَلَيْهِ بِإِحْسَانِهِ إلَيْهِ وَلِذَلِكَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَطْلُبَ مِنْهُ دُعَاءً وَلَا يَطْمَعَ فِيهِ، لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ فِي مُقَابَلَةِ إحْسَانِهِ فَيَسْقُطُ أَجْرُهُ

“Al-Manna adalah menghitung-hitung pemberiannya (baik yang berupa kebaikan, pertolongan, sedekah dan lain-lain) kepada orang yang menerimanya, atau menceritakan pemberian itu kepada orang lain yang si penerima tidak suka orang itu mengetahuinya. Ada juga yang mengatakan, al manna adalah seseorang (yang telah bersedekah) melihat dirinya memiliki keistimewaan melebihi orang yang menerima sedekah karena dia telah berbuat baik kepadanya. Oleh karena itu tidak pantas orang yang bersedekah meminta doa darinya atau mengharapkannya, karena bisa jadi itu adalah balasan perbuatan baiknya sehingga pahalanya gugur”. 
[Az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâir, hlm. 312]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga mengatakan,

وَالْأَذَى هُوَ أَنْ يَنْهَرَهُ أَوْ يُعَيِّرَهُ أَوْ يَشْتُمَهُ، فَهَذَا كَالْمَنِّ مُسْقِطٌ لِثَوَابِهِ وَأَجْرِهِ كَمَا أَخْبَرَ اللَّهُ – تَعَالَى –

“Sedangkan al adza (gangguan) adalah orang yang bersedekah membentak orang yang menerima sedekah, atau menghinanya, atau mencelanya. Maka ini seperti al mann, menggugurkan pahala dan balasan sedekah sebagaimana telah diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla”. 
[Az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâir, hlm. 312]

Imam Al-Qurthubiy rahimahullah (wafat th 671 H) berkata di dalam tafsirnya,

الْمَنُّ: ذِكْرُ النِّعْمَةِ عَلَى مَعْنَى التَّعْدِيدِ لَهَا وَالتَّقْرِيعِ بِهَا، مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: قَدْ أَحْسَنْتُ إِلَيْكَ وَنَعَشْتُكَ وَشِبْهَهُ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْمَنُّ: التَّحَدُّثُ بِمَا أَعْطَى حَتَّى يَبْلُغَ ذَلِكَ الْمُعْطَى فَيُؤْذِيَهُ. وَالْمَنُّ مِنَ الْكَبَائِرِ

“Al-Mann adalah menyebut nikmat dengan maksud menghitung-hitung nikmat (kebaikan; pertolongan; sedekah; dll) dan menyalahkan dengannya (kepada orang yang menerimanya). Seperti mengatakan, “Aku telah berbuat baik kepadamu”, “Aku telah menolongmu”, dan semacamnya. Sebagian ulama berkata: mann adalah: menceritakan pemberiannya sehingga berita itu sampai kepada si penerima sehingga mengganggunya. Dan manna termasuk dosa besar”.
[Tafsîr Al-Qurthubiy, 3/308]

Mengungkit Pemberian Termasuk Dosa Besar

Para Ulama memasukkan perbuatan manna ini ke dalam dosa-dosa besar, seperti Al-Qurthubiy di dalam tafsirnya, Adz-Dzahabiy di dalam Al-Kabair, dan Ibnu Hajar Al-Makkiy di dalam Az-Zawajir. Bahkan ada ancaman-ancaman khusus dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan mengungkit-ungkit sedekah tersebut. Antara lain sebagai berikut :

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ» قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ»

Dari Abu Dzarr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda : 

“Ada tiga orang, Allâh tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, Allâh tidak akan melihat mereka, Allâh tidak juga menyucikan (dosa-dosa) mereka, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini tiga kali. Abu Dzarr berkata: “Mereka pasti kecewa dan rugi! Siapakah mereka itu wahai Rasûlallâh?” Rasûlullâh bersabda: “Al-Musbil (orang yang melakukan isbal), Al-Mannan (orang yang suka menyebut-nyebut kebaikannya/pemberiannya), dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah bohong.” 
[HR. Muslim no. 106]

Bahkan orang yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya diancam tidak akan masuk surga, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ، وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى “

Dari Saalim bin 'Abdullah (bin 'Umar), dari Bapaknya, dia ('Abdullah) berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“Tiga orang yang Allâh ‘Azza wa Jalla tidak akan melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuuts.

Tiga orang yang tidak akan masuk surga: anak yang durhaka kepada kedua orangtuanya, pecandu khamr (minuman keras), dan orang yang menyebut-nyebut apa yang dia berikan”.  
[HR. An-Nasa'i, no. 2562; Ahmad, no. 6180; dan lain-lain. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui Adz-Dzahabi. Dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad dan Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 674, 1397, 3099]

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ نُبَيْطٍ عَنْ جَابَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنَّانٌ وَلَا عَاقٌّ وَلَا مُدْمِنُ خَمْرٍ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar dari Muhammad ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshuur dari Saalim bin Abu Al Ju'd dari Nubaith dari Jaabaan dari 'Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

"Tidak akan masuk surga seorang yang mengungkit-ungkit pemberian, orang yang durhaka (kepada orangtua) dan pecandu khamr."
[Sunan Nasa'i no. 5672]

Sebagian Ulama menyimpulkan beberapa bahaya mengungkit-ungkit sedekah, yaitu :

1. Mengurangi pahala atau bahkan membatalkannya.
2. Termasuk akhlak yang buruk.
3. Ancaman keras bagi pelakunya.
4. Menyusahkan dan menyakiti orang lain.
5. Menyebabkan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla .
6. Sifat itu menyerupai sifat orang-orang munafik.
7. Pelakunya terhalangi dari kenikmatan melihat wajah Allâh dan diajak bicara oleh-Nya.

[Lihat Nadhratun Na’im fi Akhlâqir Rasûl Al-Karim, 11/5569]

Setelah kita mengetahui hal ini, maka sepantasnya kita bersungguh-sungguh menjaga amal-amal shalih kita dari segala perkara yang bisa menggugurkannya, sehingga kita akan mendapatkan balasannya dengan sempurna di sisi Allâh Azza wa Jalla di Hari Pembalasan. Semoga Allâh Azza wa Jalla selalu membimbing kita di dalam semua kebaikan dan menjauhkan dari semua keburukan.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Bolehkah Bertukar Cincin Tunangan ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah. Para ulama menjelaskan bahwa di antara kebiasaan yang menyimpang dari syariat Islam adalah adanya tradisi tukar cincin sebelum calon mempelai masuk ke jenjang pernikahan.

Di antara alasan yang menunjukkan larangan hal ini adalah :

Pertama : Tradisi tukar cincin, pada asalnya, merupakan warisan dari orang nasrani. Merekalah yang pertama kali membuat tradisi ini. Ketika melakukan pernikahan, sang lelaki meletakkan cincin di jempol tangan kiri perempuan, dengan mengatakan, “Dengan nama tuhan bapa,” kemudian dipindah ke telunjuk, sambil mengatakan, “Tuhan anak,” lalu dipindah ke jari tengah, dengan mengatakan, “Ruh kudus,” selanjutnya dipindah ke jari manis, sambil mengatakan, “Amin.” 
Kisah tentang tradisi ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Adab Az-Zifaf.

Sementara itu, kaum muslimin dilarang mengikuti kebiasaan dan tradisi orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Barang siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” 
(HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Kedua : Tradisi ini akan membuka pintu maksiat, yaitu banyaknya lelaki yang memakai cincin dari emas. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas melarang hal ini. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah :

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (kaum lelaki) memakai cincin emas. 
(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

2. Dari Ibnu Abbas, “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin emas pada jari seorang sahabat. Kemudian beliau melepasnya dan membuangnya, sambil bersabda, ‘Kalian sengaja mengambil bara api neraka lalu kalian letakkan di tangan kalian?’ Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, ada orang yang berkata kepada pemakai cincin tadi, ‘Ambil cincinmu dan manfaatkan untuk hal yang lain.’ Sahabat ini mengatakan, ‘Tidak! Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selamanya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.'” 
(HR. Muslim dan Thabrani)

3. Dari Abdullah bin Amr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang sahabat memakai cincin emas, kemudian beliau berpaling darinya (tidak mau menyapanya). Kemudian, orang ini melepas cincin emasnya dan diganti dengan cincin besi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Ini lebih jelek. Ini perhiasan penghuni neraka.” Kemudian, dia melepasnya, dan digantinya dengan cincin perak, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkannya. 
(HR. Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Keterangan di atas berlaku jika tidak diyakini bahwa tukar cincin bisa melanggengkan hubungan suami-istri. Akan tetapi, jika diyakini bahwa tukar cincin bisa melanggengkan hubungan suami-istri, sehingga masing-masing berusaha mempertahankan cincinnya, jangan sampai hilang, sekalipun masuk ke sumur harus diambil, meskipun bisa merenggut nyawa, jika cincin ini sampai hilang bisa mengancam keutuhan hubungan keduanya, dan seterusnya, maka keadaannya semakin parah dan dosanya lebih besar. Dengan menambahkan keyakinan seperti itu, berarti seseorang telah mengambil sebuah sebab yang pada asalnya bukanlah sebab. Tidak terdapat satu pun dalil yang menunjukkan bahwa tukar cincin bisa menjadi sebab keutuhan rumah tangga. Ini, tidak lain, hanya sebatas mitos yang tersebar di masyarakat.

Allahu a’lam.

Pandangan Ulama Mengenai Hukum Tukar Cincin

Syaikh bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab :
“Aku tidak mengetahui budaya ini berasal dari syariat, sehingga lebih utama ditinggalkan.” 
(Fatawa Ulama Baladul Haram, hal. 50)

Syaikh Shalih Al Munajjid hafizhahullah dalam website Al Islam Sual wal Jawab berkata, 

“Cincin kawin bukanlah tradisi kaum muslimin. Jika diyakini cincin kawin tersebut punya sebab yang dapat mengikat ikatan cinta antara suami istri, dan jika cincin tersebut dilepas dapat mengganggu hubungan keduanya, maka hal ini bisa dinyatakan SYIRIK dan masuk dalam keyakinan jahiliyah. Ditambah lagi bahwa emas itu haram bagi pria, maka cincin kawin tidaklah diperbolehkan sama sekali. Kami dapat rinci alasannya :

1. Karena cincin kawin tidak ada kebaikan sama sekali dan hanya merupakan tradisi yang diimpor oleh kaum muslimin dari orang kafir.

2. Jika yang mengenai cincin kawin tersebut menganggap bahwa cincin itu bisa berpengaruh dalam langgengnya pernikahan, maka hal ini bisa masuk dalam kesyirikan (karena menyandarkan sebab pada sesuatu yang bukan sebab sama sekali, pen). Laa hawla quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya untuk berlindung dari kesyirikan kecuali dengan pertolongan Allah. Demikian faedah yang kami peroleh dari fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan.” 
(Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 21441)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai hukum cincin pernikahan. Beliau rahimahullah menjawab, 

“Cincin nikah yang biasa digunakan adalah emas. Padahal emas sama sekali tidak punya pengaruh bagi yang mengenakannya. Sebagian orang yang mengenai cincin pernikahan ini terkadang membuat ukiran di emas tersebut dan diserahkan pada istrinya. Begitu pula si istri diukir namanya di cincin dan akan diberi pada suaminya. Keyakinan mereka adalah bahwa tukar cincin semacam ini akan lebih merekat ikatan cinta di antara pasutri. Dalam kondisi seperti ini, cincin pernikahan bisa jadi haram karena cincin menjadi sandaran hati padahal tidak disetujui secara syar’i maupun terbukti dari segi keilmiahan. Begitu pula tidak boleh menggunakan cincin nikah yang dikenakan oleh pasangan yang baru dilamar. Karena jika belum ada akad nikah, si wanita belumlah menjadi istri dan belumlah halal. Wanita tersebut bisa halal bagi si pria jika benar-benar telah terjadi akad.” 
(Al Fatawa Al Jami’ah lil Mar-ah Al Muslimah, 3/914-915)



Hukum Memakai Cincin Batu Akik Lebih dari Satu

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Ulama berbeda pendapat tentang hukum bagi lelaki yang memakai cincin lebih dari satu.

Dalam Ensiklopedia Fiqh dinyatakan,

اختلف الفقهاء في حكم تعدد خواتم الرجل، فنص المالكية على أنه لا يباح للرجل أكثر من خاتم واحد ، فإن تعدد الخاتم حرم ولو كان في حدود الوزن المباح شرعا

"Para ulama berbeda pendapat tentang hukum lelaki memakai cincin lebih dari satu. Malikiyah menegaskan bahwa tidak boleh bagi seorang lelaki untuk memakai lebih dari satu cincin. Jika dia memakai cincin lebih dari satu, hukumnya terlarang. Meskipun beratnya kurang dari batas yang ditetapkan syariat."
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 11/28)

Di antara ulama Malikiyah yang menegaskan hal itu adalah Imam Al-Kharsyi – ulama pertama yang menjadi Imam Masjid Al-Azhar – (w. 1101 H). Dalam Hasyiyahnya, beliau rahimahullah menegaskan,

وَلَا يَجُوزُ تَعَدُّدُ الْخَاتَمِ وَلَوْ كَانَ وَزْنُ جَمِيعِ الْمُتَعَدِّدِ دِرْهَمَيْنِ

"Tidak boleh memakai beberapa cincin. Meskipun berat totalnya tidak lebih dari 2 dirham." 
(Hasyiyah Al-Kharsyi, 1/184)

Sementara dalam madzhab Syafi'iyah terdapat dua pendapat, sebagian ulama Syafi'iyah membolehkan memakai cincin lebih dari satu, selama tidak sampai terhitung pemborosan.

Imam Al-Khathib Asy-Syarbini rahimahullah menukil keterangan dari kitab Ar-Raudhah,

وفي الروضة وأصلها: ولو اتخذ الرجل خواتيم كثيرة ليلبس الواحد منها بعد الواحد جاز،

"Dalam kitab Ar-Raudhah dan matannya dinyatakan, Jika ada lelaki yang memiliki banyak cincin, untuk dia pakai satu-satu secara bergantian, hukumnya boleh."

Keterangan ini dikomentari oleh Imam Asy-Syarbini,

فظاهره الجواز في الاتخاذ دون اللبس وفيه خلاف منتشر

"Yang bisa disimpulkan dari keterangan beliau, hukumnya boleh untuk memiliki beberapa cincin dan bukan memakai. Dan dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur."
(Mughni Al-Muhtaj, 1/392)

Jangan Mengundang Perhatian !

Di luar perbedaan pendapat di atas, sebenarnya islam melarang kita mengenakan sesuatu yang mengundang perhatian orang lain.

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ

"Siapa yang memakai pakaian syuhrah, maka kelak di hari kiamat Allah akan memberikan pakaian semisalnya. Kemudian dia dilahap neraka dengan pakaian itu."
(HR. Abu Daud no. 4029-4030, Ibn Majah no. 3607, dan dihasankan Syaikh Al-Albani)

Imam Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan,

هو الذي إذا لبسه الإنسان افتضح به واشتهر بين الناس

"Itu adalah pakaian yang jika dikenakan seseorang akan membuat dirinya terkenal dan masyhur di masyarakat."
(Jami’ Al-Ushul, 10/657)

Yang terjadi, ketika seseorang memakai cincin akik berjajar, apalagi dengan mata akik besar, akan kelihatan sangat aneh bagi orang yang memandangnya. Bisa jadi, dengan ini akan mengundang banyak perhatian orang lain. Karena itu, selayaknya dihindari.

Allahu a’lam

Allah Benci Orang Gendut ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Ada beberapa dalil yang menunjukkan celaan bagi orang gemuk karena banyak makan. Diantaranya,

Dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلاَ يُؤْتَمَنُونَ، وَيَشْهَدُونَ وَلاَ يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَنْذِرُونَ وَلاَ يَفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ

"Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian masa setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiaannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan”. 
(HR. Bukhari no. 2651)

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ أُمَّتِى الْقَرْنُ الَّذِينَ بُعِثْتُ فِيهِمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ… ثُمَّ يَخْلُفُ قَوْمٌ يُحِبُّونَ السَّمَانَةَ، يَشْهَدُونَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدُوا

“Sebaik-baik umatku adalah masyarakat yang aku di utus di tengah mereka (para sahabat), kemudian generasi setelahnya. Kemudian datang kaum yang suka menggemukkan badan, mereka bersaksi sebelum diminta bersaksi.” 
(HR. Muslim no. 2534)

Keterangan Imam Al-Qurthubi (w. 671 H)

Ketika menyebutkan hadits di atas, beliau rahimahullah mengatakan :

وهذا ذم. وسبب ذلك أن السمن المكتسب إنما هو من كثرة الأكل والشره، والدعة والراحة والأمن والاسترسال مع النفس على شهواتها، فهو عبد نفسه لا عبد ربه، ومن كان هذا حاله وقع لا محالة في الحرام

"Hadits ini adalah celaan bagi orang gemuk. Karena gemuk yang bukan bawaan (keturunan) seperti banyak makan, minum, santai, foya-foya, selalu tenang, dan terlalu mengikuti hawa nafsu. Ia adalah hamba bagi dirinya sendiri dan bukan hamba bagi Tuhannya, orang yang hidupnya seperti ini pasti akan terjerumus kepada yang haram…"

Allah mencela orang kafir yang hidupnya hanya makan, seperti binatang. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

“Orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” 
(QS. Muhammad : 12)

Imam Al-Qurthubi juga menegaskan, tradisi banyak makan, hobi kuliner, adalah kebiasaan orang kafir. Beliau rahimahullah melanjutkan,

وقد ذم الله تعالى الكفار بكثرة الأكل فقال: {وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ}  فإذا كان المؤمن يتشبه بهم، ويتنعم بتنعمهم في كل أحواله وأزمانه، فأين حقيقة الإيمان، والقيام بوظائف الإسلام؟! ومن كثر أكله وشربه كثر نهمه وحرصه، وزاد بالليل كسله ونومه، فكان نهاره هائما، وليله نائما

"Allah mencela orang kafir karena banyak makan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.

Karena itu, apabila ada orang mukmin yang meniru tradisi mereka, dan menikmati segala kenikmatan dunia setiap saat, lantas dimana hakikat imannya dan pelaksanaan Islam pada dirinya?! Barangsiapa yang banyak makan dan minum, maka ia akan semakin rakus dan tamak, bertambah malas dan banyak tidur di malam hari. Siang harinya dipakai untuk makan dan minum, sedangkan malamnya hanya untuk tidur."
(Tafsir Al-Qurthubi, 11/67)

Hadits lain yang menunjukkan celaan kegemukan,

Dari Ja’dah bin Khalid, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada orang gendut. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk perutnya,

لَوْ كَانَ هَذَا فِي غَيْرِ هَذَا لَكَانَ خَيْرًا لَكَ

"Andai gendut ini tidak di sini, niscaya itu lebih baik bagimu."
(HR. Ahmad no. 15307, dan sanadnya didhaifkan Syaikh Syuaib Al-Arnauth)

Kemudian dalam hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma,
"Suatu ketika ada orang bersendawa di dekat Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menegurnya,

كفّ عنا جُشاءك ، فإنَّ أكثرهم شبعاً في الدنيا أطولُهم جوعاً يوم القيامة

"Jangan keras-keras sendawanya, sesungguhnya orang yang paling sering kenyang di dunia, dia paling lama laparnya di akhirat."
(HR. Turmudzi no. 2666 dan dihasankan Syaikh Al-Albani)

Kemudian, disebutkan pula dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan salah satu model manusia yang disiksa di hadapan seluruh makhluk,

إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ العَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ، وَقَالَ: اقْرَءُوا {فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}

"Sesungguhnya akan didatangkan seseorang yang sangat besar dan gemuk pada hari kiamat, akan tetapi timbangannya di sisi Allah tidak seberat sayap nyamuk. Bacalah firman Allah, (yang artinya), “Dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari no. 4729 & Muslim no. 2785)

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

“لايزن عند الله جناح بعوضة”  أى لايعدله فى القدر والمنزلة أى لاقدر له وفيه ذم السمن

“Timbangannya di sisi Allah tidak seberat sayap nyamuk” artinya beratnya dan nilainya tidak menyamai sayap nyamuk, artinya tidak ada nilainya. Di sini terdapat celaan bagi kondisi gemuk."
(Syarah Shahih Muslim, 17/129)

Celaan Imam Asy-Syafi'i kepada Orang Gemuk

Dari Hasan bin Idris Al-Halwani menyatakan bahwa beliau mendengar komentar Imam As-Syafi'i tentang orang gemuk,

ما أفلح سمين قط إلا أن يكون محمد بن الحسن

"Sama sekali tidak akan beruntung orang yang gemuk, kecuali Muhammad bin Hasan Asy-Syaibany (Gurunya Asy-Syafi’i)."

Beliau ditanya, “Mengapa demikian?”

Jawab beliau,

لأن العاقل لا يخلو من إحدى خلتين إما أن يغتم لآخرته ومعاده أو لدنياه ومعاشه والشحم مع الغم لا ينعقد فاذا خلا من المعنيين صار في حد البهائم فيعقد الشحم

"Karena seorang yang berakal tidak lepas dari dua hal; sibuk memikirkan urusan akhiratnya atau urusan dunianya, sedangkan kegemukan tidak terjadi jika banyak pikiran. Jika seseorang tidak memikirkan akhiratnya atau dunianya berarti dia sama saja dengan hewan, jadilah gemuk."
(Hilyah Al-Auliya’, 9/146)

Gemuk yang Tidak Tercela

Bagian ini yang dikecualikan, gemuk yang tidak tercela. Gemuk bukan karena malas-malasan, dan bukan karena terlalu banyak makan. Dia tetap menjadi pahlawan bagi umat, dan berusaha melakukan aktivitas yang bermanfaat. Sebagaimana yang dialami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di penghujung usia beliau dan beberapa sahabat lainnya.

'Aisyah menceritakan,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُوتِرُ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ فَلَمَّا بَدَّنَ وَلَحُمَ صَلَّى سَبْعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

"Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan witir 9 rakaat, setelah beliau mulai gemuk dan berdaging, beliau shalat 7 rakaat. Kemudian shalat 2 rakaat sambil duduk."
(HR. Ahmad no. 23134)

Dari Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma,
Saya bertanya kepada pamannya, Ibnu Abi Halah tentang ciri fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم فخما مفخما

"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang badannya besar." 
(Asy-Syamail Al-Muhammadiyah Turmudzi, 1/34)

Sebagian menafsirkan kata: fakhman mufakhaman dengan gemuk.

Imam Mula Ali Qari rahimahullah mengatakan,

وَأَمَّا مَا وَرَدَ أَنَّ اللَّهَ يُبْغِضُ السَّمِينَ ; فَمَحْمَلُهُ إِذَا نَشَأَ عَنْ غَفْلَةٍ وَكَثْرَةِ نِعْمَةٍ حِسِّيَّةٍ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ رِوَايَةُ يُبْغِضُ اللَّحَّامِينَ

"Riwayat yang menunjukkan bahwa Allah membenci orang gemuk, dipahami jika gemuk ini terjadi karena kelalaian, terlalu banyak menikmati kenikmatan lahir, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat tentang kebencian bagi orang gendut."
(Jam’ul Wasail fi Syarh Asy-Syamail, 1/34)

Allahu a’lam



LUASNYA LANGIT

Allah ta'ala menciptakan langit sebanyak tujuh lapis langit yang ada di atas kita. Masing-masing dari tujuh lapis langit itu memiliki luas dan besar yang sama. Seluas apa langit-langit itu ?

حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ أَبِي السَّمْحِ عَنْ عِيسَى بْنِ هِلَالٍ الصَّدَفِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ رَصَاصَةً مِثْلَ هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى مِثْلِ الْجُمْجُمَةِ أُرْسِلَتْ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ هِيَ مَسِيرَةُ خَمْسِ مِائَةِ سَنَةٍ لَبَلَغَتْ الْأَرْضَ قَبْلَ اللَّيْلِ وَلَوْ أَنَّهَا أُرْسِلَتْ مِنْ رَأْسِ السِّلْسِلَةِ لَسَارَتْ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ قَبْلَ أَنْ تَبْلُغَ أَصْلَهَا أَوْ قَعْرَهَا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ إِسْنَادُهُ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَسَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ هُوَ مِصْرِيٌّ وَقَدْ رَوَى عَنْهُ اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Suwaid; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah; Telah mengabarkan kepada kami Sa'iid bin Yaziid, dari Abu As Samh, dari 'Iisa bin Hilaal Ash Shadafiy, dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

"Kalau seandainya timah seperti ini -dan beliau menunjuk seperti wadah kecil- dikirim dari langit menuju ke bumi yang jaraknya sepanjang perjalanan lima ratus tahun, niscaya ia akan sampai di bumi sebelum malam, dan kalau seandainya ia dikirim dari puncak 'rantai', niscaya akan (memerlukan) perjalanan empat puluh tahun siang dan malam sebelum mencapai dasarnya atau keraknya (jahannam)." 

Abu 'Iisa berkata; 'Hadits ini sanadnya hasan shahih. Dan Sa'iid bin Yaziid adalah seorang Mesir. Al Laits bin Sa'iid dan bukan satu imam saja yang telah meriwayatkan hadits darinya."
[Sunan Tirmidzi no. 2588]

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata :

بين السماء الدنيا والتي تليها خمسمائة عام، وبين كل سماء خمسمائة عام، وبين السماء السابعة وبين الكرسي خمسمائة عام، وبين كرسي وبين الماء خمسمائة عام، والكرسي فوق الماء، والله عز وجل فوق الكرسي، ويعلم ما أنتم عليه

“Antara langit yang terendah (langit dunia) dan (bumi) yang di bawahnya berjarak selama 500 tahun. Antara satu langit dengan langit yang lainnya berjarak 500 tahun. Antara langit yang ketujuh dengan kursi berjarak 500 tahun. Antara kursi dengan air berjarak 500 tahun. Kursi Allah itu letaknya di atas air. Dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas kursi. Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan.” 

[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat, 2/290, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy. Muhaqqiq juga menisbatkan riwayat itu pada Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid 1/232-234; Ad-Daarimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 81 dan Ar-Radd ‘alal-Mariisiy hal. 73,90,105; Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 9/228 dan yang lainnya]

Al Hafizh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

هي بالنسبة إليها كحصاة في صحراء فهي وإن تعددت وتكبرت فهي بالنسبة إلى السماء كالواحد القليل

"Bumi dinisbatkan kepada langit adalah seperti kerikil di tengah padang sahara. Meskipun bumi berbilang jumlahnya (yaitu 7 lapis - Pent.) dan besar, namun bila dinisbatkan kepada langit seperti benda kecil saja." 
[Badaai'ul-Fawaaid, hal. 201]

Di lain tempat beliau rahimahullah menjelaskan :

ولهذا لما كانت السماء محيطة بالأرض كانت عالية عليها ولما كان الكرسي محيطا بالسماوات كان عاليا عليها ولما كان العرش محيطا بالكرسي كان عاليا

"Oleh karena itu, dikarenakan langit melingkupi/meliputi bumi, maka langit berada di atas bumi. Dikarenakan kursi melingkupi langit-langit, maka kursi berada di atas langit. Dan dikarenakan 'arsy melingkupi kursi, maka ia berada di atas kursi." 
[Ash-Shawaaiqul-Mursalah, 4/1308]

Perkataan Al Hafizh Ibnul-Qayyim ini sama seperti penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Dar'ut-Ta'aarudh, 6/336-337.

Yang melingkupi tentu lebih besar daripada yang dilingkupi. Langit lebih besar daripada bumi, kursi lebih besar daripada langit, dan 'arsy lebih besar daripada kursi.

Al Hafizh Ibnul-Qayyim rahimahullah mengatakan demikian tentu bukan karena hasil riset NASA atau LAPAN, akan tetapi istiqra' terhadap dalil-dalil yang ada. 

Allah ta'ala berfirman :

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ 

"Kursi Allah meliputi langit dan bumi." 
[QS. Al-Baqarah : 255]

Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة

"Tidaklah langit yang tujuh dibandingkan kursi melainkan hanya seperti sebuah cincin di padang pasir yang luas. Dan besarnya 'arsy dibandingkan kursi seperti besarnya padang pasir tersebut terhadap cincin." 
[Silsilah Ash-Shahiihah no. 109]

Nabi shallalaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian."

'Aliy Al-Qaariy rahimahullah mengatakan : "Dinisbatkannya kepada langit karena ia lebih luas dan lebih besar daripada bumi, atau dikarenakan ketinggiannya...." 
[http://bit.ly/3cjyAQ3]

Ketika Allah ta'ala berfirman :

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?" 
[QS. Al-Mulk : 16]

langit - yang Allah ta'ala berada di atasnya - tentu lebih besar daripada bumi.

Lalu,...... 

Allah mengisi langit dengan bintang-bintang yang jumlahnya sangat banyak sebagaimana firman-Nya :

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ 

"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang." 
[QS. Al-Mulk : 5]

Jika kita menggunakan teropong, maka bintang yang terlihat akan semakin banyak. Bukan hanya bintang yang ada di langit, akan tetapi juga matahari, bulan, asteroid, planet, komet, dan yang lainnya.

Lantas, bagaimana proses terjadinya kiamat dimana bintang dan matahari ke bumi yang 'kecil' ?. Bagaimana bidang permukaan bumi yang kecil bisa menjadi wadah tampungan semua benda langit yang berjatuhan ?. Wallaahu a'lam, saya tidak tahu. Yang jelas, kiamat adalah peristiwa yang sangat dahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tak bisa disamakan (persis) dengan apapun yang terjadi sekarang.

Kita tidak diperintahkan untuk menalar secara scientific setiap yang dikabarkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Terbelahnya bulan tak bisa dinalar dengan sains. Tanda-tanda menjelang kiamat tentang datangnya Dajjaal yang dapat menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menghidupkan orang mati; tak bisa dinalar oleh sains. Ya'juj dan Ma'juj yang populasinya amat sangat banyak, dimanakah sekarang ? Tak usah berspekulasi dengan teori ini itu sembunyi/terkurung di gunung anu dan anu (yang sebenarnya kalau jujur, nggak logis juga, karena dipaksakan). Tak seperti sebagian Flatters, semua dalil harus masuk logika akal mereka.

والله أعلم



Bertakbir Saat Jalanan Naik dan Bertasbih Saat Jalanan Menurun

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yuusuf; Telah bercerita kepada kami Sufyaan dari Hushain bin 'Abdur Rahman dari Saalim bin Abu Al Ja'di dari Jaabir bin 'Abdullah radhiallahu 'anhuma berkata : 

"Apabila kami berjalan mendaki (naik), kami bertakbir dan apabila menuruni jalan kami bertasbih".
[HR. Bukhari no. 2993]

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّ عَلِيًّا الْأَزَدِيَّ أَخْبَرَهُ
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ عَلَّمَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بِعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ
{ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ }
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا اللَّهُمَّ اطْوِ لَنَا الْبُعْدَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ وَالْمَالِ وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا فَوُضِعَتْ الصَّلَاةُ عَلَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin 'Aliy; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij; Telah mengabarkan kepadaku Abu Az Zubair; Bahwa 'Aliy Al Azdi telah mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu 'Umar telah memberitahukan kepadanya,

"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah berada di atas untanya keluar untuk melakukan safar, beliau bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan : 

SUBHAANALLADZII SAKHKHARA LANAA HAADZAA WA MAA KUNNAA LAHUU MUQRINIIN, WA INNAA ILAA RABBINAA LAMUNQALIBUUN. ALLAAHUMMA HAWWIN 'ALAINAA SAFARANAA HAADZAA, ALLAAHUMMATHWI LANAL BU'DA. ALLAAHUMMA ANTASH SHAAHIBU FIS SAFARI WAL KHALIIATU FIL AHLI WAL MAALI 
(Maha Suci Dzat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan kepada Tuhan kami niscaya kami akan kembali. Ya Allah, permudahlah bagi kami perjananan ini, dan dekatkanlah jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah Teman diperjalanan dan pengganti berada diantara keluarga serta harta kami). 

Dan apabila kembali beliau mengucapkan hal tersebut ditambah: 
AAYIBUUNA, TAAIBUUNA 'AABIDUUNA LIRABBINAA HAAMIDUUN 
(Kami kembali, kami bertaubat, kami menyembah, dan kepada Tuhan kami, kami memuji). 

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta para pasukannya apabila menaiki tempat yang tinggi mereka bertakbir dan apabila turun mereka bertasbih, kemudian shalat ditetapkan seperti itu."
[HR. Abu Dawud no. 2599]

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكِنْدِيُّ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُسَافِرَ فَأَوْصِنِي قَالَ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالتَّكْبِيرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى الرَّجُلُ قَالَ اللَّهُمَّ اطْوِ لَهُ الْأَرْضَ وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَرَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Telah menceritakan kepada kami Muusa bin 'Abdurrahman Al Kindiy Al Kuufiy; Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab; Telah mengabarkan kepadaku Usaamah bin Zaid dari Sa'iid Al Maqburiy dari Abu Hurairah radgiallahu 'anhu bahwa seseorang berkata :

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin bersafar, maka berilah aku wasiat. Beliau berkata: "Hendaknya engkau bertakwa kepada kepada Allah, dan bertakbir pada tempat tinggi (tanjakan)." 

Kemudian tatkala orang tersebut telah berpaling beliau mengatakan: 
"ALLOOHUMMA ATHWI LAHUL ARDHO WAHAWWIN 'ALAIHIS SAFARO" 
Ya Allah, dekatkanlah jarak bumi, dan ringankanlah perjalanannya." 

Abu 'Iisa berkata; hadits ini adalah hadits hasan.
[HR. At Tirmidzi no. 3445]

Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika melewati jalanan yang menanjak dan bertasbih ketika melewati jalanan yang menurun, apakah ucapan tasbih dan takbir ini dikhususkan ketika safar? Ataukah bertakbir dan bertasbih ini juga dilakukan ketika -misalnya- di rumah (tidak dalam keadaan safar, pent) saat menaiki lantai kedua dan ketiga ? 

Beliau rahimahullah menjawab : 

"Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam safarnya, ketika melewati jalanan yang menanjak, beliau bertakbir, dan ketika melewati jalanan yang menurun, beliau bertasbih. Yang demikian itu karena seseorang yang berada di ketinggian (berada di atas sesuatu) terkadang merasa dirinya lebih dan melihat dirinya besar, oleh karena itulah sangat tepat bagi dia untuk bertakbir (membesarkan nama) Allah ‘azza wajalla. Dan adapun ketika melewati jalanan yang menurun, tentunya ketika itu dia berada pada posisi yang rendah, maka sangat tepat baginya untuk bertasbih (mensucikan) Allah ‘azza wajalla dari sifat kerendahan. Inilah bentuk keterkaitan antara ucapan tasbih dan takbir dengan keadaan-keadaan tersebut.

Dan di dalam As-Sunnah, tidak disebutkan bahwa amalan-amalan tersebut (bertakbir dan bertasbih, pent) juga dilakukan ketika tidak safar, segala bentuk ibadah itu sifatnya tauqifiyyah (tetap/paten), cukup ditunaikan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam dalil-dalil (baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah).
Oleh karena itulah, seseorang yang naik ke lantai atas di rumahnya, dia tidak perlu bertakbir, dan ketika turun darinya, juga tidak perlu bertasbih. Amaliyah seperti itu khusus dilakukan ketika safar."
[Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, 102 A]

Baarakallahu fiiykum