Minggu, 12 November 2023

Hukum Mengirim Pahala kepada Mayit

Permasalahan tentang sampainya pahala yang dilakukan orang yang masih hidup kepada mayit telah menjadi satu bahasan yang mu’tabar sejak berabad-abad silam. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa mereka (para ulama) sepakat akan sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit sebatas yang disebutkan secara khusus oleh dalil. Yang menjadi khilaf di antara mereka adalah amal-amal selain yang disebutkan khusus oleh dalil. Apakah amal-amal tersebut bisa diqiyaskan secara mutlak atau tidak sehingga memberikan konsekuensi sampainya pahala kepada si mayit ? Sebagian ulama berpendapat bisa diqiyaskan, sebagian lain berpendapat tidak bisa diqiyaskan. Dari sinilah kemudian khilaf muncul. Adapun khilaf tersebut bisa diterangkan sebagai berikut :

1. Bahwasannya setiap amal ibadah yang dilakukan oleh manusia yang diperuntukkan pahalanya kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia adalah boleh secara mutlak dan pahalanya akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal tersebut. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebagian shahabat Imam Asy-Syafi’i. Ada yang menyebutkan bahwa ini merupakan pendapat jumhur[1].

2. Bahwasannya tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan (untuk) memberikan amalan/pahala kepada mayit, yaitu doa, shadaqah, haji, dan ’umrah. Adapun di luar hal tersebut, maka tidak disyari’atkan dan amalan/pahala yang diniatkan oleh orang yang masih hidup tidak akan sampai pada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.[2]

Dalil yang Dipergunakan oleh Kelompok Pertama

1. Hadits ’Aisyah radhiyallaahu ’anhaa bahwasannya ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata :

يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

”Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya kira, jika ia sempat berbicara niscaya ia akan bershadaqah. Adakah baginya pahala jika saya bershadaqah untuknya ?”. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Ya” 
[HR. Bukhari no. 1322 dan Muslim no. 1004]

2. Hadits ’Aisyah radhiyallaahu ’anhaa bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda :

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya.” 
[HR. Bukhari no. 1851, Muslim no. 1147, Abu Dawud no. 2400, dan yang lainnya]

3. Hadits Abu Qatadah radhiyallaahu ‘anhu dimana ia pernah menanggung (melunasi) utang sebesar dua dinar dari si mayit yang kemudian dengan itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الآن حين بردت عليه جلده

“Sekarang, menjadi dinginlah kulitnya.” 
[HR. Al-Hakim 2/74 bersama At-Tattabu’ no. 2401. Ia berkata : “Isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim]

4. Dan lain-lain.

Dalil-dalil di atas dan yang semisal diqiyaskan secara mutlak terhadap amal-amal lain yang dengan itu dapat bermanfaat bagi si mayit. Contoh dalam hal ini adalah kirim pahala amalan dzikir dan bacaan Al-Qur’an.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang pembacaan Al-Qur’an dan beberapa dzikir yang dilakukan oleh ahli mayit yang kemudian dihadiahkan kepada si mayit, maka beliau menjawab :

يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه‏.‏ والله أعلم‏.‏

”Sampai kepada mayit (pahala) bacaan-bacaan dari keluarganya dan tasbih-tasbihnya, takbir-takbirnya, serta dzikirnya kepada Allah ta’ala; apabila ia berniat untuk menghadiahkan pahalanya (kepada si mayit), maka sampai kepadanya. Wallaahu a’lam.” 
[Majmu’ Al-Fataawaa, 24/324]

Dalil-Dalil yang Dipakai oleh Kelompok Kedua

Pada dasarnya dalil yang dipakai oleh kelompok pertama dipakai pula oleh kelompok kedua. Namun, kelompok kedua ini hanya mengkhususkan amalan-amalan yang sampai adalah sebatas yang disebutkan oleh dalil saja. Tidak diqiyaskan kepada yang lain. Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat tersebut antara lain :

1. Firman Allah ta’ala :

وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى

“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya.” 
[QS. An-Najm : 39]

Ayat ini mengandung pengertian : ”Dan tidaklah seseorang yang berbuat itu dibalas melainkan dari perbuatannya itu sendiri”.

2. Hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya.” 
[HR. Muslim no. 1631]

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Umm :

يَلْحَقُ الْمَيِّتَ من فِعْلِ غَيْرِهِ وَعَمَلِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى عنه وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عنه أو يُقْضَى وَدُعَاءٌ فَأَمَّا ما سِوَى ذلك من صَلَاةٍ أو صِيَامٍ فَهُوَ لِفَاعِلِهِ دُونَ الْمَيِّتِ

"Sampai kepada mayit dari perbuatan dan amalan orang lain tiga perkara, (1) haji yang dikerjakan atas nama sang mayit (2) harta yang disedekahkan atas namanya atau yang dibayarkan atasnya dan (3) doa. Adapun selain hal ini seperti shalat atau puasa maka untuk pelakunya bukan untuk mayit.

وَإِنَّمَا قُلْنَا بهذا دُونَ ما سِوَاهُ اسْتِدْلَالًا بِالسُّنَّةِ في الْحَجِّ خَاصَّةً وَالْعُمْرَةُ مِثْلُهُ قِيَاسًا وَذَلِكَ الْوَاجِبُ دُونَ التَّطَوُّعِ وَلَا يَحُجَّ أَحَدٌ عن أَحَدٍ تَطَوُّعًا لِأَنَّهُ عَمَلٌ على الْبَدَنِ فَأَمَّا الْمَالُ فإن الرَّجُلَ يَجِبُ عليه فِيمَا له الْحَقُّ من الزَّكَاةِ وَغَيْرِهَا فَيُجْزِيه أَنْ يُؤَدِّي عنه بِأَمْرِهِ لِأَنَّهُ إنَّمَا أُرِيدَ بِالْفَرْضِ فيه تَأْدِيَتُهُ إلَى أَهْلِهِ لَا عَمَلٌ على الْبَدَنِ فإذا عَمِلَ امْرُؤٌ عَنِّي على ما فُرِضَ في مَالِي فَقَدْ أَدَّى الْفَرْضَ عَنِّي

Dan kami hanyalah berpendapat demikian bukan yang lainnya karena berdalil dengan sunnah khusus tentang permasalahan haji, dan umrah diqiyaskan seperti haji. Inipun haji yang wajib bukan yang tathawwu' (sunnah), seseorang tidak menghajikan orang lain haji sunnah karena itu merupakan amalan atas badan.

Adapun harta, maka seseorang wajib atasnya perkara-perkara yang ada haknya seperti zakat dan yang lainnya, maka sudah sah baginya jika orang lain yang menunaikan hak tersebut atasnya, karena tujuan dari pewajibannya adalah penunaian hak tersebut kepada pemilik hak, bukan amalan atas badan. Maka jika seseorang menunaikan atasku kewajiban yang ada pada hartaku maka ia telah menunaikan kewajiban atasku.

وَأَمَّا الدُّعَاءُ فإن اللَّهَ عز وجل نَدَبَ الْعِبَادَ إلَيْهِ وَأَمَرَ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم بِهِ فإذا جَازَ أَنْ يُدْعَى لِلْأَخِ حَيًّا جَازَ أَنْ يُدْعَى له مَيِّتًا وَلَحِقَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بركة ذلك مع أَنَّ اللَّهَ عز ذِكْرُهُ وَاسِعٌ لَأَنْ يُوَفِّي الْحَيَّ أَجْرَهُ وَيُدْخِلَ على الْمَيِّتِ مَنْفَعَتَهُ وَكَذَلِكَ كُلَّمَا تَطَوَّعَ رَجُلٌ عن رَجُلٍ صَدَقَةَ تَطَوُّعٍ

Adapun doa maka Allah telah memotivasi para hamba untuk berdoa, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkannya. Maka jika boleh untuk mendoakan seseorang yang masih hidup maka boleh pula mendoakannya setelah meninggal, dan akan sampai insya Allah kepadanya keberkahan doa tersebut apalagi Allah maha luas (karuniaNya), karena Allah memenuhi pahala orang yang hidup dan memasukkan manfaatnya kepada mayit. Demikian pula setiap kali seseorang bersedekah tathawwu' (sunnah) atas nama orang lain."
[Al-Umm, 4/120]

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت........ ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” 
[Syarh Shahih Muslim, 1/90]

Imam An-Nawawi rahimahullah kembali menegaskan :

وأما قراءة القرآن وجعل ثوابها للميت والصلاة عنه ونحوهما فمذهب الشافعي والجمهور أنها لا تلحق الميت

“Adapun membaca Al-Qur’an dan menjadikan pahalanya untuk mayit, shalat atas mayit dan juga yang semisal keduanya maka madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwasanya hal-hal tersebut tidak akan sampai kepada mayit.” 
[Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/58]

Imam Al-Haitami rahimahullah berkata :

الميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المقدمون من أن القراءة لا تصله أي الميت لأن ثوابها للقارء. والثواب المرتب على عمل لا ينقل عن عامل ذلك العمل. قال اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى.

“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama’ mutaqaddimiin (terdahulu); bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak bisa dipindahkan dari ’aamil (orang yang mengamalkan) perbuatan tersebut, berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39)." 
[Lihat Al-Fatawaa Al-Kubraa Al-Fiqhiyyah, 2/9]

Al-Allamah Al-'Izz bin 'Abdis Salam Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 660 H) berkata :

ثواب القراءة مقصور على القاريء ولا يصل إلى غيره لقوله تعالى (وأن ليس للانسان الا ما سعى) وقوله (لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت) وقوله (ان أحسنتم أحسنتم لأنفسكم) وقوله عليه السلام (من قرأ القرآن وأعربه فله بكل حرف عشر حسنات) فجعل أجر الحروف وأجر الاكتساب لفاعلها. فمن جعلها لغيرها فقد خالف ظاهر الاية والحديث بغير دليل شرعي..الخ

“Pahala membaca Al-Quran hanya terbatas pada si pembaca saja tidak bisa sampai kepada orang lain karena firman-Nya “Dan bahwasanya manusia itu tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakanya” (QS. An-Najm : 39) dan firman-Nya “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. Al-Baqarah : 286) dan juga firman-Nya “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,” (QS. Al-Isra’ : 7) dan juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam “Barangsiapa membaca Al-Quran dan meng-I’rabkannya, maka dia akan mendapatkan pahala setiap huruf 10 kebaikan.” Maka Allah menjadikan pahala huruf dan pahala perbuatan kepada pelakunya. Barangsiapa menjadikan pahala tersebut untuk orang lain, maka ia telah menyelisihi zhahir ayat dan hadits tanpa dalil syar’i.” 
[Kitabul Fatawa lil Izz bin Abdis Salam, 96]

Al-Hafizh Ibnu Katsiir rahimahullah dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata :

أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم, ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والاَراء

”Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash (yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.” 
[Lihat Tafsir Al-Qur’aanil-’Azhiim li-Bni Katsiir, 7/465]

Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah (w. 911 H) berkata :

استدل به على عدم دخول النيابة في العبادات عن الحي والميت، واستدل به الشافعي على أن ثواب القراءة لا يلحق الميت.

“Ayat di atas dijadikan dalil tentang (hukum asal, pen) tidak berlakunya ‘An-Niyaabah’ (menggantikan atau mewakilkan atau membadalkan) perkara ibadah dari orang mati dan orang hidup. Dan Asy-Syafi’i berdalil dengan ayat di atas bahwa pahala membaca Al-Quran tidak akan sampai kepada mayit.” 
[Al-Iklil fi Istimbathit Tanzil, 251]

Imam Ibrahim bin 'Ali Asy-Syairaziy rahimahullah (w. 476 H) berkata :

وأما ما سوى ذلك من القرب كقراءة القرآن وغيرها فلا يلحق الميت ثوابها

"Adapun selain hal tersebut berupa ibadah pendekatan diri, seperti Al Qur’an dan selainnya, maka mayit tidak diikutkan pahalanya."
[Al-Muhadzdzab, 2/388, Darul Kitaabil Ilmiyah]

Al-Imam Ibnu Sayyidin Nas Al-Ya’mari rahimahullah (w. 734 H) berkata :

وأما وصول ثواب القراءة للميت على قبره من نقل ثواب القاريء له فقد اختلف العلماء في ذلك؛ فمنهم من ذهب إليه، والأكثر على خلافه وكان الشيخ الإِمام عز الدين بن عبد السلام رحمه الله تعالى ممن يأبى ذلك

“Adapun sampainya pahala membaca Al-Quran kepada mayit di kuburannya dari memindahkan pahala pembaca kepada mayit, maka para ulama memperselisihkannya. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa pahalanya bisa sampai, tetapi mayoritas ulama menyatakan tidak sampai. Dan Asy-Syaikh Al-'Izz bin 'Abdis Salam rahimahullah termasuk orang yang menyatakan tidak sampai….” 
[An-Nafhusy Syadzi 'ala Jami’ At-Tirmidzi, 2/193]

Imam Al Khattabi Al Maliki rahimahullah berkata : 

ولا ‌قراءة فيها بفاتحة ولا بغيرها. ابن ناجي: ظاهر المذهب الكراهة، عبد الحق: لأن ‌الميت لا ينتفع بالقراءة، فلا معنى للقراءة عليه

"Tidak ada bacaan untuk mayit baik berupa Fatihah atau lainnya. Berkata Ibnu Najih Al Maliki : ‘Yang kuat dalam pendapat madzhab Maliki hal ini dibenci.’ Berkata 'Abdul Haq Al Maliki : ‘Karena bacaan Al Qur’an tidak akan bermanfaat untuk mayit, dan tidak ada artinya membaca Qur’an untuknya.”
[Lawami’ Durur, 3/56]

Al-Allamah Syamsuddin Al-Hathab Ar-Ru’aini Al-Maliki rahimahullah (w. 954 H) berkata :

والمشهور من مذهب إمامنا الشافعي وشيخه مالك والأكثرين كما قاله النووي في فتاويه وفي شرح مسلم أنه لا يصل ثواب القراءة للميت

“Pendapat yang terkenal dari madzhab imam kami Asy-Syafi’i dan gurunya, Malik dan kebanyakan ulama sebagaimana ucapan An-Nawawi dalam Fatawanya dan Syarh Shahih Muslim bahwa pahala bacaan Al-Quran tidak akan sampai kepada mayit.” 
[Mawahibul Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, 3/521]

Imam Al-Buhuti rahimahullah berkata :

وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله

"Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan Al-Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal."
[Kasyaf Al-Qana’, 2/147]

Tarjih

Melihat keseluruhan dalil yang disebutkan (baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis dalam artikel ini), maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan tidak sampainya pahala yang dilakukan oleh orang yang masih hidup kepada si mayit kecuali yang disebutkan secara khusus oleh dalil. QS. An-Najm ayat 39 merupakan nash yang sangat tegas bahwa seseorang itu hanyalah akan mendapat balasan (baik pahala ataupun siksa) dari apa yang ia perbuat sendiri. Hadits Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu juga menjelaskan bahwa setelah seseorang itu meninggal, maka terputuslah segala amal yang dapat bermanfaat baginya. Adapun beberapa dalil yang menjelaskan tentang sampainya amal dan pahala – yang sama-sama disebutkan oleh kelompok pertama maupun kedua – merupakan kasus-kasus tertentu sebagai pengkhususan (takhshish) atas keumuman ayat. Oleh karena itu, tidak bisa ia diqiyaskan dengan kasus-kasus (amal-amal) lain secara mutlak. Apalagi telah shahih perkataan Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma yang menguatkan tarjih ini :

لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من حنطة

”Seseorang tidak boleh shalat untuk menggantikan shalat orang lain, dan tidak pula puasa untuk menggantikan puasa orang lain. Akan tetapi memberikan makanan darinya setiap hari sebanyak satu mud biji gandum.” 
[HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 2918 dan Ath-Thahawi dalam Musykilul-Aatsaar 3/141]

Pemahamannya adalah, kita tidak diperkenankan untuk melakukan shalat (baik shalat wajib atau sunnah) bagi orang lain (baik yang masih hidup, apalagi yang telah meninggal). Begitu pula dengan amalan puasa[3].

Selain itu alasan yang menjadi latar belakang tarjih ini adalah :

a. Prinsip dasar dalam ibadah yaitu tawaquf (diam) sampai terdapat dalil yang menunjukkan disyari’atkannya. Sedangkan di sini hanya terdapat dalil yang menunjukkan pensyariatan sebagian saja, sehingga diharuskan meninggalkan selain itu.

b. Tidak pernah terdengar pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan juga masa para shahabatnya bahwa ada seseorang yang membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada si mayit. Kalaupun itu merupakan kebaikan, pastilah mereka telah mendahului kita untuk mengerjakannya, karena mereka adalah orang yang paling mengetahui agama Allah dan Rasul-Nya.

c. Pemberlakuan qiyas terhadap ibadah-ibadah yang diterangkan oleh dalil dapat membukakan pintu buat ahli bid’ah untuk memasukkan apa saja yang mereka sukai ke dalam agama Allah.

d. Bahwa para ahli bid’ah di masa sekarang telah mengada-adakan hal-hal yang bathil, seperti mengupah para qaari’ untuk membaca Al-Qur’an dan sebagainya, yang seringkali dilakukan terhadap jenazah beberapa waktu setelah kematiannya. Oleh karena itu, menutup pintu ini berarti tidak memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat sesukanya.

e. Kebanyakan manusia pada masa sekarang (kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah) telah melupakan ibadah-ibadah yang disyariatkan, yang terdapat dalil shahih tentang bolehnya menghadiahkan pahala kepada mayit; sebaliknya, mereka berpegang kepada apa-apa yang tidak terdapat dalil padanya.

Semoga tulisan ringkas ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. Aamiin.

Wallaahu a’lam bish-shawwab

Catatan kaki :

[1] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/522 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafi (tahqiq At-Turki dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.

[2] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab oleh An-Nawawi 15/521 dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafi (tahqiq At-Turki dan takhrij Al-Arna’uth) hal. 664.

[3] Hadits : ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” ; terdapat perbedaan pendapat mengenai jenis puasa yang dimaksud. Apakah ia merupakan jenis puasa Ramadhan, puasa qadha’, puasa nadzar, atau puasa yang lainnya ? Yang rajih, puasa yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah puasa nadzar. Penunjukan tersebut dijelaskan dalam hadits yang lain :

عن بن عباس : أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا فنجاها الله فلم تصم حتى ماتت فجاءت ابنتها أو أختها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها أن تصوم عنها

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma : 
“Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika Allah menyelamatkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya.” 
[HR. Abu Dawud no. 3308]

Kamis, 03 Agustus 2023

AQIQAH SETELAH DEWASA, ADAKAH ?

Oleh : Ustadz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Tidak ada aqiqah setelah baligh. Aqiqah disyariatkan hanya untuk bayi, bukan untuk yang sudah baligh atau dewasa.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ الْفَرَّاءُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْعَقِيقَةِ فَقَالَ لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ وَمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Telah menceritakan kepada kami Waqii'; Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Qais Al Farraa`, dari 'Amru bin Syu'aib, dari Bapaknya, dari Kakeknya, dia berkata :

"Rasulullah ﷺ ditanya tentang Aqiqah, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa mendapatkan kelahiran anak bayi dan ingin menyembelih (mengaqiqahi) atas anak tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor kambing yang pantas untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan."
(HR. Ahmad no. 6530)

Ketika Rasulullah ﷺ menganjurkan Aqiqah dalam hadits di atas, beliau menyebut Aqiqah itu adalah untuk walad (anak) dengan ketentuan anak lelaki (ghulam) dua kambing sementara anak wanita (jariyah) adalah satu kambing. Penyebutan istilah ghulam dan jariyah adalah istilah untuk menyebut anak yang belum baligh.

Aqiqah disyariatkan pada hari ketujuh.

حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsannaa; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adiy, dari Sa'iid, dari Qataadah, dari Al Hasan, dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama."
(HR. Abu Dawud no. 2838)

Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berpendapat Aqiqah bisa dilaksanakan sampai maksimal hari ke 21. Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah meriwayatkan dalam musnadnya (3/692) :

أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين

Dari Ummu Karz beliau berkata :
"Seorang wanita dari keluarga 'Abdurrahman bin Abu Bakar berkata; "jika istri 'Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka 'Aisyah berkata; 'tidak', tetapi sunnahnya adalah untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan disedekahkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14, jika tidak maka hari ke-21.″

Seandainya Aqiqah setelah dewasa disyariatkan maka tidak ada gunanya memberikan batasan hari ketujuh, atau maksimal hari ke-21 dalam ijtihad Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha. Seharusnya pula ada riwayat shahih yang lugas menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh. Masalahnya, tidak ada satupun Nash shahih yang menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, sehingga bisa dikatakan tidak ada kesunnahan melakukan Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada anjuran mengaqiqahi diri sendiri.

Adapun riwayat Al-Bazzar dalam musnadnya (2/345) yang menyebutkan bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu riwayat yang berbunyi :

Dari Anas radhiyallahu'anhu berkata :

أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث
نبيا.

"Bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi."

Riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah karena ada perawi yang bernama 'Abdullah bin Al-Muharrar. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). Imam An-Nawawi mengatakan; Hadits ini bathil. Al-Baihaqi menilainya Munkar.

Adapun pendapat yang menshahihkan hadits ini dengan memakai riwayat Ath-Thabarani atau yang semisal dengannya.

حدثنا أحمد قال حدثنا الهيثم قال حدثنا عبد الله عن ثمامة عن أنس : أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad, beliau berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Haitsam, beliau berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah, dari Tsumaamah, dari Anas radhiyallahu'anhu,

"Bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi Nabi."
(Al-Mu’jam Al-Ausath, 1/298)

Maka penilaian shahih itu tidak dapat diterima berdasarkan sejumlah argumen :

Pertama

Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Al-Haitsam. Al-Haitsam yang dimaksud dalam sanad ini adalah Abu Sahl Al-Haitsam bin Jamil Al-Baghdadi. Perawi ini, meskipun dikatagorikan sebagai perawi adil, namun sejumlah ulama dan kritikus hadits mengkritiknya dari sisi kedhabitannya. Ibnu 'Adiy mensifatinya sebagai berikut :

ليس بالحافظ يغلط على الثقات وارجو انه لا يتعمد الكذب

“Bukan Haafizh, melakukan kekeliruan terhadap para perawi tsiqat, dan aku berharap dia tidak sengaja berdusta.”
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 11, hlm. 81)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengutip penilaian Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy sebagai berikut :

وقال أبو نعيم الاصبهاني أنه…متروك

“Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy berkata bahwa dia itu Matruk -ditinggalkan-."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 11, hlm. 81)

Imam Adz-Dzahabi mengatakan :

الهيثم بن جميل حافظ له مناكير وغرائب

“Al-Haitsam bin Jamil: Haafizh, meriwayatkan sejumlah hadits Munkar dan Gharib.”
(Al-Mughni fi Adh-Dhu’afa, vol. 2, hlm. 716)

Dari penilaian para kritikus hadits di atas, bisa dipahami bahwa problem Al-Haitsam bin Jamil bukanlah dari sisi keadilannya, namun dari sisi kedhabitannya; yang disifati Ibnu ‘Adiy melakukan kekeliruan periwayatan dari para perawi Tsiqat dan disifati Adz-Dzahabi meriwayatkan sejumlah hadits Gharib dan hadits-hadits yang bertentangan dengan perawi yang lebih Tsiqah. Perawi dengan kualifikasi seperti ini sulit untuk dijamin keamanannya dari sisi kemungkinan kekeliruan menisbatkan, membalik, menukar, menambahi, mengurangi, dan semua cacat-cacat yang terkait dengan persoalan hafalan.

Imam Bukhari memilih tidak memasukkannya dalam Shahihnya, dan hanya memakainya dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrad dan itupun oleh Syaikh Al-Albani riwayatnya dari Muhammad bin Muslim dari Ibnu Abi Husain tentang doa istighfar didhaifkan. Imam Ahmad, meskipun memberikan statemen positif terhadap Al-Haitsam, namun terkait riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar yang meriwayatkan hadits bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi, Imam Ahmad menilainya sebagai hadits Munkar. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Imam Ahmad menerima riwayat Al-Haitsam terkait hadits ini. Seandainya beliau memang menerima riwayat Al-Haitsam, seharusnya riwayat Al-Haitsam dijadikan penguat riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar sehingga statusnya bisa naik menjadi hadits Hasan atau Shahih, bukan Munkar.

Diamnya Imam Ahmad terhadap riwayat Al-Haitsam tidak bisa ditafsiri bahwa beliau menerimanya, namun justru lebih dekat jika ditafsiri bahwa beliau menolaknya karena beliau tidak menjadikannya sebagai Syahid (penguat).

Kedua

Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama 'Abdullah. 'Abdullah di sini yang dimaksud adalah 'Abdullah bin Al-Mutsanna bin 'Abdillah bin Anas bin Malik. Perawi ini level kedhabitannya lebih perlu mendapat catatan daripada sebelumnya. Burhanuddin Abu Al-Wafa Al-Halabiy dalam kitabnya Al-Ighthibath menukil penilaian Abu Dawud :

محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري قال أبو داود تغير تغيرا شديدا

“Muhammad bin 'Abdillah bin Al-Mutsanna Al-Anshaariy, Abu Dawud mengomentarinya: berubah (hafalannya) secara drastis.”
(Al-Ighthibath Biman Rumiya min Ar-Ruwat bi Al-Ikhthilath, hlm. 326)

Dalam kitab Ikmal Tahdzib Al-Kamal dinukil penilaian Abu Salamah :

وفي كتاب أبي الفرج البغدادي قال أبو سلمة: كان ضعيفا في الحديث

“Dalam Kitab Abu Al-Faraj Al-Baghdadi: Abu Salamah berkata: Beliau itu Dhaif dalam hadits."
(Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol. 8, hlm. 163)

Dalam kitab tersebut juga dinukil ucapan Al-'Uqailiy :

وفي كتاب العقيلي: لا يتابع على أكثر حديثه، وقال أبو سلمة: ضعيف منكر الحديث

“Dalam kitab Al ’Uqailiy: mayoritas haditsnya tidak disertai Mutaba’at. Abu Salamah berkata: Dha'if, Munkarul hadits.”
(Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol. 8, hlm. 163)

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan An-Nasa'i :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال النسائي ليس بالقوي

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….An-Nasa’I menilai: Tidak kuat.”
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga ucapan Ibnu Hibban :

ابن المثنى بن عبدالله …وذكره ابن حبان في الثقات وقال ربما اخطأ

"Ibnu Al-Mutsanna bin -Abdillah….Ibnu Hibban menyebutkannya dalam barisan perawi Tsiqat dan menilainya: kadang-kadang melakukan kesalahan."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga sikap Abu Dawud :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال الآجري عن أبي داود لا أخرج حديثه

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….Al Ajurriy meriwayatkan Abu Dawud mengatakan; Saya tidak meriwayatkan haditsnya."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga riwayat lain tentang ucapan Ibnu Ma’in :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال ابن أبي خيثمة عن ابن معين ليس بشئ

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang menilainya: Bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan-."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga ucapan As-Sajiy :

ابن المثنى بن عبدالله …
وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من اهل الحديث روى مناكير وبنحوه قال الازدي

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….As-Saajiy berkata: beliau memiliki kelemahan, bukan termasuk ahli hadits, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Azdiy berpendapat senada."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Dari keterangan para kritikus hadits di atas, bisa dipahami bahwa problem 'Abdullah bin Al-Mutsanna juga terkait dengan kedhabitan. Beliau dihitung lemah dari sisi kedhabitan, meriwayatkan sejumlah hadits-hadits Munkar, mayoritas haditsnya tidak dikuatkan dengan Mutabi’at dan bahkan dikatakan As-Sajiy bukan ahli hadits. Perawi yang dijelaskan sebab kelemahannya lebih layak dinilai lemah daripada yang mentsiqahkannya.

Ketiga

Sejumlah ahli hadits menegaskan bahwa 'Abdullah bin Al-Muharrar bertafarrud (bersendirian) dalam meriwayatkan hadits beraqiqahnya Rasulullah ﷺ setelah diutus menjadi Nabi. Al Bazzar mengatakan :

وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره

"Dua hadits 'Abdullah bin Al-Muharrar ini, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qataadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya hadits yang tidak ada pada selainnya."
(Musnad Al-Bazzar, 2/345)

Ibnu Al-Qaisaraniy memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits-hadits Gharib pada kitabnya Athraf Al-Gharaib wa Al-Afrad. Beliau juga menukil ucapan Syu’bah :

قال أبو قتادة هذا أفادناه شعبة عن هذا الشيخ يعني عبد الله عن قتادة وقال: ليس يروي هذا الحديث غيره

"Abu Qataadah berkata: Ini adalah apa yang dinyatakan oleh Syu’bah tentang Syaikh ini, yakni Abdullah (bin Al Muharrar) dari Qataadah. Beliau mengatakan; tidak ada yang meriwayatkan hadits ini selain dia."
(Athraf Al-Gharaib wa Al-Afrad, vol. 2, hlm. 159)

Al-Baihaqi telah menegaskan bahwa tidak ada jalur selain jalur 'Abdullah bin Al Muharrar dari Qatadah dari Anas yang bisa dijadikan Hujjah. Artinya jalur Al-Haitsam bin Jamil juga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Al-Baihaqi berkata :

وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ

“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qataadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan-."
(As-Sunan Al-Kubra, 9/300)

Di antara qarinah-qarinah lain yang menunjukkan kelemahan hadits beraqiqah setelah baligh adalah :

Pertama

Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berfatwa bahwa waktu Aqiqah maksimal adalah hari ke-21, bukan tanpa batasan. Seandainya memang ada syariat Aqiqah setelah baligh, seharusnya tidak ada batasan waktu maksimal Aqiqah. Adalah suatu hal yang sulit diterima jika Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha tidak tahu Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri padahal beliau tinggal serumah dengan Rasulullah ﷺ dalam waktu yang lama dan bergaul rapat dengan Nabi. Dan juga merupakan hal yang sulit diterima jika Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Nabi.

Kedua

Tidak ada riwayat Shahabat mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa tua, padahal mereka adalah kaum yang sangat haus dan bersemangat menjalankan Sunnah. Tidak ada riwayat Abu Bakar, tidak pula 'Umar, tidak pula 'Utsman dan tidak pula 'Ali. Hal ini menjadi hal yang aneh mengingat Aqiqah hukumnya sunnah Muakkadah, dan sebagian ulama malah memandangnya sebagai kewajiban.

Ketiga

Riwayat Aqiqah setelah dewasa bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat bahwa Aqiqah disyariatkan untuk bayi pada hari ketujuh, bukan untuk orang dewasa.

Sejumlah ulama hadits telah melemahkan riwayat bahwa Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Diantaranya adalah Al-Bazzar dan Al Baihaqi rahimahumullah.

Termasuk pula Ibnu Al-Qaisaraniy :

إن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعثه الله : فيه عبد الله بن محرر هو متروك الحديث

"Hadits; Sesungguhnya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus Allah, di dalamnya terdapat 'Abdullah bin Al-Muharrar dan dia Matrukul Hadits."
(Ma’rifah At-Tadzkirah, hlm. 115)

Termasuk pula Imam An-Nawawi, bahkan beliau menilainya sebagai hadits bathil :

وأما) الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل

"Adapun hadits yang disebutkan terkait Nabi ﷺ yang mengaqiqahi dirinya sendiri, maka Al-Baihaqiy meriwayatkannya dari 'Abdullah bin Al-Muharrar –dengan huruf Ha’ dan Ra’ yang diulang- dari Qataadah dari Anas yang lafazhnya: bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi Nabi”. Dan ini adalah Hadis Bathil."
(Al Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, vol. 8, hlm. 431)

Termasuk pula Ibnu Al-Mulaqqin :

البدر المنير في تخريج الأحاديث والأثار الواقعة في الشرح الكبير (9/ 339)
رُوِيَ «أنَّه – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – [ عق ] عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» .
هَذَا الحَدِيث رَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ فِي «سنَنه» من حَدِيث عبد الله بن مُحَرر – بالراء الْمُهْملَة المكررة فِي آخِره – عَن قَتَادَة ، عَن أنس «أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – عق عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» . وَهُوَ حَدِيث ضَعِيف بِمرَّة

"Diriwayatkan bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi. Hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqiy dalam Sunannya dari hadits 'Abdullah bin Al-Muharrar –dengan memakai huruf Ra’ yang didobelkan pada akhir kata- dari Qataadah dari Anas dengan lafazh; bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi”. Ini adalah hadits yang sangat lemah."

Termasuk pula Al Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani :

وكأنه أشار بذلك إلى أن الحديث الذي ورد أن النبي صلى الله عليه و سلم عق عن نفسه بعد النبوة لا يثبت وهو كذلك

"Seakan-akan beliau memberi isyarat bahwa hadits yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi adalah tidak shahih, dan memang benar demikian -bahwa hadits itu tidak shahih-."
(Fathu Al-Bari, vol. 9, hlm. 595)

Terkait tuduhan bahwa ucapan Al Hafizh Ibnu Hajar dalam hal ini adalah kontradiktif, karena dalam kalimat lain Al Hafizh Ibnu Hajar menyebut riwayat Al-Haitsam sebagai riwayat yang Qawiyyu Al-Isnad (kuat sanadnya), maka tuduhan ini tidak bisa diterima. Sikap Al Hafizh Ibnu Hajar sudah jelas, yakni menilai hadits itu tidak Shahih. Statemen Qawiyyul Isnad tidak bisa difahami bahwa hadits tersebut selalu bisa dijadikan Hujjah karena kondisi sanad belum menunjukkan kualitas hadits secara final. Sanad yang shahih saja, bisa jatuh status haditsnya menjadi hadits Syadz yang terkatagori hadits lemah, jika matannya bertentangan dengan perawi yang lebih kuat, apalagi ungkapan Qawiyyul Isnad yang lebih rendah dari Shahihul Isnad karena bisa jatuh menjadi Hadits Munkar. Lagi pula Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan sebab kenapa statemen Qawiyyul Isnad itu belum cukup menunjukkan keshahihan hadits, yakni karena adanya faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna. Al Hafizh Ibnu Hajar setuju bahwa 'Abdullah bin Al-Mutsanna termasuk bertafarrud dalam hadits ini sehingga tidak bisa diterima riwayatnya.

Berikut pernyataan Al Hafizh Ibnu Hajar yang menunjukkan bahwa beliau tidak menshahihkan riwayat Al-Haitsam karena faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna :

فلولا ما في عبد الله بن المثنى من المقال لكان هذا الحديث صحيحا لكن قد قال بن معين ليس بشيء وقال النسائي ليس بقوي وقال أبو داود لا أخرج حديثه وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من أهل الحديث روى مناكير وقال العقيلي لا يتابع على أكثر حديثه قال بن حبان في الثقات ربما أخطأ ووثقه العجلي والترمذي وغيرهما فهذا من الشيوخ الذين إذا انفرد أحدهم بالحديث لم يكن حجة

“Seandainya bukan karena faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna yang diperbincangkan, niscaya hadits ini shahih. Masalahnya, Ibnu Ma’in telah menilainya; Dia bukan apa-apa. An-Nasa'i menilai; Tidak kuat. Abu Dawud bersikap: Aku tidak meriwayatkan hadits darinya. As-Sajiy menilai; Dia memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli hadits, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Uqailiy mengatakan; Mayoritas haditsnya tidak dikuatkan dengan Mutaba’at. Ibnu Hibban menilainya dalam kitab Ats-Tsiqat; kadang-kadang melakukan kesalahan. Al-‘Ijliy dan At-Tirmidzi mentsiqahkannya. Jadi, orang ini adalah termasuk Syaikh yang jika meriwayatkan hadits secara sendirian maka dia tidak bisa menjadi Hujjah."
(Fathu Al-Bari, vol. 9, hlm. 595)

Demikian pula kritikan terhadap Al Hafizh Ibnu Hajar yang memutlakkan kelemahan 'Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan hadits secara bertafarrud, yakni dikritik; Seharusnya tidak boleh dimutlakkan karena Imam Bukhari menerima riwayat 'Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan dari Pamannya Tsumamah.

Kritikan ini bisa dijawab; Imam Bukhari memiliki syarat-syarat ketat, yang mana ketika menerima riwayat 'Abdullah bin Al-Mutsanna tidak mungkin beliau menerima riwayat orang yang diperbincangkan dari sisi kedhabitan yang bertafarrud. Sudah diketahui bahwa Imam Bukhari sangat perhatian dalam penguatan sanad, yang mana Imam Bukhari sering mengulang hadits dengan maksud diantara fungsinya adalah menguatkan sanad.

Termasuk klaim bahwa 'Abdullah bin Al-Mutsanna tidak bertafarrud karena ada Mutaba’ah dari Isma’il bin Muslim. Klaim ini tidak bisa diterima karena Isma’il bin Muslim sudah dijelaskan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar sebagai perawi Dha'if. Tingkat kekacauan Isma’il bin Muslim dalam menukil perawi cukup besar sehingga analisis dugaan Al Hafizh Ibnu Hajar yang menduga riwayat Nabi mengaqiqahi dirinya saat sudah diangkat jadi utusan itu ia dapatkan melalui hasil mencuri dari 'Abdullah bin Al-Muharrar lebih kredibel untuk dipercaya. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan Sufyan terkait Isma’il bin Muslim :

عن إسحاق بن أبي إسرائيل سمعت سفيان يقول وذكر إسماعيل بن مسلم فقال كان يخطئ في الحديث جعل يحدث فيخطئ أسأله عن الحديث من حديث عمرو بن دينار فلا يدري

"Dari Ishaaq bin Abi Israa`iil: Aku mendengar Sufyaan mengatakan saat disebut Ismaa’iil bin Muslim: dia melakukan kesalahan dalam hadits. Dia meriwayatkan hadits dan melakukan kesalahan. Aku menanyakan kepadanya tentang sebuah hadits dari hadits ‘Amr bin Diinaar dan dia tidak tahu juga."
(Tahdzib Al-Kamal, vol. 3, hlm. 201)

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Ahmad bin ‘Adiy :

وقال أبو أحمد بن عدي أحاديثه غير محفوظة عن أهل الحجاز والبصرة والكوفة إلا أنه ممن يكتب حديثه

"Abu Ahmad bin ‘Adiy menilai hadits-haditsnya dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah tidak Mahfuzh. Namun, haditsnya boleh ditulis."
(Tahdzib Al-Kamal, vol. 3, hlm. 204)

Al Hafizh Ibnu Hajar juga menukil ucapan Ibnu Hibban :

وقال ابن حبان كان فصيحا وهو ضعيف يروى المناكير عن المشاهير ويقلب الاسانيد

"Ibnu Hibban mensifati: dia fasih namun Dha'if, meriwayatkan sejumlah hadits-hadits Munkar dari perawi-perawi Masyhur dan membolak-balik Sanad."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 1, hlm. 289)

Dari penilaian sejumlah kritikus hadits di atas, tampaklah bahwa Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sungguh bermasalah dalam meriwayatkan hadits dari sisi kedhabitan. Dia dikenal meriwayatkan hadits-hadits Munkar dari perawi-perawi masyhur, tidak bisa dipegang riwayat-riwayatnya dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah, dan membolak-balik sanad. Bagaimana bisa perawi yang reputasinya dalam membolak-balik sanad sudah dikenal dijadikan Mutaba’ah?

Oleh karena itu, benarlah Al Hafizh Ibnu Hajar yang tidak menjadikan Isma’il bin Muslim sebagai Mutaba’ah dan tetap menilai riwayat Al-Haitsam sebagai hadits yang lemah.

Dari sini, jelaslah, bahwa ulama-ulama besar hadits dari berbagai masa telah menilai Dha'if hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Para ulama-ulama hadits besar ini bukanlah ulama yang tidak mengetahui jalur Al-Haitsam bin Jamil, namun justru karena kedalaman mereka terhadap ilmu hadits dan penyelidikan mereka yang teliti, justru kesimpulan akhirnya adalah riwayat Al-Haitsam termasuk riwayat yang lemah sebagaimana riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Dari sisi kredibilitas, ulama-ulama terdahulu ini jauh lebih mumpuni dan kredibel dalam hal pengalaman menyeleksi dan menilai hadits, sehingga penilaiannya lebih layak dijadikan tumpuan.

Terkait riwayat bahwa Ibnu Sirin, Qatadah, dan Al-Hasan Al-Bashri yang berpendapat bahwa Aqiqah boleh dilakukan setelah baligh, maka ucapan manusia bukanlah dalil. Jika ucapan shahabat saja bukan dalil, tentu lebih utama selain shahabat tidak dipertimbangkan.

Dengan asumsi bisa diterimapun, Aqiqah Rasulullah ﷺ masih bisa dipahami bentuk kekhususan beliau dengan bukti tidak ada shahabat yang meneladaninya.

Atas dasar ini, tidak ada Aqiqah setelah baligh. Aqiqah hanya untuk bayi. Waktu yang paling afdhol adalah hari ketujuh.

Wallahu a’lam

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid03eCZaPryDe5vDKgGLfPaBTfkWVb5Dbgd8Mw5VBB5pLYeGzTViEJgvB6ETJK1Hontl&id=100000747008668&mibextid=Nif5oz

Selasa, 01 Agustus 2023

Panitia “Nyambi” Menjual Hewan Kurban

Apakah boleh panitia menjual hewan kurban sementara hewannya masih proses pemesanan dengan supplier hewan kurban ?

Jawab :

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Diantara prinsip dalam transaksi jual beli, bahwa seseorang tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dia miliki, kecuali jika dia mendapatkan izin dari pemilik.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي مِنْ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدِي أَبْتَاعُ لَهُ مِنْ السُّوقِ ثُمَّ أَبِيعُهُ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin Maahak, dari Hakiim bin Hizaam ia berkata :

"Aku datang menemui Rasulullah ﷺ, lalu aku katakan; ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya? Beliau bersabda, "Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu."
(HR. Tirmidzi no. 1232)

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki.” 
(HR. Tirmidzi no. 1233)

Ketika membawakan hadits ini, Imam Tirmidzi menyatakan :

والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم كرهوا أن يبيع الرجل ما ليس عنده

“Mayoritas ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki.” 
(Sunan At-Tirmidzi, 5/142)

Berdasarkan keterangan di atas, ketika panitia menjual sapi sebelum memilikinya, berarti dia melanggar hadits di atas.

Shahibul Kurban Diminta Bayar DP

Terkadang, shahibul kurban yang beli, dia diminta untuk bayar DP dulu. Setelah sapi ada, baru sisanya dilunasi. Bolehkah transaksi semacam ini?

Ketika penjual belum memiliki barang, berarti posisi barang terutang atas dirinya. Dan ketika pembeli belum membayar tunai, maka uang juga terutang atasnya. Jika mereka bertransaksi, maka yang terjadi adalah jual beli utang dengan utang. Dan diantara bentuk transaksi yang terlarang adalah jual beli utang dengan utang. Dasar larangan ini adalah konsensus (ijma’) ulama bahwa transaksi Al-Kali’ bil Kali – jual beli utang dengan utang – hukumnya terlarang.

Imam Asy-Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm pernah membahas hukum menjual barang yang masih dalam tanggungan. Beliau rahimahullah mengatakan :

والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين

“Kaum muslimin dilarang untuk jual beli utang dengan utang.” 
(Al-Umm, 4/30)

Imam Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir :

قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين لا يجوز. وقال أحمد : إنما هو إجماع

"Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah ini.'” 
(Al-Mughni, 4/186)

Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa jual beli utang dengan utang hukumnya terlarang.

Dinyatakan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ :

لا يجوز بيع نسيئة بنسيئه بأن يقول بعني ثوبا في ذمتي بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا فيقول قبلت وهذا فاسد بلا خلاف

"Tidak boleh menjual utang dengan utang. Bentuknya ada pembeli mengatakan,
'Tolong jual sehelai kain dengan kriteria ini kepadaku, dan tolong serahkan bulan sekian, dengan harga 1 dinar dibayar kredit sampai tanggal sekian.'

Kemudian penjual menerimanya.

Transaksi ini batal, tanpa ada perbedaan pendapat ulama."
(Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 9/400)

Panitia tidak memiliki sapi, baru pesan ke supplier, namun sudah ditawarkan ke jamaah, hingga ada 7 orang jamaah yang membeli sapi itu.

Transaksi ini hukumnya dilarang, karena termasuk jual beli utang dengan utang.

Solusi :

Ada beberapa skema alternatif sebagai solusi untuk masalah di atas :

Pertama, panitia menjadi wakil.

Panitia bisa menjadi wakil dari pemilik sapi untuk menjualkan ke jamaah. Dan selanjutnya panitia berhak meminta fee atas jasanya. Nilai upah sesuai kesepakatan antara pemilik sapi dengan panitia.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhu mengatakan :

لاَ بَأْسَ أَنْ يَقُولَ: بِعْ هَذَا الثَّوْبَ، فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا، فَهُوَ لَكَ

“Tidak masalah pemilik barang mengatakan, ‘Jualkan baju ini, jika harganya lebih dari sekian, silahkan dimiliki.’"
(HR. Bukhari, 3/92)

Bisa juga panitia menjadi wakil bagi para shahibul kurban untuk mencarikan hewan. Sehingga upah untuk panitia diambil dari iuran shahibul kurban.

Kedua, menggunakan skema Al-Wa’du bis Syira’

Prinsipnya adalah, ketika sapi belum dimiliki, panitia tidak boleh menjual sapi itu. Meskipun boleh sebatas menawarkan. Ketika sapi sudah dimiliki panitia, baru dilanjutkan akadnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits