Kamis, 03 Agustus 2023

AQIQAH SETELAH DEWASA, ADAKAH ?

Oleh : Ustadz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Tidak ada aqiqah setelah baligh. Aqiqah disyariatkan hanya untuk bayi, bukan untuk yang sudah baligh atau dewasa.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ الْفَرَّاءُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْعَقِيقَةِ فَقَالَ لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ وَمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Telah menceritakan kepada kami Waqii'; Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Qais Al Farraa`, dari 'Amru bin Syu'aib, dari Bapaknya, dari Kakeknya, dia berkata :

"Rasulullah ﷺ ditanya tentang Aqiqah, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa mendapatkan kelahiran anak bayi dan ingin menyembelih (mengaqiqahi) atas anak tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor kambing yang pantas untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan."
(HR. Ahmad no. 6530)

Ketika Rasulullah ﷺ menganjurkan Aqiqah dalam hadits di atas, beliau menyebut Aqiqah itu adalah untuk walad (anak) dengan ketentuan anak lelaki (ghulam) dua kambing sementara anak wanita (jariyah) adalah satu kambing. Penyebutan istilah ghulam dan jariyah adalah istilah untuk menyebut anak yang belum baligh.

Aqiqah disyariatkan pada hari ketujuh.

حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsannaa; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adiy, dari Sa'iid, dari Qataadah, dari Al Hasan, dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama."
(HR. Abu Dawud no. 2838)

Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berpendapat Aqiqah bisa dilaksanakan sampai maksimal hari ke 21. Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah meriwayatkan dalam musnadnya (3/692) :

أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين

Dari Ummu Karz beliau berkata :
"Seorang wanita dari keluarga 'Abdurrahman bin Abu Bakar berkata; "jika istri 'Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka 'Aisyah berkata; 'tidak', tetapi sunnahnya adalah untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan disedekahkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14, jika tidak maka hari ke-21.″

Seandainya Aqiqah setelah dewasa disyariatkan maka tidak ada gunanya memberikan batasan hari ketujuh, atau maksimal hari ke-21 dalam ijtihad Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha. Seharusnya pula ada riwayat shahih yang lugas menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh. Masalahnya, tidak ada satupun Nash shahih yang menunjukkan disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, sehingga bisa dikatakan tidak ada kesunnahan melakukan Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada anjuran mengaqiqahi diri sendiri.

Adapun riwayat Al-Bazzar dalam musnadnya (2/345) yang menyebutkan bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu riwayat yang berbunyi :

Dari Anas radhiyallahu'anhu berkata :

أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث
نبيا.

"Bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi."

Riwayat ini tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah karena ada perawi yang bernama 'Abdullah bin Al-Muharrar. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). Imam An-Nawawi mengatakan; Hadits ini bathil. Al-Baihaqi menilainya Munkar.

Adapun pendapat yang menshahihkan hadits ini dengan memakai riwayat Ath-Thabarani atau yang semisal dengannya.

حدثنا أحمد قال حدثنا الهيثم قال حدثنا عبد الله عن ثمامة عن أنس : أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

Telah menceritakan kepada kami Ahmad, beliau berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Haitsam, beliau berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah, dari Tsumaamah, dari Anas radhiyallahu'anhu,

"Bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi Nabi."
(Al-Mu’jam Al-Ausath, 1/298)

Maka penilaian shahih itu tidak dapat diterima berdasarkan sejumlah argumen :

Pertama

Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Al-Haitsam. Al-Haitsam yang dimaksud dalam sanad ini adalah Abu Sahl Al-Haitsam bin Jamil Al-Baghdadi. Perawi ini, meskipun dikatagorikan sebagai perawi adil, namun sejumlah ulama dan kritikus hadits mengkritiknya dari sisi kedhabitannya. Ibnu 'Adiy mensifatinya sebagai berikut :

ليس بالحافظ يغلط على الثقات وارجو انه لا يتعمد الكذب

“Bukan Haafizh, melakukan kekeliruan terhadap para perawi tsiqat, dan aku berharap dia tidak sengaja berdusta.”
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 11, hlm. 81)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengutip penilaian Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy sebagai berikut :

وقال أبو نعيم الاصبهاني أنه…متروك

“Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy berkata bahwa dia itu Matruk -ditinggalkan-."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 11, hlm. 81)

Imam Adz-Dzahabi mengatakan :

الهيثم بن جميل حافظ له مناكير وغرائب

“Al-Haitsam bin Jamil: Haafizh, meriwayatkan sejumlah hadits Munkar dan Gharib.”
(Al-Mughni fi Adh-Dhu’afa, vol. 2, hlm. 716)

Dari penilaian para kritikus hadits di atas, bisa dipahami bahwa problem Al-Haitsam bin Jamil bukanlah dari sisi keadilannya, namun dari sisi kedhabitannya; yang disifati Ibnu ‘Adiy melakukan kekeliruan periwayatan dari para perawi Tsiqat dan disifati Adz-Dzahabi meriwayatkan sejumlah hadits Gharib dan hadits-hadits yang bertentangan dengan perawi yang lebih Tsiqah. Perawi dengan kualifikasi seperti ini sulit untuk dijamin keamanannya dari sisi kemungkinan kekeliruan menisbatkan, membalik, menukar, menambahi, mengurangi, dan semua cacat-cacat yang terkait dengan persoalan hafalan.

Imam Bukhari memilih tidak memasukkannya dalam Shahihnya, dan hanya memakainya dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrad dan itupun oleh Syaikh Al-Albani riwayatnya dari Muhammad bin Muslim dari Ibnu Abi Husain tentang doa istighfar didhaifkan. Imam Ahmad, meskipun memberikan statemen positif terhadap Al-Haitsam, namun terkait riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar yang meriwayatkan hadits bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diangkat menjadi Nabi, Imam Ahmad menilainya sebagai hadits Munkar. Hal ini tidak mungkin terjadi jika Imam Ahmad menerima riwayat Al-Haitsam terkait hadits ini. Seandainya beliau memang menerima riwayat Al-Haitsam, seharusnya riwayat Al-Haitsam dijadikan penguat riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar sehingga statusnya bisa naik menjadi hadits Hasan atau Shahih, bukan Munkar.

Diamnya Imam Ahmad terhadap riwayat Al-Haitsam tidak bisa ditafsiri bahwa beliau menerimanya, namun justru lebih dekat jika ditafsiri bahwa beliau menolaknya karena beliau tidak menjadikannya sebagai Syahid (penguat).

Kedua

Di dalam sanadnya ada perawi yang bernama 'Abdullah. 'Abdullah di sini yang dimaksud adalah 'Abdullah bin Al-Mutsanna bin 'Abdillah bin Anas bin Malik. Perawi ini level kedhabitannya lebih perlu mendapat catatan daripada sebelumnya. Burhanuddin Abu Al-Wafa Al-Halabiy dalam kitabnya Al-Ighthibath menukil penilaian Abu Dawud :

محمد بن عبد الله بن المثنى الأنصاري قال أبو داود تغير تغيرا شديدا

“Muhammad bin 'Abdillah bin Al-Mutsanna Al-Anshaariy, Abu Dawud mengomentarinya: berubah (hafalannya) secara drastis.”
(Al-Ighthibath Biman Rumiya min Ar-Ruwat bi Al-Ikhthilath, hlm. 326)

Dalam kitab Ikmal Tahdzib Al-Kamal dinukil penilaian Abu Salamah :

وفي كتاب أبي الفرج البغدادي قال أبو سلمة: كان ضعيفا في الحديث

“Dalam Kitab Abu Al-Faraj Al-Baghdadi: Abu Salamah berkata: Beliau itu Dhaif dalam hadits."
(Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol. 8, hlm. 163)

Dalam kitab tersebut juga dinukil ucapan Al-'Uqailiy :

وفي كتاب العقيلي: لا يتابع على أكثر حديثه، وقال أبو سلمة: ضعيف منكر الحديث

“Dalam kitab Al ’Uqailiy: mayoritas haditsnya tidak disertai Mutaba’at. Abu Salamah berkata: Dha'if, Munkarul hadits.”
(Ikmal Tahdzib Al-Kamal, vol. 8, hlm. 163)

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan An-Nasa'i :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال النسائي ليس بالقوي

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….An-Nasa’I menilai: Tidak kuat.”
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga ucapan Ibnu Hibban :

ابن المثنى بن عبدالله …وذكره ابن حبان في الثقات وقال ربما اخطأ

"Ibnu Al-Mutsanna bin -Abdillah….Ibnu Hibban menyebutkannya dalam barisan perawi Tsiqat dan menilainya: kadang-kadang melakukan kesalahan."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga sikap Abu Dawud :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال الآجري عن أبي داود لا أخرج حديثه

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….Al Ajurriy meriwayatkan Abu Dawud mengatakan; Saya tidak meriwayatkan haditsnya."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga riwayat lain tentang ucapan Ibnu Ma’in :

ابن المثنى بن عبدالله …وقال ابن أبي خيثمة عن ابن معين ليس بشئ

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang menilainya: Bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan-."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Juga ucapan As-Sajiy :

ابن المثنى بن عبدالله …
وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من اهل الحديث روى مناكير وبنحوه قال الازدي

"Ibnu Al-Mutsanna bin 'Abdillah….As-Saajiy berkata: beliau memiliki kelemahan, bukan termasuk ahli hadits, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Azdiy berpendapat senada."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 5, hlm. 339)

Dari keterangan para kritikus hadits di atas, bisa dipahami bahwa problem 'Abdullah bin Al-Mutsanna juga terkait dengan kedhabitan. Beliau dihitung lemah dari sisi kedhabitan, meriwayatkan sejumlah hadits-hadits Munkar, mayoritas haditsnya tidak dikuatkan dengan Mutabi’at dan bahkan dikatakan As-Sajiy bukan ahli hadits. Perawi yang dijelaskan sebab kelemahannya lebih layak dinilai lemah daripada yang mentsiqahkannya.

Ketiga

Sejumlah ahli hadits menegaskan bahwa 'Abdullah bin Al-Muharrar bertafarrud (bersendirian) dalam meriwayatkan hadits beraqiqahnya Rasulullah ﷺ setelah diutus menjadi Nabi. Al Bazzar mengatakan :

وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره

"Dua hadits 'Abdullah bin Al-Muharrar ini, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya dari Qataadah dari Anas selain dia. Dia sendiri sangat lemah. Dia adalah orang yang tidak lebih ditulis darinya hadits yang tidak ada pada selainnya."
(Musnad Al-Bazzar, 2/345)

Ibnu Al-Qaisaraniy memasukkan hadits ini dalam kumpulan hadits-hadits Gharib pada kitabnya Athraf Al-Gharaib wa Al-Afrad. Beliau juga menukil ucapan Syu’bah :

قال أبو قتادة هذا أفادناه شعبة عن هذا الشيخ يعني عبد الله عن قتادة وقال: ليس يروي هذا الحديث غيره

"Abu Qataadah berkata: Ini adalah apa yang dinyatakan oleh Syu’bah tentang Syaikh ini, yakni Abdullah (bin Al Muharrar) dari Qataadah. Beliau mengatakan; tidak ada yang meriwayatkan hadits ini selain dia."
(Athraf Al-Gharaib wa Al-Afrad, vol. 2, hlm. 159)

Al-Baihaqi telah menegaskan bahwa tidak ada jalur selain jalur 'Abdullah bin Al Muharrar dari Qatadah dari Anas yang bisa dijadikan Hujjah. Artinya jalur Al-Haitsam bin Jamil juga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Al-Baihaqi berkata :

وَقَدْ رُوِىَ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَتَادَةَ وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ أَنَسٍ وَلَيْسَ بِشَىْءٍ

“Telah diriwayatkan dari jalur yang lain dari Qataadah, dan dari jalur yang lain dari Anas, dan itupun bukan apa-apa –tidak bisa jadi tumpuan-."
(As-Sunan Al-Kubra, 9/300)

Di antara qarinah-qarinah lain yang menunjukkan kelemahan hadits beraqiqah setelah baligh adalah :

Pertama

Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berfatwa bahwa waktu Aqiqah maksimal adalah hari ke-21, bukan tanpa batasan. Seandainya memang ada syariat Aqiqah setelah baligh, seharusnya tidak ada batasan waktu maksimal Aqiqah. Adalah suatu hal yang sulit diterima jika Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha tidak tahu Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri padahal beliau tinggal serumah dengan Rasulullah ﷺ dalam waktu yang lama dan bergaul rapat dengan Nabi. Dan juga merupakan hal yang sulit diterima jika Ibunda 'Aisyah radhiyallahu'anha berfatwa dengan sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Nabi.

Kedua

Tidak ada riwayat Shahabat mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa tua, padahal mereka adalah kaum yang sangat haus dan bersemangat menjalankan Sunnah. Tidak ada riwayat Abu Bakar, tidak pula 'Umar, tidak pula 'Utsman dan tidak pula 'Ali. Hal ini menjadi hal yang aneh mengingat Aqiqah hukumnya sunnah Muakkadah, dan sebagian ulama malah memandangnya sebagai kewajiban.

Ketiga

Riwayat Aqiqah setelah dewasa bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih shahih dan lebih kuat bahwa Aqiqah disyariatkan untuk bayi pada hari ketujuh, bukan untuk orang dewasa.

Sejumlah ulama hadits telah melemahkan riwayat bahwa Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Diantaranya adalah Al-Bazzar dan Al Baihaqi rahimahumullah.

Termasuk pula Ibnu Al-Qaisaraniy :

إن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعثه الله : فيه عبد الله بن محرر هو متروك الحديث

"Hadits; Sesungguhnya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah diutus Allah, di dalamnya terdapat 'Abdullah bin Al-Muharrar dan dia Matrukul Hadits."
(Ma’rifah At-Tadzkirah, hlm. 115)

Termasuk pula Imam An-Nawawi, bahkan beliau menilainya sebagai hadits bathil :

وأما) الحديث الذي ذكره في عق النبي صلى الله عليه وسلم عن نفسه فرواه البيهقي باسناده عن عبد الله ابن محرر بالحاء المهملة والراء المكررة عن قتادة عن أنس ان النبي صلى الله عليه وسلم (عق عن نفسه بعد النبوة) وهذا حديث باطل

"Adapun hadits yang disebutkan terkait Nabi ﷺ yang mengaqiqahi dirinya sendiri, maka Al-Baihaqiy meriwayatkannya dari 'Abdullah bin Al-Muharrar –dengan huruf Ha’ dan Ra’ yang diulang- dari Qataadah dari Anas yang lafazhnya: bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi Nabi”. Dan ini adalah Hadis Bathil."
(Al Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, vol. 8, hlm. 431)

Termasuk pula Ibnu Al-Mulaqqin :

البدر المنير في تخريج الأحاديث والأثار الواقعة في الشرح الكبير (9/ 339)
رُوِيَ «أنَّه – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – [ عق ] عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» .
هَذَا الحَدِيث رَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ فِي «سنَنه» من حَدِيث عبد الله بن مُحَرر – بالراء الْمُهْملَة المكررة فِي آخِره – عَن قَتَادَة ، عَن أنس «أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – عق عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة» . وَهُوَ حَدِيث ضَعِيف بِمرَّة

"Diriwayatkan bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi. Hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqiy dalam Sunannya dari hadits 'Abdullah bin Al-Muharrar –dengan memakai huruf Ra’ yang didobelkan pada akhir kata- dari Qataadah dari Anas dengan lafazh; bahwasanya Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah jadi nabi”. Ini adalah hadits yang sangat lemah."

Termasuk pula Al Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani :

وكأنه أشار بذلك إلى أن الحديث الذي ورد أن النبي صلى الله عليه و سلم عق عن نفسه بعد النبوة لا يثبت وهو كذلك

"Seakan-akan beliau memberi isyarat bahwa hadits yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi adalah tidak shahih, dan memang benar demikian -bahwa hadits itu tidak shahih-."
(Fathu Al-Bari, vol. 9, hlm. 595)

Terkait tuduhan bahwa ucapan Al Hafizh Ibnu Hajar dalam hal ini adalah kontradiktif, karena dalam kalimat lain Al Hafizh Ibnu Hajar menyebut riwayat Al-Haitsam sebagai riwayat yang Qawiyyu Al-Isnad (kuat sanadnya), maka tuduhan ini tidak bisa diterima. Sikap Al Hafizh Ibnu Hajar sudah jelas, yakni menilai hadits itu tidak Shahih. Statemen Qawiyyul Isnad tidak bisa difahami bahwa hadits tersebut selalu bisa dijadikan Hujjah karena kondisi sanad belum menunjukkan kualitas hadits secara final. Sanad yang shahih saja, bisa jatuh status haditsnya menjadi hadits Syadz yang terkatagori hadits lemah, jika matannya bertentangan dengan perawi yang lebih kuat, apalagi ungkapan Qawiyyul Isnad yang lebih rendah dari Shahihul Isnad karena bisa jatuh menjadi Hadits Munkar. Lagi pula Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan sebab kenapa statemen Qawiyyul Isnad itu belum cukup menunjukkan keshahihan hadits, yakni karena adanya faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna. Al Hafizh Ibnu Hajar setuju bahwa 'Abdullah bin Al-Mutsanna termasuk bertafarrud dalam hadits ini sehingga tidak bisa diterima riwayatnya.

Berikut pernyataan Al Hafizh Ibnu Hajar yang menunjukkan bahwa beliau tidak menshahihkan riwayat Al-Haitsam karena faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna :

فلولا ما في عبد الله بن المثنى من المقال لكان هذا الحديث صحيحا لكن قد قال بن معين ليس بشيء وقال النسائي ليس بقوي وقال أبو داود لا أخرج حديثه وقال الساجي فيه ضعف لم يكن من أهل الحديث روى مناكير وقال العقيلي لا يتابع على أكثر حديثه قال بن حبان في الثقات ربما أخطأ ووثقه العجلي والترمذي وغيرهما فهذا من الشيوخ الذين إذا انفرد أحدهم بالحديث لم يكن حجة

“Seandainya bukan karena faktor 'Abdullah bin Al-Mutsanna yang diperbincangkan, niscaya hadits ini shahih. Masalahnya, Ibnu Ma’in telah menilainya; Dia bukan apa-apa. An-Nasa'i menilai; Tidak kuat. Abu Dawud bersikap: Aku tidak meriwayatkan hadits darinya. As-Sajiy menilai; Dia memiliki kelemahan, bukan termasuk Ahli hadits, dan meriwayatkan sejumlah riwayat Munkar. Al-Uqailiy mengatakan; Mayoritas haditsnya tidak dikuatkan dengan Mutaba’at. Ibnu Hibban menilainya dalam kitab Ats-Tsiqat; kadang-kadang melakukan kesalahan. Al-‘Ijliy dan At-Tirmidzi mentsiqahkannya. Jadi, orang ini adalah termasuk Syaikh yang jika meriwayatkan hadits secara sendirian maka dia tidak bisa menjadi Hujjah."
(Fathu Al-Bari, vol. 9, hlm. 595)

Demikian pula kritikan terhadap Al Hafizh Ibnu Hajar yang memutlakkan kelemahan 'Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan hadits secara bertafarrud, yakni dikritik; Seharusnya tidak boleh dimutlakkan karena Imam Bukhari menerima riwayat 'Abdullah bin Al-Mutsanna jika meriwayatkan dari Pamannya Tsumamah.

Kritikan ini bisa dijawab; Imam Bukhari memiliki syarat-syarat ketat, yang mana ketika menerima riwayat 'Abdullah bin Al-Mutsanna tidak mungkin beliau menerima riwayat orang yang diperbincangkan dari sisi kedhabitan yang bertafarrud. Sudah diketahui bahwa Imam Bukhari sangat perhatian dalam penguatan sanad, yang mana Imam Bukhari sering mengulang hadits dengan maksud diantara fungsinya adalah menguatkan sanad.

Termasuk klaim bahwa 'Abdullah bin Al-Mutsanna tidak bertafarrud karena ada Mutaba’ah dari Isma’il bin Muslim. Klaim ini tidak bisa diterima karena Isma’il bin Muslim sudah dijelaskan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar sebagai perawi Dha'if. Tingkat kekacauan Isma’il bin Muslim dalam menukil perawi cukup besar sehingga analisis dugaan Al Hafizh Ibnu Hajar yang menduga riwayat Nabi mengaqiqahi dirinya saat sudah diangkat jadi utusan itu ia dapatkan melalui hasil mencuri dari 'Abdullah bin Al-Muharrar lebih kredibel untuk dipercaya. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan Sufyan terkait Isma’il bin Muslim :

عن إسحاق بن أبي إسرائيل سمعت سفيان يقول وذكر إسماعيل بن مسلم فقال كان يخطئ في الحديث جعل يحدث فيخطئ أسأله عن الحديث من حديث عمرو بن دينار فلا يدري

"Dari Ishaaq bin Abi Israa`iil: Aku mendengar Sufyaan mengatakan saat disebut Ismaa’iil bin Muslim: dia melakukan kesalahan dalam hadits. Dia meriwayatkan hadits dan melakukan kesalahan. Aku menanyakan kepadanya tentang sebuah hadits dari hadits ‘Amr bin Diinaar dan dia tidak tahu juga."
(Tahdzib Al-Kamal, vol. 3, hlm. 201)

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Ahmad bin ‘Adiy :

وقال أبو أحمد بن عدي أحاديثه غير محفوظة عن أهل الحجاز والبصرة والكوفة إلا أنه ممن يكتب حديثه

"Abu Ahmad bin ‘Adiy menilai hadits-haditsnya dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah tidak Mahfuzh. Namun, haditsnya boleh ditulis."
(Tahdzib Al-Kamal, vol. 3, hlm. 204)

Al Hafizh Ibnu Hajar juga menukil ucapan Ibnu Hibban :

وقال ابن حبان كان فصيحا وهو ضعيف يروى المناكير عن المشاهير ويقلب الاسانيد

"Ibnu Hibban mensifati: dia fasih namun Dha'if, meriwayatkan sejumlah hadits-hadits Munkar dari perawi-perawi Masyhur dan membolak-balik Sanad."
(Tahdzib At-Tahdzib, vol. 1, hlm. 289)

Dari penilaian sejumlah kritikus hadits di atas, tampaklah bahwa Isma’il bin Muslim adalah perawi yang sungguh bermasalah dalam meriwayatkan hadits dari sisi kedhabitan. Dia dikenal meriwayatkan hadits-hadits Munkar dari perawi-perawi masyhur, tidak bisa dipegang riwayat-riwayatnya dari penduduk Hijaz, Bashrah, dan Kufah, dan membolak-balik sanad. Bagaimana bisa perawi yang reputasinya dalam membolak-balik sanad sudah dikenal dijadikan Mutaba’ah?

Oleh karena itu, benarlah Al Hafizh Ibnu Hajar yang tidak menjadikan Isma’il bin Muslim sebagai Mutaba’ah dan tetap menilai riwayat Al-Haitsam sebagai hadits yang lemah.

Dari sini, jelaslah, bahwa ulama-ulama besar hadits dari berbagai masa telah menilai Dha'if hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ mengaqiqahi dirinya setelah diangkat menjadi Nabi. Para ulama-ulama hadits besar ini bukanlah ulama yang tidak mengetahui jalur Al-Haitsam bin Jamil, namun justru karena kedalaman mereka terhadap ilmu hadits dan penyelidikan mereka yang teliti, justru kesimpulan akhirnya adalah riwayat Al-Haitsam termasuk riwayat yang lemah sebagaimana riwayat 'Abdullah bin Al-Muharrar sehingga tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah. Dari sisi kredibilitas, ulama-ulama terdahulu ini jauh lebih mumpuni dan kredibel dalam hal pengalaman menyeleksi dan menilai hadits, sehingga penilaiannya lebih layak dijadikan tumpuan.

Terkait riwayat bahwa Ibnu Sirin, Qatadah, dan Al-Hasan Al-Bashri yang berpendapat bahwa Aqiqah boleh dilakukan setelah baligh, maka ucapan manusia bukanlah dalil. Jika ucapan shahabat saja bukan dalil, tentu lebih utama selain shahabat tidak dipertimbangkan.

Dengan asumsi bisa diterimapun, Aqiqah Rasulullah ﷺ masih bisa dipahami bentuk kekhususan beliau dengan bukti tidak ada shahabat yang meneladaninya.

Atas dasar ini, tidak ada Aqiqah setelah baligh. Aqiqah hanya untuk bayi. Waktu yang paling afdhol adalah hari ketujuh.

Wallahu a’lam

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid03eCZaPryDe5vDKgGLfPaBTfkWVb5Dbgd8Mw5VBB5pLYeGzTViEJgvB6ETJK1Hontl&id=100000747008668&mibextid=Nif5oz

Selasa, 01 Agustus 2023

Panitia “Nyambi” Menjual Hewan Kurban

Apakah boleh panitia menjual hewan kurban sementara hewannya masih proses pemesanan dengan supplier hewan kurban ?

Jawab :

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Diantara prinsip dalam transaksi jual beli, bahwa seseorang tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dia miliki, kecuali jika dia mendapatkan izin dari pemilik.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَأْتِينِي الرَّجُلُ يَسْأَلُنِي مِنْ الْبَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدِي أَبْتَاعُ لَهُ مِنْ السُّوقِ ثُمَّ أَبِيعُهُ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abu Bisyr, dari Yuusuf bin Maahak, dari Hakiim bin Hizaam ia berkata :

"Aku datang menemui Rasulullah ﷺ, lalu aku katakan; ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya? Beliau bersabda, "Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu."
(HR. Tirmidzi no. 1232)

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki.” 
(HR. Tirmidzi no. 1233)

Ketika membawakan hadits ini, Imam Tirmidzi menyatakan :

والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم كرهوا أن يبيع الرجل ما ليس عنده

“Mayoritas ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki.” 
(Sunan At-Tirmidzi, 5/142)

Berdasarkan keterangan di atas, ketika panitia menjual sapi sebelum memilikinya, berarti dia melanggar hadits di atas.

Shahibul Kurban Diminta Bayar DP

Terkadang, shahibul kurban yang beli, dia diminta untuk bayar DP dulu. Setelah sapi ada, baru sisanya dilunasi. Bolehkah transaksi semacam ini?

Ketika penjual belum memiliki barang, berarti posisi barang terutang atas dirinya. Dan ketika pembeli belum membayar tunai, maka uang juga terutang atasnya. Jika mereka bertransaksi, maka yang terjadi adalah jual beli utang dengan utang. Dan diantara bentuk transaksi yang terlarang adalah jual beli utang dengan utang. Dasar larangan ini adalah konsensus (ijma’) ulama bahwa transaksi Al-Kali’ bil Kali – jual beli utang dengan utang – hukumnya terlarang.

Imam Asy-Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm pernah membahas hukum menjual barang yang masih dalam tanggungan. Beliau rahimahullah mengatakan :

والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين

“Kaum muslimin dilarang untuk jual beli utang dengan utang.” 
(Al-Umm, 4/30)

Imam Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir :

قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين لا يجوز. وقال أحمد : إنما هو إجماع

"Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah ini.'” 
(Al-Mughni, 4/186)

Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa jual beli utang dengan utang hukumnya terlarang.

Dinyatakan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ :

لا يجوز بيع نسيئة بنسيئه بأن يقول بعني ثوبا في ذمتي بصفته كذا إلى شهر كذا بدينار مؤجل إلى وقت كذا فيقول قبلت وهذا فاسد بلا خلاف

"Tidak boleh menjual utang dengan utang. Bentuknya ada pembeli mengatakan,
'Tolong jual sehelai kain dengan kriteria ini kepadaku, dan tolong serahkan bulan sekian, dengan harga 1 dinar dibayar kredit sampai tanggal sekian.'

Kemudian penjual menerimanya.

Transaksi ini batal, tanpa ada perbedaan pendapat ulama."
(Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 9/400)

Panitia tidak memiliki sapi, baru pesan ke supplier, namun sudah ditawarkan ke jamaah, hingga ada 7 orang jamaah yang membeli sapi itu.

Transaksi ini hukumnya dilarang, karena termasuk jual beli utang dengan utang.

Solusi :

Ada beberapa skema alternatif sebagai solusi untuk masalah di atas :

Pertama, panitia menjadi wakil.

Panitia bisa menjadi wakil dari pemilik sapi untuk menjualkan ke jamaah. Dan selanjutnya panitia berhak meminta fee atas jasanya. Nilai upah sesuai kesepakatan antara pemilik sapi dengan panitia.

Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhu mengatakan :

لاَ بَأْسَ أَنْ يَقُولَ: بِعْ هَذَا الثَّوْبَ، فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا، فَهُوَ لَكَ

“Tidak masalah pemilik barang mengatakan, ‘Jualkan baju ini, jika harganya lebih dari sekian, silahkan dimiliki.’"
(HR. Bukhari, 3/92)

Bisa juga panitia menjadi wakil bagi para shahibul kurban untuk mencarikan hewan. Sehingga upah untuk panitia diambil dari iuran shahibul kurban.

Kedua, menggunakan skema Al-Wa’du bis Syira’

Prinsipnya adalah, ketika sapi belum dimiliki, panitia tidak boleh menjual sapi itu. Meskipun boleh sebatas menawarkan. Ketika sapi sudah dimiliki panitia, baru dilanjutkan akadnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits