Minggu, 31 Mei 2020

LARANGAN MENUTUP DINDING DENGAN KAIN

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَبِي الْحُبَابِ مَوْلَى بَنِي النَّجَّارِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ
قَالَ فَأَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ إِنَّ هَذَا يُخْبِرُنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ فَهَلْ سَمِعْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ ذَلِكَ فَقَالَتْ لَا وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكُمْ مَا رَأَيْتُهُ فَعَلَ رَأَيْتُهُ خَرَجَ فِي غَزَاتِهِ فَأَخَذْتُ نَمَطًا فَسَتَرْتُهُ عَلَى الْبَابِ فَلَمَّا قَدِمَ فَرَأَى النَّمَطَ عَرَفْتُ الْكَرَاهِيَةَ فِي وَجْهِهِ فَجَذَبَهُ حَتَّى هَتَكَهُ أَوْ قَطَعَهُ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ قَالَتْ فَقَطَعْنَا مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ وَحَشَوْتُهُمَا لِيفًا فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَيَّ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibraahiim; Telah mengabarkan kepada kami Jariir dari Suhail bin Abu Shaalih dari Sa'iid bin Yasaar Abu Al Hubaab budak dari Bani An Najjaar dari Zaid bin Khaalid Al Juhaniy dari Abu Thalhah Al Anshaariy ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar."

Zaid berkata; 'Lalu aku menemui 'Aisyah dan aku tanyakan kepadanya; 'Abu Thalhah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar." Apakah anda pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan hal itu. 'Aisyah menjawab; 'Tidak, akan tetapi akan aku ceritakan kepadamu perbuatan beliau yang pernah aku lihat. Aku pernah melihat beliau keluar dalam suatu perjalanan, lalu aku mengambil kain kemudian aku tutupkan pada pintu. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang dan beliau melihat kain tersebut, aku mengerti ada tanda kebencian dari wajah beliau, kemudian beliau mencabutnya dan memotongnya seraya bersabda; 'Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah.' 'Aisyah berkata; Lalu aku memotongnya untuk dijadikan dua bantal dan aku isi dengan pelepah kurma. Beliau tidak mencelaku atas hal itu."
[HR. Muslim no. 2107]

Salim bin 'Abdullah bin 'Umar rahimahullah berkata :
“Aku mengadakan pesta pernikahan sewaktu ayahku (Ibnu 'Umar) masih hidup. Maka ayahkupun mengundang orang-orang. Dan Abu Ayyub termasuk orang yang diundang. Sementara rumahku sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Lalu Abu Ayyub masuk dan melihatku sedang berdiri. Ia memperhatikan dinding rumahku yang sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Ia berkata, ‘Ya 'Abdullah (Ibnu 'Umar) apakah kalian yang menutupi dinding dengan permadani?’ Dengan malu ayahku berkata, ‘Kami dikendalikan kaum wanita wahai Abu Ayyub.’ Lalu ia berkata, ‘Tadinya aku khawatir kaum wanita mengendalikan perkara ini namun aku tidak khawatir mereka mengendalikan dirimu. Aku tidak akan makan makanan kalian dan tidak akan masuk ke rumah kalian.’ Kemudian ia pun keluar.” 
[HR. Bukhari, 9/249. Dalam Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah An-Nabawiyyah, Pustaka Imam Syafi’i, 2006, hlm. 3/238-239]

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Diantaranya :

1. Mayoritas ulama Syafi'iyyah dan salah satu riwayat keterangan dari Imam Ahmad, berpendapat larangan yang terdapat dalam hadits di atas dihukumi makruh. Kecuali jika kain penutup tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar (makhluk bernyawa) maka status hukumnya berubah menjadi haram. Inilah pendapat paling kuat dari madzhab hambali sebagaimana yang dikatakan Imam Ibn Qudamah dalam Al Mughni.

Menurut pendapat Hanabilah hukum makruh ini berlaku jika tidak ada keperluan ketika memasang penutup kain tersebut. Adapun jika ada keperluan (seperti ketika musim dingin dipasang kain penutup tembok untuk memperhangat ruangan) memasang penutup kain maka hukumnya boleh (tidak lagi makruh). Karena tidak lagi termasuk sikap berlebih-lebihan.

Dan pendapat ini merupakan pendapat terkuat dalam madzhab Hanafiyah. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Bahr Ar-Raiq :

وله أن يستر الجدار باللبد وغيره

“Orang boleh menutup tembok dengan labid (kain wall tanpa bulu).”

Demikian pula menurut Malikiyah, ini merupakan pendapat dalam madzhab itu. Mereka menyebutkan dalam pembahasan tentang walimah di buku-buku fiqhnya, bahwa bukan termasuk hal terlarang menutup tembok dengan sutra. Simak penjelasannya di Asy-Syarh Al-Kabir (2/337).

2. Sebagian Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa larangan tersebut dihukumi haram. Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah di atas. Pendapat ini bisa dibantah dengan dua hal berikut ini :

Pertama, Dalam hadits ‘Aisyah di atas tidak terdapat pengharaman menutupi dinding dengan kain. Namun lafazh yang ada hanyalah mengkhabarkan bahwa “Kami tidak diperintah untuk menutupi dinding.” Peniadaan perintah ini tidak menunjukkan akan haramnya perbuatan tersebut. Begitu juga tidak bisa dihukumi sunnah dan wajib. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.

Imam An Nawawi rahimahullah berkata :

فاستدلوا به على أنه يمنع من ستر الحيطان وتنجيد البيوت بالثياب وهومنع كراهة تنزيه لاتحريم هذا هو الصحيح وقال الشيخ أبو الفتح نصر المقدسى من أصحابنا هو حرام وليس في هذا الحديث ما يقتضي تحريمه لأن حقيقة اللفظ أن الله تعالى لم يأمرنا بذلك وهذا يقتضي أنه ليس بواجب ولا مندوب، ولا يقتضي التحريم.

“Para ulama berdalil dengannya larangan menutupi dinding rumah dengan kain. Namun larangan ini adalah makruh bukan haram dan itulah yang shahih. Sementara Syaikh Abul Fath Nashr Al Maqdisi dari ash-hab kami berkata: Hukumnya haram. Padahal lafazh hadits tersebut tidak menunjukkan haram, ia hanya menunjukkan bahwa Allah tidak memerintahkan kita demikian, artinya bukan wajib dan bukan sunnah dan bukan haram."
[Syarah Shahih Muslim, 14/86]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :

وقال غيره ليس في السياق ما يدل على التحريم وإنما فيه نفي الأمر لذلك ونفي الأمر لا يستلزم ثبوت النهي لكن يمكن أن يحتج بفعله صلى الله عليه وسلم في هتكه

"Ulama lainnya mengatakan bahwa konteks hadits tidak menunjukkan haramnya memasang penutup dinding, namun di sana hanya meniadakan perintah untuk menutup dinding. Dan tidak ada perintah, tidak menunjukkan adanya larangan. Hanya saja, mungkin seseorang berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menarik dan melepasnya."
[Fathul Bari, 9/250]

Fatwa yang sama juga dilakukan Syaikh Ibnu Baz :

ترك تلبيس الجدر بالستر أولى وأفضل؛ لحديث: (إنا لم نؤمر عن أن نغطي الجدر) لكن ليس فيه محذور ليس بمحرم لأنه لم ينهى عنه فيما علمنا، وإنما ذلك جائز وتركه أفضل، فلا حرج في ذلك إذا جعله إما للزينة وإما لترك الغبار وإما لأسباب أخرى لا حرج في ذلك إن شاء الله، لكن تركه أولى.

"Tidak menutupi dinding dengan wallpaper, lebih baik dan lebih afdhal. Mengingat hadits, ‘Kita tidak diperintahkan untuk menutup dinding.’ Hanya saja, ini tidak dilarang dan tidak haram. Karena menutup dinding tidak dilarang menurut yang saya tahu. Ini boleh, sekalipun meninggalkannya lebih afdhal. Sehingga tidak masalah jika ada yang memasang untuk hiasan atau menutup debu atau karena alasan lainnnya. Meskipun tidak ditutup lebih afdhal."
[http://www.binbaz.org.sa/noor/11319]

Kedua, Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dikarenakan ada gambar makhluk bernyawa yang ada pada kain penutup milik 'Aisyah radhiallahu’anha. Hal ini berdasarkan riwayat lain yang disebutkan Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad dan yang lainnya. 'Aisyah radhiallahu’anha mengatakan,

دخل النبي صلى الله عليه وسلم علي، وقد سترت نمطا ” أي نشرته، وجعلته ساتراً “فيه تصاوير “.

“Suatu saat Nabi shallallahu’alaihi wasallam masuk menemuiku. (Sebelum beliau datang) aku bentangkan tirai penutup terbuat dari kain yang ada gambar (makhluk bernyawa).”

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : 
“Gambar tersebut adalah gambar kuda yang memiliki sayap.” 
[Fathul Mun’im, 8/373]

Fatwa Al Allamah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan :

Seorang pendengar dari Irak bertanya melalui suratnya, 
Aku pernah mendengar sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam secara makna beliau shallallahu’alaihi wasallam suatu ketika masuk menemui ‘Aisyah dan mendapati (kain) penutup dinding yang dipasang (di atas pintu) atau jaman sekarang disebut gorden. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada 'Aisyah,
”Kami adalah umat yang tidak diperintah untuk menutupi dinding.”

Berdasarkan hadits yang mulia ini apakah gorden yang dipasang hanya boleh selebar bukaan jendela? atau apakah boleh memasang gorden pada tembok yang terdapat jendela? Mohon berilah kami pencerahan. Baarakallahufiikum.

Jawaban :

Hadits yang disebutkan oleh penanya tersebut terdapat dalam Shahih Muslim. Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat gorden yang menjuntai dibalik pintu hal ini membuat wajah beliau menampakkan kebencian. Lalu beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إن الله لم يأمرنا أن نكسو الحجارة والطين

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kami memakaikan kain pada bebatuan dan tanah liat (dinding).”

Kemudian beliau memotong kain tersebut.

Hadits ini menjadi dalil bahwa seseorang tidak pantas menutupi tembok rumahnya dengan jenis kain yang dibenci oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Karena kebencian itu terlihat pada wajah beliau ditambah lagi khabar beliau bahwa Allah Ta’ala tidak memerintahkan hal itu.

Adapun gorden yang digunakan orang jaman sekarang jika digunakan untuk tujuan yang benar selain sebagai “penutup” saja maka tidak apa-apa in syaa Allah. Sebagaimana jika seseorang memakai gorden dengan tujuan menutupi sisi jendelanya dari sengatan matahari atau dengan tujuan lainnya maka hal ini tidak masalah. Karena kondisi semacam ini bukan termasuk memakaikan kain pada bebatuan atau tanah liat (dinding) akan tetapi masuk katagori penjagaan dari gangguan yang mendekatinya. Memberi kain penutup (kiswah) juga diperbolehkan untuk tujuan kemashlahatan lainnya. Berbeda jika kiswah tadi digunakan dalam rangka semata-mata untuk menghiasi dinding agar lebih cantik maka inilah yang termasuk dalam larangan dalam hadits. Tidak pantas untuk kita lakukan.” 
[Fatawa Nur ‘Ala Darb]

Pada kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya dengan permasalahan yang sama.

Pertanyaan :
Larangan menutupi dinding. Apakah hukum larangan ini sampai derajat haram? Apakah maksud larangan tersebut berlaku jika menutupi satu sisi dinding saja atau harus semua sisi?

Jawaban :

Menutup dinding itu ada dua macam :

Pertama, menutupi secara riil (menyelimuti) . Sebagai contoh jika seseorang menutupi rumah atau batu dengan kain penutup (kiswah) sebagaimana ka’bah. Maka jelas ini perbuatan terlarang karena ia telah menyerupakan rumahnya dengan ka’bah.

Kedua, menutupi bagian dalam (tembok rumah) maka hal ini tidak mengapa selama ada kebutuhan. Baik untuk menjaga dari udara dingin, udara panas atau agar tidak silau dari cahaya luar tatkala seseorang ingin tidur. Karena bangunan rumah saat ini -sebagaimana kalian juga tahu- berubah menjadi dingin di musim dingin dan akan panas di musim panas. Maka tidak mengapa jika seseorang memasang penutup kain di dindingnya untuk mereduksi suhu dingin di musim dingin dan suhu panas di musim panas. Karena perbuatan ini tidak bermaksud menutupi secara hakiki akan tetapi dengan maksud untuk melindungi dari udara dingin, udara panas serta melindungi dari sinar matahari agar tidak menyilaukan bagi orang yang ingin tidur sehingga dia bisa istirahat dengan tenang.”
[Liqaa’ Albaab Almaftuuh (2), Tathbiiq Fatawa Ibn Utsaimin rahimahullah lianduruwiid]

Kesimpulan : memasang kain penutup pada dinding hukumnya makruh bila sekadar untuk hiasan (karena termasuk sikap berlebih-lebihan) tanpa ada keperluan yang penting. Dan hukumnya berubah menjadi haram jika kain tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar makhluk bernyawa.

Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar