Sabtu, 30 Mei 2020

Hanya Boleh Hasad (Iri) pada Dua Orang

Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain. Asal sekadar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Hasad adalah sekadar benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.”[1] Hasad seperti inilah yang tercela. Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, maka ini tidak mengapa. Hasad model kedua ini disebut oleh para ulama dengan ghibthah. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi. Bagaimanakah bentuk ghibtah atau iri yang dibolehkan? Simak dalam tulisan sederhana berikut ini.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ismaa'iil berkata; Telah menceritakan kepada saya Qais dari Ibnu Mas'uud radhiallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain)".
(Shahih Bukhari no. 1409)

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan; Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Saalim bin 'Abdullah bahwasanya; 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua hal, yaitu; Seorang yang diberi karunia Al Quran oleh Allah sehingga ia membacanya (shalat dengannya) di pertengahan malam dan siang. Dan seseorang yang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia menginfakkannya pada malam dan siang hari."
(Shahih Bukhari no. 5025)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ ذَكْوَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Ibraahiim; Telah menceritakan kepada kami Rauh; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sulaimaan Aku mendengar Dzakwaan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu; Seseorang yang telah diajari Al Qur`an oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang, sampai tetangga yang mendengarnya berkata, 'Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukannya.' Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran, lalu orang itu pun berkata, 'Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, maka niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.'"
(Shahih Bukhari no. 5026)

Tentang Ghibthah

Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan,
“Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hasad yang tercela.”
(Syarh Al Bukhari, Asy Syamilah, 1/153)

Imam Ibnu Baththal mengatakan pula,
“Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthah dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang ghibthah (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.“
(Idem)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksud hadits di atas adalah tidak ada keringanan pada hasad kecuali pada dua hal atau maksudnya pula adalah tidak ada hasad yang baik (jika memang benar ada hasad yang baik). Disebut hasad di sini dengan maksud hiperbolis, yaitu untuk memotivasi seseorang untuk meraih dua hal tersebut. Sebagaimana seseorang katakan bahwa hal ini tidak bisa digapai kecuali dengan jalan yang keliru sekali pun. Dimotivasi seperti ini karena adanya keutamaan jika seseorang menggapai dua hal tersebut. Jika jalan yang keliru saja ditempuh, bagaimana lagi jika jalan yang terpuji yang diambil dan mungkin tercapai. Intinya masalah ghibtah ini sejenis dengan firman Allah,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.”
(QS. Al Baqarah : 148)

Karena mushabaqah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, siapakah nantinya yang terdepan.

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthah. Ghibthah adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthah ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthah ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.

Sedangkan maksud dari hadits di atas adalah tidak ada ghibtah (hasad yang disukai) kecuali pada dua hal atau yang semakna dengan itu.”
(Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Dar Ihya’, Beirut, 6/97)

Pengertian Hikmah

Yang dimaksud dengan hikmah (sebagaimana ada dalam lafazh hadits), ada beberapa pengertian :

1. Al Qur’an
2. As Sunnah.
3. Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan yang dimaksud “fiqh fid diin”, paham agama adalah memahami nasikh, mansukh, muhkam dan mutasyabih.
4. Lurus dalam perkataan dan perbuatan.
5. Peringatan (nasehat) dari Al Qur’an.
6. Memahami dan mengilmui.
7. Kenabian.
8. Segala hal yang menghalangi dari hal yang jelek.
9. Segala hal yang menghalangi dari kebodohan.

(Disebutkan oleh Syaikh Musthafa Al ‘Adawi dalam Fiqh Al Hasad, terbitan Dar As Sunnah, hal. 18-19)

Faedah Lain

Ada faedah lain dari hadits di atas :

Pertama : Mulianya mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), menempuh berbagai cara untuk memahaminya, juga keutamaan mengajarkannya pada orang lain dalam rangka mengharapkan wajah Allah. Inilah yang menyebabkan seseorang boleh iri (ghibthah) padanya, artinya ingin seperti itu.

Kedua : Keutamaan berinfaq dari usaha yang halal pada berbagai jalan kebaikan. Contohnya di sini adalah infaq untuk pembangunan masjid, madrasah, pencetakan kitab ilmu (seperti kitab tauhid, fiqh, tafsir, dan bantahan untuk ahlul bid’ah, kitab bahasa Arab), dan jalan kebaikan lainnya.

Ketiga : Dalam lafazh hadits “آتاه الله مالاً”, seseorang yang Allah beri karunia harta, maka ini menunjukkan bahwa harta itu sebenarnya datang dari Allah. Allah mengkaruniakan harta tersebut pada siapa saja yang Allah kehendaki. Allah pun tidak memberikannya pada seseorang sesuai dengan kehendaknya. Barangsiapa yang Allah beri karunia harta, maka hendaklah ia bersyukur dengan menunaikan hak Allah. Janganlah ia gunakan nikmat harta tersebut untuk bermaksiat. Sedangkan orang yang disempitkan dalam masalah harta, hendaklah ia bersabar dan tetap menempuh jalan rizki yang Allah halalkan. Janganlah sampai ia malah menempuh jalan yang Allah haramkan karena kesulitan finansial yang ia hadapi.

Keempat : Dalam lafazh hadits “ورجل آتاه الله الحكمة”, seseorang yang Allah beri karunia ilmu, ini menunjukkan bahwa ilmu adalah cahaya dari Allah yang Allah beri kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Akan tetapi ilmu itu diperoleh dengan dicari, perlu ada kesungguhan dalam menghafal, memahami, mengulang dan menyampaikannya pada yang lain. Cahaya ilmu ini diperoleh dengan kesungguhan berharap dan meminta pada Allah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah: Ya Rabbku, berikanlah padaku ilmu.”
(QS. Thaha : 114)

Disebutkan dalam hadits,

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Ilmu itu diperoleh dengan belajar.”[2]

Kelima : Kenikmatan dunia yang begitu melimpah bukanlah hal yang patut seseorang ghibthah (berlomba-lomba untuk memperolehnya) kecuali jika ada maksud untuk amal kebaikan. Namun hal ini berbalik dengan kelakuan kebanyakan orang, mereka malah senangnya berlomba-lomba untuk memperoleh dunia. Tidak ada rasa keinginan dari mereka untuk memperoleh ilmu dan iman dari para ulama (orang yang berilmu).

Keenam : Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan pada yang lain. Sedangkan ilmu yang hanya dipelajari saja tanpa diamalkan adalah ilmu yang hanya jadi petaka untuknya, wal ‘iyadzu billah.

Ketujuh : Harta yang bermanfaat bagi pemiliknya adalah harta yang diperoleh dengan jalan yang halal, lalu disalurkan pada nafkah yang wajib untuk diri dan keluarga secara ma’ruf (wajar). Harta itu pun disalurkan untuk zakat yang wajib dan sedekah kepada fakir miskin, juga disalurkan untuk menyambung hubungan kerabat.[3]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat.

[1] Amradhul Qulub wa Syifauha, Ahmad bin Abdul Halim Al Harani Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1424 H

[2] Disebutkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), lalu Abu Bakr bin Abi ‘Ashim menyambungkannya (maushul).

[3] Faedah ini diperoleh dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al Haddadi tentang hadits fadhilah ‘amal dalam shahihain yang beliau kumpulkan dan beliau beri komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar