Jumat, 07 Agustus 2020

Larangan Menggunakan Bejana yang Terbuat dari Emas dan Perak untuk Makan atau Minum

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Ismaa'iil dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Maalik bin Anas, dari Naafi', dari Zaid bin 'Abdullah bin 'Umar, dari 'Abdullah bin 'Abdurrahman bin Abu Bakr Ash Shiddiiq, dari Ummu Salamah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Orang yang minum dari bejana yang terbuat dari perak, hanyasanya ia menuangkan neraka Jahannam ke dalam perutnya."

[HR. Bukhari no. 5634]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ امْرَأَةِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عَائِشَةَ

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَرِبَ فِي إِنَاءِ فِضَّةٍ فَكَأَنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu'bah, dari Sa'd bin Ibraahiim, dari Naafi', dari istrinya Ibnu 'Umar, dari 'Aisyah, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

"Barangsiapa minum dari bejana yang terbuat dari perak, ibarat seseorang yang mendidihkan api neraka Jahannam ke dalam perutnya."

[HR. Ibnu Majah no. 3415]

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ كَانَ حُذَيْفَةُ بِالْمَدَايِنِ

فَاسْتَسْقَى فَأَتَاهُ دِهْقَانٌ بِقَدَحِ فِضَّةٍ فَرَمَاهُ بِهِ فَقَالَ إِنِّي لَمْ أَرْمِهِ إِلَّا أَنِّي نَهَيْتُهُ فَلَمْ يَنْتَهِ وَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنْ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَقَالَ هُنَّ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin 'Umar; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al Hakam, dari Ibnu Abu Laila dia berkata : 

"Ketika Hudzaifah di Madayin (Mada`in), dia pernah meminta air untuk minum, lalu Dihqan memberinya air minum di dalam bejana yang terbuat dari perak, maka ia membuangnya sambil berkata; "Sesungguhnya aku tidak bermaksud membuangnya melainkan aku telah melarangnya (menggunakan tempat yang terbuat dari perak) namun tetap saja ia menggunakannya, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami memakai kain sutera, dibaj (sejenis sutera) dan tempat minum yang terbuat dari emas dan perak, beliau bersabda: "Itu semua untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan untuk kalian di akhirat kelak."

[HR. Bukhari no. 5632]

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَنَصْرِ الضَّعِيفِ وَعَوْنِ الْمَظْلُومِ وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ وَنَهَى عَنْ الشُّرْبِ فِي الْفِضَّةِ وَنَهَانَا عَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ وَعَنْ رُكُوبِ الْمَيَاثِرِ وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالْقَسِّيِّ وَالْإِسْتَبْرَقِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Asy Syaibaaniy, dari Asy'ats bin Abu Asy Sya'tsaa', dari Mu'aawiyah bin Suwaid bin Muqarrin, dari Al Baraa` bin 'Aazib radhiallahu 'anhuma dia berkata : 

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tujuh perkara yaitu; menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, mendo'akan orang yang bersin, menolong yang lemah, menolong orang yang terzhalimi, menebarkan salam dan menunaikan sumpah, serta beliau juga melarang minum dari bejana yang terbuat dari perak, mengenakan cincin emas, menaiki sekedup yang ditutupi dengan kain sutera, mengenakan kain sutera, dibaj, Qasiy dan Istabraq (sejenis kain sutera)."

[HR. Bukhari no. 6235]

Imam Asy-Syairazi rahimahullah mengatakan :

“Dimakruhkan menggunakan bejana emas dan perak, karena hadits riwayat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu'anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu'alaihi wasalam bersabda : “Janganlah kalian minum dengan menggunakan bejana emas dan perak dan jangan pula makan dengan piring yang terbuat dari keduanya, karena ia untuk mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kalian di negeri akhirat.”. 

Apakah makruh tersebut makruh tanzih atau tahrim ?, ada dua pendapat Imam Syafi’i. 

Pendapat Imam Syafi’i pada qadim, makruh tanzih, karena hal itu dilarang hanyalah karena buang-buang harta, karena kesombongan dan menyerupai dengan orang ‘ajam, padahal ini tidak mewajibkan haram. 

Imam Syafi’i mengatakan dalam qaul jadid, makruh tahrim. Pendapat terakhir ini yang shahih, karena sabda Nabi shallallahu'alaihi wasallam : “Orang yang minum dalam bejana perak, sesungguhnya ia telah memasukkan dalam perutnya neraka jahannam. Rasulullah shallallahu'alaihi wasalam mengancam dengan neraka, maka menunjuki kepada sesungguhnya hal itu adalah haram.”

[An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazdzdab, Maktabah Syamilah, Juz. 1, Hal. 246-247]

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam rahimahullah menyatakan bahwa alasan dari pelarangan ini adalah karena penggunaan bejana emas dan perak dapat menimbulkan rasa sombong, angkuh dan takabbur dalam jiwa orang-orang yang menggunakan bejana emas dan perak tersebut. Lagi pula, perbuatan ini juga dapat membuat sedih orang-orang miskin. 

[Taisirul ‘Alam Syarh ‘Umdatil Ahkam]

Apakah larangan menggunakan bejana emas dan perak khusus untuk makan dan minum saja atau bersifat umum ?

Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan :

(الْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِ اسْتِعْمَالِ أَوَانِي الذَّهَبِ وَاْلِفضَّةِ فِي الأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَيَلْحَقُ بِهِمَا مَا فِيْ مَعْنَاهُمَا، مِثْلُ: التّطَيُّبِ وَالتَّكَحُّلِ، وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ، وبتحريم ذلك قال جمهور العلماء سلفاً وخلفاً..) 

“Hadits ini menyatakan haramnya penggunaan bejana-bejana emas dan perak untuk makan dan minum dan termasuk untuk perkara yang semakna dengannya. Misalnya, untuk wewangian, alat bercelak dan sejenisnya. Pengharaman ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf."

[Al-Mufhim Syarhu Shahîh Muslim, 5/345]

Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan :

"Telah ada ijma’ tentang pengharaman makan dan minum pada keduanya (bejana emas dan perak) dan semua penggunaan yang semakna dengan makan dan minum."

[Taudhih Al-Ahkaam, 1/116]

Disebutkan kata makan dan minum dalam hadits di atas secara khusus karena untuk itulah biasanya bejana itu digunakan, bukan untuk membatasi (mengkhususkan) pada kedua penggunaan ini saja. Jika penggunaannya untuk makan dan minum dilarang, padahal itu menjadi kebutuhan terbesar, maka penggunaannya untuk selain itu yang kebutuhannya di bawah kebutuhan makan dan minum lebih layak untuk dilarang.

Mereka menyatakan bahwa penyebutan lafazh makan dan minum dalam hadits ini adalah karena biasanya penggunaan bejana emas dan perak untuk itu, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." 

[QS. An-Nisâ’ : 10]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allâh supaya kamu mendapat keberuntungan."

[QS. Ali Imrân : 130]

Dalam ayat-ayat di atas yang dilarang adalah lebih umum dari sekadar memakannya. Demikian juga pada penggunaan emas dan perak.

Hal ini dikuatkan dengan sebab pelarangan menurut pendapat ini tidak terbatas hanya dalam makan dan minum saja bahkan lebih dari itu, sebab Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

"Karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat."

[Muttafaq ‘alaihi]

Orang kafir menikmati penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, sebagaimana juga kaum Mukminin di surga akan menggunakan bejana emas dan perak untuk makan dan minum serta yang lainnya, tidak terbatas pada makan dan minum saja.

Pendapat ini dirajihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah dan Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Basâm rahimahullah dalam Taudhîh Al-Ahkâm.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan :

“Semua bejana mubah kecuali bejana emas dan perak dan campurannya."

[Minhajus Sâlikîn, hlm. 34]

Beliaupun menyatakan dalam kitab Al-Qawâ’id wal Furuq (hlm. 155) :

“Penggunaan emas dan perak ada tiga keadaan :

1. Digunakan untuk bejana dan sejenisnya maka ini diharamkan untuk lelaki dan wanita;

2. Digunakan untuk dipakai perhiasan maka ini halal bagi wanita tanpa lelaki;

3. Penggunaan pada pakaian perang dan alat senjatanya maka ini diperbolehkan sampai untuk lelaki juga.”

Syaikh Al-Bassâm rahimahullah menyatakan : “Larangan penggunaan bejana-bejana emas dan perak dalam makan dan minum umum mencakup semua penggunaannya dalam semua pemanfaatan kecuali ada dalil yang mengizinkannya."

[At-Taudhîh, 1/116]

Apakah diperbolehkan memiliki bejana emas dan perak tanpa menggunakannya ?

Tidak boleh. Ini adalah pendapat madzhab Mâlik (Lihat Al-Istidzkâr, 26/270), Ahmad (Lihat Mathâlib Ulin-Nuhâ, 1/55) dan mayoritas Ulama Syâfi’iyah (Lihat Al-Majmû‘, 1/308) serta mayoritas Ulama.

Mereka beralasan, semua yang tidak boleh digunakan maka tidak boleh dimiliki, seperti alat-alat musik dan khamr (miras) dan selainnya. Juga karena memilikinya menjadi sarana untuk menggunakannya dan hukum memiliki sarana sama dengan hukum tujuan[1]. Juga illah (sebab) hukum yang ada dalam pemakaian sesuatu sudah ada ketika sesuatu itu sudah ada dalam kepemilikan, bahkan lebih berat lagi; karena memiliki bejana tanpa menggunakannya sama sekali adalah membuang-buang harta.

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

[1] Misalnya, minum khamr itu haram, maka memiliki khamr juga haram. Karena memiliki khamr menjadi sarana untuk meminumnya dan dalam kaidah dikatakan hukum memiliki sarana sama dengan hukum tujuan-red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar