Jumat, 07 Agustus 2020

Hukum Asal Wanita Gugat Cerai adalah Haram

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, di antaranya :

أَنْبَأَنَا بِذَلِكَ بُنْدَارٌ أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ أَنْبَأَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَمَّنْ حَدَّثَهُ عَنْ ثَوْبَانَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَيُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ وَرَوَاهُ بَعْضُهُمْ عَنْ أَيُّوبَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَرْفَعْهُ

Telah memberitakan hal itu kepada kami Bundaar; Telah memberitakan kepada kami 'Abdul Wahhaab; Telah memberitakan kepada kami Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari orang yang menyampaikan hadits, dari Tsaubaan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Wanita mana pun yang menggugat cerai suaminya tanpa ada sebab (tanpa kondisi mendesak), maka haram baginya bau surga."

Abu 'Iisa berkata; Hadits ini hasan dan hadits ini diriwayatkan dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah dari Abu Asmaa`, dari Tsaubaan serta sebagian perawi meriwayatkannya dari Ayyuub dengan sanad ini namun ia tidak memarfu'kannya.

(HR. Tirmidzi no. 1187)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.

Dalam Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’ :

أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…”

(Aunul Ma’bud, 6/220)

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَنْبَأَنَا الْمَخْزُومِيُّ وَهُوَ الْمُغِيرَةُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

قَالَ الْحَسَنُ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ غَيْرِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ الْحَسَنُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ شَيْئًا

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibraahiim ia berkata; Telah memberitakan kepada kami Al Makhzuumiy -yaitu Al Mughiirah bin Salamah- ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Ayyuub, dari Al Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda :

"Wanita-wanita yang meminta cerai dengan mengembalikan hak-haknya adalah orang munafik."

Al Hasan berkata, "Aku belum pernah mendengarnya kecuali dari Abu Hurairah." Abu 'Abdurrahman berkata, "Al Hasan belum mendengar sesuatupun dari Abu Hurairah."

(HR. Nasa'i no. 3461)

Imam Al-Munawi rahimahullah menjelaskan hadits di atas :

أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’

Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadits ini :

نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي

"Munafiq 'amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat."

(At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shagir, 1/607)

Hal-Hal yang Membolehkan Gugat Cerai

Hadits-hadits di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.

Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah rahimahullah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan :

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها  منه

“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.”

(Al-Mughni, 7/323)

Mengambil faedah dari keterangan Ustadz Firanda, M.A., berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khamr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan shalat, suka mendengar musik, dll.

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.

6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridhainya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.

7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.

(Silahkan lihat Raudhatut Thalibiin 7/374 dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859)

حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

Telah menceritakan kepada kami Az-har bin Jamiil; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhaab Ats Tsaqafiy; Telah menceritakan kepada kami Khaalid, dari 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbaas,

"Bahwasanya Istri Tsaabit bin Qais datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsaabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu."

(HR. Bukhari no. 5273)

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ

عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الْغَلَسِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هَذِهِ فَقَالَتْ أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَالَ مَا شَأْنُكِ قَالَتْ لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ وَذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ وَقَالَتْ حَبِيبَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ خُذْ مِنْهَا فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ هِيَ فِي أَهْلِهَا

Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabiy, dari Maalik, dari Yahya bin Sa'iid, dari 'Amrah binti 'Abdurrahman bin Sa'd bin Zuraarah bahwa ia telah mengabarkan kepadanya, dari Habiibah binti Sahl Al Anshaariyah,

"Bahwa ia adalah istri Tsaabit bin Qais bin Syahs, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk melakukan Shalat Subuh, kemudian beliau mendapati Habiibah binti Sahl di depan pintu dalam kegelapan malam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Siapakah ini?" Habiibah berkata; saya Habiibah binti Sahl. Beliau berkata: "Apakah keperluanmu?" Ia berkata; tidak ada lagi kecocokan antara saya dan Tsaabit bin Qais.

Kemudian tatkala Tsaabit bin Qais datang, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Ini adalah Habiibah binti Sahl, dan ia telah menceritakan apa yang Allah kehendaki untuk disebutkan." Ummu Habiibah berkata; wahai Rasulullah, (kuserahkan) seluruh apa yang ia berikan ada padaku. Maka Rasulullah berkata kepada Tsaabit bin Qais, ambillah darinya. Kemudian ia pun mengambilnya. Dan Habiibah duduk (kembali) kepada keluarganya."

(HR. Abu Dawud no. 2227)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو السَّدُوسِيُّ الْمَدِينِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ

أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا فَقَالَ خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا فَفَعَلَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma'mar; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aamir 'Abdul Malik bin 'Amr; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Amr As Saduusiy Al Madiiniy, dari 'Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm, dari 'Amrah, dari Aisyah,

"Bahwa Habiibah binti Sahl pernah berada di sisi Tsaabit bin Qais bin Syammaas, kemudian ia memukulnya dan melukai sebagian tubuhnya. Lalu Habiibah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setelah shalat Subuh dan mengadu kepadanya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggil Tsaabit dan berkata: "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikan dia!" Kemudian Tsaabit berkata; apakah hal tersebut boleh wahai Rasulullah? Beliau berkata: "Ya." Kemudian ia berkata; sesungguhnya saya telah memberinya mahar dua kebun, dan keduanya ada di tangannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ambillah keduanya dan ceraikan dia!" kemudian Tsaabit melakukan hal tersebut.”

(HR. Abu Dawud no. 2228)

قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ بَكْرِ بْنِ خُنَيْسٍ قَالَ أَخْبَرَنَا حَجَّاجٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَجَّاجِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ عَنْ عَمِّهِ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ قَالَ

كَانَتْ حَبِيبَةُ ابْنَةُ سَهْلٍ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ الْأَنْصَارِيِّ فَكَرِهَتْهُ وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا فَجَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَرَاهُ فَلَوْلَا مَخَافَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَبَزَقْتُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ الَّتِي أَصْدَقَكِ قَالَتْ نَعَمْ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَالَ فَكَانَ ذَلِكَ أَوَّلَ خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ

(Ahmad bin hanbal) berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Qudduus bin Bakr bin Khunais berkata; Telah mengabarkan kepada kami Hajjaaj, dari 'Amr bin Syua'ib, dari Bapaknya, dari 'Abdullah bin 'Amr dan Al Hajjaaj, dari Muhammad bin Sulaimaan bin Abu Khatsmah, dari Pamannya, Sahl bin Abu Khatsmah berkata :

"Habiibah anak perempuan Sahl diperistri oleh Tsaabit bin Qais bin Syammaas Al Anshaariy, dia seorang laki-laki yang buruk mukanya, dan perempuan tersebut membencinya. Lalu datang kepada Nabi shallallahu'alaihi wasallam, berkata; "Wahai Rasulullah, kalaulah bukan karena saya takut pada Allah, pastilah aku meludahi wajahnya", lalu Rasulullah bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun yang telah dia berikan kepadamu?" maka perempuan itu menjawab, "Ya". Selanjutnya dikirimlah (utusan) kepada Tsaabit bin Qais dan dikembalikan kebunnya, keduanya kemudian bercerai.

(Sahl bin Abu Khatsmah) berkata; itulah Khulu' (permintaan cerai dari pihak perempuan, pent) yang pertama dalam Islam."

(HR. Ahmad no. 15513)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan dalam Fathul Baari, bahwa Istri Tsaabit tidak menginginkan pisah dari suaminya karena akhlak suaminya yang buruk dan tidak pula karena agamanya yang kurang. Tapi karena suaminya berparas jelek dan tidak menyenangkan hatinya sehingga ia merasa jijik dan tidak ada rasa suka kepadanya.

Kemudian dia mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena takut akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka yang ada dalam dirinya sehingga melakukan sesuatu yang bisa menciderai pernikahannya. Ia tahu bahwa hal itu haram sehingga takut kebenciannya mendorongnya ke dalam keharaman tersebut.

(Diringkas dari Fathul Bari, 9/399)

Hadits tersebut menerangkan bahwa rasa benci seorang wanita kepada suaminya karena tidak adanya rasa cinta & takutnya ia akan menelantarkan hak-hak suaminya menjadi satu udzur untuk meminta pisah dari suaminya, tapi bagi wanita tersebut mengajukan khulu’ dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dahulu. Namun jika ia masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.

Allahu a'lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar