Oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Anak adalah karunia Allâh Azza wa Jalla yang tiada terhingga bagi semua keluarga. Keberadaannya sangat dinantikan karena akan menjadi penerus sejarah manusia, dan menjadi salah satu penguat ikatan rumah tangga. Banyak pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sangat berharap agar segera mendapatkannya. Ini menunjukkan demikian penting kehadiran anak bagi semua umat manusia.
Agama Islam telah memberikan perhatian yang sangat detail terhadap anak, sejak proses konsepsi, kehamilan, kelahiran, sampai pendidikan ketika anak lahir dan masa tumbuh kembang hingga dewasa. Semua mendapatkan perhatian dan tuntunan yang teliti.
Agama Islam mengajarkan beberapa adab atau tuntunan dalam menyambut kelahiran bayi. Diantaranya adalah tahnîk yang tersebar di sejumlah artikel dikatakan sebagai imunisasi yang dinisbatkan pada Islam. Lalu bagaimana hakekat tahnîk menurut syariat dan para Ulama, berikut penjelasan seputar tahnîk.
APA ITU TAHNIK ?
Tahnîk, berasal dari bahasa Arab yang bermakna melembutkan kurma dan sejenisnya dan memijat langit-langit mulut dengan kurma tersebut.
[Lihat Maqâyis Al-Lughah 2/111]
Sedangkan secara istilah, telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah bahwa tahnîk ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan atau memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit mulut. Ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika mentahnîk, mulut (bayi) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) bisa masuk ke perutnya. Yang lebih utama, mentahnîk dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama daripada yang lainnya.
[Fathul Bâri 9/588]
HUKUM TAHNIK MENURUT SYARIAT
Para Ulama ahli fikih sepakat bahwa hukum tahnîk bayi adalah sunnah, seperti diceritakan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahîh Muslim (14/122). Hukum ini berdasarkan beberapa hadits, diantaranya :
1. Hadits Abu Burdah dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
"Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Ibrâhîm dan mentahnîknya dengan sebiji kurma (tamr)."
[HR. Al-Bukhâri no. 5467 dan Muslim no. 2145]
2. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
كَانَ ابْنٌ ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ، فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
"Dahulu, anak Abu Thalhah sakit, (tapi) Abu Thalhah (tetap) keluar rumah. Tidak berselang lama, anak itu meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah bertanya, ‘Apa yang dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Dia lebih tenang dari sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma menghidangkan makan malam kepadanya, selanjutnya Abu Thalhah menggaulinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘Ya,’ jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allâh, berikanlah keberkahan kepada keduanya.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah Radhiyallahu anhu berkata kepadaku (Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu ), ‘Bawalah anak ini sampai engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ada sesuatu yang menyertainya (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, beberapa biji kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu, lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.”
[HR. Al-Bukhâri no. 5470 dan Muslim no. 2144]
3. Hadits ‘Aisyah binti Abi Bakar Radhiyallahu 'anhuma yang berkata :
أُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ
“Ada bayi laki-laki yang dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnîknya. Kemudian bayi itu kencing di pangkuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memercikkan air di atas kencing tersebut.”
[HR. Al-Bukhâri no. 5468 dan Muslim no. 286. Lafazh hadits ini adalah lafazh Al-Bukhâri]
Dalam lafazh Shahih Muslim berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
"Diriwayatkan dari 'Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada beberapa bayi yang dibawa kehadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnîk mereka. Lalu ada bayi yang dihadirkan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (namun) kemudian bayi itu kencing di pangkuan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas Beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan Beliau tidak sampai mencucinya."
Hadits-hadits di atas juga ada hadits lainnya menunjukkan bahwa tahnîk adalah sunnah yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperhatikan sekali para sahabat sehingga mereka membawa bayi mereka yang baru lahir kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditahnîk.
TATA CARA TAHNIK
Tahnîk dilakukan pada bayi dengan cara melembutkan satu biji kurma atau lebih atau yang manis-manis dengan mulut pentahnîk dan menekan-nekan langit-langit mulut bayi dengan cara meletakkan sebagian yang telah dilembutkan tersebut keujung jari dan memasukkannya kemulut sang bayi kemudian menggerakkan jari tersebut di dalam mulut sang bayi hingga mulut dipenuhi dengan kurma yang telah dilembutkan tersebut.
[Lihat Hâsyiyah I’ânatuth Thâlibin 2/334 dan Ahkâm Al-Maulûd fi Fiqhil Islam, hlm 109]
Kalau bisa, mulut bayi dibuka hingga sebagian dari kurma yang sudah dihaluskan tersebut sampai ke lambungnya.
[Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 8/434-435]
Sebaiknya mentahnîk dengan tamr (kurma kering), apabila tidak ada maka dengan ruthab (kurma basah) dan kalau tidak ada maka dengan makanan yang manis yang tidak dibakar, seperti anggur kering (kismis) dan madu serta sejenisnya. Ini disampaikan para Ulama Syâfi’iyah dan Hanabilah
[Lihat Al-Majmû’, 4/434 dan Fathul Bâri, 9/588].
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
"Yang lebih utama, mentahnîk dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya."
[Fathul Bâri, 9/588]
Sedangkan Imam Al-Mawardi rahimahullah berkata :
“Menurut Ulama yang membolehkan tahnîk (bukan perbuatan khusus bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah pendapat Ulama Syâfi’iyyah dan Hanabilah.”
[Al Inshâf lil Mawardi, 4/104]
Kesimpulannya adalah tahnîk diperbolehkan dengan semua yang memiliki rasa manis alami yang dapat merangsang bayi bergerak dan melatihnya menghisap agar mampu menghisap air susu ketika sang ibu mengeluarkan air susunya.
ORANG YANG MENTAHNIK
Orang yang melakukan tahnîk boleh laki-laki atau perempuan, sebagaimana disampaikan Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah memiliki anak dan yang mentahnîknya adalah wanita.
[Lihat Tuhfatul Maudûd, hlm. 66]
Sebagian ahli fikih memandang perlu dan menganjurkan membawa bayi kepada orang shalih yang mentahnîknya seperti Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits-hadits tentang masalah tahnîk dalam bab :
”Dianjurkan mentahnîk bayi yang baru lahir, bayi tersebut dibawa ke orang shalih untuk ditahnîk.”
[Lihat Syarh Shahih Muslim, 14/110]
Namun Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri (1/327) menyatakan bahwa ini khusus untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dianalogikan kepada selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan keberkahan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengkhususkannya untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak untuk lain. Juga karena para Shahabat tidak melakukan hal tersebut bersama selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mereka orang yang paling mengetahui syariat sehingga mereka wajib dicontoh. Juga karena jika hal seperti ini dibolehkan kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu bisa mengantar kepada perbuatan syirik.
Penulis kitab Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd fi Syarhi Kitâb At-Tauhîd (hlm. 185-186) menyatakan bahwa sebagian orang mutaakhirin menyebutkan bahwa tabarruk (mencari berkah) pada bekas orang-orang shalih adalah mustahab (dianjurkan), seperti minum minuman bekas mereka dan membawa bayi ke salah seorang dari mereka untuk mentahnîknya dengan kurma sehingga yang masuk pertama kali kedalam perutnya adalah ludah orang-orang shalih. Ini adalah kesalahan besar, karena beberapa alasan :
1. Mereka tidak bisa mendekati apalagi setara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keutamaan dan keberkahan.
2. Keshalihan mereka adalah perkara yang belum pasti, karena keshalihan tidak terwujud kecuali dengan keshalihan hati. Ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali dari nash syariat, seperti para Shahabat yang dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya juga Imam para tabi’in, orang-orang yang terkenal dengan keshalihan dan agamanya seperti Imam Syâfi’i, Abu Hanîfah, Mâlik dan Ahmad bin Hambal dan yang semisal dengan mereka. Adapun selain mereka kita hanya bisa menduga dan berharap mereka adalah orang-orang shalih.
3. Seandainya kita sudah menganggap dia orang shalih, tetapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang itu tidak akan diwafatkan oleh Allâh matikan dalam keadaan su’ul khâtimah, padahal amalan seorang manusia itu tergantung amalannya yang terakhir, sehingga tidak berhak dijadikan tempat mengambil berkah.
4. Para Shahabat tidak pernah melakukannya kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik disaat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah wafat. Seandainya (perbuatan tersebut) baik tentu mereka telah lebih dahulu melakukannya sebelum kita.
5. Perbuatan ini (jika dilakukan) pada selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak aman dari fitnah sehingga mengakibatkan ujub dan sombong, sehingga ini termasuk seperti pujian didepannya bahkan lebih besar lagi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tahnîk dilakukan oleh siapa saja tanpa kekhususan tertentu. Orang tuanya apabila melakukannya maka telah mendapatkan pahala sunnahnya dan telah sah tanpa syarat harus mencapai derajat takwa dan keshalihan dalam mentahnîk.
WAKTU MELAKUKAN TAHNIK
Sepakat para ahli fikih menyatakan waktu tahnîk bayi itu dilakukan di saat bayi baru lahir.
Diantara dalil yang menunjukkan agar bayi yang baru lahir segera ditahnîk adalah hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu :
فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
"Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Mâlik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ada sesuatu yang menyertainya (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, beberapa biji kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu, lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.”
[HR. Al-Bukhâri no. 5470 dan Muslim no. 2144]
HIKMAH TAHNIK DAN PENJELASAN ULAMA
Tidak ada nash syariat yang menjelaskan secara jelas tentang hikmah tahnîk ini, namun para Ulama memberikan beberapa hikmah dilakukannya tahnîk selain mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya :
1. Agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentahnîk dengan kurma.
Hikmah ini terungkap dalam ilmu kedokteran dengan penelitian-penelitian dokter spesialis, seperti dr. Muhammad Ali al-Bâr salah seorang anggota Hai’ah al-I’jaz al-‘Ilmi yang menyatakan bahwa ilmu modern menemukan hikmah dari tahnîk ini setelah empat belas abad lamanya. Baru saja terbukti bahwa setiap anak khususnya yang baru lahir dan menyusui beresiko kematian apabila terjadi pada mereka salah satu dari dua hal; yaitu kekurangan gula dalam darah dan menurunnya derajat suhu badan ketika menghadapi udara dingin disekitarnya.
Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir itu sangat kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi premature yang beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/100 ml darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 ml.
Kadar gula bila sampai turun drastis bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit :
- Bayi menolak untuk menyusui;
- Otot-otot melemas;
- Tidak bisa bernafas dan kulit bayi menjadi kebiruan;
- Kontraksi atau kejang-kejang.
Sebagaimana juga bisa menyebabkan bahaya berlipat dan akut, diantaranya :
- Pertumbuhan fisik dan akal lambat;
- Kelumpuhan otak;
- Cacat pendengaran atau penglihatan atau kedua-duanya;
- Epilepsi.
Apabila tidak segera diberikan pengobatan maka bisa menimbulkan kematian. Padahal pengobatannya sangat mudah yaitu memberikan gula glukosa yang dilarutkan kedalam air bisa dengan melalui mulut atau pembuluh darah. Ini dapat diatasi dengan tahnîk.
Jadi tahnîk adalah tindakan prefentif dari penyakit kekurangan gula dalam darah, karena mengandung gula glukosa dalam jumlah besar dan khususnya setelah larut dengan air ludah yang mengandung banyak enzim yang dapat merubah gula sukrosa menjadi glukosa. Demikian juga ludah memudahkan larutnya gula-gula tersebut. Dari sini akan memudahkan bayi mengambil manfaat darinya.
Oleh karena itu rumah sakit bersalin ibu dan anak biasanya memberikan bayi-bayi yang terlahir larutan glukosa segera setelah kelahirannya dan sebelum sang ibu menyusuinya. Dari sini tampak jelas hikmah tahnîk sebagai satu sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Dinukil dari http://articles.islamweb.net/media/index.php?id=143055&lang=A&page=article)
2. Tahnîk dapat memperkuat otot-otot mulut dengan gerakan lidah dengan langit-langit dan kedua tulang rahang dengan gerakan-gerakan saat menikmati rasa manis hingga sang bayi siap untuk mengisap air susu ibunya dengan kuat dan alami.
[Tarbiyatul Aulâd fil Islâm 1/71, dinukil dari Ahkâm Al-Maulûd, hlm. 113]
Disamping juga memberikan pengaruh pada bentuk mulut yang alami sehingga memudahkan anak mengeluarkan huruf-huruf dengan benar ketika memulai memasuki masa kanak-kanak.
3. Tahnîk bisa melatih dan menguatkan sang bayi untuk makan.
[Lihat Fathul Bâri, 9/588]
4. Rasa manis akan cepat masuk kedalam liver dan khususnya apabila dari Ruthab atau kurma, sehingga mudah diterima dan bermanfaat besar bagi liver.
[Lihat Ahkâm Al-Maulûd, hlm. 113]
5. Adanya do’a untuk mengharapkan keberkahan, seperti yang dilakukan para Shahabat dengan membawa anak-anak mereka ke Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian sebagian dari hikmah yang disampaikan para Ulama. Namun walaupun tidak diketahui hikmahnya tetap saja semua yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terbaik bagi kita semua.
BERDOA UNTUK BAYI YANG DITAHNIK
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahnîk tidak lupa mendoakan kebaikan kepada sang bayi, sebagaimana ada dalam banyak hadits diantaranya hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu dalam riwayat imam al-Bukhâri dan juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam Shahîh Muslim. Demikianlah seharusnya seorang yang mentahnîk hendaknya menyertai doa kebaikan buat sang bayi.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalâni rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca,
“Maksud mentahnîk adalah meletakkan kurma (yang sudah dikunyah sampai lembut) ke dalam mulut bayi, kemudian menggosoknya, kemudian mendoakannya dengan do’a Bârakallâhu fîhi (Semoga Allâh melimpahkan berkah untuknya)”, atau “Allâhumma bârik fîhi (Ya Allâh! Berkahilah dia).”
[Fathul Bâri, 7/248]
Demikianlah beberapa hukum syariat berkenaan dengan tahnîk yang tidak diketahui oleh banyak kaum Muslimin. Semoga hal ini dapat mencerahkan wawasan keilmuan kaum Muslimin dan dapat menjadi sebab diamalkannya sunnah yang baik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar