Tidak ada perselisihan di antara ulama mengenai jumlah rakaat minimal shalat dhuha, yakni dua rakaat berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat dhuha. Namun, mereka berbeda pendapat tentang berapakah jumlah rakaat maksimal shalat dhuha. Dalam hal ini setidaknya ada tiga pendapat :
Pertama, jumlah rakaat maksimal adalah delapan rakaat. Pendapat ini dipilih oleh Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalil yang digunakan madzhab ini adalah,
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى يَقُولُ مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ فَإِنَّهَا قَالَتْ
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
Telah menceritakan kepada kami Adam; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru bin Murrah Aku mendengar 'Abdurrahman bin Abu Laila berkata :
"Tidak ada dari orang yang pernah menceritakan kepada kita bahwa dia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani' yang dia menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memasuki rumahnya pada saat penaklukan Makkah, kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mandi lalu shalat delapan raka'at" seraya menjelaskan: "Aku belum pernah sekalipun melihat Beliau melaksanakan shalat yang lebih ringan daripada saat itu, namun Beliau tetap menyempurnakan ruku' dan sujudnya".
(HR. Bukhari no. 1176)
و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى وَمُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ قَالَا أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ قَالَ
سَأَلْتُ وَحَرَصْتُ عَلَى أَنْ أَجِدَ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ يُخْبِرُنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّحَ سُبْحَةَ الضُّحَى فَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا يُحَدِّثُنِي ذَلِكَ غَيْرَ أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَتْنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ يَوْمَ الْفَتْحِ فَأُتِيَ بِثَوْبٍ فَسُتِرَ عَلَيْهِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ لَا أَدْرِي أَقِيَامُهُ فِيهَا أَطْوَلُ أَمْ رُكُوعُهُ أَمْ سُجُودُهُ كُلُّ ذَلِكَ مِنْهُ مُتَقَارِبٌ قَالَتْ فَلَمْ أَرَهُ سَبَّحَهَا قَبْلُ وَلَا بَعْدُ
قَالَ الْمُرَادِيُّ عَنْ يُونُسَ وَلَمْ يَقُلْ أَخْبَرَنِي
Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya dan Muhammad bin Salamah Al Muraadiy keduanya berkata; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yuunus dari Ibnu Syihaab katanya; Telah menceritakan kepadaku Ibnu 'Abdullah bin Al Haarits bahwa Ayahnya yaitu 'Abdullah bin Al Haarits bin Naufal mengatakan :
"Aku bertanya dan memang aku sangat berkehendak agar seseorang mengabariku, katanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan shalat sunnah dhuha, ternyata aku tidak mendapatkan seorang pun mengabarkan hal itu, selain Ummu Hani` binti Abu Thalib. Dia mengabariku bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah datang ketika siang agak meninggi, yaitu ketika penaklukan kota Makkah, beliau diberi kain dan beliau pun ditutupi, kemudian beliau mandi. Setelah itu beliau berdiri dan ruku' sebanyak delapan rakaat, saya tidak tahu apakah berdirinya lebih lama ataukah ruku'nya, ataukah sujudnya, semua sepertinya hampir sama." Kata Ummu Hani selanjutnya; "Padahal sebelum dan sesudah itu, aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sunnah dhuha."
Al Muraadiy mengatakan dari Yuunus, namun Yuunus tidak mengatakan; "Telah mengabariku."
(HR. Muslim no. 336)
Imam Nawawi mencantumkan hadits di atas pada Bab : Sunnahnya Shalat Dhuha, Minimalnya Dua Rakaat dan Maksimalnya Delapan Rakaat.
Kedua, rakaat maksimal adalah 12 rakaat. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanafi, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat lemah dalam Madzhab Syafi’i.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ فُلَانِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عَمِّهِ ثُمَامَةَ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الضُّحَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْرًا مِنْ ذَهَبٍ فِي الْجَنَّةِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أُمِّ هَانِئٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَنُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ وَأَبِي ذَرٍّ وَعَائِشَةَ وَأَبِي أُمَامَةَ وَعُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ وَابْنِ أَبِي أَوْفَى وَأَبِي سَعِيدٍ وَزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al Alaa'; Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin Bukair dari Muhammad bin Ishaq dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Muusa bin Fulaan bin Anas dari pamannya yaitu Tsumaamah bin Anas bin Maalik dari Anas bin Maalik dia berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa yang melaksanakan shalat dhuha dua belas raka'at, niscaya Allah akan membuatkan baginya sebuah istana dari emas di syurga."
(Perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ummu Hani', Abu Hurairah, Nu'aim bin Hammar, Abu Dzar, 'Aisyah, Abu Umamah, 'Utbah bin 'Abd As Sulami, Ibnu Abu Aufa, Abu Sa'id, Zaid bin Arqam dan Ibnu 'Abbas. Abu 'Isa berkata, hadits Anas adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.
(HR. Tirmidzi no. 473. Hadits ini didhaifkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhis Al-Khabir, 2/20 dan Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, 1/293)
Pendapat ini juga berdalil dengan hadits Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga.
Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya.”
(HR. Ath-Thabrani)
Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id (2/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya’qub Az-Zam’i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu’in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha’if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (2/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu ‘anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (1/279).
Imam Nawawi di dalam “Al Minhaj” menyebutkan bahwa maksimalnya adalah dua belas rakaat sementara dia menyalahinya di dalam kitab “Syarh Al Muhadzdzab”, dia menyebutkan dari kebanyakan ulama bahwa maksimal adalah delapan rakaat. Beliau menyebutkan juga di dalam “Raudhah Ath Thalibin” bahwa yang paling utama adalah delapan rakaat sedangkan maksimalnya adalah dua belas rakaat dengan mengucapkan salam di setiap dua rakaat.”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah juz 2 hal. 9730 – 9731)
Ketiga, tidak ada batasan maksimal untuk shalat dhuha. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi.
Dalam kumpulan fatwanya tersebut, Imam As-Suyuthi rahimahullah mengatakan,
“Tidak terdapat hadits yang membatasi shalat dhuha dengan rakaat tertentu, sedangkan pendapat sebagian ulama bahwasanya jumlah maksimal 12 rakaat adalah pendapat yang tidak memiliki sandaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafizh Abul Fadl Ibn Hajar dan yang lainnya.”. Beliau juga membawakan perkataan Al-Hafizh Al-‘Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi, “Saya tidak mengetahui seorangpun sahabat maupun tabi’in yang membatasi shalat dhuha dengan 12 rakaat. Demikian pula, saya tidak mengetahui seorangpun ulama madzhab kami (syafi’iyah) – yang membatasi jumlah rakaat dhuha – yang ada hanyalah pendapat yang disebutkan oleh Ar-Ruyani dan diikuti oleh Ar-Rafi’i dan ulama yang menukil perkataannya.”
Setelah menyebutkan pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, As-Suyuthi menyebutkan pendapat sebagian ulama malikiyah, yaitu Imam Al-Baaji Al-Maliki dalam Syarh Al-Muwattha’ Imam Malik. Beliau mengatakan, “Shalat dhuha bukanlah termasuk shalat yang rakaatnya dibatasi dengan bilangan tertentu yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, namun shalat dhuha termasuk shalat sunnah yang boleh dikerjakan semampunya.”
(Al-Hawi lil Fataawa, 1/66)
Kesimpulan dan Tarjih
Jika dilihat dari dalil tentang shalat dhuha yang dilakukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam jumlah rakaat maksimal yang pernah beliau lakukan adalah 12 rakaat. Hal ini ditegaskan oleh Al-‘Iraqi dalam Syarh Sunan Tirmidzi dan Al-‘Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari. Al-Hafizh Al ‘Aini mengatakan, “Tidak adanya dalil –yang menyebutkan jumlah rakaat shalat dhuha– lebih dari 12 rakaat, tidaklah menunjukkan terlarangnya untuk menambahinya.”
(Umdatul Qari, 11/423)
Setelah membawakan perselisihan tentang batasan maksimal shalat dhuha, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang benar adalah tidak ada batasan maksimal untuk jumlah rakaat shalat dhuha karena :
1. Hadits Mu’adzah yang bertanya kepada 'Aisyah radhiallahu’anha, “Apakah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat dhuha?” Jawab Aisyah, “Ya, empat rakaat dan beliau tambahi sesuai kehendak Allah.” (HR. Muslim, no. 719).
Misalnya ada orang shalat di waktu dhuha 40 rakaat maka semua ini bisa dikatakan termasuk shalat dhuha.
2. Adapun pembatasan delapan rakaat sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang fathu Mekkah dari Ummu Hani’, maka dapat dibantah dengan dua alasan :
Pertama, sebagian besar ulama menganggap shalatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika fathu Mekkah bukan shalat dhuha namun shalat sunnah karena telah menaklukkan negeri kafir. Dan disunnahkan bagi pemimpin perang, setelah berhasil menaklukkan negeri kafir untuk shalat 8 rakaat sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Kedua, jumlah rakaat yang disebutkan dalam hadits tidaklah menunjukkan tidak disyariatkannya melakukan tambahan, karena kejadian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan rakaat adalah peristiwa kasuistik –kejadian yang sifatnya kebetulan–."
(Asy-Syarhul Mumthi’ ‘alaa Zadil Mustaqni’, 2/54)
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar