Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنهم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : إذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلاةِ . فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
Dari 'Abdullah bin 'Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
"Jika panas menyengat, tundalah shalat hingga udara dingin, karena panas yang menyengat merupakan bagian dari tumpahan Neraka Jahannam."
Makna Global
Ruh shalat dan intinya adalah kekhusyu’an dan ketundukan hati di dalam shalat. Karena itulah orang yang shalat dianjurkan memasuki shalat dengan melepaskan diri dari segala kesibukan dan mencari sarana yang dapat membantu kekhusuyu’an hati di dalamnya.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengutamakan penundaan shalat Zhuhur hingga udara menjadi lebih dingin ketika hari terik menyengat, agar orang yang shalat tidak terganggu kekhusyuannya karena udara yang panas. Yang demikian ini untuk mendatangkan kemudahan dan keluwesan bagi orang-orang yang keluar dari rumah untuk shalat di masjid di bawah sengatan sinar matahari.
Atas dasar makna-makna yang agung seperti inilah disyariatkan penundaan shalat Zhuhur dari awal waktunya. Hadits ini menjadi pengkhusus bagi hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat di awal waktu.
Kesimpulan Hadits
1. Sunnah menunda shalat Zhuhur ketika panas menyengat hingga udara menjadi lebih sejuk dan panas berkurang. Menurut para Ulama, penundaan ini tidak mempunyai batasan waktu dalam syari’at. Ash-Shan’aniy menjelaskan bahwa yang lebih benar penggunaan dalil untuk menjelaskan batasannya ialah hadits yang ditakhrij Asy-Syaikhaniy dari hadits Abu Dzar, dia berkata : “Kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mu’adzin hendak adzan untuk shalat Zhuhur. Maka beliau bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih sejuk”.. Muadzin hendak adzan lagi, lalu beliau bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih sejuk lagi”. Hingga kami melihat bayangan di dinding. Ini merupakan petunjuk batasan menunda hingga sejuk, yaitu ketika dinding sudah memunculkan bayangan atau lainnya.
2. Hikmah dalam hal ini ialah agar orang yang shalat dapat tenang hatinya dan tidak gusar karena terganggu oleh panas matahari yang menyengat.
3. Hukum berlaku karena alasannya. Jika dirasakan panas di suatu wilayah, maka berlakulah fadhilah penundaan shalat Zhuhur. Adapun wilayah-wilayah yang dingin, berarti kehilangan alasan, sehingga tidak dianjurkan menunda pelaksanaan shalat Zhuhur.
4. Zhahir hadits ini dan hikmah yang dapat dipahami dari penundaan ini, bahwa hukum ini bersifat umum bagi orang yang hendak shalat jama’ah di masjid dan orang yang mengerjakannya sendirian di rumah, karena mereka semua merasakan kegundahan karena panas.
5. Disyariatkan kepada orang yang shalat untuk menjauhi segala hal yang menyibukkan dan menggangu
Faidah
Syaikh kami, 'Abdurrahman bin Nashir bin Sa’diy berkata ketika membicarakan hadits ini, “Tidak ada penafian antara hal ini dengan sebab-sebab yang dirasakan, yang semuanya termasuk sebab panas dan dingin, seperti yang berlaku dalam shalat gerhana dan lain sebagainya”.
Manusia harus mengukuhkan sebab-sebab yang tidak tampak seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mempercayainya serta menetapkan sebab-sebab yang tampak dan dirasakan. Siapa yang mendustakan salah satu di antara keduanya, berarti dia salah.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظَّهَائِرِ فَسَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
"Kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di tengah terik yang menyengat. Kami sujud beralaskan pakaian kami untuk menghindari panasnya pasir.”
Makna Global
Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah shalat Zhuhur bersama shahabat pada hari-hari yang terik, sementara panasnya tanah masih sangat terasa, sehingga membuat orang-orang yang shalat tidak kuat menempelkan kening di tanah. Karena itu mereka menggelar kain mereka lalu sujud di atasnya, agar dapat melindungi kening dari panasnya tanah.
Kesimpulan Hadits
1. Waktu shalat Zhuhur yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pada hari-hari yang panas ialah setelah panas matahari berkurang, namun bekasnya masih tetap terasakan di tanah.
2. Diperbolehkan sujud di atas alas berupa kain atau lainnya jika dibutuhkan, karena panas, dingin, benda-benda yang tajam dan lain sebagainya. Para ulama merinci alas untuk sujud. Jika alas itu tidak dipakai orang yang shalat, seperti sajadah, maka diperbolehkan meskipun bukan keperluan yang mendesak dan juga tidak dimakruhkan. Jika berkaitan dengan hal-hal yang dikenakannya, seperti kain yang biasa diselimutkan ke badan, maka hukumnya makruh.
Lalu bagaimana cara mengkompromikan dua hadits ini ?
Zhahir kedua hadits di atas saling bertentangan. Karena itulah para ulama berusaha mengkompromikan keduanya. Pendapat yang paling baik tentang masalah ini seperti yang dinyatakan jumhur, bahwa yang afdhal ketika panas yang menyengat ialah menunda waktunya seperti yang disebutkan dalam hadits Anas, bahwa mereka menundanya hingga sejuk. Tapi panasnya tanah masih tetap, karena proses sejuknya tanah lebih lama, sehingga perlu sujud di atas alas.
Yang dimaksudkan menunda waktu pelaksanaan hingga sejuk seperti yang dituntut di sini bukan menunda waktu hingga tanah menjadi sejuk, tapi panasnya sinar matahari hingga agak sejuk, begitu pula badan manusia.
[Disalin dari kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerjemah Kathur Suhardi, Penerbit Darul Falah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar