Selasa, 09 Maret 2021

Benarkah Ikhtilaf itu Rahmat ?

Di antara mereka yang mentolelir adanya perselisihan dan perbedaan pendapat berpegang pada sebuah hadits :
 
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
 
“Perbedaan umatku adalah rahmat.”
 
Jawaban :
 
Pertama : Hadits ini tidak mempunyai asal dan tidak dikenal oleh para ulama Ahlul Hadits. Al-Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
 
قال السبكي وليس بمعروف عند المحدثين ولم أقف له على سند صحيح ولا ضعيف ولا موضوع
 
“As-Subki berkata: “Hadits ini tidak dikenal di kalangan Ahlul hadits. Aku tidak mendapatkan asal hadits ini, baik melalui sanad yang shahih, yang dhaif, ataupun yang palsu.”
(Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ish Shaghir, 1/274)

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
“Tidak ada asalnya (arab: laa ashla lahu), dan para muhadditsin (ahli hadits) telah mengerahkan segenap upaya mereka untuk menemukan sanadnya akan tetapi mereka tidak menemukannya”.
(Adh-Dha’ifah no. 57)

Kedua : Isi dari hadits ini menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah Al-Maqbulah yang menganjurkan untuk bersatu dan melarang berselisih. Al-Imam Isma'il bin Yahya Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata :
 
وَلَوْ كَانَ الِاخْتِلَافُ رَحْمَةً ، لَكَانَ الِاجْتِمَاعُ عَذَابًا ؛ لِأَنَّ الْعَذَابَ خِلَافُ الرَّحْمَةِ
 
“Seandainya ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, niscaya persatuan itu adzab (siksa), karena adzab itu lawannya rahmat.”
(Al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh liz Zarkasyi, 6/203)

Ketiga : Mungkin yang dimaksud dengan hadits di atas adalah bukan perselisihan dalam agama, melainkan perbedaan umat dalam mata pencaharian. Ada umat ini yang menjadi petani, dokter, karyawan, pedagang, insinyur dan sebagainya. Al-Allamah Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 804 H) berkata :
 
وَرَأَيْت بِخَط بَعضهم أَن الْحَلِيمِيّ قَالَ: قَوْله عَلَيْهِ السَّلَام [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ] : «اخْتِلَاف أمتِي رَحْمَة» أَي فِي الْحَرْف والصنائع.
 
“Aku melihat dengan tulisan sebagian ulama bahwa Al-Halimi berkata: “Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam “Ikhtilaf umatku adalah rahmat”, maksudnya adalah perbedaan dalam mata pencaharian dan profesi.”
(Tadzkiratul Muhtaj ila Ahaditsil Minhaj, 72)

Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Imam As-Subki. Al-Allamah Muhammad 'Abdur Rauf Al-Munawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
 
وأما ما ذهب إليه جمع من أن المراد الاختلاف في الحرف والصنائع فرده السبكي بأنه كان المناسب على هذا أن يقال اختلاف الناس رحمة إذ لا خصوص للأمة بذلك فإن كل الأمم مختلفون في الحرف والصنائع فلا بد من خصوصية
 
“Adapun pendapat sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengannya adalah perbedaan dalam mata pencaharian dan profesi, maka pendapat ini dibantah oleh As-Subki dengan alasan bahwa konteks yang tepat untuk ini adalah perbedaan umatku itu rahmat, karena tidak ada kekhususan bagi umat ini. Yang demikian karena setiap umat itu berbeda-beda dalam mata pencaharian dan profesi sehingga harus ada kekhususan bagi umat ini dibanding umat lainnya.”
(Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ish Shaghir, 1/270)

Keempat : Mungkin yang dimaksud perselisihan dalam hadits ini adalah terbukanya pintu ijtihad di kalangan ulama dan ikhtilaf dalam masalah furu’ (cabang) fikih. Al-Allamah Abu Ishaq Asy-Syathibi Al-Maliki rahimahullah berkata :
 
وَبَيَانُ كَوْنِ الِاخْتِلَافِ الْمَذْكُورِ رَحْمَةً مَا رُوِيَ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: لَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ بِاخْتِلَافِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعَمَلِ، لا يعمل العامل بعلم رَجُلٍ مِنْهُمْ إِلَّا رَأَى أَنَّهُ فِي سَعَةٍ.
 
“Penjelasan bahwa perbedaan tersebut merupakan rahmat adalah riwayat Al-Imam Qasim bin Muhammad bahwa beliau berkata: “Sungguh, Allah telah memberikan manfaat dengan perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam pengamalan fikih. Tidaklah seseorang mengamalkan ilmu salah seorang dari mereka (para sahabat) kecuali ia dalam keluasan.”
(Al-I’tisham lisy Syathibi, Tahqiq Al-Hilali, 2/676)

Al-Allamah Asy-Syathibi juga berkata :
 
وَرَوَى ابْنُ وَهْبٍ عَنِ الْقَاسِمِ أَيْضًا قَالَ: لَقَدْ أَعْجَبَنِي قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ: مَا أَحِبُّ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْتَلِفُونَ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ قَوْلًا وَاحِدًا لَكَانَ النَّاسُ فِي ضِيقٍ، وَإِنَّهُمْ أَئِمَّةٌ يُقْتَدَى بِهِمْ، فَلَوْ أَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ أَحَدِهِمْ كَانَ سِعَةً. وَمَعْنَى هَذَا أَنَّهُمْ فَتَحُوا لِلنَّاسِ بَابَ الِاجْتِهَادِ وَجَوَازَ الِاخْتِلَافِ فِيهِ، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْتَحُوهُ لَكَانَ الْمُجْتَهِدُونَ فِي ضِيقٍ، لِأَنَّ مَجَالَ الِاجْتِهَادِ وَمَجَالَاتِ الظُّنُونِ لَا تَتَّفِقُ عَادَةً ـ كَمَا تَقَدَّمَ ـ
 
“Ibnu Wahab meriwayatkan dari Al-Qasim juga, ia berkata: “Aku kagum dengan ucapan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz: “Aku tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat, karena jika hanya ada satu pendapat saja, maka manusia akan berada dalam kesempitan. Dan mereka adalah para imam yang diikuti. Seandainya seseorang mengambil salah satu pendapat mereka, maka ia dalam keluasan.” Maksud beliau adalah bahwa para sahabat membuka pintu ijtihad bagi manusia dan bolehnya berbeda pendapat dalam hal ini. Karena jika mereka tidak membukanya maka para ahli ijtihad berada dalam kesempitan, karena lapangan ijtihad dan lapangan zhann (persangkaan kuat, pen) biasanya tidak sama, sebagaimana terdahulu.”
(Al-I’tisham lisy Syathibi, Tahqiq Al-Hilali, 2/677)

Beliau melanjutkan :
 
فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَى الْأُمَّةِ بِوُجُودِ الْخِلَافِ الْفُرُوعِي فِيهِمْ، فَكَانَ فَتْحُ بَابِ لِلْأُمَّةِ لِلدُّخُولِ فِي هَذِهِ الرَّحْمَةِ، فَكَيْفَ لَا يَدْخُلُونَ فِي قِسْمِ مَنْ (رَحِمَ رَبُّكَ)؟! فَاخْتِلَافُهُمْ فِي الْفُرُوعِ كَاتِّفَاقِهِمْ فِيهَا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ.
 
“Maka Allah membuat keluasan atas umat ini dengan adanya perbedaan dalam furu’ di kalangan mereka. Maka ini menjadi pembuka pintu untuk masuk ke dalam rahmat. Maka bagaimana para sahabat itu tidak termasuk orang yang dirahmati oleh Rabbmu, padahal perbedaan mereka dalam furu’ itu seperti kesepakatan. Walhamdu lillah.”
(Al-I’tisham lisy Syathibi, Tahqiq Al-Hilali, 2/677)
 
Begitu pula menurut Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (w. 620 H). Adanya perbedaan pendapat para ulama As-Salaf adalah rahmat. Beliau rahimahullah berkata :
 
وَجَعَلَ فِي سَلَفِ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَئِمَّةً مِنْ الْأَعْلَامِ، مُهْدٍ بِهِمْ قَوَاعِدَ الْإِسْلَامِ، وَأَوْضَحَ بِهِمْ مُشْكِلَاتِ الْأَحْكَامِ، اتِّفَاقُهُمْ حُجَّةٌ قَاطِعَةٌ، وَاخْتِلَافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ، تَحْيَا الْقُلُوبُ بِأَخْبَارِهِمْ، وَتَحْصُلُ السَّعَادَةُ بِاقْتِفَاءِ آثَارِهِمْ…الخ
 
“Allah menjadikan di kalangan Salaf dari umat ini para imam besar yang mana Allah meletakkan dasar kaidah-kaidah Islam melalui mereka dan menjelaskan hukum-hukum yang musykil (rumit) melalui mereka. Kesepakatan mereka adalah hujjah yang pasti dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas. Hati-hati ini hidup dengan berita-berita mereka dan kebahagiaan tercapai dengan sebab mengikuti rekam jejak mereka..dst.”
(Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani, 1/4)
 
Begitu pula menurut Al-Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullah (w. 388 H). Al-Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata :
 
قَالَ الْخَطَّابِيُّ وَالِاخْتِلَافُ فِي الدِّينِ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ (أَحَدُهَا) فِي إِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَوَحْدَانِيِّتِهِ وَإِنْكَارُ ذَلِكَ كُفْرٌ (وَالثَّانِي) فِي صِفَاتِهِ وَمَشِيئَتِهِ وَإِنْكَارُهَا بِدْعَةٌ (وَالثَّالِثُ) فِي أَحْكَامِ الْفُرُوعِ الْمُحْتَمِلَةِ وُجُوهًا فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى رَحْمَةً وَكَرَامَةً لِلْعُلَمَاءِ وَهُوَ الْمُرَادُ بِحَدِيثِ اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ هَذَا آخِرُ كَلَامِ الْخَطَّابِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ
 
“Al-Khaththabi berkata: “Perselisihan dalam agama itu ada tiga macam. (Pertama) di dalam menetapkan Pencipta dan keesaan-Nya. Mengingkarinya adalah kufur. (Kedua) di dalam sifat dan kehendak-Nya. Mengingkarinya adalah bid’ah. (Ketiga) di dalam hukum-hukum furu’ (cabang) yang mempunyai berbagai macam kemungkinan sisi pendalilan. Maka ini yang dijadikan oleh Allah ta’ala sebagai rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Dan ini yang dimaksud dengan hadits “Ikhtilaf umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al-Khaththabi rahimahullah.”
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 11/92)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata :
 
وَلِهَذَا كَانَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَقُولُ : إجْمَاعُهُمْ حُجَّةٌ قَاطِعَةٌ وَاخْتِلَافُهُمْ رَحْمَةٌ وَاسِعَةٌ .
 
“Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Ijma’ mereka (ulama As-Salaf) adalah hujjah yang pasti dan perbedaan pendapat mereka adalah rahmat yang luas.”
(Majmu’ Al-Fatawa, 30/80)
 
Beliau kembali berkata :
 
"و النزاع في الأحكام قد يكون رحمة إلى لم يفض إلى شر عظيم" [الفتاوى ١٥٩/١٤]
 
"Perselisihan dalam beberapa hukum boleh jadi merupakan Rahmat jika ia tidak sampai menimbulkan keburukan yang besar.."
(Majmu’ Al-Fatawa, 14/159)
 
Dr. Nashir bin 'Abdul Karim Al 'Aql menjelaskan :
"Siapapun yang meneliti nash-nash syar'iyyah dan perkataan Ahli Ilmu yang berkaitan dengan perpecahan (الافتراق) & perselisihan (الاختلاف), maka ia akan mendapati beberapa hal berikut :
 
1. Perpecahan (الافتراق) adalah jenis perselisihan (الاختلاف) yang paling dahsyat (keburukannya).
 
2. Perselisihan (الاختلاف) terkadang tidak sampai pada perpecahan (الافتراق), dan inilah yang banyak terjadi di tengah-tengah ummat islamiyyah, karena (faktanya) banyak khilaf yang terjadi antara para sahabat, tabi'in, para imam dan ulama, namun mereka tidak sampai berpecah belah (الافتراق).
 
3. Setiap perpecahan (الافتراق) dikatagorikan sebagai perselisihan (الاختلاف), namun tidak setiap perselisihan (الاختلاف) dikatagorikan sebagai perpecahan (الافتراق).
 
4. Perselisihan (الاختلاف) dibolehkan secara syar'i, sedangkan perpecahan (الافتراق) tidak diperkenankan.
 
5. Perpecahan (الافتراق) terletak pada Ushul I'tiqad, perkara-perkara qath'i, dan yang telah ijma', yang membuat seseorang yang menyelisihinya dianggap sebagai Syadz, dan keluar dari pandangan para imam (kaum muslimin), namun tidak demikian dengan perselisihan (الاختلاف).
 
6. Perpecahan (الافتراق) seluruhnya tercela, sedangkan perselisihan (الاختلاف) tidak semuanya tercela.
 
7. Perselisihan (الاختلاف) diberikan udzur kepada pelakunya, namun tidak demikian dengan perpecahan (الافتراق).
 
8. Perselisihan (الاختلاف) yang didasari oleh ijtihad pelakunya diganjar pahala oleh Allah ta'ala, tidak demikian dengan perpecahan (الافتراق).
 
9. Perpecahan (الافتراق) didasari oleh hawa nafsu, sementara perselisihan (الاختلاف) tidak mesti demikian.
 
10. Perselisihan (الاختلاف) adalah Rahmat, pelakunya selamat (di akhirat) in syaa Allah, adapun perpecahan (الافتراق) adalah adzab, pelakunya binasa dan terancam."
 
(Dirasat fii Ahlil Ahwa' wal Firaq wal Bida' wa Mauqif As Salaf Minha, 37, Daar Syibiliya)
 
Allahu a'lam
 
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar