Sabtu, 06 Juni 2020

JUAL BELI DI DALAM MASJID DAN PANDANGAN PARA ULAMA’ DALAM MASALAH INI

Oleh : Ustadz Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani Abu Anas

Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي المَسْجِدِ، فَقُولُوا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً، فَقُولُوا: لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ

"Jika kalian melihat orang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah; Semoga Allah tidak memberi keuntungan kepada barang daganganmu. Jika kalian melihat orang yang mengumumkan sesuatu yang hilang di dalamnya maka katakanlah; Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu."
[ HR. At-Tirmidzi : 1321 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dan Al-Albani –rahimahullah- ]

Dalam hadits tersebut di atas terdapat dalil akan larangan jual beli di masjid. Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

النَّهْيُ عَنْ نَشْدِ الضَّالَّةِ فِي الْمَسْجِدِ وَيُلْحَقُ بِهِ مَا فِي مَعْنَاهُ مِنَ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَالْإِجَارَةِ وَنَحْوِهَا مِنَ الْعُقُودِ

“Larangan dari menyiarkan barang hilang di masjid dan diikutkan terhadap hukum ini apa yang semakna dengannya berupa jual beli dan sewa-menyewa dan semisalnya dari berbagai akad-akad …”
[ Lewat perantara kitab “Tuhfatul Ahwadzi” : 4/458 ]

Menurut jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ), larangan jual beli di masjid adalah bersifat makruh bukan haram. Diantara mereka, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i serta Ahmad bin Hambal dalam salah satu riwayat dari beliau –rahimahumullahu jami’an-.

Al-Imam At-Tirmidzi –rahimahullah- berkata :

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ كَرِهُوا البَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ، وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ فِي البَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ.

“Dan amalan yang dilakukan di atas dasar hadits ini menurut para ulama’, ( dimana ) mereka memakruhkan jual beli di masjid. Dan ini merupakan pendapat Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama’ telah memberi keringanan dalam masalah jual beli di masjid.”
[ Sunan At-Tirmidzi : 2/602 ]

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

وحكى الترمذي في ((جامعه)) قولين لأهل العلم من التابعين في كراهة البيع في المسجد.والكراهة قول الشافعي وأحمد وإسحاق، وهو عند أصحابنا كراهة تحريم، وعند كثير من الفقهاء كراهة تنزيه.وللشافعي قَوْلِ: أنه لا يكره، وَهُوَ قَوْلِ عَطَاء وغيره.واختلف أصحابنا في انعقاد البيع في المسجد على وجهين.وفرق مالك بين اليسير والكثير، فكره الكثير دون اليسير، وحكي عن أصحاب أبي حنيفة نحوه.

“At-Tirmidzi telah menghikayatkan dalam Jami’-nya ( maksudnya Sunan At-Tirmidzi ) dua pendapat dari kalangan tabi’in dalam masalah dimakruhkannya jual beli di masjid. Dan makruh, merupakan pendapat Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Menurut para ulama’ kami ( Hanabilah ) hukumnya haram. Dan menurut mayoritas para fuqaha’ hukumnya makruh….( Imam ) Malik membedakan antara ( jual beli ) yang sifatnya sedikit/ringan dengan yang banyak. Beliau memakruhkan yang banyak tanpa ( memakruhkan ) yang sedikit. Demikian pula telah dihikayatkan dari para sahabat Abu Hanifah semisal hal ini.”
[ Fathul Bari : 3/346 ]

Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- sendiri berpendapat, bahwa larangan jual beli di masjid di sini, adalah suatu larangan yang bersifat mendominasi/merata dengan menjadikan masjid untuk jual beli sehingga menjadi seperti pasar. Adapun jika tidak sampai seperti itu, maka boleh. beliau –rahimahullah- berkata :

وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ مِنَ الْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ , هُوَ الْبَيْعُ الَّذِي يَعُمُّهُ , أَوْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ حَتَّى يَكُونَ كَالسُّوقِ , فَذَلِكَ مَكْرُوهٌ. فَأَمَّا مَا سِوَى ذَلِكَ فَلَا. قَدْ رَوَيْنَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ الْعَمَلِ الَّذِي لَيْسَ مِنَ الْقُرَبِ فِي الْمَسْجِدِ

“Demikian pula apa yang telah dilarang dari jual beli di masjid. Dan makna jual beli yang dilarang ( oleh Rasulullah ) di masjid yaitu jual beli yang mendominasi/merata untuk hal itu sehingga seperti pasar. Maka hal ini makruh. Adapun selain dari itu, maka tidak mengapa. ( sebab ) kami telah meriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apa yang menunjukkan kepada dibolehkannya amalan yang tidak termasuk pendekatan diri kepada Allah di masjid.”.
[ Syarhu Ma’anil Atsar : 4/358 ]

Saya berkata ( Abdullah Al-Jirani ) : Bahwa yang dimaksud dari ucapan Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- :
“Kami telah meriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apa yang menunjukkan kepada dibolehkannya amalan yang tidak termasuk pendekatan diri kepada Allah di masjid”, adalah : bahwa masjid boleh digunakan untuk aktifitas lain dalam perkara yang bukan ibadah/pendekatan diri kepada Allah berupa masalah-masalah dunia yang ringan, yang tidak sampai merubah fungsi pokok masjid sebagai tempat ibadah.

Umpamanya berbicara ringan di masjid dalam urusan dunia entah bisnis, jodoh, pekerjaan, atau sedikit bercanda, memijit orang, menghitung uang kotak infaq, makan, minum dan yang semisalnya."

Telah diriwayatkan dari Aisyah –radhiallahu‘anha- bahwa beliau pernah berbicara tentang masalah jual beli, berkaitan dengan pembebasan budak yang bernama Barirah di masjid. Kemudian datanglah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di tempat tersebut. Telah diceritakan :

أَتَتْهَا بَرِيرَةُ تَسْأَلُهَا فِي كِتَابَتِهَا، فَقَالَتْ: إِنْ شِئْتِ أَعْطَيْتُ أَهْلَكِ وَيَكُونُ الوَلاَءُ لِي، وَقَالَ أَهْلُهَا: إِنْ شِئْتِ أَعْطَيْتِهَا مَا بَقِيَ - وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً: إِنْ شِئْتِ أَعْتَقْتِهَا، وَيَكُونُ الوَلاَءُ لَنَا - فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَّرَتْهُ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ابْتَاعِيهَا فَأَعْتِقِيهَا، فَإِنَّ الوَلاَءَ لِمَنْ أَعْتَقَ» ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى المِنْبَرِ - وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً: فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى المِنْبَرِ - فَقَالَ: «مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا، لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَلَيْسَ لَهُ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ»، قَالَ عَلِيٌّ: قَالَ يَحْيَى، وَعَبْدُ الوَهَّابِ: عَنْ يَحْيَى، عَنْ عَمْرَةَ، نَحْوَهُ، وَقَالَ جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ، عَنْ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ عَمْرَةَ، قَالَتْ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ، وَرَوَاهُ مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ عَمْرَةَ: أَنَّ بَرِيرَةَ وَلَمْ يَذْكُرْ صَعِدَ المِنْبَرَ

“Barirah datang kepadanya dan meminta tolong dalam masalah pembebasannya dirinya (sebagai budak)." 'Aisyah lalu berkata, "Kalau kamu mau, aku berikan tebusan kepada tuanmu dan perwalianmu milikku." Tuannya berkata, "Kalau mau, engkau bisa berikan sisanya (harga budak tersebut)." Sekali waktu Sufyan menyebutkan, "Kalau kamu mau, bebaskanlah dia dan perwalian milik kami." Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang, Aisyah menceritakan hal itu kepada beliau. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Beli dan merdekakanlah. Sesungguhnya perwalian itu bagi orang yang memerdekakannya." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dekat mimbar, sekali waktu Sufyan menyebutkan "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam naik mimbar lalu bersabda: "Kenapa suatu kaum membuat persyaratan dengan syarat-syarat yang tidak ada pada Kitabullah. Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada pada Kitabullah, maka tidak berlaku sekalipun dia membuat persyaratan seratus kali."

'Ali berkata, Yahya berkata dan 'Abdul Wahhab dari Yahya dari 'Amrah seperti hadits ini." Dan Ja'far bin 'Aun berkata, dari Yahya ia berkata, aku mendengar 'Amrah berkata, aku mendengar 'Aisyah. Dan Malik meriwayatkan dari Yahya dari 'Amrah bahwa Barirah….namun ia tidak menyebut bahwa (Rasulullah) naik mimbar."
[ HR. Al-Bukhari : 436 ]

Hadits ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam “Shahih-nya” dengan judul Bab Menyebutkan Jual Beli di Atas Mimbar di Masjid”.

Kenapa larangan di sini bersifat makruh menurut jumhur ulama’ ? karena hal ini termasuk dalam “Bab Adab”. Ada suatu kaidah : “bahwa asal larangan dalam bab adab bermakna makruh sampai ada dalil yang lain yang menunjukkan kepada makna haram”.

Oleh karena itu, sudah selayaknya masjid dijauhkan dari perkara-perkara seperti ini. Jika seorang akan melakukan jual beli, hendaknya tidak dilakukan di masjid, tapi hendaknya dia keluar mencari tempat lain.

Oleh karena itu, sahabat Umar bin Al-Khaththab –radhiallahu ‘anhu- membangun Al-Bathha’ ( البطحاء ) yaitu sebuah saluran air yang luas yang berpasir dan berkerikil di luar masjid. Kemudian beliau mempersilahkan bagi yang ingin jaul beli agar keluar dari masjid dan pindah ke tempat tersebut. Beliau berkata :

من أراد أن يلغط، فليخرج إليها

“Barangsiapa ingin ribut-ribut/gaduh ( jual beli ), maka keluarlah menuju tempat itu ( al-bathha’ ).”
[ Syarh Shahih Al-Bukhari : 2/105 ]

Al-Imam Malik –rahimahullah- menyebutkan dari 'Atha’ bin Yasar –rahimahullah-, sesungguhnya beliau ketika melihat seorang yang ingin jual beli di masjid, beliau berkata :

عليك بسوق الدنيا، فإنما هذا سوق الآخرة

“Hendaknya kamu ( pergi ) ke pasar dunia !, sesungguhnya ini ( masjid ) adalah pasar akhirat.”
[ Syarh Shahih Al-Bukhari : 2/105 ]

Bagaimana jika terlanjur terjadi jual beli di masjid, apakah akad jual belinya sah ? jawabnya : sah dan mengikat. Walaupun hukum jual belinya makruh. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Ibnu Baththal –rahimahullah- :

وقد أجمع العلماء أن ما عقد من البيع فى المسجد أنه لا يجوز نقضه، إلا أن المسجد ينبغى أن يجنب جميع أمور الدنيا

“Para ulama’ telah sepakat, sesungguhnya apa yang telah diakadkan berupa jual beli di masjid, sesungguhnya tidak boleh untuk dibatalkan ( karena sah dan mengikat ). Walaupun sesungguhnya masjid seyogyanya untuk dijauhkan dari semua perkara dunia.”
[ Syarh Shohih Al-Bukhari : 2/105 ].

Al-Imam Ibnu Khuzaimah ( wafat : 311 H ) berkata :

بَابُ الْأَمْرِ بِالدُّعَاءِ عَلَى الْمُتَبَايِعَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ أَنْ لَا تَرْبَحَ تِجَارَتُهُمَا، وَفِيهِ مَا دَلَّ عَلَى أَنَّ الْبَيْعَ يَنْعَقِدُ وَإِنْ كَانَا عَاصِيَيْنِ بِفِعْلِهِمَا

“Bab perintah untuk berdo’a terhadap dua orang yang melakukan jual beli di masjid dengan ungkapan : semoga perdagangan keduanya tidak beruntung”. Dan di dalamnya terdapat sesuatu yang menunjukkan, sesungguhnya jual beli tersebut tetap mengikat/sah walaupun keduanya telah bermaksiat”.
[ Shahih Ibnu Khuzaimah : 1/641 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar