Senin, 01 Juni 2020

HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB (YAHUDI DAN NASHRANI)

Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [1], Malikiyah [2], Syafi’iyah [3], dan Hanabilah (Hanbali) [4].

Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.

Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [5].

Dalil-Dalil Pendapat di Atas.

Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”
[QS. Al-Maidah : 5]

2. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nashrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.

3. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash.” [6]

4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.

سُنُّوا سُنَّةً أَهْلِ الْكِتَابِ غَيْرَ نَا كِحِي نِسَائِهِمْ وَلاَ أَكْلِى ذَبَائِحِهِم

“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka.” [7]

Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
[QS. Al-Baqarah : 221]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [8]
[HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya]

2. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
[QS. Al-Mumtahanah : 10]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.

Diskusi Seputar Dalil-Dalil di Atas

Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.

• Diskusi Dalil Pertama.

Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
[QS. Al-Baqarah : 221]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”
[QS. Al-Maidah : 5]

Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.[9]

• Diskusi Dalil Kedua.

Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang bersifat khusus.” [10]

• Diskusi Dalil Ketiga

Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
[QS. Al-Mumtahanah : 10]

Ibnu Qudamah menjelaskan : “Lafazh musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”
[QS. Al-Bayyinah : 1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik.”
[QS. Al-Bayyinah : 6]

Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa lafazh ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.

Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
[QS. Al-Mumtahanah : 10]

Adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap perempuan kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi perempuan Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.

Dan juga bisa jadi perempuan kafir yang dimaksudkan adalah perempuan murtad yang masuk agama Nashrani atau Yahudi.[11]

Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).

Alasan dibolehkannya menikahi wanita Ahli kitab antara lain : karena ada hal-hal pokok yang bisa dicari titik temunya, antara mereka dengan laki-laki muslim. Di antaranya : pengakuan adanya Tuhan, iman kepada para Rasul dan hari Akhir serta iman kepada hari pembalasan.

Adanya titik temu dan jembatan penghubung inilah yang pada umumnya bisa menjadi pondasi kehidupan rumah tangga yang lurus. Selain itu diharapkan dari pernikahan tersebut akhirnya wanita ahli kitab tadi bisa masuk islam, karena sebenarnya dia telah beriman kepada Para Nabi dan Kitab-kitab suci secara global.[12]

Jika ada pertanyaan apa hikmah dibalik dibolehkannya seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab sementara tidak sebaliknya ?

Jawabannya adalah bahwasanya seorang laki-laki muslim yang kuat iman dan agamanya, cenderung tidak akan terpengaruh oleh keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan istrinya. Sebaliknya jika suami seorang non-muslim maka dikhawatirkan dia akan mempengaruhi istrinya yang muslimah dengan agamanya. Sebab tabiat seorang wanita itu cepat menurut kepada suami dan mudah dipengaruhi. Sehingga hal ini menyebabkan rusaknya akidah dan perasaannya.

Meskipun para ulama –sebagaimana yang disebutkan di atas- membolehkan melakukan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, namun harus diketahui bahwasanya mereka bersepakat juga tingkat kebolehannya itu berada pada tingkatan Makruh. Yaitu ketika dikerjakan tidak mendapatkan apapun namun ketika ditinggalkan mendapatkan pahala.[13]

Berikut rinciannya :

1. Wanita Ahli Kitab Kafir Dzimmi[14]

- Jumhur Ulama yang terdiri dari Ulama Madzhab Hanafi, Madzhab Syafi’i, berpendapat makruh menikahi wanita Ahli kitab.

- Sedangkan Madzhab Hanbali berpendapat bahwasanya menikahi mereka itu menyelisihi amalan yang lebih utama (khilaf al-aula).[15]

2. Wanita Ahli Kitab Kafir Harbi[16]

- Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya haram menikahi mereka jika mereka berada di negeri kafir(darul harbi), karena bisa membuka pintu fitnah.

- Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Syafi’i hukumnya makruh

- Dan menurut Madzhab Hanbali hukumnya menyelisihi amalan yang lebih utama (khilaf al-aula).

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, harus diperhatikan bahwasanya menikahi wanita ahli kitab, terutama harbiyyah pada kenyataannya terdapat bahaya sosial, agama dan negara. Antara lain :

- Tidak menutup kemungkinan mereka akan membocorkan rahasia ummat islam ke negara asalnya.

- Terdapat kemungkinan anak-anak akan terpengaruh oleh akidah mereka dan adat-adat non-muslim.

- Menyebabkan madharat bagi para muslimat. Karena jika banyak laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab akan banyak muslimah yang tersia-siakan karena sedikit yang menikahi mereka.

- Terkadang banyak dari para wanita ahli kitab yang akhlaknya menyimpang, contohnya :

1. Al-Jasshas meriwayatkan dalam tafsirnya bahwasanya Hudzaifah Ibnul Yaman menikahi wanita Yahudi, lalu Umar pun menulis surat kepadanya agar dia menceraikannya meskipun alasannya bukan karena hal tersebut diharamkan tetapi khawatir wanita tadi memiliki perangai buruk (bukan wanita baik-baik).

2. Di riwayat lain juga disebutkan jika alasan Umar memerintahkan hal tersebut adalah khawatir nanti orang-orang islam lain banyak yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Hudzaifah. Sehingga banyak orang yang menikahi wanita ahli kitab karena kecantikannya, sehingga mereka menjadi fitnah bagi wanita muslimah, karena banyaknya laki-laki muslim yang lebih memilih wanita ahli kitab dibandingkan wanita muslimah.[17]

Catatan penting di sini, jika memang laki-laki muslim ingin menikahi wanita ahli kitab, maka pernikahan tentu saja bukan di gereja. Dan juga ketika memiliki anak, anak bukanlah diberi kebebasan memilih agama. Anak harus mengikuti agama ayahnya yaitu Islam.

Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut wanita musyrik, haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan kesepakatan para fuqoha. Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”
[QS. Al Baqarah : 221][18]

Sekian. Semoga bermanfaat.
Allahu a'lam

[1]. Syarh Fath Al-Qadir III/228, Bada’i Ash-Shana’i II/270, Hasyiyah Ibnu Abidin III/45 dan Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq oleh Az-Zailaiy II/109 terbtan Daar Al-Ma’rifah, Beirut.

[2]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, Bidayah Al-Mujtahid II/44 dan Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543

[3]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232, Mughni Al-muhtaj III/187 Raudhah Ath-Thalibin VII/132 dan Alaihis salam Sail Al-Jarar Al-Mutadaffiq Ala Hadaiq Al-Zhar II/253 terbitan Al-Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.

[4]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/589 dan Syarh Muntaha Al-Iradaat III/236

[5]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590 dan Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani I/15

[6]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232

[7]. Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263

[8]. Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar Al-Ma’rifah, Beirut

[9]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590

[10]. Lihat Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15

[11]. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13334, index “Muharromatun Nikah”, point 22.

[12]. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6654

[13]. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2 hal 101

[14]. Yang dimaksud dengan kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di negara islam dan mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin.

[15]. Yang dimaksud dengan khilaf al-aula merupakan salah satu tingkatan makruh namun lebih ringan dari makruh. Yaitu jika perbuatan ini dilakukan tidak berdosa, tetapi jika dia meninggalkan perbuatan itu dan melakukan yang lebih utama (aula) maka dia mendapatkan pahala.

[16]. Yang dimaksud dengan kafir harbi adalah orang kafir yang berasal dari negara kafir yang memerangi ummat islam.

[17]. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6656.

[18]. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13333, index “Muharromatun Nikah”, point 21





Tidak ada komentar:

Posting Komentar