Minggu, 07 Maret 2021

HADITS PALSU Tentang Keutamaan Menziarahi Kubur Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-

Hadits Pertama
 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
 
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 
“Barangsiapa berhaji ke baitullah lalu tidak menziarahi (kuburanku) maka sungguh dia telah bersikap kasar terhadapku.”
 
Keterangan Hadits :
 
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi (7/2480), Ibnu Hibban dalam Adh-Dhuafa` (2/73) dan dari jalannya, Ibnu Al-Jauzi dalam Al-Maudhuat (2/217). 
 
Semuanya dari jalan Muhammad bin Muhammad bin An-Nu’man bin Syabl dari kakeknya dia berkata: Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu 'Umar secara marfu’.
 
Ash-Shaghani membawakan hadits ini dalam Al-Ahadits Al-Maudhuah hal. 6 dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah fi Al-Ahadits Al-Maudhuah hal. 42.

Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan (3/237), “Hadits ini palsu.”

Cacat hadits ini adalah pada rawi Muhammad bin An-Nu’man.
 
Ibnu Al-Jauzi berkata tentang orang ini,
“Dia meriwayatkan dari rawi-rawi tsiqah, hadits-hadits yang sangat jelek dan meriwayatkan dari rawi-rawi yang kuat hafalannya, hadits-hadits yang maqlub (terbalik).”
Ad-Daraquthni berkata, “Cacat dalam hadits ini adalah Muhammad bin Muhammad bin An-Nu’man.”
 
[Diringkas dari Adh-Dhaifah (1/119/no. 45) karya Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah-]
 
Hadits Kedua
 
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
 
Dari ‘Abdullâh bin ‘Umar radhiyallahu 'anhu, dari Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
 
“Barangsiapa berhaji lalu menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka dia seperti orang yang mengunjungiku sewaktu aku masih hidup.”
 
Keterangan Hadits :
 
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani (3/203/2), Ad-Daraquthni (hal. 279) dan Al-Baihaqi (5/246),
semuanya dari jalan Hafsh bin Sulaiman Abu Amr dari Al-Laits bin Abi Sulaim dari Mujahid dari Abdullah bin Umar secara marfu’.
 
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud al-Asadi. 
 
Tentang orang ini, Imam Ahmad, Abu Hâtim, al-Bukhâri, Muslim dan an-Nasâ’i mengatakan,
“Hadits riwayat orang ini ditinggalkan (karena sangat lemah).”
Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Dia seorang pendusta”.
Bahkan Ibnu Khirasy rahimahullah berkata, “Dia pendusta, (hadits riwayatnya) ditinggalkan dan dia pemalsu hadits.”
 [Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tahdzîbut Tahdzîb (2/345)]
 
Dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama Al-Laits bin Abi Sulaim. 
 
Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari orang ini dengan mengatakan, 
“Dia orang jujur, tetapi hafalannya rancu dan tidak bisa dibedakan (yang benar dan salah) sehingga hadits (riwayat) nya ditinggalkan.”
[Kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 464]
 
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, akan tetapi dalam sanadnya juga terdapat perawi yang dihukumi sebagai pendusta oleh para Ulama ahli hadits.
[Lihat kitab Silsilatul ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah (1/121-122)]
 
Kelemahan hadits ini yang sangat fatal telah diisyaratkan oleh imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil fi dhu’afâ-ir rijâl (2/382) dan Ibnu ‘Abdil Hadib dalam kitab ash-Shârimul Manki hlm. 63.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :
“Kedustaan dalam hadits ini sangat jelas dan (maknanya) bertentangan dengan (ajaran) agama Islam.”
[Majmû’ul Fatâwâ (1/234)]
 
Demikian pula beberapa hadits lain tentang keutamaan dan anjuran menziarahi kubur Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah hadits yang sangat lemah atau palsu. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi dan landasan dalam beramal.
[Lihat kitab Syifâ-ush Shudûr, hlm. 168, tulisan Zainuddin Mar’i al-Karmi dan Silsilatul ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah (1/123)]
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan dalam agama Islam. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) shahih dan sunan. Yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti Ad-Dâraquthni, Al-Bazzar dan lain-lain.”
[Majmû’ul Fatâwâ (1/234)]
 
Syaikh Al-Albâni rahimahullah mengatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits-hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan atau anjuran) menziarahi kuburan Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semuanya dibawakan oleh As-Subki dalam kitabnya Asy-Syifâ’, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya…Imam Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau Ash-Shârimul Manki dengan penjelasan yang detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.”
[Silsilatul ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah (1/123)]
 
HUKUM MENGUSAHAKAN BERZIARAH KE KUBURAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
 
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
 
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ada sebagian orang yang pergi ke Madinah dengan maksud berziarah ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana hukum perbuatan ini ?
 
Jawaban :
 
Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, yang boleh itu adalah pergi ke Madinah dengan maksud shalat di Masjid Nabawi, yaitu salah satu dari ketiga masjid yang dibolehkan mengusahakan perjalanan untuk mengunjunginya. Shalat di Masjid Nabawi sama dengan seribu shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.
 
Telah disebutkan larangan tentang mengusahakan perjalanan kecuali untuk mengunjungi ketiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Jadi, dalam larangan ini tercakup semua tempat dan semua kuburan, sehingga tidak boleh pula untuk tujuan shalat, memohon berkah atau beribadah.
 
Adapun perintah ziarah kubur, di antara hikmahnya adalah untuk mengingatkan kepada akhirat, dan ini bisa di kuburan dan di negara mana saja, dan hampir tidak ada suatu wilayah pun yang tidak ada kuburannya. Menziarahi kuburan-kuburan itu bisa mengingatkan kepada akhirat, dan orang-orang yang telah mati pun bisa mendapatkan manfaat dengan doa yang dipanjatkan bagi mereka.
 
Sedangkan mengenai kuburan Nabi, telah disebutkan larangan menjadikannya sebagai ‘id, yaitu dikunjungi berulang-ulang dan rutin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.telah bersabda :
 
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
 
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai sesuatu (yang dikunjungi berulang-ulang secara) rutin. Bershalawatlah kalian kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian disampaikan kepadaku di mana pun kalian berada.”
[HR. Abu Dawud dalam Al-Manasik (2042), Ahmad (2/367)]
 
Dalam hadits lain beliau bersabda :

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلَّا رَدَّ اللَّهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ
 
“Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salamnya.”
[HR. Abu Dawud dalam Al-Manasik (2041), Ahmad (2/527)]
 
Ini berarti mencakup setiap orang yang mengucapkan salam kepada beliau, baik yang dekat maupun yang jauh.
 
Kemudian mengenai hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya lemah atau palsu, seperti: “(Barangsiapa yang menziarahiku setelah aku mati, maka seolah-olah ia menziarahi ketika aku masih hidup) [1], atau (Barangsiapa menziarahi kuburanku…), (Barangsiapa yang menziarahiku, maka aku menjadi pemberi syafa’at atau menjadi saksi baginya),[2] (Barangsiapa yang menziarahi kuburanku, maka wajiblah syafa’atku baginya)[3], (Barangsiapa yang menunaikan haji tapi tidak menziarahiku, berarti ia telah menjauhiku) [4]”.
 
Semua hadits-hadits ini batil, tidak ada asalnya, para ulama telah menjelaskan kebatilannya, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam buku bantahan terhadap Al-Akhna’i karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bantahan terhadap As-Sabaki karya Ibnu Abdil Hadi dan bantahan terhadap An-Nabhani karya Al-Alusiy. Hendaknya kita tidak terpedaya oleh orang yang berdalih dengan hadits-hadits tersebut.
 
Lain dari itu, bahwa tidak mengunjungi kuburan beliau bukan berarti tidak mengagungkannya, karena mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terpatri di dalam hati para pengikutnya, dan hal itu tidak berkurang hanya karena jauhnya mereka dari kuburan beliau. Wallahu a‘lam.
 
[Fatawa fit Tauhid, Syaikh Ibnu Jibrin, hal. 23-25]
 
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
 
Footnote :
 
[1] Ad-Daru Quthni (2/278), Al-Baihaqi (5/246), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/382). lihat As-Silsilah Adh-Dha’ifah (47,102l).
 
[2] Ath-Thayalusi (65), Al-Baihaqi (5/245). lihat Irwa’ul Ghalil (1127).
 
[3] Ad-Daru Quthni (2/278).
 
[4] Ibnu Adi dalam Al-Kamil (7/14). Adh-Dha’ifah (45).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar