Sabtu, 13 Maret 2021

Berapa Kali Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam Melaksanakan Umrah dan Haji ?

Dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melakukan 4 kali umrah dan 1 kali haji. Dari keempat umrah itu, 3 diantaranya dilaksanakan sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji. Sementara 1 umrah dilakukan bersamaan dengan haji beliau.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ ثُمَّ قَالَ لَهُ كَمْ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ فَكَرِهْنَا أَنْ نَرُدَّ عَلَيْهِ قَالَ وَسَمِعْنَا اسْتِنَانَ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْحُجْرَةِ فَقَالَ عُرْوَةُ يَا أُمَّاهُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَسْمَعِينَ مَا يَقُولُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَتْ مَا يَقُولُ قَالَ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرَاتٍ إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ قَالَتْ يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا اعْتَمَرَ عُمْرَةً إِلَّا وَهُوَ شَاهِدُهُ وَمَا اعْتَمَرَ فِي رَجَبٍ قَطُّ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Manshuur, dari Mujaahid berkata : 

"Ketika aku dan 'Urwah bin Az Zubair masuk kedalam masjid disana ada 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu sedang duduk di bilik rumah 'Aisyah radliallahu 'anha, sedang orang-orang melaksanakan shalat Dhuha dalam masjid". Dia (Mujahid) berkata: "Maka kami bertanya kepadanya tentang shalat yang mereka kerjakan, maka dia berkata: "Itu adalah bid'ah". Kemudian dia berkata lagi kepadanya: "Berapa kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan 'umrah?" Dia menjawab: "Empat kali, satu diantaranya pada bulan Rajab". Maka kami pun enggan untuk membantahnya. 

Mujaahid melanjutkan: Kemudian kami mendengar suara 'Aisyah radliallahu 'anha Ummul Mu'minin sedang menggosok gigi dari balik rumahnya, maka 'Urwah bertanya: "Wahai ibunda, wahai Ummul Mu'minin, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu 'Abdurrahman? 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Apa yang telah dikatakannya? 'Urwah menjawab; Dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah sebanyak empat kali satu diantaranya pada bulan Rajab". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Semoga Allah merahmati Abu 'Abdurrahman, tidaklah Beliau melaksanakan 'umrah sekalipun melainkan aku selalu mengikutinya dan Beliau tidak pernah melaksanakan 'umrah pada bulan Rajab sekalipun". 
(Shahih Bukhari no. 1775-1776)

حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ حَسَّانٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

كَمْ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ عُمْرَةُ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ حَيْثُ صَدَّهُ الْمُشْرِكُونَ وَعُمْرَةٌ مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ حَيْثُ صَالَحَهُمْ وَعُمْرَةُ الْجِعِرَّانَةِ إِذْ قَسَمَ غَنِيمَةَ أُرَاهُ حُنَيْنٍ قُلْتُ كَمْ حَجَّ قَالَ وَاحِدَةً

Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin Hassaan; Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, 

"Aku bertanya kepada Anas radhiallahu 'anhu: Berapa kali Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah?". Dia menjawab: "Empat kali. Diantaranya, 'umrah Al Hudaibiyah pada bulan Dzul Qa'dah saat Kaum Musyrikin menghalangi Beliau, 'umrah pada tahun berikutnya pada bulan Dzul Qa'dah setelah melakukan perjanjian damai dengan mereka dan 'umrah Al Ji'ranah ketika Beliau membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan perang). Aku menduga yang dimaksudnya adalah ghanimah perang Hunain. Aku tanyakan lagi: "Berapa kali Beliau menunaikan haji?". Dia menjawab: "Satu kali".
(Shahih Bukhari no. 1778)

حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ قَالَ

اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلَّهُنَّ فِي ذِي الْقَعْدَةِ إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ عُمْرَةً مِنْ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مِنْ الْجِعْرَانَةِ حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khaalid; Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Qataadah bahwa Anas radhiallahu 'anhu mengabarkan kepadanya, ia berkata : 

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah sebanyak empat kali, semuanya pada bulan Dzul Qa'dah kecuali 'umrah yang beliau laksanakan bersama haji beliau, yaitu 'umrah beliau dari Hudaibiyyah pada bulan Dzul Qa'dah dan 'umrah pada tahun berikutnya pada bulan Dzul Qa'dah dan 'umrah dari Al Ji'ranah ketika beliau membagi-bagikan harta rampasan perang (ghanimah) Hunain pada bulan Dzul Qa'dah dan 'umrah bersama hajji yang beliau."
(Shahih Bukhari no. 4148)

Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :

اعتمر بعد الهجرة أربع عمر كلهن في ذي القعدة .

الأولى : عمرة الحديبية وهي أولاهن سنة ست فصدَّه المشركون عن البيت فنحر البُدْن ( أي هديه من الإبل ) حيث صُدَّ بالحديبية وحلق هو وأصحابه رؤوسهم وحلّوا من إحرامهم ورجع من عامه إلى المدينة .

الثانية : عمرة القضية في العام المقبل دخل مكة فأقام بها ثلاثا ثم خرج بعد إكمال عمرته .

الثالثة : عمرته التي قرنها مع حجته .

الرابعة : عمرته من الجعرانة لما خرج إلى حنين ثم رجع إلى مكة فاعتمر من الجعرانة داخلا إليها  ….

قال : ولا خلاف أن عُمَرَهُ لم تَزِدْ على أربع .

"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah setelah hijrah 4 kali, semuanya di bulan Dzulqa’dah:

Pertama, Umrah Hudaibiyah, ini umrah pertama, dilakukan di tahun 6 Hijriyah, lalu dihalangi oleh orang-orang musyrik, sehingga tidak bisa ke Ka’bah. Kemudian beliau menyembelih unta, karena terhalangi di Hudaibiyah, dan melakukan tahalul dengan menggundul rambut, bersama para sahabat, dan kembali ke Madinah di tahun itu.

Kedua, Umrah qadha di tahun depannya. Beliau masuk ke Mekkah dan tinggal di sana 3 hari, lalu beliau keluar setelah menyempurnakan umrahnya.

Ketiga, Umrah ketika beliau berhaji.

Keempat, Umrah dari Ji’ranah. Ketika beliau menuju Hunain, kemudian kembali ke Mekkah, lalu melakukan umrah dengan miqat Ji’ranah.

Ibnul Qayyim menegaskan, ‘Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa Umrah beliau tidak lebih dari 4 kali.’
(Zadul Ma’ad, 2/86)

Mengapa di Bulan Dzulqa’dah ?

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

قال العلماء : وإنما اعتمر النبي صلى الله عليه وسلم هذه العُمَر في ذي القعدة لفضيلة هذا الشهر ولمخالفة الجاهلية في ذلك فإنهم كانوا يرونه ( أي الإعتمار في ذي القعدة ) من أفجر الفجور كما سبق ففعله صلى الله عليه وسلم مرات في هذه الأشهر ليكون أبلغ في بيان جوازه فيها وأبلغ في إبطال ما كانت الجاهلية عليه

"Para ulama mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa kali umrah di bulan Dzulqa’dah, karena keutamaan bulan ini dan dalam rangka menyelisihi masyarakat jahiliyah dalam waktu pelaksanaan umrah, karena mereka – orang jahiliyah – berkeyakinan bahwa Umrah di bulan Dzulqa’dah adalah perbuatan yang sangat kurang ajar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah di bulan ini beberapa kali, sebagai puncak penjelasan yang menunjukkan bolehnya umrah ketika Dzulqa’dah. Serta lebih kuat dalam membantah keyakinan Jahiliyah."
(Syarh Shahih Muslim, 8/236)

Allahu a’lam

Salah Satu Tanda Dekatnya Hari Kiamat

Ketika Masjid Dijadikan Objek Wisata

Dari Anas bin Mâlik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

“Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid akan dijadikan jalan-jalan, dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak."

[HR. Thabarani dalam Al-Mu’jamush Shaghîr (2/261, no. 1132), Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Ahâdîts Al-Mukhtârah (no. 2326). Dihasankan oleh Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi’ (2/1026, no. 5899)]

Juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

من اقتراب الساعة السلام بالمعرفة وأن يجتاز الرجل المسجد لا يصلى فيه

“Diantara tanda dekatnya hari Kiamat adalah hanya memberi salam kepada orang yang dikenal dan orang-orang melintas di dalam masjid tanpa mengerjakan shalat didalamnya.” 

[HR. Thabarani dan Al Bazzar no. 1459 dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah Hadits Shahih no. 647]

‘Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda :

نّ من أشراط الساعة أن تتّخذ المساجد طرقا

“Sesungguhnya salah satu tanda kiamat adalah bila masjid-masjid dianggap sebagai jalanan”.

[Mustadrak Al-Hakim beliau berkata “Hadits ini Shahih Sanadnya”. Adz-Dzahabi berkata, ”mauquf”]

Allahu a'lam

HADITS DHAIF TENTANG SEORANG RAJA DI SURGA

"Di dalam suatu majelis pengajaran, tiba-tiba Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang shalat bersama kamu !!"

Abu Hurairah, yang meriwayatkan hadits ini, berkata dalam hati, "Aku berharap, akulah yang ditunjuk oleh beliau….!"

"Waktu subuh esok harinya, Abu Hurairah shalat di belakang beliau. Ia tetap tinggal di tempatnya ketika beberapa orang pamit untuk pulang. Tiba-tiba ada seorang hamba/budak hitam berpakaian compang-camping datang mendekat dan menjabat tangan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, ia berkata, "Ya Nabiyallah, doakanlah aku semoga aku mati syahid!!"

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memenuhi permintaan orang tersebut. Sementara beliau berdoa, tercium bau kesturi dari tubuhnya yang kelihatan kumuh dan kotor. Setelah orang itu berlalu, Abu Hurairah bertanya, "Apakah orang tersebut, Ya Rasulullah?"

"Benar," Kata Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, "Ia hamba sahaya dari Bani Fulan…"

"Mengapa tidak engkau beli dan engkau merdekakan, Ya Rasulullah!!" Kata Abu Hurairah.

"Bagaimana aku akan berbuat seperti itu, kalau karena keadaannya tersebut, Allah akan menjadikannya seorang raja di surga."

Beberapa saat kemudian, beliau bersabda lagi, "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka, dan dia ini salah satu raja dan orang terkemuka tersebut. Ya Abu Hurairah, sesungguhnya Allah amat kasih kepada orang yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambutnya, yang kempis perutnya kecuali dari hasil yang halal. Mereka ini, bila masuk menghadap penguasa tidak akan diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada ia tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan bila mati tidak dihadiri jenazahnya."

Salah seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada kami salah seorang dari mereka (selain budak hitam tadi)!"

"Uwais Al Qarniy," Kata Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, "Seseorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, sedang tingginya dan selalu menundukkan kepalanya sambil membaca Al Qur'an. Tidak terkenal di bumi, tetapi sangat terkenal di langit. Jika ia bersungguh-sungguh meminta kepada Allah, pasti dikabulkan. Di bawah bahu kirinya ada bekas belang sedikit…Wahai 'Umar dan 'Ali, jika kamu bertemu dengannya, mintalah agar ia membacakan istighfar untukmu…!"

Dalam riwayat lainnya, beliau berpesan kepada 'Umar dan 'Ali, agar Uwais membacakan istrighfar untuk umat beliau."

[Hadits riwayat Abu Nu'aim di kitab Hilyah Al-Auliya']

Keterangan hadits :

Syaikh Al-Albani rahimahullah di kitab Silsilah Dha’ifah Maudhu’ah (6276), derajat hadits tersebut sangat mungkar. Sanadnya terputus karena Adh-Dhahhak bin Muzahim tidak bertemu dengan Abu Hurairah. Selain itu ada beberapa perawi yang majhul (tidak diketahui), di antaranya adalah Al-Walid bin Isma’il, Muhammad bin Ibrahim, dan Naufal bin ‘Abdillah.

Allahu a'lam

Dokter Tidak Bisa Shalat Jumat Karena Ada Pasien ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Ada beberapa sebab yang membolehkan seseorang meninggalkan jumatan. Dalam kitab Al-Asybah wa An-Nadzair, Imam As-Suyuthi – ulama Syafi'iyah – menyebutkan beberapa udzur yang membolehkan seseorang tidak shalat jamaah dan tidak jumatan. Diantara udzur yang beliau sebutkan adalah menangani orang sakit.
(Al-Asybah wa An-Nadzair, hlm. 439)

Keterangan yang lain disampaikan Imam Ibnu Abidin – ulama Hanafiyah –, beliau menyebutkan beberapan udzur untuk meninggalkan shalat jamaah dan jumatan :

وقيامه بمريض أي يحصل له بغيبته المشقة والوحشة

"Atau menangani orang sakit, maksudnya ketika si sakit bisa mendapat kesulitan dan merasa kesepian ketika yang menunggu tidak ada." 
(Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/556)

Ini berlaku, jika tidak ada orang lain yang bisa menggantikan.

Jika ada orang lain yang bisa menggantikan, misalnya ada perawat wanita atau dokter wanita yang tidak wajib jumatan, maka wajib digantikan mereka yang tidak wajib jumatan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

قال أصحابنا: من الأعذار في ترك الجماعة : أن يكون مُمَرِّضاً لمريض يخاف ضياعه

"Ulama kami – syafi'iyah – mengatakan bahwa termasuk udzur meninggalkan shalat jamaah adalah posisi dia sebagai perawat orang sakit, yang dikhawatirkan akan membahayakan pasiennya."
(Al-Majmu’, 4/100)

Di sini mereka berbicara tentang udzur meninggalkan shalat jamaah, namun aturan ini juga berlaku untuk jumatan.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin dinyatakan :

قال الحسن: أفادت هذه الرواية أن الجمعة والجماعة في ذلك سواء

"Al-Hasan mengatakan, riwayat ini menunjukkan bahwa udzur jumatan maupun shalat jamaah, itu sama." 
(Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/555)

Inilah yang menjadi pertimbangan fatwa Lajnah Daimah, yang membolehkan meninggalkan jumatan karena udzur menangani orang sakit.

Lajnah ditanya tentang dokter yang jaga di rumah sakit bertepatan dengan waktu jumatan. Apa yang harus dilakukan dokter ini?

Jawaban Lajnah :

الطبيب المذكور في السؤال قائم بأمر عظيم ينفع المسلمين ، ويترتب على ذهابه إلى الجمعة خطر عظيم ، فلا حرج عليه في ترك صلاة الجمعة ، وعليه أن يصلي الظهر في وقتها، ومتى أمكن أداؤها جماعة وجب ذلك ؛ لقول الله سبحانه: ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) ، فإذا كان من الموظفين من يتناوب معه وجب عليهم أن يصلوا الظهر جماعة

"Dokter tersebut sedang melakukan tugas besar yang manfaatnya besar bagi kaum muslimin. Yang jika dia tinggal untuk jumatan, bisa mengancam bahaya besar. Karena itu, tidak masalah baginya untuk meninggalkan jumatan. Namun dia wajib shalat zhuhur di waktunya. Dan selama memungkinkan untuk mengerjakan zhuhur secara berjamaah, wajib untuk dia lakukan.

Berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” Jika ada beberapa karyawan yang mendapat tugas bersamanya, maka mereka semua wajib shalat zhuhur berjamaah."
(Fatwa Lajnah Daimah, 8/190)

Kesimpulannya, ada beberapa tahapan yang bisa dilakukan ketika jadwal jaga bertabrakan dengan jumatan :

[1] Mencari dokter pengganti yang tidak wajib jumatan;

[2] Jika tidak ada, boleh tidak jumatan, namun nanti shalat zhuhur setelah dokter lain sudah pulang jumatan;

[3] Jika ada beberapa dokter dan karyawan yang juga tidak jumatan, maka mereka tetap wajib shalat jamaah di mushala rumah sakit atau di ruang shalat yang disediakan.

Allahu a’lam

Bersin Ketika Shalat, Bolehkah Mengucap Hamdalah (Tahmid) ?

Ketika seseorang bersin, maka disyari’atkan baginya untuk mengucapkan hamdalah, ia memuji Allah Rabbnya. Dalilnya adalah :

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

Telah menceritakan kepada kami Adam bin Iyaas; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b; Telah menceritakan kepada kami Sa'iid Al Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"Sesungguhnya Allah menyukai bersin, dan membenci menguap, apabila salah seorang dari kalian bersin, hendaklah ia memuji Allah, dan kewajiban seorang muslim yang mendengarnya untuk mendo'akan, sedangkan menguap datangnya dari setan, hendaknya ia menahan semampunya, jika ia sampai mengucapkan haaah, maka syetan akan tertawa karenanya."
[Shahih Bukhari no. 6223]

حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ وَحَمِدَ اللَّهَ كَانَ حَقًّا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُولَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَثَاءَبَ ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

Telah menceritakan kepada kami 'Aashim bin 'Aliy; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Sa'iid Al Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : 

"Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap, apabila salah seorang dari kalian bersin, lalu memuji Allah, maka kewajiban setiap muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan; "Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu), sedangkan menguap datangnya dari setan, dan apabila salah seorang dari kalian menguap, hendaknya ia menahan semampunya, karena jika salah seorang menguap, maka setan tertawa karenanya."
[Shahih Bukhari no. 6226]

Ini adalah dalil yang umum. Namun bagaimana bila kita sedang shalat dan kita bersin? Apakah disyari’atkan juga untuk mengucapkan hamdalah?

Jawabannya adalah ya, dalilnya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا رِفَاعَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيُّ عَنْ عَمِّ أَبِيهِ مُعَاذِ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ فَقُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ فَقَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كَيْفَ قُلْتَ قَالَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلَاثُونَ مَلَكًا أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Rifaa’ah bin Yahya bin ‘Abdullah bin Rifaa’ah bin Raafi’ Az-Zaraqiy, dari paman ayahnya yaitu Mu’aadz bin Rifaa’ah, dari Ayahnya, ia berkata :

“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu aku bersin dan mengucapkan, 

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى

Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha 

(Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagaimana Rabb kami senang dan ridha).

Maka ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bertanya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Maka aku menjawab, “Aku, wahai Rasulullah,” Beliau bertanya, “Apa yang engkau ucapkan tadi?” Aku menjawab, “Aku mengucapkan ‘Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha’.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda : 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut.”
[Jaami’ At-Tirmidzi no. 404] – Imam Tirmidzi berkata hadits hasan. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah no. 951

Perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak mengingkari perbuatan Rifaa’ah -radhiyallahu ‘anhu- menjadi hujjah disyari’atkannya mengucapkan hamdalah ketika bersin dalam shalat. Dan ini adalah pendapat jumhur dari para sahabat dan tabi’in. Begitu juga Imam Maalik, Asy-Syaafi’iy dan Ahmad. Namun mereka berbeda-beda pendapat apakah pengucapannya dikeraskan atau dipelankan. Yang rajih adalah dikeraskan namun hanya sebatas hingga didengar dirinya sendiri dan tidak sampai mengganggu orang lain disampingnya. Ini adalah pendapat madzhab Imam Ahmad.

Jika demikian apakah dalam setiap keadaan kita boleh mengucapkan alhamdulillah saat bersin dalam shalat ataukah ada rincian-rincian keadaan yang harus diperhatikan. Jawabannya pilihan kedualah yang lebih tepat sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani sebagai berikut :

“Jika menjadi makmum dalam shalat yang bacaan imam dikeraskan (shalat jahriyyah) tidak boleh membaca alhamdulillah saat bersin dan tidak ada perselisihan ulama dalam masalah ini.

Jika menjadi makmum dalam shalat yang bacaannya tidak dikeraskan (shalat sirriyyah) atau shalat sendiri boleh membaca alhamdulillah saat bersin dengan syarat tidak sedang dalam kondisi membaca Al Quran (surat Al Fatihah atau surat selainnya).

Jika bersin terjadi dalam kondisi sedang membaca Al Quran maka tidak sepatutnya menghentikan bacaan Al Quran untuk mengucapkan alhamdulillah karena berdampak menyisipkan ke dalam bacaan Al Quran sesuatu yang bukan bagian darinya”.

Allahu a'lam

Benarkah Syaikh Al-Albani adalah Seorang Muhaddits Tanpa Sanad dan Guru ?

Oleh : Ustadz Rikrik Aulia Rahman

Nama beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i, baik yang pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhaddits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati Al-Arnauth[1] Al-Albani –rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhaddits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta.

Para pembaca yang budiman…

Dalam perjalanannya menuntut ilmu,Al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermadzhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh Al-Albani mengkhatamkan Al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati Al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh Al-Muhaddits Abdul Qadir Al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh Al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan madzhab Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh Al-Albani sebagai muhaddits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan Al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” 
(QS. Ath-Thuur : 21).

Ayah Syaikh Al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong As-Sunnah (Ad-Din).

Syaikh Nuh Najati Al-Hanafi Al-Arnauth Al-Albani rahimahullahu

Para pembaca yang budiman…

Pada tahun-tahun berikutnya, Al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id Al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermadzhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam mesjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh Al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, Al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh Al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.

Suatu ketika Syaikh Al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Umayyah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. Syaikh Al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id Al-Burhani. Syaikh Sa'id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh Al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran bagi madzhab kami !!!”. Kata Al-Albani: “Aku tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla 'Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.

Syaikh Muhammad Sa’id Al-Burhani rahimahullah

Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh Al-Muhaddits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar (w. 1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah Al-Manar yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama seperti Syaikh 'Abdurrazaq Hamzah, Syaikh 'Abdurrahman As-Sa’di dan lainnya, termasuk pula Al-Imam Al-Albani.

Adakah Al-Albani Memiliki Sanad ?

Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhaddits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4] dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh Al-Halabi rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di zamannya.[5]Syaikh Ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan sejarah di Fakultas Syari’ah Al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu Al-Qarnain wa Sadd Ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh Ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]

Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh Al-Halabi rahimahullahu 

Syaikh Ath-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh Al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “Al-Anwar Al-Jaliyah fi Mukhtashar Al-Tsabat Al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh Al-Albani rahimahullahu.[7]

Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim Al-‘Anqori hafizhahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair Asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad Ath-Thayib, peristiwa itu terjadi di tahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh Al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal Al-Mahabah yang terkenal itu :

وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله

”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh Al-Fadhil Raghib Ath-Thabakh rahimahullahu...”.

Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh Ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu diantara mereka adalah Syaikh Al-Muhaddits As-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga Muhaddits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu Al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin Al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhaddits Ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat Al-Atsbat Asy-Syahirah” .

Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.

Silsilah Sanad Al-Albani

Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh Al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

Syaikh Al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhaddits As-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari Al-Allamah Al-Mujadid Ats-Tsani 'Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin 'Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahab[9], dari 'Abdullah bin Ibrahim Al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdul Qadir Ath-Taghlabi [10].

Al-Muhaddits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin Al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr Al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam Al-Qadhi Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari Al-Allamah 'Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Isma'il Al-'Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.

Al-Muhaddits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhaddits Ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhaddits Ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh 'Abdul 'Aziz Muhaddits Ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh Al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin 'Abdurrahim Muhaddits Ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah Al-Balighah-. [12]

Al-Allamah Muhammad Isma'il Al-'Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhaddits Ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir Al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]

Syaikh Abdul Qadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani meriwayatkan dari 'Abdul Baqi bin 'Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis Al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad Al-Maqdisi, dari Ahmad bin 'Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin Al-Mardawi –penulis Al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus Al-Ba’ali, dari Ibn Al-Lahm, dari Ibn Rajab Al-Hanbali, dari Ibn Qayyim Al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam 'Abdurrahman Ibn Qudamah dari Pamannya Al-Imam 'Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis Al-Mughni- dari Al-Imam Abi Al-Fatah bin Al-Minni dari Al-Imam Abu Bakr Ahmad Ad-Dainuri dari Al-Imam Abi Al-Khathab Mahfuzh bin Ahmad Al-Kalwadzani dari Al-Qadhi Abi Ya’la Ibn Al-Fara’ dari Al-Imam Abi 'Abdullah Al-Husein bin Haamad dari Al-Imam Abu Bakar 'Abdul 'Aziz Al-Khallal dari Al-Imam 'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dari Al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu 'Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]

Murid Beliau dalam Riwayah

Sangat ramai murid Al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata :

أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب

“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]

Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini :

هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين

“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]

Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Amin Bu Khubzah Al-Hasani Ath-Thathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]

Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, Al-Musnid Muhammad Ziyad 'Umar Tuklah[18] hafizahullahu :

Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:

1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam

2. Shalat Tarawih Nabi shallallahu’alaihi wasallam

3. Shalat Ied fil Mushaliy

4. Tasdid Al-Ishabah

5. Fahrisat Kitab Al-Hadits bil Dhahiriyah

6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]

Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai Al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan, Maghrib.

Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah :

استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه

“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam Al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam Al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”.

Perkataan singkat dari Imam Al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala.

Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu.

Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna Al-Musnid Musa’ad bin Basyir As-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]

Berkata Syaikhuna At-Tuklah dalam Tsabat Al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad Al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr Al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahab Al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat :

أجزتك عن شيخي راغب الطباخ

“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib Ath-Thabakh”,

Dan beliau (Syaikh Al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.

Berkata Syaikhuna Abu Al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib Ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.

Syaikhuna Abu Hajaj Al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari Al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad Ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh Ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]

Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh Al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh Al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini. Syaikh Al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.

Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid Al-Hafizh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58 :

فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل

“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. 

Selesai. Semoga bermanfaat.

Allahu'alam

Catatan Kaki :

[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.

[2] Beliau adalah Muhammad Sa’id bin 'Abdurrahman bin Muhamad Sa’id Al-Burhani Ad-Dagistani Al-Hanafi (1311 - 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja Al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh Al-Burhani ini meriwayatkan dari Bapaknya 'Abdurrahman Al-Burhani, Syaikh Badruddin Al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih Al-Aamadi, Syaikh Mahmud Al-Athar, dan Syaikh Muhammad Al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung dari Syaikh Al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain An-Nawawiyah dan Al-Ajluniyah.

[3] Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh Al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi, karena Syaikh Al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi.

[4] Syaikh Al-Faqih Muhammad Shalih bin 'Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.

[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr Al-Jawahir (3/1165-1167) dan lainnya.

[6] Hal. 40.

[7] Ulama wa Mufakkirun 'araftuhum karya Ustadz Muhammad Al-Majdzub (1/288).

[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad Al-Fatah hal. 308-312.

[9] Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh 'Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh 'Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhaddits Muhammad Badi’uddin Ar-Rasyidi, Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim Al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.

[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti Al-Hanabilah bi Damasyiq”.

[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad Ad-Dafatir”.

[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Al-Irsyad ila Muhimmat Ilm Al-Isnad”.

[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Al-Umam li Iqaz Al-Himam”.

[14] Lihat Tsabat Al-Atsbat Asy-Syahirah hal 64-71.

[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah Al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah, hal. 230

[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi' Al-Madhkali, hal. 13.

[17] Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq Al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay Al-Kattani, Syaikh 'Abdul Hafizh Al-Fihri Al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur Al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.

[18] Syaikh At-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.

[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah Al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah, hal. 230

[20] Selain dari Al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh 'Umar Al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy Al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali An-Nadwi, Syaikh Abdullah An-Najdi, Syaikh Yasin Al-Fadani, dan lainnya.

[21] Syaikh Abu Al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya sendiri.

[22] Lihat http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showpost.php?p=1929424...

Berikut video kisah perjalanan kehidupan Syaikh Al Albani :



Jumat, 12 Maret 2021

Tempat Adam Diturunkan

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Keterangan yang disebutkan dalam Al-Quran, bahwa Allah menurunkan Adam dari surga ke bumi, setelah dia memakan buah pohon larangan.

Allah berfirman :

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." 
(QS. Al-Baqarah : 36)

Sementara mengenai tempat di mana Adam diturunkan, tidak ada keterangannya sama sekali dalam Al-Quran. Dan kami juga tidak menjumpai adanya hadits shahih yang menyebutkan hal ini. Memang ada beberapa hadits yang menyebutkan tempat turunnya Adam di Bumi, namun statusnya dhaif.

Seperti hadits :

َزَلَ آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ

“Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi”. 
(HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 7/437)

Hadits ini dha’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin 'Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua ; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dha’if-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (403).

Hanya saja, ada beberapa keterangan para ulama mengenai tempat turunnya Adam. Namun karena tidak didukung dalil, keterangan mereka beraneka ragam. Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan sekitar 4 pendapat mengenai hal ini :

[1] Adam diturunkan di India, sedangkan Hawa diturunkan di Jeddah. Ini pendapat Imam Hasan Al-Bashri

[2] Adam dan Hawa keduanya diturunkan di India.

[3] Adam diturunkan di satu daerah namanya Dahna, antara Mekkah dan Thaif. Ini keterangan dari Ibnu 'Abbas sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Sementara diriwayatkan 'Imran bin 'Uyainah, Dahna adalah satu tempat di India.

[4] Adam diturunkan di Shafa dan Hawa diturunkan di Marwah. Ini merupakan keterangan Ibnu 'Umar menurut riwayat Ibnu Abi Hatim.

(Tafsir Ibnu Katsir, 1/237)

Terlepas dari semua pendapat di atas, kajian masalah ini masuk dalam ranah kajian masalah ghaib. Sementara kita tidak boleh berbicara masalah ghaib kecuali sebatas informasi yang diberitakan oleh pemilik kabar ghaib, Allah ta’ala atau melalui wahyu Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping mempelajari masalah ini tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi ketakwaan kita.

Allahu a’lam

PENJELASAN HADITS TENTANG MEMBENCI AYAH BERAKIBAT KAFIR

 حَدَّثَنَا أَصْبَغُ بْنُ الْفَرَجِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ عِرَاكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيهِ فَهُوَ كُفْرٌ

Telah menceritakan kepada kami Ashbagh bin Al Faraj; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku 'Amru dari Ja'far bin Rabii'ah dari 'Iraak dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Janganlah kalian membenci ayah-ayah kalian, sebab siapa saja yang membenci ayahnya adalah kekufuran."
(HR. Bukhari no. 6768)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ مَعَهُ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنَّا نَقْرَأُ وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَوْ إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أُطْرِيَ ابْنُ مَرْيَمَ وَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَرُبَّمَا قَالَ مَعْمَرٌ كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq; Telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhriy dari 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'uud dari Ibnu 'Abbaas dari 'Umar bahwa dia berkata : 

"Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa kebenaran, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadanya, diantara ayat yang diturunkan kepadanya adalah ayat tentang hukum rajam, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan hukum rajam, dan kamipun melaksanakan hukum rajam sepeninggal beliau." 

Kemudian dia berkata; "sungguh kita telah membaca; "Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian, karena bisa menjadikan kalian kafir, " atau; "Sesungguhnya kalian bisa menjadi kafir karena membenci bapak-bapak kalian." 

Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana Ibnu Maryam telah dikultuskan, aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah; 'Hamba-Nya dan Rasul-Nya'." Bisa saja Ma'mar berkata; "Sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Ibnu Maryam."
(HR. Ahmad no. 313)

Pengertian hadits ini sebenarnya bukan membenci yang biasa, tapi membenci dalam arti sampai tidak mengakui ayahnya sebagai ayah kandung dan menjadikan atau mengakui orang lain sebagai ayah kandung. 

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا خَالِدٌ هُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

فَذَكَرْتُهُ لِأَبِي بَكْرَةَ فَقَالَ وَأَنَا سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ وَوَعَاهُ قَلْبِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad; Telah menceritakan kepada kami Khaalid yaitu Ibnu 'Abdullah; Telah menceritakan kepada kami Khaalid dari Abu 'Utsmaan dari Sa'd radhiallahu 'anhu mengatakan, aku menengar Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayahnya padahal ia tahu bukan ayahnya maka surga haram baginya." 

Maka aku sampaikan hadits ini kepada Abu Bakrah dan ia berkata; 'Aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan hatiku juga mencermati betul dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.'
(HR. Bukhari no. 6766, 6767)

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي ذَرٍّ

أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ وَمَنْ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami 'Abd Ash-Shamad bin 'Abdul Waarits; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mu'allim dari Ibnu Buraidah dari Yahya bin Ya'mar bahwa Abu Al-Aswad telah menceritakan kepadanya dari Abu Dzar bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuan, atau berkata, 'Wahai musuh Allah' padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut akan kembali kepadanya."
(HR. Muslim no. 61)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ أَوْ جَحْدُهُ وَإِنْ دَقَّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin 'Abdullah; Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Bilaal dari Yahya bin Sa'iid dari 'Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Seseorang menjadi kufur, lantaran mengaku bernasab pada seseorang yang tidak ia kenal, atau mengingkari nasab yang sebenarnya, sekalipun ia telah menelitinya."
(HR. Ibnu Majah no. 2744)

Imam Ibnul Baththâl rahimahullah berkata :
“Yang dimaksudkan hadits ini adalah orang yang merubah penisbatan dirinya kepada selain bapaknya, dengan sadar, sengaja, dan sukarela (tidak terpaksa). Dahulu di zaman jahiliyah, mereka tidak mengingkari seseorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anaknya, dan anak tersebut dinisbatkan kepada orang yang mengangkatnya sebagai anak, sehingga turun firman Allâh Azza wa Jalla :

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allâh." 
[QS. Al-Ahzâb : 5]

Dan firman-Nya :

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

"Dia (Allâh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)." 
[QS. Al-Ahzâb : 4]

Maka (setelah turun ayat itu) setiap orang dinisbatkan kepada bapaknya yang sebenarnya, sementara penisbatan kepada orangtua angkat ditinggalkan. Tetapi sebagian mereka tetap dikenal penisbatannya kepada orangtua angkat, maka dia disebut dengannya dengan niat informasi, bukan dengan niat nasab hakiki. Seperti Miqdâd bin Al-Aswad. Al-Aswad bukan bapaknya, tetapi orang yang mengangkatnya sebagai anak.” 
(Fathul Bâri, 19/171)

Maksud kata kekafiran di sini bukanlah kufur akbar yang mengakibatkan pelakunya murtad dan kekal dalam neraka. Yang dimaksudkan adalah kufur ashghar atau kufur nikmat. Sebagian Ulama menyatakan sebab disebut kufur ialah karena itu merupakan kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla, seolah-olah dia mengatakan, “Allâh telah menciptakan aku dari air mani Fulan”, padahal Allâh telah menciptakannya dari yang lain. Wallahu a’lam. 
(Lihat Fathul Bâri, 19/171)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan :

فَقِيلَ : فِيهِ تَأْوِيلَانِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ فِي حَقّ الْمُسْتَحِلِّ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ كُفْر النِّعْمَة وَالْإِحْسَان وَحَقّ اللَّه تَعَالَى ، وَحَقّ أَبِيهِ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد الْكُفْر الَّذِي يُخْرِجهُ مِنْ مِلَّة الْإِسْلَام . وَهَذَا كَمَا قَالَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( يَكْفُرْنَ ) ، ثُمَّ فَسَّرَهُ بِكُفْرَانِهِنَّ الْإِحْسَان وَكُفْرَانِ الْعَشِير . وَمَعْنَى اِدَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ أَيْ اِنْتَسَبَ إِلَيْهِ ، وَاِتَّخَذَهُ أَبًا . وَقَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( وَهُوَ يَعْلَم ) تَقْيِيد لَا بُدَّ مِنْهُ فَإِنَّ الْإِثْم إِنَّمَا يَكُون فِي حَقّ الْعَالِم بِالشَّيْءِ..."

"Dalam memaknai maksud hadits ini ada dua pendapat. Satu, kafir bagi yang menganggap halal. Kedua, maksudnya adalah ingkar (kufur) nikmat dan ingkar berbuat baik pada orangtua. Ingkar pada hak Allah dan hak bapaknya. Bukan maksudnya kufur yang membuatnya keluar dari Islam (murtad). Penafsiran ini sebagaimana sabda Nabi [يَكْفُرْنَ] "Mereka ingkar" lalu dijelaskan keingkaran mereka untuk berbuat baik (ihsan) dan ingkar pada kerabat. 
(Syarah Muslim, 2/19)

Allahul musta'an

Apa Hukum Berdehem Setelah Kencing ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Ada dua hal yang perlu kita perhatikan terkait masalah buang air :

[1] Kajian terkait sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika buang air.

[2] Kajian yang hubungannya dengan masalah medis.

Pertama, sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait masalah adab buang air.

Seseorang bisa menyebut praktek tertentu sebagai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika dia punya dalil. Selama dia tidak memiliki dalil, dia tidak diperkenankan menyebutnya sebagai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi aturan yang sangat mudah dalam buang air. Meskipun beliau sangat menekankan untuk berhati-hati dalam masalah najis. Beliau bersabda,

أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ فِي الْبَوْلِ

"Mayoritas adzab kubur disebabkan masalah kencing." 
(HR. Ahmad no. 7981, 8672, 8698 dan Ibnu Majah no. 348)

Beliau juga mengajarkan beberapa hal sebagai penyempurna adab ketika buang air. Salman Al-Farisi radhiallahu'anhu bercerita :

لَقَدْ نَهَانَا -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ وَأَنْ لاَ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ وَأَنْ لاَ يَسْتَنْجِىَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ يَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ

"Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil, agar kami tidak beristinja' dengan tangan kanan, dan tidak beristijmar dengan kurang dari 3 batu, atau beristinja’ dengan kotoran kering atau dengan tulang." 
(HR, Muslim no. 262)

Dan masih ada beberapa adab lainnya yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita mengetahui dengan membaca dalil yang shahih dari beliau.

Apakah ada anjuran untuk berdehem ?

Ada beberapa hadits dhaif yang menyebutkan cara tertentu ketika kencing, diantaranya :

[1] Duduk dengan posisi jongkok, kaki kiri diduduki tumitnya, sementara kaki kanan tegak di depan.

Dari Suraqah bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan :

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمرنا أن نتكئ على اليسري وأن ننصب اليمني

"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk jongkok, dengan duduk di atas tumit kaki kiri dan menegakkan kaki kanan."

Derajat hadits :

Hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi (kitab Thaharah, 1/96), dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (7/161). Hadits ini didhaifkan Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram (hlm. 21), juga didhaifkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab (2/98), karena disana ada 2 perawi yang majhul.

[2] Menggerakkan kemaluan.

Terdapat hadits yang menyatakan :

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْتُرْ ذَكَرَهُ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

"Apabila kalian kencing, hendaknya dia gerakkan zakarnya (disentil) 3 kali."

Derajat hadits :

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitab Thaharah, Bab membersihkan sisa kencing setelah kencing, dari jalur Zam’ah, dari Yazdad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Yazdad bukan sahabat, dan Zam’ah dhaif.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

اتفقوا على ضعفه وقال إن يزداد  لا صحبة له وممن نص على ذلك البخاري في التاريخ وأبو حاتم الرازي وابنه عبد الرحمن وأبو داود وابن عدي وغيرهم

"Mereka sepakat hadits ini dhaif. Yazdad bukan sahabat. Diantara yang menegaskan demikian adalah Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Hatim Ar-Razi, Putra Abu Hatim, 'Abdurrahman, Abu Dawud, Ibnu 'Adi dan yang lainnya."
(Al-Majmu’, 2/99)

Sementara untuk berdehem, kami tidak menjumpai dalilnya.

Artinya, baik duduk jongkok, mengurut atau menyentil kemaluan, termasuk berdehem seusai kencing, sama sekali tidak bisa ditegaskan sebagai bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kita tidak punya riwayat yang shahih bahwa itu ajaran beliau.

Syaikhul Islam pernah ditanya, untuk orang yang selesai kencing, agar lebih bersih, apakah harus berdehem, naik turun, bergerak, dst, untuk memastikan kencingnya sempurna keluarnya.

Jawaban beliau :

التنحنح بعد البول والمشي والطفر إلى فوق والصعود في السلم والتعلق في الحبل وتفتيش الذكر بإسالته وغير ذلك : كل ذلك بدعة ليس بواجب ولا مستحب عند أئمة المسلمين بل وكذلك نتر الذكر بدعة على الصحيح لم يشرع ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Berdehem setelah kencing, bergerak, gerakan naik turun, atau menggunakan tali, mengurut zakar agar mengalir, atau semacamnya, semua itu tidak ada ajarannya, tidak wajib, tidak pula sunnah menurut para ulama. Termasuk menyentil zakar, tidak ada ajarannya menurut pendapat yang benar, tidak pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam."
(Majmu’ Al-Fatawa, 21/106)

Mengenai pertimbangan, ini bermanfaat secara medis, dan bisa membuat kencing lebih tuntas, ini masalah lain. Namun kesimpulan medis tidak boleh kita bawa pada ranah sunnah, selama tidak didukung dalil.

Kedua, tinjauan medis.

Ini kembali pada pertimbangan kesehatan. Namun tinjauan medis tidak bisa dijadikan alasan bahwa itu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena untuk bisa disebut bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang harus memastikan bahwa itu shahih dari beliau. Agar tidak termasuk dalam ancaman hadits,

Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

"Siapa yang menyampaikan satu hadits dariku, dan dia punya dugaan itu dusta, maka dia termasuk salah satu pendusta."
(HR. Muslim dalam mukadimah)

Jika memang betul berdehem setelah kencing itu bermanfaat secara kedokteran, boleh saja orang melakukannya, namun tidak boleh disebut sebagai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama tidak ada bukti dari riwayat yang shahih.

Hanya saja, jangan sampai ini membuat seseorang jadi was-was ketika buang air. Sehingga orang bisa membutuhkan waktu sangat lama, hanya untuk sekali buang air. 

Allahu a’lam.

APAKAH SELESAI KENCING, DISYARIATKAN MENGURUT KEMALUAN ?

Oleh : Ustadz Neno Triyono

Sebagian ulama ketika menyebutkan adab-adab buang air, mereka menganjurkan agar seorang selesai kencing, mengurut kemaluannya sebanyak 3 kali, hal ini dimaksudkan agar air kencingnya dapat tuntas keluar tidak ada yang menetes lagi setelah dicuci. Imam Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :

والحكمة في ذلك حصول الظن بأنه لم يبق في المخرج ما يخاف من خروجه

"Hikmahnya adalah agar tidak ragu ada sisa air kencing yang belum keluar, yang dikhawatirkan nanti akan keluar lagi (jika tidak diurut-pent.)".

Barangkali mereka berdalil dengan hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْتُرْ ذَكَرَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

"Jika kalian kencing, urutlah kemaluannya sebanyak 3 kali".

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 326), Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. 19054) dan selainnya semuanya dari jalan 'Iisa bin Yazdaad Al-Yamaaniy dari Bapaknya ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Al-Hadits”.

Para ulama menyebutkan bahwa hadits ini minimal memiliki kelemahan dari sisi sanadnya yaitu :

1. 'Iisa bin Yazdaad dan Bapaknya adalah dua perawi yang majhul menurut para ulama. Imam Abi Hatim dalam Al-Ilaal mengomentarinya :

و هو و أبوه مجهولان

"Ia ('Iisa) dan Bapaknya (Yazdaad) adalah dua perawi majhul."

Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Ibnu Ma’in :

لا يعرف عيسى هذا و لا أبوه

"Tidak diketahui siapa 'Iisa ini, begitu juga Bapaknya".

Imam Bukhari mengomentarinya : tidak shahih haditsnya. 

(Lihat Adh-Dhaifah no. 1621)

2. Sebagian ulama mengatakan bahwa Yazdaad bukan seorang sahabat, sehingga haditsnya mursal. Oleh karenanya Imam Abu Dawud memasukkan hadits ini dalam Al-Maraasiil (no. 4). Imam Abu Hatim dalam Al-Ilaal berkata :

و ليس لأبيه صحبه

"Bapaknya bukan sahabat."

Syaikh Al Albani dalam Adh-Dhaifah (no. 1621) berkata :

و كان أبوه لم يصرح بسماعه من النبي صلى الله عليه وسلم

"Bapaknya tidak jelas mendengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam".

Oleh sebab itu para ulama tidak ragu lagi untuk mendhaifkan hadits ini, Imam Nawawi dalam Al-Majmu' berkata :

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ ضَعِيفٌ وقال الاكثرون هو مرسل

"Para ulama bersepakat bahwa hadits ini dhaif dan kebanyakan mereka mengatakan hadits ini juga mursal".

Ini adalah dari sisi sanad, adapun yang menunjukkan kelemahannya dari sisi matan yaitu apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu' Fatawanya :

ومما يدل على ضعفه أن هذا العمل يسبب الوسوسة والإصابة بالسلس، فالواجب ترك ذلك .

"Yang juga menunjukkan kelemahan hadits ini adalah beramal dengannya menyebabkan rasa waswas dan bisa terkena penyakit beser, maka wajib untuk meninggalkan beramal dengan hadits ini".

Terkait hukum mengamalkan hadits ini, memang betul sebagian ulama menganjurkannya, seperti Imam Abil Khair dalam "Al-Bayaan", dimana beliau berkata :

وإذا بال، تنحنح ومسح ذكره من مجامع عروقه؛ لما روي: أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قال: «إذا بال أحدكم، فلينتر ذكره ثلاث مرات» . ولأنه يخرج إن كان هناك بقية.

"Jika kencing mengusap dan mengurut kemaluan dari seluruh uratnya, berdasarkan hadits (di atas). Karena akan keluar air kencing, jika masih ada sisanya".

Namun yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Bin Baz sebelumnya dan kami tambahkan penjelasan Asy-Syaikh Shaalih bin Abdil Aziz Alu Syaikh dalam Syarah Bulughul Maram :

لا يشرع على الصحيح أن ينتر الذكر إذا أراد أن ينتره في بعض الأحيان لغرض لا للعبادة، والاستنزاه، والتقرب بذلك، فهذا أمر بحسب الحال، لكن أن يعتاد عليه، وأن ينتره دائما، وأنه يرى أنه لا يستبرئ، ولا يستنزه حتى يفعل ذلك، فهذا ليس بجيد

"Tidak disyariatkan menurut pendapat yang benar untuk mengurut kemaluan. Jika ia ingin mengurutnya sesekali untuk tujuan tertentu bukan karena ibadah, misalnya ia ingin membersihkannya, maka ini adalah perkara yang melihat situasi dan kondisi.

Namun jika ia menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebiasaan, ia senantiasa mengurutnya dan berpandangan bahwa tidak akan bersih dan suci, kecuali jika diurut kemaluannya, maka ini tidak bagus." 
-selesai-

Asy-Syaikh Shaalih sebelumnya menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang membid’ahkan orang yang mengurut kemaluan sebagai bagian dari ibadah, kata beliau :

ان التعبد بالنتر بدعة

"Sesungguhnya beribadah dengan mengurut kemaluan (selepas kencing) adalah bid’ah". 
(http://www.taimiah.org/index.aspx?function=item&id=936...)




Tentang Saling Mencela/Menghina

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyuub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'iil yaitu Ibnu Ja'far, dari Al A'laa, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Apabila ada dua orang yang saling mencela, maka celaan yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai celaan selama orang yang dizhalimi itu tidak melampaui batas."
(Shahih Muslim no. 2587)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِي مِنْهُمَا مَا لَمْ يَعْتَدْ الْمَظْلُومُ

وَفِي الْبَاب عَنْ سَعْدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muhammad, dari Al 'Alaa` bin 'Abdurrahman, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah ia berkata; Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Kedua orang yang saling menghina, maka dosa dari perkataan keduanya ditanggung oleh orang yang memulai selama orang yang dizhalimi (dihina) tidak berlebih-lebihan dalam membalas hinaan." 

Hadits ini semakna dengan yang diriwayatkan dari Sa'ad, Ibnu Mas'uud dan 'Abdullah bin Mughaffal. Berkata Abu 'Iisa: Ini merupakan hadits hasan shahih.
(Jami' Tirmidzi no. 1981)

Larangan At-Tasybik (Menjalin Jari-Jemari)

 أَخْبَرَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ يُرِيدُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ فَلَا تَقُولُوا هَكَذَا يَعْنِي يُشَبِّكُ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

Telah mengabarkan kepada kami Al Haitsam bin Jamiil dari Muhammad bin Muslim dari Isma'iil bin Umayyah dari Al Maqburiy dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barangsiapa berwudhu kemudian keluar untuk melaksanakan shalat, maka ia dalam hitungan shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah kalian melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari."
[HR. Ad-Daarimi no. 1446]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْأَنْبَارِيُّ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُمْ عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَعْدُ بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي أَبُو ثُمَامَةَ الْحَنَّاطُ أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ

أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ قَالَ فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaimaan Al-Anbaariy bahwasanya 'Abdul Malik bin 'Amru; Telah menceritakan kepada mereka, dari Daawud bin Qais dia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'd bin Ishaq; Telah menceritakan kepadaku Abu Tsumaamah Al-Hannaath,

"Bahwasanya Ka'ab bin 'Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Kata Abu Tsumaamah; Ka'ab mendapatiku sedang menjalin kedua tanganku, maka dia melarangku berbuat demikian dan berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu dia membaguskan wudhunya, kemudian pergi menuju masjid, maka janganlah dia menjalin kedua tangannya, karena perbuatan itu dianggap himpunan ibadah shalat."
[HR. Abu Dawud no. 562]

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ سَأَلْتُ نَافِعًا

عَنْ الرَّجُلِ يُصَلِّي وَهُوَ مُشَبِّكٌ يَدَيْهِ قَالَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ تِلْكَ صَلَاةُ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Hilaal; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Waarits dari Isma'iil bin Umayyah,

"Aku bertanya kepada Naafi' tentang orang yang shalat dengan menjalin jari-jari tangannya yang satu dengan yang lain." Jawabnya; Ibnu 'Umar pernah berkata: "Itu adalah shalatnya orang yang dimurkai (Yahudi)."
[HR. Abu Dawud no. 993]

Zhahir hadits di atas menunjukkan larangan melakukan tasybik (menjalin jari-jemari) setelah seseorang berwudhu, keluar menuju masjid, menunggu shalat ditegakkan, hingga shalat ditunaikan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

أما التشبيك بين الأصابع فيكره من حين يخرج ، وهو في المسجد أشد كراهة ، وفي الصلاة أشد وأشد"

“Menjalin jari-jemari (tasybik) adalah dimakruhkan ketika ia keluar berjalan menuju masjid. Ketika ia sudah berada di masjid, maka kemakruhan itu bertambah. Dan shalat dilaksanakan, maka kemakruhan itu semakin bertambah (keras).” 
[Syarhul-‘Umdah, hal. 601; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1418]

Namun ketika seseorang berada di masjid tidak sedang menunggu shalat atau telah selesai melaksanakan shalat; maka tidak mengapa. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah telah menegaskan kebolehannya dengan membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya : “Menjalin Jari-Jemari di dalam Masjid dan Selainnya (تشبيك الأصابع في المسجد وغيره). Kemudian beliau membawakan beberapa hadits, di antaranya :

عن أبي موسى، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا). وشبك أصابعه.

Dari Abu Muusa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : 

“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan”. Kemudian beliau menjalin jari-jemarinya (tasybik).” 
[HR. Al-Bukhari no. 481]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ _ رضي الله عنه _ قَالَ : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إحدى صلاتي العشي. فصلى بنا ركعتين ثم سلم، فقام إلى خشبة معروضة في المسجد، فاتكأ عليها كأنه غضبان، ووضع يده اليمنى على اليسرى، وشبك بين أصابعه.....

Dari Abi Hurairah radgiyallaahu ‘anhu ia berkata : 

“Suatu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat ‘isya’ dan ketika baru mendapatkan dua raka’at, beliau salam. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan bersandar pada sebatang kayu yang melintang di dalam masjid dengan tampak marah. Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kiri dan menjalinkan jari-jemarinya (tasybik),…..” 
[HR. Al-Bukhari no. 482]

Sekian. Semoga bermanfaat.

Baarakallahu fiiykum




Berdoa Setiap Kali Mencuci Anggota Wudhu

Tidak jarang kita melihat ada orang yang berwudhu, ketika berkumur-kumur membaca :

اللَّهُمَّ اسْقِنِيْ مِنْ حَوْضِ نَبِيَّكَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدُا

“Ya Allah berilah saya minum dari telaga Nabi-Mu satu gelas yang saya tidak akan haus selama-lamanya.”

Lalu ketika mencuci wajah, dia membaca,

اللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ

“Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari wajah-wajah menjadi hitam.”

Kemudian ketika mencuci tangan, dia membaca,

اللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ كِتَابِيْ بِيَمِيْنِيْ وَلاَ تُعْطِنِيْ بِشِمَالِيْ

“Ya Allah, berikanlah kitabku di tangan kananku dan janganlah engkau berikan di tangan kiriku.”

Selanjutnya ketika mengusap kepala, dia membaca,

اللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ عَلَى النَّارِ

“Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

Lalu ketika mengusap telinga, dia membaca,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ

“Ya Allah, jadikanlah saya dari orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaiknya.”

Terakhir ketika mencuci kaki, dia membaca,

اللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِيْ عَلَى الصِّرَاطِ

“Ya Allah, kokohkanlah kedua kakiku di atas jembatan (hari kiamat).”
(Al-Muhadzdzhab, 1/44. Karya Imam Asy-Syairazi)

Imam Nawawi rahimahullah berkata :

وَأَمَّا الدُّعَاءُ الْمَذْكُورُ فَلَا أَصْلَ لَهُ وَذَكَرَهُ كَثِيرُونَ مِنْ الْأَصْحَابِ وَلَمْ يَذْكُرْهُ الْمُتَقَدِّمُونَ

"Adapun doa yang disebutkan di atas, maka tidak ada asalnya. Banyak ulama madzhab Syafi'iyyah yang menyebutkannya, namun aimah Syafi'iyyah mutaqaddimin tidak menyebutkannya sama sekali".
(Al-Majmu', 1/465) 

Di tempat lain yakni di "Raudhah Ath-Thalibiin" (1/62), Imam Nawawi rahimahullah berkata :

هذا الدعاء لا اصل له ولم يذكر الشافعي و الجمهور 

"Doa ini tidak ada asalnya dan tidak disebutkan oleh Imam Syafi'i dan mayoritas ulama".

Sementara di kitabnya "Al-Adzkaar" (hal. 75-76 cet. Daar Ibnu Hazm), Imam Nawawi rahimahullah berkata :

و اما الدعاء على اعضاء الوضوء فلم يجئ فيه شيء عن النبي

"Adapun doa untuk tiap anggota wudhu tidak datang sedikit pun dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". -selesai-.

Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu ta’ala mengatakan :

ولم يحفظ عنه أنه كان يقول على وضوئه شيئا غير التسمية، وكل حديث في أذكار الوضوء الذي يقال عليه فكذب مختلق لم يقل رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا منه، ولا علمه لأمته، ولا ثبت عنه غير التسمية في أوله، وقوله: ( «أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم اجعلني من التوابين، واجعلني من المتطهرين» ) في آخره. وفي حديث آخر في ” سنن النسائي “

مما يقال بعد الوضوء أيضا: ( «سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك» ) ولم يكن يقول في أوله: نويت رفع الحدث ولا استباحة الصلاة، لا هو ولا أحد من أصحابه البتة، ولم يرو عنه في ذلك حرف واحد، لا بإسناد صحيح ولا ضعيف

“Tidak terdapat penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengucapkan sesuatu pun ketika berwudhu kecuali bismillah. Dan semua hadits tentang dzikir-dzikir yang diklaim diucapkan ketika berwudhu, maka itu semua adalah dusta dan mengada-ada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan satu pun dari (dzikir atau doa) tersebut. Beliau tidak pula mengajarkan kepada umatnya. Tidak terdapat penjelasan dari Nabi kecuali membaca bismillah (tasmiyah) di awal berwudhu dan juga doa,

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم اجعلني من التوابين، واجعلني من المتطهرين

di akhir (selesai) wudhu. Dan di hadits lain yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang merupakan doa yang juga diucapkan selesai berwudhu,

سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك

Demikian pula, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan, ’Nawaitu rof’ul hadatsi … “(Aku berniat menghilangkan hadats ..). Niat semacam ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (tidak pula diucapkan oleh) satu pun sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diriwayatkan dari mereka meskipun hanya satu huruf saja, baik dengan sanad yang shahih maupun dengan sanad yang dha’if.” 
(Zaadul Ma’ad, 1/187-189)

Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafizhahullah ta’ala berkata :
”Sebagian kaum muslimin membuat doa khusus setiap anggota wudhu. Ini termasuk bid’ah yang munkar. Tidak terdapat hadits shahih yang menjelaskannya.” 
(Bahjatun Nadziriin Syarh Riyadhus Shalihin 2/250. Cetakan Daar Ibnul Jauzi)

Demikianlah, semoga kita termasuk orang-orang yang mencukupkan diri di atas sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mencapekkan diri di atas amal-amal yang bid’ah.

Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim

Hadits Dhaif Seputar Wudhu Tentang Mengusap Telinga dengan Air Tersendiri

Dalam praktik wudhu di tengah masyarakat, kebanyakan dari mereka ketika mengusap kepala mengambil air kemudian setelah itu mengambil air lagi untuk mengusap telinga. Ini merupakan kesalahan dalam wudhu.

Saya tegaskan demikian karena dua alasan :

Alasan pertama, dalil-dalil yang dipakai tentang disyariatkannya mengambil air baru untuk telinga bersumber dari hadits yang lemah, yakni hadits ‘Abdullah bin Zaid.

إِنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الَّذِيْ أَخَذَ لِرَأْسِهِ

“Sesungguhnya ia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berwudhu lalu beliau mengambil untuk kedua telinganya air selain dari air yang dia ambil untuk kepalanya.”

Hadits dengan lafazh ini diiriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitab sunannya (1/65) dari jalan Al-Haitsam bin Kharijah dari Ibnu Wahb dari ‘Amr bin Harits dari Hibban bin Wasi’ Al-Anshari dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin Zaid. 

Imam Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa ada rawi lain juga meriwayatkan hal yang sama dari Ibnu Wahb yaitu ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Imran bin Miqlash dan Harmalah bin Yahya.

Hadits ini syadz ‘lemah’ sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. Saya menetapkan syadz-nya hadits ini karena tiga sebab :

1. Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Ibnu Wahb tetapi dengan lafazh :

وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيْرِ فَضْلِ يَدِهِ

“Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bukan sisa (air untuk mencuci) tangannya.”

2. Imam Ibnu Turkumani, dalam Al-Jauhar An-Naqi, menyebutkan bahwa Ibnu Daqiq Al-Ied melihat dalam riwayat Ibnul Muqri’ dari Harmalah dari Ibnu Wahb bukan seperti lafazh Al-Baihaqi tetapi seperti lafazh Muslim.

3. Enam orang rawi semua meriwayatkan dari Ibnu Wahb dan mereka menyebutkan hadits dengan lafazh riwayat Muslim. Enam rawi itu adalah: Harun bin Ma’ruf, Harun bin Sa’id, Abu Ath-Thahir, Hajjaj bin Ibrahim Al-Azraq, Ahmad bin ‘Abdirrahman bin Wahb, dan Syuraij bin Nu’man. Lihat riwayat mereka dalam Shahih Muslim no. 236, Musnad Abu ‘Awanah dan Musnad Ahmad 4/41.

Nampaklah dari sini kesalahan riwayat Al-Baihaqi yang menetapkan bahwa telinga diusap dengan air tersendiri, sehingga riwayat ini tidak bisa dipakai berhujjah.

Alasan kedua, mengambil air tersendiri untuk kedua telinga adalah menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, sebab dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan :

الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Kedua telinga itu bagian dari kepala.” 
(HR. Ibnu Majah no. 443. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 36)

Maksud hadits ini bahwa telinga itu bagian dari kepala dan hukumnya sama dengan kepala. Karena bagian dari kepala, maka kedua telinga diusap dengan air yang diambil untuk kepala.

Dan juga mengusap kepala hanya sekali usapan. Jika telinga diusap menggunakan air baru maka hitungan mengusap kepala lebih dari sekali usapan. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Dan cara wudhu yang pasti dari beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dalam riwayat Ash-Shahihain (Bukhari-Muslim) dan lain-lainnya dari beberapa jalan, tidak ada padanya (keterangan) mengambil air baru bagi telinga.” 
(Al-Fatawa 11/279)

Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan :
“Tidaklah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengambil air baru untuk kedua telinganya (setelah mengusap kepalanya, pen.). Yang ada hanyalah dari Ibnu ‘Umar. Namun tidak shahih jika hal itu disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 
(Zaad Al-Ma’ad, 1/187)

Imam Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan :
"Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Tsaur bahwa yang untuk telinga diambil air baru lagi. Sedangkan Al-Hadi, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, telinga diusap dengan kepala dengan satu air (bersambung, tidak dipisah). Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Diriwayatkan dari sekelompok sahabat dan tabi’in yang berpendapat seperti ini (yaitu menyambung antara mengusap kepala dan telinga, pen.)."
(Nail Al-Authar, 1/467-468)

Sebagai kesimpulan bahwa kedua telinga diusap dengan air lebih dari kepala setelah mengusap kepala dan tidak disyaratkan mengambil air tersendiri untuk telinga. 

Sekian. Semoga bermanfaat.

Allahu a'lam

Hukum Mengusap Kepala 3 Kali Disaat Berwudhu

Para pakar fikih sepakat bahwasanya wajibnya membasuh anggota wudhu hanya satu kali. Adapun basuhan yang kedua dan ketiga dianggap sunnah. Pendapat ini berdasarkan perintah berwudhu dalam Al Quran yang dimaknai dengan hanya sekali basuhan. Sedangkan sunnah membasuh 3 kali pada anggota wudhu didapati dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya hadits berikut ini.

عن حمران مولى عثمان بن عفان أنه رأى عثمان بن عفان دعا بوضوء فأفرغ على يديه من إنائه فغسلهما ثلاث مرات ثم أدخل يمينه في الوضوء ثم تمضمض واستنشق واستنثر ثم غسل وجهه ثلاثا ويديه إلى المرفقين ثلاثا ثم مسح برأسه ثم غسل كل رجل ثلاثا ثم قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتوضأ نحو وضوئي هذا وقال من توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه

"Humraan pembantu 'Utsmaan bin 'Affaan menceritakan bahwa 'Utsmaan bin 'Affaan Radhiallahu ‘anhu pernah meminta air wudhu untuk digunakan berwudhu. Maka dituangkan air wudhu itu di atas kedua tangannya lalu dibasuhnya 3 kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam air lalu berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya dari hidung, membasuh mukanya 3 kali lalu membasuh kedua tangannya sampai siku 3 kali, mengusap kepala, membasuh kaki kanan dan kiri sampai mata kaki 3 kali. Lantas 'Utsmaan RadhiyAllahu ‘anhu berkata “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. 
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun para ulama berbeda pendapat dalam mengusap kepala 3 kali. Apakah dianggap sebagai sunnah ataukah tidak? Apakah memiliki keutamaan ataukah tidak? Berikut ini akan saya paparkan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

1. Madzhab Al-Hanafiyah

Pendapat dari madzhab Hanafiyah yaitu memakruhkan mengusap kepala tiga kali. Namun ada juga riwayat dari Al-Hasan yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah (w 150 H) pernah mengusap kepala 3 kali dengan air yang sama disaat berwudhu.

Imam Al-Kasani rahimahullah (w. 587 H) mengatakan :

ومنها أن يمسح رأسه مرة واحدة والتثليث مكروه وهذا عندنا .وقال الشافعي السنة هي التثليث وروى الحسن عن أبي حنيفة أنه يمسح ثلاث مرات بماء واحد

"Dan termasuk dari syarat rukun berwudhu yaitu mengusap kepala sekali saja. Mengusap kepala sebanyak tiga kali adalah perbuatan makruh menurut pandangan kami. Imam Syafi’i (w. 204 H) berpendapat bahwa mengusap kepala tiga kali sunnah. Al Hasan meriwayatkan bahwasannya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) pernah mengusap kepala tiga kali dengan air yang sama."
[Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi Syara’i, jilid 1 hal 22 cet. Darul Hadits]

Imam Ibnul Humam rahimahullah (w. 681 H) mengatakan :

 قوله وتكرار الغسل إلى الثلاث ) قيد به لإِفادة أنه لا يسن التكرار في المسح

"Pernyataan yang menyatakan (sunnahnya) mengulang basuhan sebanyak tiga kali mempunyai arti tentang keterikatan antara basuhan dan jumlah bilangan tiga kali yang bermakna tidak disunnahkan mengulang dalam mengusap."
[Fathul Qadir, jilid 1 hal 27 cet. Ihya At-Turats]

2. Madzhab Al-Malikiyah

Dalam madzhab ini mengusap kepala tiga kali tidak mengapa namun tidak juga memiliki keutamaan.

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) berkata :

ولا فضيلة عند مالك في مسحه ثلاثا كما أنه لا يمسح عنده في التيمم الوجه واليدين إلا مرة واحدة وكذلك على الخفين ولا فضل عنده في تكرار المسح في ذلك

"Menurut Imam Malik (w. 179 H) tidak ada keutamaan dalam mengusap kepala 3 kali sebagaimana mengusap wajah dan tangan disaat bertayammun yang hanya diusap sekali saja. Begitupula dengan mengusap khuf yang tidak ada keutamaan dalam mengulang usapan tersebut."
[Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, hal 21 cet Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah]

Imam Ad-Dasuqi rahimahullah (w 1230 H) berkata :

أن تكرار المسح كالأذنين ( لكالأذنين ) والرأس ليس بفضيلة وهو كذلك لأن المسح مبني على التخفيف والتكرار ينافيه

"Bahwasannya mengusap ulang telinga dan kepala tidak ada fadhilahnya. Dikarenakan mengusap asalnya terbangun untuk meringankan (orang yang berwudhu) dan mengulang usapan akan meniadakan keringanan yang diberikan."
[Hasyiyah Ad-Dasuqi, jilid 1 hal 101-102 cet. Daar Al-Fikr]

3. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) mengatakan :

في تكرار مسح الرأس مذهبنا المشهور الذى نص عليه الشافعي رضي الله عنه في كتبه وقطع به جماهير الاصحاب أنه يستحب مسح الرأس ثلاثا كما يستحب تطهير باقي الاعضاء ثلاثا

"Pendapat dari madzhab kami yang masyhur dalam permasalahan mengulang usapan di kepala sebagaimana yang telah dinashkan oleh Imam Syafi’i (w. 150 H) dalam kitab-kitabnya dan juga telah memastikan (menguatkan) mayoritas pakar fikih kalangan syafi’iyah bahwasannya disunnahkan mengusap kepala sebanyak 3 kali usapan sebagaimana sunnahnya dalam mensucikan anggota-anggota wudhu yang lain sebanyak tiga kali (basuhan)."
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdab, jilid 1 hal 432 cet. Daar Al-Fikr]

Imam Al-Khatib Asy-Syirbini rahimahullah (w. 977 H) berkata :

ومن سننه (تثليث الغسل والمسح)

"Dan termasuk sunnahnya (wudhu) yaitu membasuh dan mengusap sebanyak tiga kali."
[Mughni Al-Muhtaj , jilid 1 hal 102 cet. Daar Al-Ma’rifah Beirut]

4. Madzhab Al-Hanabilah

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) berkata :

فصل : ولا يسن تكرار مسح الرأس في الصحيح من المذهب

"Pendapat yang shahih dalam madzhab yaitu Tidak disunnahkan mengulangi usapan di kepala."
[Al-Mughni, jilid 1 hal 141 cet. Al-Kitab Al-‘Arabi]

Imam Al-Mardawi rahimahullah (w. 885 H) mengatakan :

قوله ولا يستحب تكراره هذا المذهب وعليه الجمهور قال الشارح هذا الصحيح من المذهب.

"Dan tidak disunnahkan mengulanginya (usapan di kepala). Inilah pendapat dari madzhab (hanbali) dan juga mayoritas para pakar fikih. Pendapat inilah yang benar dalam madzhab hanbali."
[Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min Al-Khilaf, jilid 1 hal 163]

5. Madzhab Azh-Zhahiriyah

Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) mengatakan :

فلو مسح بعض رأسه أجزأه وان قل، ونستحب أن يمسح رأسه ثلاثا أو مرتين وواحدة تجزئ

"Sah jika mengusap sebagian kepala walaupun sedikit. Dan kami mensunnahkan mengusap kepala sebanyak tiga atau dua kali. Namun sah jika hanya mengusap sekali saja."
[Al-Muhalla bil Atsar, jilid 1 hal 295]

Wallahu a'lam.

Hadits Dhaif Tentang Berwudhu’ Mengusap Kepala Lebih Dari 1 Kali

1. Hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ بَدَأَ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَحَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَصَحُّ مِنْ هَذَا وَأَجْوَدُ إِسْنَادًا وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْكُوفَةِ إِلَى هَذَا الْحَدِيثِ مِنْهُمْ وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'iid berkata; Telah menceritakan kepada kami Bisyr Ibnul Mufadhdhal dari 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqiil dari Ar Rabbii' bintu Mu'awwidz bin Afraa`,

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengusap kepalanya dua kali; beliau memulainya dari bagian belakang, lalu ke bagian ke depan. Juga kedua telinganya, bagian luar dan dalamnya." 

Abu 'Iisa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan, sedangkan hadits riwayat 'Abdullah bin Zaid lebih shahih dan lebih baik sanadnya dari hadits tersebut. Dan sebagian penduduk Kufah mengamalkan hadits ini, di antaranya adalah Wakii' Ibnul Jarraah."
(HR. Tirmidzi no. 33)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ابْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِينَا فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ اسْكُبِي لِي وَضُوءًا فَذَكَرَتْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ فِيهِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا وَوَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مَرَّةً وَوَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا وَوَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا

قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا مَعْنَى حَدِيثِ مُسَدَّدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ عَقِيلٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ يُغَيِّرُ بَعْضَ مَعَانِي بِشْرٍ قَالَ فِيهِ وَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا

Telah menceritakan kepada kami Musaddad; Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadhdhal; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqiil dari Ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afraa` dia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa beliau bersabda: "Tuangkanlah air wudhu untukku." Lalu dia (Ar-Rubayyi') ingat akan wudhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia berkata padanya; Beliau membasuh dua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh dua tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, di bagian akhir kepalanya kemudian bagian depannya, dan dua telinganya; bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh dua kakinya tiga kali tiga kali."

Abu Daawud berkata; Ini makna hadits Musaddad; Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isma'il; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Ibnu 'Aqil dengan hadits ini, hanya saja dia mengubah sebagian makna pada hadits Bisyr, dia menyebutkan padanya; Beliau berkumur dan beristintsar tiga kali. 
(HR. Abu Dawud no. 126, 127)

Hadits ini dikeluarkan juga oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 11, Ibnu Majah no. 438, Ahmad 6/359, Ath-Thabarani 24/no. 675, 681, 686, 687 dan dalam Al-Ausath no. 939, dan Al-Baihaqi 1/64. 

Semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dan dia ini adalah rawi yang diperselisihkan oleh para ulama apakah bisa diterima haditsnya atau tidak. Dan saya lebih condong ke pendapat Syaikh Muqbil rahimahullah yang menguatkan akan lemahnya riwayatnya, apalagi dalam hadits ini dia telah goncang dalam meriwayatkannya. Kegoncangan tersebut karena di dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 129, At-Tirmidzi no. 34, Ibnu Abi Syaibah no. 59, Al-Baihaqi 1/58-60, Ath-Thabarani 24/no. 689 dan dalam Al-Ausath no. 2388, 6100 dan dalam Ash-Shaghir no. 1167, dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq no. 144, 

‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil menyebutkan mengusap kepala satu kali bukan dua kali. Maka ini memperkuat akan lemahnya hadits ini.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ

أَنَّهَا رَأَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ قَالَتْ مَسَحَ رَأْسَهُ وَمَسَحَ مَا أَقْبَلَ مِنْهُ وَمَا أَدْبَرَ وَصُدْغَيْهِ وَأُذُنَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَجَدِّ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ الرُّبَيِّعِ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَبِهِ يَقُولُ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ رَأَوْا مَسْحَ الرَّأْسِ مَرَّةً وَاحِدَةً حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ الْمَكِّيُّ قَال سَمِعْتُ سُفْيَانَ بْنَ عُيَيْنَةَ يَقُولُ سَأَلْتُ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ مَسْحِ الرَّأْسِ أَيُجْزِئُ مَرَّةً فَقَالَ إِي وَاللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Mudhar dari Ibnu 'Ajlaan dari 'Abdullah bin Muhammad bin 'Aqiil dari Ar Rabbii' binti Mu'awwidz bin Afra` bahwasanya ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang berwudhu, ia berkata :

"Beliau mengusap kepala bagian depan dan belakang, kedua pelipis dan pada kedua telinganya satu kali." 

Ia berkata; "Dalam bab ini ada juga riwayat dari 'Aliy serta kakek Thalhah bin Musharrif bin 'Amru." Abu 'Iisa berkata; "Hadits Ar Rabbii' ini derajatnya hasan shahih. Dan hadits ini telah diriwayatkan tidak hanya dari satu jalur sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau mengusap kepalanya satu kali." Hadits ini banyak diamalkan oleh sebagian besar dari para sahabat dan orang-orang setelahnya. Ja'far bin Muhammad, Sufyaan Ats Tsauri, Ibnul Mubaarak, Asy Syafi'i, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa mengusap kepala hanya satu kali. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Manshur Al Makki berkata; Aku mendengar Sufyaan bin Uyainah berkata; Aku bertanya kepada Ja'far bin Muhammad tentang hukum mengusap kepala, apakah ia cukup dengan satu usapan saja?" ia menjawab, "Ya, demi Allah."
(HR. Tirmidzi no. 34. Bab : Mengusap Kepala Satu Kali)

Berikut komentar para ulama tentang Abdullah bin Muhammad bin 'Aqil :

- Muhammad bin Sa'd : mungkarul hadits
- Yahya bin Ma'in : tidak boleh berhujjah dengan haditsnya
- Abu Hatim : layyinul hadits
- Ibnu Hajar : shaduq, terdapat kesalahan.

2. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan

Berkata Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/62, “Telah diriwayatkan dari riwayat-riwayat yang aneh dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pengulangan dalam mengusap kepala, akan tetapi riwayat-riwayat tersebut -bersamaan dengan menyelisihi riwayat para huffazh ‘ahli hafalan’ yang tsiqah- bukanlah hujjah di kalangan Ahli Ma’rifat ‘para ulama’ walaupun sebagian Ashhab ‘orang-orang Syafi’iyah’ berhujjah dengannya.”

Berkata Abu Dawud dalam As-Sunan 1/64 (cet. Dar Ibnu Hazm), “Hadits-hadits ‘Utsman yang shahih semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala itu hanya sekali saja.”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ الْإِسْكَنْدَرَانِيُّ حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ زِيَادٍ الْمُؤَذِّنُ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ التَّيْمِيِّ قَالَ سُئِلَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْوُضُوءِ فَقَالَ

رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سُئِلَ عَنْ الْوُضُوءِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأُتِيَ بِمِيضَأَةٍ فَأَصْغَاهَا عَلَى يَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَدْخَلَهَا فِي الْمَاءِ فَتَمَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَغَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَأَخَذَ مَاءً فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ فَغَسَلَ بُطُونَهُمَا وَظُهُورَهُمَا مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُونَ عَنْ الْوُضُوءِ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ

قَالَ أَبُو دَاوُد أَحَادِيثُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الصِّحَاحُ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى مَسْحِ الرَّأْسِ أَنَّهُ مَرَّةً فَإِنَّهُمْ ذَكَرُوا الْوُضُوءَ ثَلَاثًا وَقَالُوا فِيهَا وَمَسَحَ رَأْسَهُ وَلَمْ يَذْكُرُوا عَدَدًا كَمَا ذَكَرُوا فِي غَيْرِهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ فَأَفْرَغَ بِيَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى ثُمَّ غَسَلَهُمَا إِلَى الْكُوعَيْنِ قَالَ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا وَذَكَرَ الْوُضُوءَ ثَلَاثًا قَالَ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مِثْلَ مَا رَأَيْتُمُونِي تَوَضَّأْتُ ثُمَّ سَاقَ نَحْوَ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ وَأَتَمَّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Daawud Al Iskandaraaniy; Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Yuunus; Telah menceritakan kepada kami Sa'iid bin Ziyaad Al Mu`adzdzin dari 'Utsmaan bin 'Abdirrahman At Taimiy dia berkata :

"Ibnu Abi Mulaikah pernah ditanya tentang wudhu, maka dia menjawab; Saya pernah melihat 'Utsmaan bin 'Affaan ditanya tentang wudhu, lalu dia meminta untuk didatangkan air, maka didatangkanlah bejana kepadanya, kemudian dia menuangkannya di atas tangan kanannya, lalu memasukkannya ke air, kemudian berkumur tiga kali, beristinsyaq tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya tiga kali, dan membasuh tangan kirinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke air lalu mengusap kepala dan telinganya, dia membasuh bagian dalam dan bagian luarnya SATU KALI, lalu membasuh kedua kakinya, kemudian berkata; "Mana orang-orang yang bertanya tentang wudhu? Beginilah saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu." 

Abu Daawud berkata; Semua hadits-hadits riwayat 'Utsmaan radhiallahu 'anhu yang shahih menunjukkan bahwa mengusap kepala adalah satu kali. Mereka menyebutkan bahwa wudhu itu tiga kali, kemudian mereka menyebutkan padanya tentang mengusap kepala, namun mereka tidak menyebutkan bilangannya sebagaimana yang mereka sebutkan pada yang lainnya. 

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Muusa; Telah mengabarkan kepada kami 'Iisa; Telah mengabarkan kepada kami 'Ubaidullah, yakni Ibnu Abi Ziyaad dari 'Abdullah bin 'Ubaid bin 'Umair dari Abu 'Alqamah bahwa 'Utsmaan pernah minta didatangkan air, lalu berwudhu, dia menuangkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya, kemudian membasuh keduanya sampai ke pergelangan tangan. Dia berkata; Kemudian berkumur dan beristinsyaq tiga kali. Dia menyebutkan wudhu tiga kali. Dia berkata; dia mengusap kepalanya kemudian membasuh kedua kakinya dan berkata; "Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu sebagaimana kalian melihat saya berwudhu." Kemudian dia menyebutkan seperti hadits Az Zuhriy dan bahkan lebih sempurna. 
(HR. Abu Dawud no. 108, 109)

Ini kesimpulan secara global tentang kelemahan riwayat mengusap kepala tiga kali dalam hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan.

Adapun penjelasan lemahnya secara rinci adalah sebagai berikut.

Penyebutan kepala diusap tiga kali dalam hadits ‘Utsman bin ‘Affan datang dalam lima jalan :

Pertama, dari jalan ‘Abdurrahman bin Wardan, dari Abu Salamah, dari Humran, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 107, Al-Bazzar no. 418, Ad-Daraquthni 1/91, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 328, dan Al-Baihaqi 1/62.

‘Abdurrahman bin Wardan ini rawi yang lemah di tingkatan syawahid ‘pendukung’.

Kedua, dari jalan ‘Amir bin Syaqiq bin Jamrah, dari Syaqiq bin Salamah, dari ‘Utsman.

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ عَامِرِ بْنِ شَقِيقِ بْنِ جَمْرَةَ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ قَالَ

رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ هَذَا

قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَاهُ وَكِيعٌ عَنْ إِسْرَائِيلَ قَالَ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا فَقَطْ

Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin 'Abdullah; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam; Telah menceritakan kepada kami Israa`iil dari 'Aamir bin Syaqiiq bin Jamrah dari Syaqiiq bin Salamah dia berkata :

"Saya pernah melihat 'Utsmaan bin 'Affaan membasuh dua lengannya tiga kali tiga kali dan mengusap kepalanya tiga kali, kemudian dia berkata; "Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukan ini." 

Abu Daawud berkata; Diriwayatkan oleh Waqii' dari Israa`iil dia berkata; Dia hanya berwudhu tiga kali. 
(HR. Abu Dawud no. 110)

Diriwayatkan juga oleh Ad-Daraquthni 1/91 dan Al-Baihaqi 1/63. Di dalam sanad hadits ini ada dua cacat :

1. ‘Aamir bin Syaqiiq adalah layyinul hadits ‘lembek haditsnya’ sebagaimana yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib .

2. ‘Aamir bin Syaqiiq telah goncang dalam meriwayatkan hadits ini karena, dalam Sunan Abu Dawud, Musnad Al-Bazzar no. 393, dan Shahih Ibnu Khuzaimah, dia meriwayatkan hadits yang sama dan tidak menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali.

Ketiga, dari jalan Muhammad bin ‘Abdillah bin Abi Maryam, dari Ibnu Darah Maula ‘Utsman, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Ahmad 1/61, Ad-Daraquthni 1/91-92, Al-Baihaqi 1/62, Al-Maqdasy no. 364, dan Ibnu Jauzi dalam At-Tahqiq no. 136. 

Ibnu Darah ini majhulul hal ‘tidak dikenal’ sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 1/146 (cet. Mu’assah Qurthubah), dan ada kemungkinan dia goncang dalam meriwayatkan hadits ini, sebab dalam riwayat Al-Bazzar no. 409 tidak disebutkan mengusap kepala tiga kali.

Kempat, dari jalan Ishaq bin Yahya, dari Mu’awiyah bin ‘Abdillah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari Ayahnya, dari ‘Utsman.

Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi 1/63. Ishaq bin Yahya ini matrukul hadits ‘ditinggalkan haditsnya’.

Kelima, dari jalan Shalih bin 'Abdul Jabbar, dari Ibnu Bailamani, dari Ayahnya, dari ‘Utsman bin ‘Affan.

Diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthni 1/92 dan di dalam sanadnya ada tiga kelemahan :

1. Shalih bin ‘Abdul Jabbar meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar dari Ibnul Bailamani. Demikian komentar Al-‘Uqaili.

2. Ibnul Bailamani, namanya adalah Muhammad bin Abdurrahman. Ia ini rawi yang mungkarul hadits, bahwa dianggap Muttaham ‘dicurigai berdusta’, oleh Ibnu ‘Adi dan Ibnu Hibban.

3. Ayah Ibnul Bailamani, yaitu ‘Abdurrahman, dha’if sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

[Lihat : Mizanul I’tidal, Lisanul Mizan, Taqribut Tahdzib dan lain-lain]

Catatan :

Ada beberapa jalan lain yang disebutkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badru Al-Munir, tapi setelah saya merujuk keasalnya, ternyata tidak ada lafazh mengusap kepala tiga kali. Karena itu, kami tidak menyebutkannya.

3. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib.

Iman Az-Zaila’iy dalam kitabnya, Nashbur Rayah 1/32-33, menyebutkan bahwa ada tiga jalan dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan bahwa kepala diusap tiga kali. Berikut ini uraian jalan-jalan tersebut.

Pertama, dari jalan Abu Hanifah meriwayatkan dari Khalid bin ‘Alqamah, dari ‘Abdul Khair, dari Ali.

Diriwayatkan oleh Abu Hanifah sebagaimana dalam Musnad -nya, Abu Yusuf dalam Kitabul Atsar no. 4,dan Al-Baihaqy 1/63.

Di dalamnya ada dua kelemahan :

1. Abu Hanifah dha’if menurut jumhur ulama Al-Jarh wat-Ta’dil. Baca Nasyru Ash-Shahifah karya Syaikhuna Muqbil rahimahullah.

2. Imam Ad-Daraquthni menyebutkan bahwa Abu Hanifah telah menyelisihi sekelompok ulama Al-Huffazh ‘ahli hafalan’ seperti Za`idah bin Qudamah, Sufyan Ats-Tsauriy, Syu’bah, Abu ‘Awanah, Syarik, Ja’far bin Harits, Harun bin Sa’d, Ja’far bin Muhammad, Hajjaj bin Artha`ah, Aban bin Taghlib, Ali bin Shalih, Hazim bin Ibrahim, Hasan bin Shalih dan Ja’far Al-Ahmar. Semua menyebutkan bahwa kepala hanya diusap satu kali, bukan tiga kali. Demikian dinukil Az-Zaila’iy dalam Nashbur Rayah dan lihat juga ‘ Ilal Ad-Daraquthny 4\48-31.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَحُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ زُرَيْعٍ قَالَ حَدَّثَنِي شُعْبَةُ عَنْ مَالِكِ بْنِ عُرْفُطَةَ عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ قَالَ

شَهِدْتُ عَلِيًّا دَعَا بِكُرْسِيٍّ فَقَعَدَ عَلَيْهِ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فِي تَوْرٍ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ بِكَفٍّ وَاحِدٍ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ غَمَسَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى وُضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذَا وُضُوءُهُ

Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin 'Aliy dan Humaid bin Mas'adah dari Yaziid yaitu Ibnu Zura'i dia berkata; Telah menceritakan kepadaku SYU'BAH dari Maalik bin 'Urfuthah dari 'Abdi Khair, dia berkata, 

"Aku melihat 'Aliy meminta kursi, dan didudukinya. Kemudian ia meminta air dalam bejana kecil. Ia lalu membasuh kedua tangannya, berkumur tiga kali dan menghisap air ke dalam hidung dengan satu telapak tangan sebanyak tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali, kemudian mencelupkan tangannya ke dalam bejana dan mengusap kepalanya SEKALI. Beliau juga membasuh kedua kakinya masing-masing tiga kali. Setelah itu beliau berkata, 'Barangsiapa senang melihat cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu, inilah cara beliau shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu." 
(HR. Nasa'i no. 94)

Kedua, diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dalam Musnad -nya no. 736 dari jalan Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Sallam bin Sulaim Abul Ahwash, dari Abu Ishaq, dari Abu Hayyah bin Qais, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dan disebutkan bahwa beliau mengusap kepalanya tiga kali.

Demikian riwayat Al-Bazzar. Tetapi riwayatnya ini diselisihi oleh para imam lainnya seperti Abu Dawud dalam Sunan -nya no. 116, At-Tirmidzi no. 48, An-Nasa`i no. 96, Ibnu Majah no. 436, Al-Bukhari dalam Al-Kuna hal. 24, 'Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id Al-Musnad 1/127,157, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah no. 795-798, dan Al-Baihaqi 1/75.

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَقُتَيْبَةُ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي حَيَّةَ قَالَ

رَأَيْتُ عَلِيًّا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ حَتَّى أَنْقَاهُمَا ثُمَّ مَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَامَ فَأَخَذَ فَضْلَ طَهُورِهِ فَشَرِبَهُ وَهُوَ قَائِمٌ ثُمَّ قَالَ أَحْبَبْتُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ كَانَ طُهُورُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُثْمَانَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالرُّبَيِّعِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ وَعَائِشَةَ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Hannaad dan Qutaibah mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Abu Ishaq dari Abu Hayyah ia berkata : 

"Aku melihat 'Aliy berwudhu, ia membasuh kedua telapak tangannya hingga bersih, lalu ia berkumur tiga kali, memasukkan air ke dalam hidung tiga kali, membasuh wajah tiga kali, membasuh kedua siku tiga kali, dan mengusap kepalanya SATU KALI. Lalu membasuh telapak kakinya hingga mata kaki, kemudian ia berdiri seraya mengambil sisa air wudhu dan meminumnya, sedang ia masih dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia berkata; "Aku senang bisa memperlihatkan kepada kalian bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu." 

Dalam bab ini juga ada riwayat dari 'Utsmaan, 'Abdullah bin Zaid, Ibnu 'Abbaas, 'Abdullah bin 'Amru, Ar Rabbii', 'Abdullah bin Unais dan Aisyah, semoga Allah meridhai mereka."
(HR. Tirmidzi no. 48)

Maka jelaslah dari sini ada kesalahan dalam riwayat Al-Bazzar. Tetapi, dari mana asal kesalahan ini, sedangkan seluruh rawi Al-Bazzar Muhtajun Bihim ‘dipakai berhujjah’ ?

Penulis lebih condong menitikberatkan kesalahan pada Al-Bazzar karena beliau memiliki kelemahan dari sisi hafalannya. Wallahu A’lam.

Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyyin no. 1336. Di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi yang saya tidak temukan biografinya, dan ada rawi yang bernama Sulaiman bin 'Abdurrahman dha’if dan rawi lain bernama ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ubaidillah Al-Himsyi dha’if kadang-kadang meriwayatkan hadits mungkar.

4. Hadits Abu Hurairah.

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 5912 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَضْمَضْ ثَلاَثًا وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلاَثُا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلاَثًا وَغَسَلَ قَدَمَيْهِ ثَلاَثًا

“Sesungguhnya Rasulullah berwudhu maka beliau berkumur-kumur tiga kali dan menghirup air tiga kali dan mencuci wajahnya tiga kali dan mencuci kedua tangannya tiga kali, mengusap kepalanya tiga kali dan mencuci kedua kakinya tiga kali.”

Di dalam sanadnya terdapat dua cacat :

1. Guru Imam Ath-Thabarani, Muhammad bin Yahya bin Al-Mundzir Al-Qazzaz Al-Bashriy, tidak disebutkan padanya jarh dan ta’dil.

2. ‘Amir bin ‘Abdul Wahid Al-Ahwal disimpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib bahwa beliau adalah shaduqun yukhti`u, berarti ia menurut penilaian Al-Hafizh hanyalah dipakai sebagai pendukung. Kemudian tidak pantas ia bersendirian dari ‘Atha` bin Abi Rabah dalam meriwayatkan hadits yang seperti ini karena ‘Atha` adalah seorang rawi yang terkenal mempunyai banyak murid lalu dimana murid-muridnya yang lain yang lebih senior? Kenapa mereka tidak meriwayatkan hadits ini? Wallahu A’lam.

Dari uraian di atas jelaslah lemah pendapat bahwa kepala boleh diusap lebih dari satu kali. Berarti dengan hal ini nampak kuat pendapat bahwa kepala hanya diusap satu kali.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Muqbil, dan lain-lain. Wallahu a’lam.

[Baca Al-Mughni 1/178-180, Al-Majmu’ 1/460-465, Al-Fatawa 21/125-127]