Sabtu, 01 Agustus 2020

Bolehkah Zakat Fitrah (Fitri) dengan Uang ?

Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.

Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk mewujudkan penjagaan terhadap sunnah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa’ : 59)

Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al Quran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.

Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’ Abu Ahmad.

Perselisihan Ulama “Zakat Fitrah dengan Uang”

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan ?

Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain yang ditetapkan.

Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadhan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.

Dimanakah Posisi Zakat Fitri (Zakat Fitrah) ?

Sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri.

Ibnu 'Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan : 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” 
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan : 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”
(HR. Abu Dawud. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani)

Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya :

Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak. Seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.

Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.

Pendapat yang Membolehkan Pembayaran Zakat Fitri dengan Uang

Ulama yang berpendapat demikian adalah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Ja’far Ath-Thahawi. 

Berikut ini beberapa atsar tentang aqwal mereka :

10368 – ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺃُﺳَﺎﻣَﺔَ، ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻥٍ، ﻗَﺎﻝَ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﻳُﻘْﺮَﺃُ ﺇِﻟَﻰ ﻋَﺪِﻱٍّ ﺑِﺎﻟْﺒَﺼْﺮَﺓِ ‏« ﻳُﺆْﺧَﺬُ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺪِّﻳﻮَﺍﻥِ ﻣِﻦْ ﺃَﻋْﻄِﻴَّﺎﺗِﻬِﻢْ، ﻋَﻦْ ﻛُﻞِّ ﺇِﻧْﺴَﺎﻥٍ ﻧِﺼْﻒُ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ »

Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Ibnu ‘Aun beliau berkata : 

“Aku mendengar dibacakannya buku (surat keputusan) 'Umar bin 'Abdul 'Aziiz yang dikirimkan kepada 'Adiy di Bashrah, yang isinya : “Diambil dari ahli Diwan berupa zakat fitrahnya, untuk setiap orang sebesar setengah dirham.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 10368)

2451 – ﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﺄَﺳْﻮَﺩِ، ﺛَﻨَﺎ ﺍﺑْﻦُ ﻟَﻬِﻴﻌَﺔَ، ﻋَﻦْ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺣَﺒِﻴﺐٍ، ﺃَﻥَّ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦَ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﻛَﺘَﺐَ : ﻳُﺆْﺧَﺬُ ﻣِﻦْ ﻋَﻄَﺎﺀِ ﻛُﻞِّ ﺭَﺟُﻞٍ ﻧِﺼْﻒُ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺰِﻳﺪُ : ﻓَﻬُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻟْﺂﻥَ ﻳَﺄْﺧُﺬُﻭﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻪِ

Telah menceritakan kepada kami Abul Aswad; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Zaid bin Abi Habiib, 

"Bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziiz menulis surat keputusan : 
“Diambil dari gaji setiap (pegawai) sebesar setengah dirham untuk zakat fitrah”.

Yaziid berkata : “Mereka sampai sekarang masih diambil zakatnya seperti itu”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2451)

2453 – ﺛَﻨَﺎ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﺤَﺴَﻦِ، ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺍﻟْﻤُﺒَﺎﺭَﻙِ، ﻋَﻦْ ﻋَﻮْﻑٍ ﻗَﺎﻝَ : ﻗُﺮِﺉَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﻓِﻲ ﺻَﺪَﻗَﺔِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ : ‏« ﻭَﺍﺟْﻌَﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺪِّﻳﻮَﺍﻥِ ﻧِﺼْﻒَ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺇِﻧْﺴَﺎﻥٍ، ﻳُﺆْﺧَﺬُ ﻣِﻦْ ﺃُﻋْﻄِﻴَﺎﺗِﻬِﻢْ »

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Al-Hasan, dari Ibnul Mubaarak, dari ‘Auf beliau berkata : 

“Dibacakan kepada kami surat keputusan 'Umar bin 'Abdul 'Aziiz tentang zakat fitrah pada bulan Ramadhan (yang isinya) : “Berlakukan untuk ahli diiwan setengah dirham per orang, yang diambil dari gaji mereka”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2453)

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ قُرَّةَ، قَالَ: جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ نِصْفُ صَاعٍ عَنْ كُلِّ إنْسَانٍ، أَوْ قِيمَتُهُ نِصْفُ دِرْهَمٍ " (رواه ابن أبي شيبة 10463)

Telah menceriterakan kepada kami Wakii’, dari Qurrah, beliau berkata : 

"Telah datang kepada kami kitab/tulisan 'Umar bin 'Abdil 'Aziiz (yang didalamnya): "Tentang zakat fitri yaitu setengah sha’ dari setiap orang atau senilai harganya yaitu setengah dirham."
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 10463)

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: «لَا بَأْسَ أَنْ تُعْطِيَ الدَّرَاهِمَ فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ» (رواه ابن أبي شيبة 10370)

Telah menceriterakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Hisyaam, dari Al-Hasan, ia berkata : 

"Tidak masalah engkau mengeluarkan dirham dalam zakat fitri."
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 10370)

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زُهَيْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ، يَقُولُ: «أَدْرَكْتُهُمْ وَهُمْ يُعْطُونَ فِي صَدَقَةِ رَمَضَانَ الدَّرَاهِمَ بِقِيمَةِ الطَّعَامِ»  (رواه ابن أبي شيبة 10371)

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah, dari Zuhair, dia berkata; Aku mendengar Abu Ishaaq berkata : 

"Aku menjumpai mereka mengeluarkan zakat Ramadhan dengan dirham senilai makanan."
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 10371)

2452 – ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﺣُﻤَﻴْﺪٌ ﺃﻧﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﺻَﺎﻟِﺢٍ، ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺍﻟﻠَّﻴْﺚُ، ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﻳُﻮﻧُﺲُ، ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺷِﻬَﺎﺏٍ ﻗَﺎﻝَ : ‏« ﺃَﺧَﺬَﺕِ ﺍﻟْﺄَﺋِﻤَّﺔُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻮَﺍﻥِ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻓِﻲ ﺃُﻋْﻄِﻴَﺎﺗِﻬِﻢْ »

Telah mengabarkan kepada kami Humaid; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Shaalih; Telah menceritakan kepadaku Al-Laits; Telah menceritakan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab beliau berkata : 

“Para pemimpin senantiasa mengambil zakat fitrah dari pegawainya dari gaji mereka”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2452)

2454 – ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﺣُﻤَﻴْﺪٌ ﺃﻧﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻳُﻮﺳُﻒَ، ﺛَﻨَﺎ ﻳُﻮﺳُﻒُ، ﻋَﻦْ ﻫِﺸَﺎﻡٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﺴَﻦِ ﻗَﺎﻝَ : ‏« ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢَ ﻣِﻦْ ﺯَﻛَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺃَﺟْﺰَﺃَ ﻋَﻨْﻪُ ‏» ﻗَﺎﻝَ ﺳُﻔْﻴَﺎﻥُ : ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻋْﻄَﻰ ﻗِﻴﻤَﺔَ ﻧِﺼْﻒِ ﺻَﺎﻉٍ ﻣِﻦْ ﺣِﻨْﻄَﺔٍ ﺃَﺟْﺰَﺃَ ﻋَﻨْﻪُ

Telah mengabarkan kepada kami Humaid; Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yuusuf, dari Hisyaam, dari Al-Hasan, beliau berkata : 

“Jika ia membayar zakat fitrah dengan dirham, maka sah zakatnya”.

Sufyaan berkata : “Jika ia membayarnya seharga setengah sha’ gandum, maka sah zakatnya”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2454)

2455 – ﺛَﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺍﻟﺮُّﻭﻣِﻲُّ، ﺃﻧﺎ ﺯُﻫَﻴْﺮٌ ﺃَﺑُﻮ ﺧَﻴْﺜَﻤَﺔَ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺍﻟْﻬَﻤْﺪَﺍﻧِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ‏« ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳُﻌْﻄُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺻَﺪَﻗَﺔِ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﺑِﺤِﺴَﺎﺏِ ﻣَﺎ ﻳُﻘَﻮَّﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺭِﻕِ »

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Umar Ar-Ruumiy; Telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Khaitsamah, dari Abi Ishaaq Al-Hamdaaniy beliau berkata : 

“Mereka membayar zakat fitrah dengan hitungan yang sebanding dengan uang perak”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2455)

2457 – ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ : ﻗَﺎﻝَ ﺣُﻤَﻴْﺪٌ : ﺍﻟْﻘِﻴﻤَﺔُ ﺗُﺠْﺰِﻱ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ، ﻭَﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ

Abu Bakar berkata; Humaid berkata : 

“Membayar zakat fitrah seharga bahan makanan sah in syaa Allah, namun yang paling utama adalah membayarnya dengan bahan makanan”.
(HR. Ibnu Zanjawaih no. 2457)

Pendapat yang Melarang Pembayaran Zakat Fitri (Zakat Fitrah) dengan Uang

1. Madzhab Al-Malikiyah

Imam Malik rahimahullah mengatakan :
“Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” 
(Al-Mudawwanah Syahnun)

Imam Malik rahimahullah juga mengatakan :
“Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri).” 
(Ad-Din Al-Khash)

Syaikh Ad-Dasuqi rahimahullah (w. 1230 H) berkata :

بدفع قيمة لم تجز

"(Membayar zakat) menggunakan qimah (mata uang) tidak diperbolehkan."
(Hasyiyatu Ad-Dasuqi, jilid 1, hal. 502)

2. Madzhab Asy-Syafi'iyah

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan :
“Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” 
(Ad-Din Al-Khash)

Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) mengatakan :

قد ذكرنا أن مذهبنا أنه لا يجوز إخراج القيمة في شئ من الزكوات وبه قال مالك وأحمد وداود

"Dan telah kami sebutkan, bahwa madzhab kami berpendapat tidak bolehnya mengeluarkan zakat menggunakan qimah. Dan hukum ini berlaku pada semua jenis zakat. Dan pendapat ini adalah pendapat Imam Maalik, Imam Ahmad dan Daawud."
(Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 5, hal. 429)

Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) berkata :

فلا يجزئ من غير غالب قوت محل المؤدي

"Maka tidak sah (membayar zakat) dari selain mayoritas makanan pokok penduduk setempat."
(Al-Minhaj Al-Qawim, jilid 1, hal. 233)

Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i rahimahullah, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Madzhab Syafi’i) mengatakan :
“Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” 
(Kifayatul Akhyar, 1/195)

Imam Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan :
“Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” 
(Al-Majmu’)

3. Madzhab Al-Hanabilah

Imam Abu Dawud rahimahullah mengatakan :
“Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat menggunakan dirham. Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunnah Rasulullah.” 
(Masail 'Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2/671)

Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad berkata kepadaku :
“Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadits Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal 'Abdullah bin 'Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak sunnah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.” 
(Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/671)

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) berkata :

لنا، أن النبي - صلى الله عليه وسلم - فرض صدقة الفطر أجناسا معدودة، فلم يجز العدول عنها، كما لو أخرج القيمة

"Hujjah kami, bahwa Rasulullah ﷺ memfardhukan shadaqah fitrah hanya dalam komoditas tertentu. Maka tidak boleh membayar dengan yang semisalnya. Seperti halnya membayar dengan qimah."
(Al-Mughni, jilid 3, hal. 58)

Imam Al-Hajawi rahimahullah (w. 968 H) mengatakan :

ولا يجزي إخراج القيمة: سواء كان حاجة أو مصلحة أو في الفطرة أولا

"Tidak boleh membayar zakat dengan qimah. Baik karena keadaan yang memaksa ataupun maslahah. Baik dalam zakat fitrah atau selainnya."
(Al-Iqna fi Fiqhi Al-Imam Ahmad, jilid 1, hal. 253)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan :
“Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” 
(Majmu’ Fatawa)

4. Madzhab Azh-Zhahiriyah

Imam Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) mengatakan :

ولا يجزئ إخراج بعض الصاع شعيرا وبعضه تمرا، ولا تجزئ قيمة أصلا

"Dan tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah, dengan sebagian menggunakan gandum dan sebagian lagi menggunakan kurma. Dan tidak boleh menggunakan qimah secara mutlak."
(Al-Muhalla bil Atsar, jilid 6, hal. 253)

Di antara ulama abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin, Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. 
(Minhajul Muslim, hlm. 251)

Alasan Para Ulama yang Melarang Pembayaran Zakat Fitri dengan Mata Uang

1. Zakat fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.

Termasuk yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar zakat di luar waktu yang ditetapkan.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan :
“Bagi madzhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.” Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat daripada perintah majikannya. (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”

Harta yang ada di tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman. Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.

Oleh karena itu, membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.

2. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.

Akan tetapi, yang Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin. Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.

Allah berfirman tentang beliau : 
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” 
(QS. At-Taubah : 128)

Siapakah yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Dalil yang Menegaskan Bahwa Zakat Fitri Harus dengan Bahan Makanan

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ يَزِيدَ بْنَ أَبِي حَكِيمٍ الْعَدَنِيَّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ قَالَ حَدَّثَنِي عِيَاضُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ فَلَمَّا جَاءَ مُعَاوِيَةُ وَجَاءَتْ السَّمْرَاءُ قَالَ أُرَى مُدًّا مِنْ هَذَا يَعْدِلُ مُدَّيْنِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muniir dia mendengar Yaziid bin Abu Hakiim Al 'Adaniy; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Zaid bin Aslam berkata; Telah menceritakan kepada saya 'Iyaadh bin 'Abdullah bin Abu Sarhi, dari Abu Sa'iid Al Khudriy radhiallahu 'anhu berkata : 

"Pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kami memberi makan (mengeluarkan zakat fitri) satu sha' dari makanan atau satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum atau satu sha' dari kismis (anggur kering). Ketika Mu'aawiyah datang (untuk melaksanakan haji) dan gandum dari negeri Syam, dia berkata: "Aku menganggap satu mud ini (kurma) sama dengan dua mud (gandum negeri Syam) ".
(HR. Bukhari no. 1508)

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ الْمَدِينَةَ فَتَكَلَّمَ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ إِنِّي لَأَرَى مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ
قَالَ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ صَاعًا وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ صَاعٌ إِلَّا مِنْ الْبُرِّ فَإِنَّهُ يُجْزِئُ نِصْفُ صَاعٍ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَأَهْلُ الْكُوفَةِ يَرَوْنَ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ

Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Ghailaan; Telah menceritakan kepada kami Wakii', dari Sufyaan, dari Zaid bin Aslam, dari 'Iyaadh bin 'Abdullah, dari Abu Sa'iid Al Khudriy,

"Bahwa pada zaman Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam kami mengeluarkan zakat fitrah sebesar satu sha' dari makanan atau dari gandum, atau kurma, atau anggur kering, atau aqith, hal ini terus berlangsung sampai datangnya Mu'aawiyah ke Madinah dan berkhutbah di hadapan manusia, diantara isi khutbahnya, Saya berpendapat bahwa dua mud gandum Syam sama dengan satu sha' kurma dalam zakat fitrah. Kemudian manusia memilih pendapatnya Mu'aawiyah, namun saya tetap mengeluarkannya satu sha' seperti dahulu."

Abu 'Iisa berkata: ini merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh sebagian ulama seperti Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian para ulama dari kalangan sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat bahwa setiap makanan (zakatnya) satu sha', kecuali gandum yang hanya setengah sha', ini adalah perkataan Sufyaan Ats Tsauriy dan 'Abdullah bin Al Mubaarak dan penduduk Kufah berpendapat bahwa zakat fitrah sebesar setengah sha' dari burr.
(HR. Tirmidzi no. 673)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus; Telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Naafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar radhiallahu 'anhuma berkata : 

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tentang zakat fitri berupa satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum". Berkata, 'Abdullah radhiallahu 'anhu: "Kemudian orang-orang menyamakannya dengan dua mud untuk hinthah (sejenis gandum)". 
(HR. Bukhari no. 1507)

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنْ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu'maan; Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid; Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Naafi', dari Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma berkata : 

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri, atau katanya zakat Ramadhan bagi setiap laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun budak sebanyak satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum". Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah sha' untuk burr (sejenis gandum). 

Adalah Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma bila berzakat dia memberikannya dengan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma akhirnya mereka mengeluarkan gandum. Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma memberikan zakatnya atas nama anak kecil maupun dewasa hingga atas nama bayi sekalipun dan Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fitri.
(HR. Bukhari no. 1511)

Jika ada dalil yang shahih dan sharih, kenapa harus diqiyaskan ?

Allahu a'lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar