Sabtu, 30 Mei 2020

Mendahulukan Makan Ketimbang Shalat

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyaam berkata; Telah menceritakan Bapakku kepadaku, katanya: Aku mendengar 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Apabila makan malam sudah dihidangkan sedangkan shalat jama'ah sudah dibacakan iqamatnya, maka dahulukanlah makan".
(Shahih Bukhari no. 671)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihaab dari Anas bin Maalik radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksanakan shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian".
(Shahih Bukhari no. 672)

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ أَبِي أُسَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ

Telah menceritakan kepada kami 'Ubaid bin Ismaa'iil dari Abu Usaamah dari 'Ubaidullah dari Naafi' dari Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Apabila makan malam seseorang dari kalian sudah dihidangkan sedangkan shalat sudah didirikan, maka dahulukanlah makan malam dan janganlah tergesa-gesa hingga dia menuntaskannya".

Ibnu 'Umar juga pernah dihidangkan padanya suatu makanan sedangkan shalat sedang dilaksanakan, namun dia tidak mengikuti shalat tersebut hingga selesai, padahal saat itu dia juga mendengar bacaan imam.
(Shahih Bukhari no. 673)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ هُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَتِيقٍ قَالَ تَحَدَّثْتُ أَنَا وَالْقَاسِمُ عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَدِيثًا وَكَانَ الْقَاسِمُ رَجُلًا لَحَّانَةً وَكَانَ لِأُمِّ وَلَدٍ فَقَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ مَا لَكَ لَا تَحَدَّثُ كَمَا يَتَحَدَّثُ ابْنُ أَخِي هَذَا أَمَا إِنِّي قَدْ عَلِمْتُ مِنْ أَيْنَ أُتِيتَ هَذَا أَدَّبَتْهُ أُمُّهُ وَأَنْتَ أَدَّبَتْكَ أُمُّكَ قَالَ فَغَضِبَ الْقَاسِمُ وَأَضَبَّ عَلَيْهَا فَلَمَّا رَأَى مَائِدَةَ عَائِشَةَ قَدْ أُتِيَ بِهَا قَامَ قَالَتْ أَيْنَ قَالَ أُصَلِّي قَالَتْ اجْلِسْ قَالَ إِنِّي أُصَلِّي قَالَتْ اجْلِسْ غُدَرُ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abbaad; Telah menceritakan kepada kami Haatim, dia adalah Ibnu Isma'iil dari Ya'quub bin Mujaahid dari Ibnu Abi 'Atiiq dia berkata,

"(Pada suatu ketika) aku bercakap-cakap dengan Al-Qaasim di sisi 'Aisyah Radhiyallahu'anha. Al-Qaasim adalah seorang laki-laki yang gagap (kurang tersusun tutur katanya), dan ia anak satu-satunya bagi ibunya. 'Aisyah bertanya kepadanya, 'Mengapa kamu tidak dapat bicara seperti keponakanku ini? ' Aku tahu sebabnya dari permasalahan apa. Keponakanku ini dididik oleh ibunya, sedangkan kamu dididik oleh ibumu.' Dia berkata, "Maka Al-Qaasim marah dan jengkel kepada 'Aisyah. Tatkala dia melihat meja 'Aisyah yang telah dihidangkan makanan, maka dia pergi. Maka 'Aisyah bertanya, 'Hendak ke mana kamu? ' Jawab Al-Qaasim, 'Aku hendak pergi shalat.' Kata 'Aisyah, 'Duduklah dahulu! ' Jawab Al-Qaasim, 'Aku hendak pergi shalat'. Kata 'Aisyah, 'Duduklah dahulu! Aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

"Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).”
(Shahih Muslim no. 560)

Sebelum kita menyinggung hukum fikih berkaitan hadits ini, perlu kita tahu bahwa hadits yang mulia ini diantara dalil yang menunjukkan shalat adalah ibadah yang sangat istimewa. Karena sebelum melakukan shalat, syariat memerintahkan segala hal yang dapat mengganggu kekhusyu’an shalat, hendaklah ditanggalkan terlebih dahulu.

Seorang shalat dalam keadaan lapar dan makanan sudah tersaji, tentu dia sangat sulit meraih khusyu’. Oleh karenanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan pada hadits di atas,

"Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan..”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,

أن لب الصلاة وروح الصلاة هو حضور القلب، ولذلك أمر النبي صلى الله عليه وسلم بإزالة كل ما يحول دون ذلك قبل أن يدخل الإنسان في صلاته.

"Inti dan ruhnya shalat adalah hadirnya hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghilangkan segala hal yang dapat menghalangi kehadiran hati saat shalat, sebelum seorang melakukan shalatnya."
(Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 13/296)

Apa makna peniadaan di sini? yaitu pada teks hadits, “Tak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan..”

Ada sejumlah penafsiran ulama terkait makna peniadaan pada hadits di atas. Madzhab Zhahiri mengambil kesimpulan, hadits ini menunjukkan tidak sahnya shalat seorang dalam keadaan lapar dan makanan telah dihidangkan.

Namun, penafsiran yang tepat –wallahu a’lam-, peniadaan shalat pada hadits di atas, bukan peniadaan keabsahan (wujud), akan tetapi yang dimaksudkan adalah peniadaan kesempurnaan, artinya shalatnya tidak sempurna. Inilah penafsiran mayoritas ulama.

Sehingga shalat saat makanan sudah terhidang serta kondisi perut lapar, hukumnya adalah makruh, artinya sebatas mengurangi kesempurnaan, bukan tidak sah.

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع

"Hadits-hadits ini menunjukkan, makruhnya melakukan shalat saat makanan sudah terhidang sementara dia berkeinginan untuk menyantapnya. Karena hal tersebut dapat menyibukkan hati dan dapat menghilangkan kekusyuan shalat."
(Syarh Shahih Muslim, 5/46)

Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas,

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَحَسَنُ بْنُ مُوسَى قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو هِلَالٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
مَا خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Telah menceritakan kepada kami Abdush-Shamad dan Hasan bin Muusa berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Hilaal dari Qataadah dari Anas berkata,

"Nabi Shallallahu'alaihi wasallam tidak berkhutbah kepada kami kecuali menyampaikan, tidak ada keimanan seseorang bagi yang tidak menunaikan amanah, dan tidak ada agama seseorang bagi yang tidak memenuhi janjinya."
(Musnad Ahmad no. 12722)

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ

Telah menceritakan kepada kami 'Affaan; Telah menceritakan kepada kami Hammaad; Telah menceritakan kepada kami Al Mughiirah bin Ziyaad Al Tsaqafiy; Telah mendengar Anas bin Maalik berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

"Tidak ada iman seseorang bagi yang tidak beramanat dan tidak ada agama seseorang, siapa yang tak menepati janji."
(Musnad Ahmad no. 13145)

Maksudnya, peniadaan pada hadits ini adalah peniadaan iman yang sempurna, bukan peniadaan wujud iman. Artinya, orang yang tidak amanah dan tidak bisa dipegang janjinya, tidak lantas menjadi kafir. Namun kualitas imannya yang berkurang.

Dalam kitab Faidhul Qadir, Imam Al-Munawi rahimahullah mengambil kesimpulan menarik,

وفيه تقديم فضيلة حضور القلب على فضيلة أول الوقت

"Hadits ini menunjukkan, mengejar keutamaan hadirnya hati saat shalat (khusyu’), lebih didahulukan daripada mengejar fadhilah shalat di awal waktu."
(Faidhul Qadir, 6/430)

Seandainya kita menemui masalah, antara mengikuti shalat jamaah atau makan atau buang hajat terlebih dahulu, maka dahulukan makan dan buang hajat, meski harus terluput dari shalat berjama’ah. Karena dia memilki uzur.

Kalau seseorang meninggalkan shalat jama’ah karena ada uzur untuk menyantap makanan, jika ini bukan kebiasaan, maka dia akan mendapatkan ganjaran shalat jama’ah. Namun jika dijadikan kebiasaan, maka semacam ini tidak dianggap uzur sehingga dia tidak mendapatkan pahala shalat jama’ah. Alasannya berdasarkan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang dalam keadaan sakit atau bersafar (melakukan perjalanan jauh), maka dia akan dicatat semisal apa yang dia lakukan tatkala mukim (tidak bersafar) atau dalam keadaan sehat.”
(HR. Bukhari no. 2996. Bab : Akan dicatat bagi musafir semisal apa yang dia amalkan dalam keadaan dia tidak bersafar atau mukim)

Di sini ada uzur sakit, maka ia dicatat seperti melakukan shalat ketika sehat sebagaimana ia rutin lakukan. Maka begitu pula orang yang ada uzur telat shalat jama’ah karena alasan di atas, maka ia dihitung pula mendapatkan pahala shalat berjama’ah.

(Lihat : Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 13/298)

Kapan Seorang Dianjurkan Mendahulukan Makan daripada Shalat ?

Dari hadits Ibunda 'Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang diperintahkan mendahulukan makan daripada shalat, bila terpenuhi syarat-syarat berikut :

Pertama, makanan telah tersaji.

Kedua, lapar atau ada hasrat kuat untuk makan.

Ketiga, mampu memakannya, baik secara tabiat maupun syariat.

Jika makanan belum terhidang, sementara perut merasakan lapar, maka tidak boleh mendahulukan makan daripada shalat. Karena bila tidak kita katakan demikian, orang-orang miskin dituntut mengakhirkan shalatnya terus-menerus. Karena mereka seringkali merasakan lapar.

Demikian pula andaikan makanan sudah tersaji, akan tetapi tidak lapar, maka tidak boleh mendahulukan makan. Tidak makruh hukumnya mendahulukan shalat bila kondisinya seperti ini.

Atau makanan sudah terhidang, dia merasa lapar, namun dia tak mampu menyantapnya karena ada penghalang yang sifatnya tabi’at dan syariat.

Tabi’at misalnya, makanan masih sangat panas. Atau makanan sangat pedas, sementara perut tidak kuat dengan makanan-makanan pedas.

Syariat misalnya, puasa. Orang yang puasa tentu merasakan lapar. Seandainya waktu adzan ashar, hidangan buka puasa sudah tersaji, maka tetap mengutamakan shalat ashar berjamaah, bukan menunggu tiba waktu buka baru shalat ashar, kemudian beralasan dengan hadits di atas.

(Lihat penjelasannya di Syarah Al-Mumti’, Ibnu ‘Utsamin, 3/237-238)

Demikian. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan pembaca sekalian.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar