Sabtu, 05 Februari 2022

Hukum Muslim Memasuki Gereja

Para ulama sepakat bahwa masuk ke dalam rumah ibadah agama lain pada saat orang-orang kafir itu sedang menjalankan ritual agama hukumnya haram. 

Sedangkan bila di dalam rumah ibadah itu sedang tidak ada ritual agama, maka para ulama berbeda pendapat, ulama berbeda pendapat menjadi 3 kelompok pendapat;

[A] Makruh;
[B] Boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan shalat di dalamnya;
[C] Haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin.

[A] Makruh

Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah, mereka berpandangan bahwa sejatinya memasuki gereja atau sinagog dan tempat ibadah agama lain tidak diharamkan sama sekali.

Hanya saja makruh. Makruh bukan karena tidak boleh masuk, akan tetapi dimakruhkan karena gereja atau sinagog itu tempat berkumpulnya setan [مَجْمَعُ الشَّيَاطِينِ].

(Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/380)

Allah Ta'ala berfirman :

لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Janganlah kamu beribadah dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.” 
(QS. At Taubah : 108)

Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.

[B] Boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan shalat di dalamnya

Ini pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama dari madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyyah dan juga Hanabilah, yaitu tidak ada larangan untuk memasuki gereja atau juga tempat ibadah agama lain. Namun makruh hukumnya jika melakukan shalat disitu.

(Hasyiyah Qalyubi wa 'Amirah 3/235, Kasysyaful-Qina' 1/293, Ahkam Ahli Dzimmah 3/1230)   

Sebenarnya dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal punya 3 riwayat terkait shalat di dalam gereja atau sinagog;

[1] Boleh, tidak ada kemakruhan sebagaimana hukum memasukinya.
[2] Makruh melakukan shalat di dalamnya.
[3] Dibedakan antara gereja yang ada patungnya atau tidak, kalau ada patungnya maka shalatnya makruh, kalau tidak ada maka boleh-boleh saja.

Kesemua riwayat ini diceritakan oleh Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, akan tetapi yang menjadi pendapat madzhab Hanbali sebenarnya ialah pendapat boleh masuk dan boleh juga shalat tanpa kemakruhan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Buhuti dalam Kasysyaful-Qina'.

(Kasysyaful-Qina' 1/293)

- Boleh Masuk dan Shalat di Dalamnya

Kelompok yang mengatakan bolehnya masuk gereja atau sinagog dan melakukan shalat di dalamnya berargumen dengan riwayat Imam Abu Daud bahwa Nabi shallallahu'alaihi wasallam pernah masuk Ka'bah yang di dalamnya ketika itu ada patung Ibrahim dan Ismail. Ini sebagaimana direkam oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. 

(Al-Mughni li-Ibn Qudamah, 7/283)

Dan Nabi pun melakukan shalat di dalam Ka'bah yang ketika itu masih ada patungnya. Seandainya kalau itu tidak boleh, pastilah Nabi tidak akan melakukan shalat di dalamnya. Dan pasti beliau shallallahu'alaihi wasallam melarang para sahabat untuk itu, tapi tidak ada larangan.

(Kasysyaful-Qina', 1/293)

Imam Ibnu Qudamah juga mengutip cerita bahwa ketika Umar bin Khaththab memasuki negeri Syam dan itu diketahui oleh kaum Nasrani negeri tersebut, mereka berinisiatif untuk menyambut Umar dengan menyajikannya makanan. Namun jamuannya itu disajikan di dalam sinagog mereka.

Lalu Umar menolak hadir dan memerintahkan 'Ali untuk menggantikannya. Datanglah 'Ali ke undangan tersebut lalu masuk ke sinagog dan menyantap hidangan yang disediakan. Kemudian berkata: "aku tidak tahu kenapa Umar menolak datang?".

(Al-Mughni li-Ibn Qudamah, 7/283)

Dari cerita di atas jelas bahwa para sahabat tidak pernah berselisih tentang bolehnya memasuki sinagog atau gereja dan tempat ibadah orang non-muslim, karena itu 'Ali bertanya kenapa Umar menolak. Kemudian kalau seandainya itu sebuah keharaman, kenapa Umar menyuruh 'Ali datang, harusnya Umar larang juga 'Ali. Apakah seorang sahabat sekelas Umar tega membiarkan sahabat lainnya jatuh dalam dosa ?

Imam Ibnu Qayyim menambahkan bahwa dulu juga para sahabat melakukan shalat di dalam gereja, ketika melakukan penaklukan beberapa kota untuk mengislamkannya. Kalau shalatnya saja boleh apalagi memasukinya.

(Ahkam Ahli Dzimmah, 3/1231)

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab tidak melakukan shalat di dalam sinagog setelah menaklukan Palestina (Quds), itu bukan berarti pelarangan. Karena tidak shalatnya Umat di dalam gereja sama sekali tidak berarti larangan.

Umar melakukan itu agar nantinya orang muslim setelahnya tidak merubah sinagog itu menjadi masjid yang akhirnya menyulitkan orang Nasrani melakukan ibadah, maka Umar shalat di luar. Dan akhirnya umat Muslim membangun masjid di tempat shalat Umar itu berdampingan dengan Sinagog.

- Makruh Shalat di Dalamnya

Yang mengatakan boleh masuk, tapi makruh shalat di dalamnya beralasan sama seperti yang diutarakan oleh madzhab Al-Hanafiyah, bahwa sinagog, gereja dan tempat ibadah agama lain itu tempat berkumpulnya setan.

Para ulama ini bersepakat atas kemakruhan shalat di pemakaman, maka jauh lebih makruh lagi kalau itu di tempat ibadah agama lain. Walaupun jika ia shalat, tetap sah shalatnya akan tetapi di-makruh-kan saja.

Kemudian yang memakruhkan shalat di dalamnya jika itu ada patungnya, apalagi jika patung-patung itu berhadapan langsung dengan arah shalat. Seakan-akan terkesan bahwa ia sedang bersujud di hadapan patung. Jelas ini tercela.

(Ahkam Ahli Dzimmah, 3/1232)

[3] Haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin.

Ini pendapat sebagian ulama madzhab Asy-Syafi'iyyah, akan tetapi bukan pendapat resmi madzhab. Ini pendapat salah seorang ulama madzhab tersebut, yaitu Imam 'Izz Ad-Din bin Abdis-Salam yang kemudian diikuti oleh sebagiannya.

(Mughni Al-Muhtaaj, 6/78)

Beliau mengatakan bahwa seorang muslim dilarang memasuki gereja, sinagog atau juga tempat ibadah umat lain kecuali dengan izin. Berarti jika diizinkan, boleh memasukinya. Dan itu pun kalau tidak ada patungnya, kalau ada maka hukumnya tidak boleh memasukinya.

Dalam Hasyiah ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli disebutkan :

لَا يَجُوزُ لَنَا دُخُولُهَا إلَّا بِإِذْنِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِيهَا تَصْوِيرٌ حَرُمَ مُطْلَقًا، وَكَذَا كُلُّ بَيْتٍ فِيهِ صُورَةٌ

"Tidak bolek masuk dalam gereja kecuali dengan izin mereka (pemilik gereja) dan seandainya dalam gereja tersebut ada patung-patung, maka haram secara mutlak, demikian juga setiap rumah yang ada patung."

Alasan beliau kenapa harus dengan izin, karena gereja, sinagog dan tempat ibadah umat lain itu milik mereka sendiri, dan kita selain dari golongannya dilarang mengakses itu kecuali memang diizinkan.

Dan beliau melarang mutlak jika di dalamnya ada patung, diizinkan atau tidak, kalau ada patungnya tetap di larang. Beliau mengatakan bahwa rumah yang ada patungnya saja dilarang untuk dimasuki, apalagi gereja dan sinagog.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaaj, menjelaskan bahwa yang dimaksud patung oleh Imam 'Izz Ad-Diin ialah patung yang Mu'azhzhamah [معظمة] "diagungkan". Maksudnya ialah patung yang diagungkan dan disembah. Kalau hanya ada gambar-gambar atau juga patung namun statusnya bukan patung utama yang disembah, maka tempat ibadah itu tidak mengapa untuk di masuki.

(Tuhfatul-Muhtaj 9/295)

Penulis disini memilih pendapat makruh jika tidak ada hajat atau hal yang darurat.

Wallahu a'lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar