Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kelanjutan tentang pembatal wudhu, kami rinci dalam postingan kali ini, yaitu mengenai masalah tidur. Apakah tidur membatalkan wudhu ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama ada silang pendapat. Beda pendapat ini terjadi dikarenakan perbedaan dalam menilai hadits.
Hadits yang membicarakan tentang masalah tidur membatalkan wudhu terlihat (secara zhahir) saling bertentangan. Sebagian hadits menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu. Sebagian lagi menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Sehingga dari sini para ulama menempuh dua jalan. Ada yang melakukan jama’ (menggabungkan dalil) dan ada yang melakukan tarjih (memilih manakah dalil yang lebih kuat).
Para ulama yang melakukan tarjih, boleh jadi ada yang memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats dan boleh jadi pula ada yang memiliki pendapat bahwa tidur termasuk hadats sehingga mengharuskan untuk wudhu. Sedangkan ulama yang menempuh jalan jama’, mereka memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats, namun hanya mazhannatu lil hadats (kemungkinan terjadi hadats). Mereka pun nantinya berselisih, bagaimanakah bentuk tidur yang bisa membatalkan wudhu.
Intinya, dalam masalah ini ada delapan pendapat. Berikut di antara pendapat tersebut dan akan kami sebutkan beberapa dalil yang digunakan. [1]
Pendapat pertama : Tidur sama sekali bukan termasuk pembatal wudhu.
Inilah yang menjadi pendapat beberapa sahabat semacam Ibnu ‘Umar dan Abu Musa Al Asy’ari. Pendapat ini juga menjadi pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Ubaidah As Salmani, Al Awza’i dan selain mereka. Di antara dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[2]
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qatadah, “Iya betul. Demi Allah.”[3]
Pendapat kedua : Tidur termasuk pembatal wudhu, baik tidur sesaat maupun tidur yang lama. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rafi’, ‘Urwah bin Az Zubair, ‘Atha’, Al Hasan Al Bashri, Ibnul Musayyib, Az Zuhri, Al Muzanni, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah-.
Dalil dari pendapat ini adalah sebagaimana buang air besar dan kencing menyebabkan batalnya wudhu ketika memakai khuf, begitu pula tidur. Perhatikan hadits berikut dari Shafwan bin ‘Assal tentang mengusap khuf.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خِفَافِنَا وَلَا نَنْزِعَهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami, jika kami bersafar, maka cukup kami mengusap sepatu kami, tanpa perlu melepasnya selama tiga hari. Tidak perlu melepasnya ketika wudhu batal karena buang air besar, kencing atau tertidur kecuali jika dalam keadaan junub.”[4]
Dalam hadits ini disebutkan tidur secara umum tanpa dikatakan tidur yang sesaat atau yang lama. Dan ditambah lagi bahwa tidur ini disamakan dengan kencing dan buang air besar yang merupakan pembatal wudhu.
Pendapat ketiga : Tidur yang lama yang membatalkan wudhu dalam keadaan tidur mana saja. Sedangkan tidur yang cuma sesaat tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini dipilih oleh Imam Malik dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini memaknai hadits Anas yang disebutkan dalam pendapat pertama sebagai tidur yang sedikit (sesaat). Mereka memiliki argumen dengan perkataan Abu Hurairah,
مَنِ اسْتَحَقَّ النَّوْمَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ.
“Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.”[5] Namun perkataan ini hanya sampai derajat mauquf (sekedar perkataan sahabat).
Pendapat keempat : Tidak membatalkan wudhu kecuali jika tidurnya dalam keadaan berbaring (pada lambung) atau bersandar. Sedangkan apabila tidurnya dalam keadaan ruku’, sujud, berdiri atau duduk, maka ini tidak membatalkan wudhu baik di dalam maupun di luar shalat.
Inilah pendapat Hammad, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Daud, dan pendapat Imam Asy Syafi’i.
Di antara dalilnya adalah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ عَلَى النَّائِمِ جَالِسًا وُضُوْءٌ حَتَّى يَضَعُ جَنْبَهُ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk sampai ia meletakkan lambungnya.” Namun hadits ini adalah hadits yang dha’if (lemah).[6]
Pendapat kelima : Wudhu tidak batal jika tidur dalam keadaan duduk, baik dalam shalat maupun di luar shalat, baik tidur sesaat maupun lama.
Alasan mereka, tidur hanyalah mazhannatu lil hadats (sangkaan akan muncul hadats). Dan tidur dalam keadaan seperti ini masih mengingat berbagai hal (misalnya ia masih merasakan kentut atau hadats).
Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan Asy Syaukani. Pendapat ini menafsirkan hadits Anas dalam pendapat pertama bahwa para sahabat ketika itu tidur dalam keadaan duduk. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menyanggah pendapat ini dengan menyebutkan sebuah riwayat dari Al Bazzar dengan sanad yang shahih bahwa hadits Anas yang menceritakan sahabat yang tidur menyebutkan kalau ketika itu ada di antara sahabat yang tidur dengan berbaring (pada lambungnya), lalu mereka pergi hendak shalat.
Dan masih ada beberapa pendapat lainnya yang terbilang cukup lemah.
Pendapat yang terkuat :
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam inilah yang mazhannatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats. Pendapat ini sejalan dengan pemahaman pada pendapat pertama.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.
Demikian pembahasan singkat ini. Semoga bermanfaat.
Catatan kaki :
[1] Pembahasan ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/129-132, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Muslim no. 376.
[3] HR. Muslim no. 376.
[4] HR. An Nasa-i no. 127. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[5] HR. Al Baihaqi, 2/135, ‘Abdur Razaq no. 481. Hadits ini adalah hadits mauquf (hanya perkataan sahabat) dengan sanad yang shahih dan tidak shahih jika marfu’ (disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lihat penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam At Talkhis Al Habir, 1/179
[6] Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebutkan hadits ini dalam Lisanul Mizan, 8/181. Dalam hadits ini ada perawi yang tertuduh berdusta dan sering memalsukan hadits, sebagaimana kata Ibnu Ma’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar