Rabu, 10 Maret 2021

HADITS PALSU Tentang Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina

Oleh : Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni
 
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
 
Dari Anas bin Mâlik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 
“Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China!”
 
Hadits ini dikeluarkan oleh :
 
1. Imam Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afâ’ (2/230);
2. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kâmil fidh Dhu’afâ’ (4/118);
3. Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam Târîkh Ashbahan (2/106);
4. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ilas Sunanil Kubra (1/244) dan Syu’abul Îmân (no. 1612);
5. Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdad (9/363);
6. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih (1/14-15);
7. Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhû’ât” (1/215).
 
Dengan sanad mereka semua dari jalur Abu ‘Atikah Tharif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, dari Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits ini adalah hadits yang palsu dan batil (rusak), karena rawi yang bernama Abu ‘Atikah Tharif bin Sulaiman adalah rawi yang disepakati kelemahannya, bahkan sebagian dari Ulama ahli hadits menyifatinya sebagai pemalsu hadits.
 
Imam Al-Bukhâri rahimahullah dan Abu Hâtim Ar-Râzi rahimahullah menyatakan bahwa hadits riwayatnya sangat lemah[1] .
 
Imam As-Sulaimani menyatakan bahwa rawi ini dikenal sebagai pemalsu hadits[2].
 
Imam Al-‘Uqaili rahimahullah berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya (karena kelemahannya yang fatal).”[3]
 
Imam Ibnu Hibbân rahimahullah berkata, “Haditsnya sangat mungkar (karena kelemahannya yang fatal)[4]
 
Para Ulama ahli hadits telah menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah.
 
Imam Al-Bazzar berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (palsu).”[5]
 
Imam Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini batil (palsu) dan tidak ada asal-usulnya.”[6]

Demikian pula para Imam lainnya menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu atau sangat lemah, seperti Al-‘Uqali, Ibnu ‘Adi, Al-Baihaqi[7], As-Sakhawi[8], Asy-Syaukani[9] dan Al-Albani[10] .
 
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari jalur lain dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih (1/21). Tapi hadits ini juga palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ya’qûb bin Ishâq bin Ibrâhîm Al-‘Asqalani, Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Dia pendusta.”[11]

Juga diriwayatkan dari shahabat lain, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dikeluarkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kâmil fidh Dhu’afâ’” (4/177). Hadits ini juga palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Ahmad bin Abdillah Al-Juwaibari. Imam An-Nasa-i dan Ad-Daraquthni berkata tentangnya, “Dia pendusta.”[12] Imam Ibnu ‘Adi menyifatinya sebagai pemalsu hadits.[13]
 
Imam Ibnu ‘Adi berkata, setelah membawakan hadits ini, “Hadits ini dengan sanad ini adalah batil (palsu).”[14]

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah dari semua jalur periwayatannya.
 
Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur dan semuanya lemah”[15]. Demikian pula Syaikh Al-Albâni rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini palsu dan batil dari semua jalur periwayatannya.[16]

Kemudian, dari segi makna, hadits ini juga mengandung makna yang patut dipertanyakan. Karena negeri China bukanlah negeri yang dikenal sebagai negeri Islam dan tempat menuntut ilmu agama. Kalaupun ada ilmu di sana, maka hanyalah ilmu-ilmu dunia yang tidak mungkin diperintahkan dan diwajibkan untuk menuntutnya dengan bersusah payah dan menempuh perjalanan jauh, seperti yang disebutkan dalam hadits ini.[17]

Pada asalnya, ilmu yang diperintahkan untuk dituntut dalam Islam dan ditekankan kewajibannya adalah ilmu agama, yaitu ilmu tentang petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan petunjuk Rasul-Nya Shallallahu ‘laihi wa sallam untuk memperbaiki iman dan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Inilah ilmu yang dipuji dan diperintahkan dalam Islam.[18]

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يٌفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
 
"Barangsiapa Allâh Azza wa Jalla hendaki kebaikan baginya maka Allâh akan menjadikannya paham tentang agama Islam."[19]
 
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :
 
وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يَوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بحَظٍّ وَافِرٍ
 
"Sesungguhnya para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewariskan uang emas atau uang perak, tapi yang mereka wariskan hanyalah ilmu (agama Islam), maka barangsiapa mengambil (warisan tersebut) berarti sungguh dia telah mengambil bagian yang sempurna."[20]
 
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari dan menjadi rujukan dalam Islam, pada asalnya, adalah ilmu agama yang bersumber dari wahyu Allâh Azza wa Jalla dan dibawa oleh Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Adapun ilmu-ilmu dunia, maka kedudukan dan hukumnya mengikuti apa yang dijelaskan dalam ilmu agama. Artinya ilmu-ilmu tersebut dianjurkan atau diperintahkan untuk dipelajari jika digunakan untuk kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat bagi kaum Muslimin, tapi sebaliknya, jika tidak demikian, maka ilmu-ilmu tersebut dilarang dalam Islam.
 
Footnote :
 
[1] Kitab Tahdzîbut Tahdzîb (12/158).
 
[2] Ibid.
 
[3] Kitab Adh-Dhu’afâ’ (2/230).
 
[4] Kitab Al-Majrûhîn (1/382).
 
[5] Kitab Musnad Al-Bazzar (1/175).
 
[6] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudû’ât (1/216).
 
[7] Dalam kitab-kitab mereka di atas.
 
[8] Kitab Al-Maqâshidul Hasanah (hlm. 121)
 
[9] Kitab Al-Fawâ’idul Majmâ’ah (hlm. 272)
 
[10] Kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah (1/600, no. 416).
 
[11] Kitab Mîzânul I’tidâl (4/449).
 
[12] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Lisânul Mîzân (1/193).
 
[13] Kitab Al-Kâmil fidh Dhu’afâ’ (1/177).
 
[14] Ibid.
 
[15] Kitab Syu’abul Îmân (4/174).
 
[16] Kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah (1/604).
 
[17] Lihat penjelasan makna hadits ini dalam kitab Faidhul Qadîr (1/542).
 
[18] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Al-‘Ilmu (hlm. 9).
 
[19] HR. Al-Bukhâri (no. 71) dan Muslim (no. 1037).
 
[20] HR. Abu Dawud (no. 3641), At-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Majah (no. 223), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban (no. 88) dan Syaikh Al-Albani.
 
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar