Kamis, 19 November 2020

Akhlak yang Dicintai Allah

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ عَنْ قُرَّةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَشَجِّ عَبْدِ الْقَيْسِ إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ وَفِي الْبَاب عَنْ الْأَشَجِّ الْعَصَرِيِّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Bazii'; Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadhdhal, dari Qurrah bin Khaalid, dari Abu Jamrah, dari Ibnu 'Abbaas, 

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Asyaj bin 'Abdil Qais : 

"Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu santun/lemah lembut (tidak mudah marah) dan sifat sabar (kehati-hatian)." 

Berkata Abu 'Iisa: Ini merupakan hadits hasan shahih gharib dan hadits semakna diriwayatkan dari Asyaj Al 'Ashriy.

(HR. Tirmidzi no. 2011)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ قَالَ زَعَمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ أَشَجُّ بْنُ عَصَرٍ

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ فِيكَ خُلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْتُ مَا هُمَا قَالَ الْحِلْمُ وَالْحَيَاءُ قُلْتُ أَقَدِيمًا كَانَ فِيَّ أَمْ حَدِيثًا قَالَ بَلْ قَدِيمًا قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا

Telah menceritakan kepada kami Ismaa'iil ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yuunus ia berkata; 'Abdurrahman bin Abu Bakrah berdalih dengan berkata; Asyajj bin 'Ashr berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku : 

"Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang keduanya dicintai oleh Allah 'azza wajalla." Saya bertanya, "Sifat apakah itu?" beliau menjawab, "Al Hilmu (santun) dan rasa malu (sopan)." Saya bertanya lagi, "Apakah kedua sifat itu telah ada padaku sejak lama atau baru melekat?" beliau menjawab: "Sejak lama." Saya berkata, "Segala puji Allah yang telah memberiku dua sifat yang dicintai-Nya."

(HR. Ahmad no. 17160)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ لَقِيَ الْوَفْدَ الَّذِينَ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ سَعِيدٌ وَذَكَرَ قَتَادَةُ أَبَا نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّ أُنَاسًا مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا حَيٌّ مِنْ رَبِيعَةَ وَبَيْنَنَا وَبَيْنَكَ كُفَّارُ مُضَرَ وَلَا نَقْدِرُ عَلَيْكَ إِلَّا فِي أَشْهُرِ الْحُرُمِ فَمُرْنَا بِأَمْرٍ نَأْمُرُ بِهِ مَنْ وَرَاءَنَا وَنَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ إِذَا نَحْنُ أَخَذْنَا بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آمُرُكُمْ بِأَرْبَعٍ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعٍ اعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَصُومُوا رَمَضَانَ وَأَعْطُوا الْخُمُسَ مِنْ الْغَنَائِمِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ الدُّبَّاءِ وَالْحَنْتَمِ وَالْمُزَفَّتِ وَالنَّقِيرِ قَالُوا يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا عِلْمُكَ بِالنَّقِيرِ قَالَ بَلَى جِذْعٌ تَنْقُرُونَهُ فَتَقْذِفُونَ فِيهِ مِنْ الْقُطَيْعَاءِ قَالَ سَعِيدٌ أَوْ قَالَ مِنْ التَّمْرِ ثُمَّ تَصُبُّونَ فِيهِ مِنْ الْمَاءِ حَتَّى إِذَا سَكَنَ غَلَيَانُهُ شَرِبْتُمُوهُ حَتَّى إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَضْرِبُ ابْنَ عَمِّهِ بِالسَّيْفِ قَالَ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ أَصَابَتْهُ جِرَاحَةٌ كَذَلِكَ قَالَ وَكُنْتُ أَخْبَؤُهَا حَيَاءً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ فَفِيمَ نَشْرَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فِي أَسْقِيَةِ الْأَدَمِ الَّتِي يُلَاثُ عَلَى أَفْوَاهِهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَرْضَنَا كَثِيرَةُ الْجِرْذَانِ وَلَا تَبْقَى بِهَا أَسْقِيَةُ الْأَدَمِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ وَإِنْ أَكَلَتْهَا الْجِرْذَانُ قَالَ وَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَشَجِّ عَبْدِ الْقَيْسِ إِنَّ فِيكَ لَخَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ 

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyuub; Telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ulayyah; Telah menceritakan kepada kami Sa'iid bin Abu 'Aruubah, dari Qataadah dia berkata :

"Orang yang bertemu utusan dari kalangan 'Abdul Qais yang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan kepada kami, Sa'iid berkata, Qataadah menyebutkan Abu Dhamrah dari Abu Sa'iid Al-Khudri dalam haditsnya ini, bahwa orang-orang dari kalangan 'Abdul Qais menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata :

"Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami penduduk desa dari kabilah Rabi'ah, dan sungguh para (kafir) Mudhar telah menghalangi antara kami dan kamu, sehingga kita tidak bisa (selamat) menujumu kecuali pada bulan Haram, maka perintahkanlah kepada kami untuk mengamalkan suatu perintah agar kami dapat mendakwahkannya kepada orang-orang yang ada di belakang kami sehingga dengannya kami masuk surga apabila kami berpegang teguh padanya." Beliau bersabda: "Saya memerintahkan kepada kalian dengan empat perkara dan melarang kalian dari empat perkara: Yaitu sembahlah Allah, dan janganlah kamu mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, dirikankan shalat, tunaikanlah zakat, berpuasalah Ramadhan, dan berikanlah seperlima dari harga ghanimah, dan aku melarang kalian membuat perasan arak dalam Ad-Duba`, Al-Hantam, Al-Muzaffat dan An-Naqir." Mereka bertanya, 'Wahai Nabi Allah, apa pengetahuanmu tentang An-Naqir? ' Beliau bersabda: "Batang pohon yang diukir (dilubangi) lalu kamu memasukkan ke dalamnya kurma." Sa'iid berkata, "Atau beliau bersabda: "dari pohon kurma. Kemudian kamu memasukkan air ke dalamnya hingga apabila air didihnya telah tenang, maka kalian meminumnya hingga salah seorang dari kalian -atau salah seorang dari mereka- sungguh akan memukul pamannya dengan pedang", dia berkata, "Dan pada kaum tersebut terdapat seorang laki-laki yang terkena luka juga." Dia berkata lagi, "Aku menyembunyikannya karena malu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu aku bertanya, "Maka pada wadah apa kita boleh minum wahai Rasululah? " Beliau menjawab, "Pada wadah kulit (yang sudah disamak) yang sudah ditutup pada mulutnya." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tanah kami banyak tikus, sehingga tidak tersisa padanya minuman pada wadah kulit (yang sudah disamak), " maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dan walaupun dimakan tikus, dan walaupun dimakan tikus, dan walaupun dimakan tikus." 

Perawi berkata, "Dan Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Asyajj 'Abdul Qais: "Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang disukai Allah, yaitu; santun (lemah lembut) dan sabar (berhati-hati/teliti)'." 

(HR. Muslim no. 18)




Nama-Nama Mekkah di dalam Al Quran

Mekkah memiliki beberapa nama. Dan nama-nama tersebut telah disebutkan di dalam Al Quran. Nama Mekkah sendiri disebutkan dalam surat Al-Fath :

وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا

“Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” 

(QS. Al Fath : 24)

Dalam surat Al-Balad, Allah ﷻ berfirman :

لَا أُقْسِمُ بِهَٰذَا الْبَلَدِ

“Aku benar-benar bersumpah dengan Al-Balad (Mekkah).” 

(QS. Al Balad : 1)

Dinamakan Balad karena ia berada di tengah negeri.

Nama lainnya terdapat dalam surat Al-Isra, kota ini dinamakan Masjid Al-Haram. Allah ﷻ berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda, (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

(QS. Al-Isra’ : 1)

Nama lain Mekkah adalah Bakkah. Sebagaimana tersebut di dalam surat Ali Imran :

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia."

(QS. Ali Imran : 96)

Disebut dengan Bakkah karena ia telah membuat tunduk orang-orang yang sombong.

Mekkah juga dinamakan Ummul Qura. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-An’am. Allah ﷻ berfirman :

وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا ۚ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۖ وَهُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

“Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekkah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya."

(QS. Al-An’am : 92)

Disebut Ummul Qura, karena kedudukan Mekkah lebih mulia dan lebih agung dibanding kota-kota atau daerah-daerah lainnya. Di dalamnya terdapat Baitullah.

Mekkah juga disebut dengan Ma’ad. Seperti termaktub dalam surat Al-Qashash. Allah ﷻ berfirman :

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ مَنْ جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke Ma’ad (tempat kembali). Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata".

(QS. Al-Qashash : 85)

Kata Ma’ad dalam ayat ini memiliki beberapa tafsiran. Di antara tafsirannya adalah ayat ini memberikan kabar gembira bahwasanya Rasulullah ﷺ akan kembali ke Mekkah dengan menaklukkannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya. Karena kata Ma’ad maknanya adalah tanah kelahiran. Dan tanah kelahiran Nabi ﷺ adalah Mekkah.

Mekkah juga dinamakan dengan Balad Al-Amin (negeri yang aman). Disebut demikian karena di Mekkah diharamkan peperangan dan Dajjal tidak bisa memasukinya. Nama ini tersebut dalam surat At-Tin :

وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ

“Dan demi kota (Mekkah) ini yang aman.” 

(QS. At-Tiin : 3)

Dengan demikian di antara nama atau sebutan untuk Kota Mekah adalah :

    Mekkah;

    Al-Bala;

    Masjid Al-Haram;

    Bakkah;

    Ummul Qura;

    Ma’ad;

    Balad Al-Amin.

Banyaknya nama menunjukkan kemuliaannya. Karena nama-nama tersebut memiliki arti dan sifat yang dimilikinya.




Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Sujud syukur ini disyari’atkan sebagaimana dalam pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, fatwa dari Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan pendapat sebagian ulama Malikiyah.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah :

حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ بَكَّارِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin 'Abdullah Al Khuzaa'iy dan Ahmad bin Yuusuf As Sulamiy keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aashim, dari Bakkaar bin 'Abdul 'Aziiz bin 'Abdullah bin Abu Bakrah, dari Bapaknya, dari Abu Bakrah berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila didatangi oleh urusan yang menyenangkan atau diberi kabar gembira, beliau tersungkur sujud sebagai tanda syukur kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala."

(HR. Ibnu Majah no. 1394)

Juga dari hadits yang panjang dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

لَمَّا تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ خَرَّ سَاجِدًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq, dari Ma'mar, dari Az Zuhriy, dari 'Abdurrahman bin Ka'b bin Maalik, dari Bapaknya ia berkata :

"Ketika Allah menerima taubatnya beliau sujud tersungkur. "

(HR. Ibnu Majah no. 1393)

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Nikmat yang dimaksudkan di sini adalah seperti nikmat nafas, nikmat hidup, dan bisa merasakan nikmatnya shalat. Mungkin kita pernah melihat sebagian orang yang melakukan sujud syukur karena sebab ini. Seringkali kita lihat, mereka sujud setelah selesai dzikir ketika shalat lima waktu. Padahal nikmat-nikmat tadi sifatnya berulang.

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat :

لا يشرع السّجود لاستمرار النّعم لأنّها لا تنقطع

“Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Bagaimana Jika Luput dari Sujud Syukur?

Imam Ar Ramli rahimahullah mengatakan :

وتفوت سجدة الشّكر بطول الفصل بينها وبين سببها

“Sujud syukur itu jadi luput jika sudah berlalu waktu yang lama dengan waktu adanya sebab sujud.”

Berarti sujud syukur dilakukan ketika mendapatkan nikmat atau selamat dari bencana (musibah), jangan sampai ada selang waktu yang lama.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Syaikh Ibnu ’Utsaimin menegaskan tatkala membahas permasalahan sujud tilawah :

“Sujud tilawah dilakukan ketika sedang membaca Al Qur’an. Tidak mengapa sujud dalam kondisi apapun walaupun dengan kepala yang terbuka (aurat terbuka) dan keadaan lainnya. Karena sujud tilawah tidak memiliki hukum yang sama dengan shalat."

(Al Fatawa Al Jami’ah Lil Marati Al Muslimah,  1/249)

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Apakah Ada Sujud Syukur dalam Shalat?

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, tidak dibolehkan melakukan sujud syukur dalam shalat. Karena sebab sujud syukur ditemukan di luar shalat. Jika seseorang melakukan sujud syukur dalam shalat, batallah shalatnya. Kecuali jika ia tidak tahu atau lupa, maka shalatnya tidak batal seperti ketika ia lupa dengan menambah sujud dalam shalat.

Sujud Syukur Ketika Waktu Terlarang untuk Shalat

Sujud syukur tidak dimakruhkan dilakukan di waktu terlarang untuk shalat sebagaimana halnya sujud tilawah. Alasannya, karena sujud tilawah dan sujud syukur bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu terlarang adalah larangan khusus untuk shalat.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi :

Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 24/245-250.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/458-459.




Senin, 17 Agustus 2020

Hukuman Untuk Orang Pendusta di Hari Kiamat

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي قَالَا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يَكْذِبُ بِالْكَذْبَةِ تُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Ismaa'iil; Telah menceritakan kepada kami Jariir; Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa`, dari Samurah bin Jundab radhiallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Aku tadi malam bermimpi ada dua orang yang membawaku, keduanya berkata; "Dan yang kamu lihat seseorang yang dirobek-robek mulutnya adalah seorang pendusta yang selalu berbicara dengan kedustaannya hingga dibawanya sampai ke ufuk (cakrawala) sana, dan ia selalu seperti itu hingga datang hari Kiamat."

(HR. Bukhari no. 6096)

…فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِى أَحَدَ شِقَّىْ وَجْهِهِ فَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ – قَالَ وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو رَجَاءٍ فَيَشُقُّ – قَالَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الآخَرِ ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الأَوَّلِ ، فَمَا يَفْرُغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يَصِحَّ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ الْمَرَّةَ الأُولَى… 

…وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الآفَاقَ… 

“…Kami (Nabi Muhammad dan dua malaikat yang membawanya) pun pergi, lantas kami mendapati seseorang yang terlentang. Di sampingnya ada orang lain yang berdiri sambil membawa semacam gancu yang terbuat dari besi. Lalu ia memegang salah satu sisi wajahnya dan merobek-robek sudut mulutnya hingga ke arah tengkuk. Ia juga merobek-robek hidungnya hingga ke arah tengkuknya, dan juga merobek-robek matanya hingga ke arah tengkuknya” -Kata Auf, terkadang Abu Rajaa’ menggunakan redaksi; yasyuqqu bukan yusyarsyiru– “kemudian penyiksa itu berpindah ke sisi wajah yang lain dan memperlakukan korbannya sebagaimana ia lakukan pada sisi wajah pertama. Belum selesai ia merobek-robek sisi wajah kedua, maka sisi wajah pertama sudah utuh kembali seperti semula. Setelah itu Penyiksa tersebut melakukan lagi apa yang ia lakukan pertama kali …”

“…(malaikat menjelaskan kepada Nabi Muhammad siapa orang yang disiksa tadi, katanya;) Adapun orang yang kamu dapati disiksa dengan dirobek-robek sudut mulutnya hingga tengkuknya, hidung hingga dagunya, dan matanya hingga tengkuknya, itu adalah seseorang yang pergi di pagi hari dari rumahnya, lalu ia berdusta, dan kedustaannya mencapai cakrawala…” 

(HR. Bukhari Juz. 23 hlm. 227)

Allahul musta'an



Keutamaan Menghadiri Shalat Jumat dengan Berjalan Kaki

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ حَدَّثَنِي أَبُو الْأَشْعَثِ حَدَّثَنِي أَوْسُ بْنُ أَوْسٍ الثَّقَفِيُّ قَالَ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah Ibnul Mubaarak, dari Al Auzaa'i berkata; Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin 'Athiyyah berkata; Telah menceritakan kepada kami Abul Asy'ats berkata; Telah menceritakan kepada kami Aus bin Ats Tsaqafiy berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barangsiapa membasuh kepala dan seluruh badannya, berangkat di awal waktu dan mendapat awal khutbah, berjalan dan tidak berkendaraan, mendekati imam dan mendengarkan khutbah serta tidak berbuat sia-sia maka setiap langkah akan dihitung sebagai ibadah selama satu tahun dengan pahala puasa dan shalat malam."

(HR. Ibnu Majah no. 1087)

Mustajabnya Doa Dzun Nuun, Nabi Yunus ‘alaihis salaam

Tahukah Anda siapa Dzun Nuun ?

Nuun itu bermakna ikan. Dzun Nuun adalah sebutan untuk Nabi Yunus ‘alaihis salam yang pernah ditelan oleh ikan. Cobalah kita lihat wahai saudaraku, bagaimanakah mustajabnya do’a Nabi Yunus ‘alaihis salam!

Hal ini pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : 

“Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) ketika ia berdoa dalam perut ikan paus adalah :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Laa Ilaaha Illaa Anta Subhaanaka Innii Kuntu Minadzhaalimiin..

(Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang zhalim).

Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.” 

[HR. Tirmidzi no. 3505]

Mengenai do’a Nabi Yunus ‘alaihis salam ini juga disebutkan dalam ayat :

(( وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ - فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ ))

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nuun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka, bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap:

‘Bahwa, tidak ada sesembahan yang berhak disembah, selain Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zhalim.’

Maka, Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” 

[QS. Al Anbiya’ : 87-88]

Kenapa do’a Nabi Yunus mudah diijabahi ?

Karena, dalam doa beliau tersebut terdapat pengakuan pada ketauhidan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengakuan terhadap setiap dosa, kesalahan dan kezhaliman yang diperbuat diri sendiri.

Wallahu a'lam



Memberikan Minuman = Sedekah yang Paling Afdhal

Imam Ibnu Baththal rahimahullah dalam Syarah Shahih Bukharinya mengatakan :

"Memberikan minuman, merupakan salah satu ibadah paling agung yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ta'ala.”

Salah seorang Tabi'in mengatakan :

"Barangsiapa banyak dosanya, maka hendaknya dia (bersedekah) memberikan minuman (kepada orang lain). Karena, jika dosa seorang yang memberikan minuman kepada anjing saja bisa diampuni, apalagi orang yang memberikan minuman kepada seorang mukmin yang bertauhid, atau memberikan kehidupan kepadanya?!".

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ قَالَ قُلْتُ

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Al Mubaarak berkata; Telah menceritakan kepada kami Wakii', dari Hisyaam, dari Qataadah, dari Sa'iid bin Al Musayyab, dari Sa'd bin 'Ubaadah berkata :

"Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, bolehkah aku bersedekah untuknya?" Beliau menjawab: "Ya." Aku lalu bertanya, "Sedekah apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: "Memberi minum air."

(HR. An Nasa'i no. 3664)

أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ عَنْ حَجَّاجٍ قَالَ سَمِعْتُ شُعْبَةَ يُحَدِّثُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ الْحَسَنَ يُحَدِّثُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ

أَنَّ أُمَّهُ مَاتَتْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ فَتِلْكَ سِقَايَةُ سَعْدٍ بِالْمَدِينَةِ

Telah mengabarkan kepadaku Ibraahiim bin Al Hasan, dari Hajjaaj ia berkata; Aku mendengar Syu'bah menceritakan dari Qataadah berkata; Aku mendengar Al Hasan menceritakan dari Sa'd bin 'Ubaadah, 

"Bahwa ibunya meninggal kemudian berkata, 

"Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: "Memberi minum air." Itulah pemberian minum Sa'd di Madinah.

(HR. An Nasa'i no. 3666)

Baarakallahu fiiykum



Hukum Syukuran Pulang Haji

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat menyambut kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safar atau ketika masuk ke sebuah kota. Diantaranya :

Hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu‘anhuma, beliau menceritakan :

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَكَّةَ اسْتَقْبَلَتْهُ أُغَيْلِمَةُ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَحَمَلَ وَاحِداً بَيْنَ يَدَيْهِ وَآخَرَ خَلْفَهُ

"Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari Mekkah, anak-anak kecil bani 'Abdul Muthalib menyambut kedatangan beliau. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong salah satu dari mereka dan yang lain mengikuti dari belakang." 

(HR. Bukhari no. 1798)

Dalam shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab :

باب استقبال الحاج القادمين

"Bab menyambut kedatangan jamaah haji yang baru pulang."

'Abdullah bin Ja’far radhiyallahu'anhu mengatakan :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu diantara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah."

(HR. Muslim no. 2428)

An-Naqi’ah

Acara makan-makan dalam rangka penyambutan orang yang baru pulang haji disebut An-Naqi’ah. Ini tidak hanya berlaku untuk haji saja, namun semua kegiatan safar. Sebagian ulama menganjurkan untuk mengadakan acara makan-makan, dalam rangka tasyakuran pulangnya seorang musafir.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

يستحب النقيعة ، وهي طعام يُعمل لقدوم المسافر ، ويطلق على ما يَعمله المسافر القادم ، وعلى ما يعمله غيرُه له ، … ومما يستدل به لها : حديث جابر رضي الله عنه ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخاري

"Diadakan untuk mengadakan Naqi’ah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain… Diantara yang menjadi dalil hal ini adalah hadits Jaabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih unta atau sapi. (HR. Bukhari)."

(Al-Majmu’, 4/400)

حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً زَادَ مُعَاذٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَارِبٍ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ

اشْتَرَى مِنِّي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيرًا بِوَقِيَّتَيْنِ وَدِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمَيْنِ فَلَمَّا قَدِمَ صِرَارًا أَمَرَ بِبَقَرَةٍ فَذُبِحَتْ فَأَكَلُوا مِنْهَا فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ أَمَرَنِي أَنْ آتِيَ الْمَسْجِدَ فَأُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَوَزَنَ لِي ثَمَنَ الْبَعِيرِ

Telah bercerita kepadaku Muhammad; Telah mengabarkan kepada kami Wakii', dari Syu'bah, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Jaabir bin 'Abdullah radhiallahu 'anhuma :

"Bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau menyembelih seekor hewan sembelihan atau seekor sapi."

Mu'aadz menambahkan dari Syu'bah, dari Muhaarib bahwa dia mendengar Jaabir bin 'Abdullah berkata :

"Nabi shallallahu'alaihi wasallam membeli seekor unta dariku seharga dua waq dan satu dirham atau seharga dua dirham. Ketika tiba di Shirar (nama sebuah lokasi, tiga km arah Timur Madinah) Beliau memerintahkan agar sapi disembelih, lalu mereka pun menikmatinya. Ketika sudah tiba di Madinah, Beliau memerintahkanku agar masuk ke dalam masjid, maka aku shalat dua raka'at lalu Beliau mengembalikan uang penjualan unta kepadaku".

(HR. Bukhari no. 3089)

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah

Pertanyaan :

جرت العادة عندنا أنّ الحاجَّ إذا أراد الذهاب إلى الحجِّ صنع طعامًا ودعا الأقارب والأحباب والجيران إليه، ويفعل الشيء نفسه عند عودته، وتسمّى هذه الدعوة عندنا بقولهم: «عشاء الحاجّ»، فنرجو منكم بيانَ حكم صنع هذا الطعام، وبارك الله فيكم

Sudah menjadi kebiasaan, jika seorang ingin pergi haji ia mengadakan acara makan-makan yang mengundang kerabat, teman, serta tetangga. Ia juga mengadakan acara yang sama ketika pulang dari haji. Acara ini oleh masyarakat kami biasa disebut ‘asyaa-ul hajj. Kami mohon penjelasan dari anda tentang hukum mengadakan acara ini.

Jawaban :

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:

Segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga kepada keluarganya, sahabatnya serta saudaranya seiman hingga hari kiamat. Amma ba’du.

فالطعامُ المعدُّ عند قدومِ المسافر يقال له «النقيعة»، وهو مُشتقٌّ من النَّقْعِ -وهو الغبار- لأنّ المسافر يأتي وعليه غبارُ السفر، وقد صحَّ عن النبيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسَلَّم: «أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً»(١)، والحديثُ يدلّ على مشروعية الدعوة عند القدوم من السفر(٢)، وقد بوّب له البخاري: «باب الطعام عند القدوم، وكان ابنُ عمرَ رضي الله عنهما يُفطِر لمن يغشاه»(٣)، أي: يغشونه للسلام عليه والتهنئة بالقدوم، قال ابن بطال في الحديث السابق: «فيه إطعام الإمام والرئيس أصحابَه عند القدوم من السفر، وهو مستحبٌّ عند السلف، ويسمَّى النقيعة، ونقل عن المهلب أن ابن عمر رضي الله عنهما كان إذا قدم من سفر أطعم من يأتيه ويفطر معهم، ويترك قضاء رمضان لأنه كان لا يصوم في السفر فإذا انتهى الطعام ابتدأ قضاء رمضان».

Acara makan-makan ketika datangnya orang yang safar disebut An Naqi’ah. Istilah An Naqi’ah dari kata dasar An Naq’u yang artinya debu. Karena orang yang safar biasanya terkena debu di perjalanan. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallalahu’alaihi wasallam :

أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً

“Ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam datang ke Madinah, beliau menyembelih unta atau sapi betina.” 

Hadits ini juga menunjukkan bahwa mengundang orang untuk mendatangi An Naqi’ah itu disyariatkan. 

(Lihat Aunul Ma’bud, 10/211)

Imam Al Bukhari membuat judul “Bab jamuan ketika ada musafir yang datang, Ibnu 'Umar radhiallahu’anhuma biasa menjamu makan orang yang datang kepadanya.” 

(Fathul Baari, 6/194)

Maksudnya, orang-orang yang mendatangi Ibnu 'Umar untuk memberi salam dan menyambut kedatangannya. 

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan hadits di atas : 

“Hadits ini dalil disyariatkannya seorang imam atau pemimpin memberi jamuan makan bagi kaumnya ketika datang dari safar. Hukumnya mustahab menurut para salaf. Acara ini disebut An Naqi’ah. Dinukil riwayat dari Muhallab bahwa Ibnu 'Umar radhiallahu’anhuma jika beliau datang dari safar, ia menjamu makan orang yang mendatanginya lalu makan bersama mereka. Walaupun beliau memiliki utang puasa Ramadhan karena baru saja safar, beliau tidak mulai membayar utang puasa tersebut hingga jamuan makan selesai”.

هذا، ومذهبُ جمهورِ الصحابة والتابعين وجوبُ الإجابة إلى سائرِ الولائم، وهي على ما ذكره القاضي عياض والنووي ثمان(٤) منها: «النقيعة»، مع اختلافهم هل الطعام يصنعه المسافرُ أم يصنعه غيرُه له؟ ومن النصِّ السابقِ والأثرِ يظهر ترجيحُ القولِ الأَوَّل.

Demikianlah hukumnya. Lalu, madzhab jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat wajibnya memenuhi undangan untuk semua jenis jamuan makan. Al Qadhi ‘Iyadh dan An Nawawi menyebutkan ada 8 jamuan yang wajib didatangi, salah satunya An Naqi’ah. 

(Lihat Syarah Muslim, 9/171; Tuhfatul Maudud, 127; Nailul Authar, 6/238)

Namun memang para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang membuat hidangannya, apakah si musafir ataukah orang yang menyambut dia? Namun berdasarkan nash hadits di atas dan berdasarkan atsar, nampaknya pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.

أمَّا إعدادُ الطعام قبل السفر فلا يُعلم دخوله تحت تَعداد الولائم المشروعة؛ لأنها وليمة ارتبطت بالحجّ وأضيفت إليه، و«كُلُّ مَا أُضِيفَ إِلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ يُصَحِّحُهُ».

"Adapun mengenai jamuan makan sebelum berangkat haji, aku tidak mengetahui bahwa ini adalah jamuan yang disyariatkan. Karena hal ini dikait-kaitkan dengan haji dan kaidah mengatakan “segala sesuatu yang dikaitkan dengan sebuah hukum syar’i, butuh dalil untuk membenarkannya“.

(http://www.ferkous.com/rep/Bh27.php)

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan :

ظاهرة تنتشر في القرى خاصة بعد عودة الحجاج من مكة يعملون ولائم يسمونها ” ذبيحة للحجاج ” أو ” فرحة بالحجاج ” أو ” سلامة الحجاج ” ، وقد تكون هذه اللحوم من لحوم الأضاحي ، أو لحوم ذبائح جديدة ، ويصاحبها نوع من التبذير ، فما رأي فضيلتكم من الناحية الشرعية ، ومن الناحية الاجتماعية

Suatu hal yang sedang marak dilakukan oleh orang-orang, khususnya orang desa, ketika mereka kembali dari ibadah haji di Mekkah, mereka mengadakan jamuan makan yang dinamakan Dzabihah Lil Hujjaj atau Farhah Bil Hujjaj atau Salamatul Hujjaj. Terkadang makanannya adalah daging sembelihan biasa, terkadang daging sembelihan model baru. Dan biasanya dalam acara ini banyak pemborosan. Bagaimana pandangan anda wahai Syaikh, baik dari segi syar’i maupun dari segi sosial?

Jawaban : 

هذا لا بأس به ، لا بأس بإكرام الحجاج عند قدومهم ؛ لأن هذا يدل على الاحتفاء بهم ، ويشجعهم أيضاً على الحج ، لكن التبذير الذي أشرت إليه والإسراف هو الذي ينهى عنه ؛ لأن الإسراف منهي عنه ، سواء بهذه المناسبة ، أو غيرها ، قال الله تبارك وتعالى : ( وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ) الأنعام/141 ، وقال تعالى : ( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ) الإسراء/27 ، لكن إذا كانت وليمة مناسبة ، على قدر الحاضرين ، أو تزيد قليلاً : فهذا لا بأس به من الناحية الشرعية ،

Tidak mengapa mengadakannya. Boleh melakukannya dalam rangka memuliakan para jama’ah haji ketika mereka datang, karena acara ini merupakan bentuk penyambutan bagi mereka. Selain itu dapat memacu orang untuk berhaji. Namun pemborosan, sebagaimana yang engkau ceritakan, inilah yang terlarang. Karena pemborosan itu dilarang agama, baik dalam acara seperti ini maupun dalam acara lain. Allah Ta’ala berfirman :

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Jangan kalian berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am : 141)

Allah Ta’ala juga berfirman :

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Sesungguhnya para pemboros itu saudaranya para setan.” (QS. Al Isra : 27)

Bila jamuan makan ini hanya mengundang orang secukupnya atau lebih banyak sedikit, maka ini tidak mengapa (bukan pemborosan, pent.) dari segi syari’at.

ومن الناحية الاجتماعية ، وهذا لعله يكون في القرى ، أما في المدن فهو مفقود ، ونرى كثيراً من الناس يأتون من الحج ولا يقام لهم ولائم ، لكن في القرى الصغيرة هذه قد توجد ، ولا بأس به ، وأهل القرى عندهم كرم ، ولا يحب أحدهم أن يُقَصِّر على الآخر

Adapun dari segi sosial, sepertinya acara ini hanya ada di pedesaan saja, di perkotaan nampaknya sudah tidak ada lagi. Saya sudah sering melihat banyak orang datang dari haji namun mereka tidak mengadakan apa-apa. Namun di daerah pedesaan kecil memang terkadang masih kita jumpai, dan ini boleh-boleh saja. Orang desa pun memiliki keutamaan, dan tidak boleh meremehkan satu dengan yang lain.

(Liqaa Baabil Maftuh, kaset 154 pertanyaan no.12, dikutip dari http://www.islamqa.com/ar/ref/97879)

Allahu a’lam



Keutamaan Berdzikir Ketika Terbangun di Malam Hari

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ هُوَ ابْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ قَالَ حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ حَدَّثَنِي عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَارَّ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي أَوْ دَعَا اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلَاتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al Fadhal; Telah mengabarkan kepada kami Al Waliid, dia adalah anak dari Muslim; Telah menceritakan kepada kami Al Auzaa'iy berkata; Telah menceritakan kepada saya 'Umair bin Haanii' berkata; Telah menceritakan kepada saya Junaadah bin Abu Umayyah; Telah menceritakan kepada saya 'Ubaadah bin Ash-Shaamit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Siapa yang bangun di malam hari lalu membaca,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir. Alhamdulillahi wa subhaanallah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar wa laa haula wa laa quwwata illa billah

Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagiNya. Dialah yang memiliki kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah dan Maha Suci Allah dan tidak ada ilah kecuali Allah dan Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Dia

Kemudian dilanjutkan dengan membaca Allahummaghfirlii (Ya Allah ampunilah aku) atau berdo'a, maka akan dikabulkan baginya. Jika dia berwudhu' lalu shalat maka shalatnya diterima".

(Shahih Bukhari no. 1154)

Mayoritas (ahli ilmu) berpendapat bahwa التَّعَارّ (at-ta’aarra) bermakna  الْيَقَظَة مَعَ صَوْت (bangun tidur sambil bicara).

(Fathul Bari li Ibnu Hajar, 4/146)

Imam Ibnu At-Tin rahimahullah berkata :

“Teks hadits menunjukkan bahwa makna تَعَارّ (ta’arra) adalah اِسْتَيْقَظَ (bangun tidur) karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang terbangun dari tidur kemudian mengucapkan….‘ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan ‘ucapan’ dengan kondisi ‘bangun tidur’.

Hadits tersebut mengandung makna bahwa huruf fa’ (ف ) berfungsi menafsirkan suara yang  dikeluarkan oleh orang yang bangun tidur, karena terkadang orang bangun tidur sambil bicara namun tak berdzikir. Oleh sebab itu, keutamaan yang disebutkan dalam hadits tersebut hanya diperuntukkan bagi orang yang (terbangun tengah malam dari tidurnya) kemudian dia bersuara dalam bentuk berdzikir kepada Allah Ta’ala. Inilah rahasia pemilihan lafal “ta’aarra” ( تَعَارَّ ), bukan “istaiqazha” (اِسْتَيْقَظَ ) atau “intabaha” (اِنْتَبَهَ ) terbangun. Keutamaan tersebut terkumpul pada diri seseorang yang terbiasa berdzikir dan dia memang suka berdzikir. Saking terbiasanya berdzikir, dzikir itu “menguasai” dirinya, sampai-sampai dengan sendirinya dzikir tersebut terngiang dalam tidurnya kemudian dia terbangun sejenak (lalu mengucapkan dzikir tersebut dengan lisannya). Sifat ini membuat si pemilik termuliakan dengan dikabulkan doanya dan diterima shalatnya."

Baarakallahu fiiykum



RAHASIAKANLAH Rencana Anda

Saya mau bisnis anu

Saya mau belajar di ma’had anu

Saya mau pindah ke kota anu

Saya mau menikah dengan fulan/fulanah

Saya mau begini dan begitu

Diceritakan ke semua orang, diposting di media sosial. Keburu Semua orang tahu. Padahal tidak perlu.

Kita terlalu banyak bicara daripada bekerja. Kita terlalu banyak wacana daripada merencana.

Keburu ribut dulu padahal urusan belum tentu.

Lebih baik rahasiakanlah rencana anda. Agar anda sukses dalam menggapainya.

Hadits dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِسْتَعِينُوا عَلَى إِنْجَاحِ الحَوَائِجِ بِالكِتْمَان فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُود

"Gunakan cara rahasia ketika ingin mewujudkan rencana. Karena setiap pemilik nikmat, ada peluang hasadnya."

(HR. Thabrani dalam Al-Ausath no. 2455 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)

Jangan heran bila kita merasakan susah dalam menggapai kesuksesannya. Atau bahkan mungkin mendapati kegagalannya.

Lebih baik orang tiba-tiba tau sudah sukses bisnis

Tiba tiba orang tau sudah masuk ma’had

Tiba-tiba orang tau sudah sebar undangan nikah

Tiba-tiba orang tau sudah begini dan begitu.

Daripada urusan tidak jadi dan kita menjadi malu sendiri.

Bukan berarti tidak bermusyawarah dengan orang yang berilmu dan dipercaya atau bersama tim yang akan mengawal kesuksesan kita.

Semoga bermanfaat.

والله أعلم



LARANGAN MEMUJI SESEORANG DI HADAPANNYA SECARA BERLEBIHAN

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ وَيُطْرِيهِ فِي مَدْحِهِ فَقَالَ أَهْلَكْتُمْ أَوْ قَطَعْتُمْ ظَهَرَ الرَّجُلِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabbaah; Telah menceritakan kepada kami Ismaa'iil bin Zakariyyaa'; Telah menceritakan kepada kami Buraid bin 'Abdullah, dari Abu Burdah, dari Abu Muusa radhiallahu 'anhu berkata : 

“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah mendengar seorang lelaki sedang menyanjung lelaki lainnya dan melampaui batas dalam memujinya, lalu beliau bersabda :

“Kalian telah menghancurkan atau mematahkan punggung orang tersebut.”

(HR. Bukhari no. 2663)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

أَثْنَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ مِرَارًا ثُمَّ قَالَ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ لَا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلَانًا وَاللَّهُ حَسِيبُهُ وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salaam; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdul Wahhaab; Telah menceritakan kepada kami Khaalid Al Khadzdzaa', dari 'Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari Bapaknya berkata : 

"Ada seseorang menyanjung orang lain di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka Beliau berkata: "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher sahabatmu". Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali, kemudian Beliau bersabda : 

"Jika seorang dari kalian mau tidak mau harus memuji, maka sebaiknya dia berkata, ‘Saya kira begini dan begini.’ Jika terlihat bahwasanya dia demikian, cukuplah Allah yang menghisabnya, dan tidaklah dia mengakui seseorang suci di hadapan Allah’.”

(HR. Bukhari no. 2662)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu'bah, dari Sa'd bin Ibraahiim bin 'Abdurrahman bin 'Auf, dari Ma'bad bin Al Juhaniy, dari Mu'aawiyah dia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Jauhilah oleh kalian saling memuji, sesungguhnya itu adalah sembelihan."

(HR. Ibnu Majah no. 3743)

Allahul musta'an



Menyentuh Kotoran (Najis) Tidak Membatalkan Wudhu

حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنِي شَرِيكٌ وَجَرِيرٌ وَابْنُ إِدْرِيسَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ

كُنَّا لَا نَتَوَضَّأُ مِنْ مَوْطِئٍ وَلَا نَكُفُّ شَعْرًا وَلَا ثَوْبًا

Telah menceritakan kepada kami Hannaad bin As-Sariy dan Ibraahiim bin Abu Mu'aawiyah, dari Abu Mu'aawiyah. Dan telah menceritakan kepada kami 'Utsmaan bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada saya Syariik dan Jariir dan Ibnu Idriis, dari Al A'masy, dari Syaqiiq dia berkata; 'Abdullah bin Mas'ud berkata :

"Kami tidak berwudhu kembali ketika kaki menginjak (kotoran) dan kami juga tidak menyela rambut atau baju kami (dibiarkan ketika sujud)."

(HR. Abu Dawud no. 204)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

أُمِرْنَا أَلَّا نَكُفَّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا وَلَا نَتَوَضَّأَ مِنْ مَوْطَإٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Numair berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Idriis, dari Al A'masy, dari Abu Waa`il, dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata :

"Kami diperintah untuk tidak menahan rambut dan kain saat sujud. Dan kami tidak diperintahkan untuk mengulang wudhu apabila menginjak kotoran."

(HR. Ibnu Majah no. 1041)

Menyentuh najis bukan termasuk pembatal wudhu. Karena yang menjadi pembatal wudhu adalah hadats, bukan menyentuh najis.

Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan :

لا ينتقض الوضوء بغسل النجاسة على بدن المتوضئ أو غيره

“Wudhu tidak batal disebabkan mencuci najis, baik yang berada di badan orang yang wudhu maupun orang lain.” 

(Majalah Buhuts Islamiyah, volume 22, hal. 62)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menjelaskan yang sama :

“أما مس الدم أو البول أو غيرهما من النجاسات فلا ينقض الوضوء ، ولكن يغسل ما أصابه

"Menyentuh darah, atau air kencing atau benda najis lainnya, tidak membatalkan wudhu. Hanya saja, dia harus mencuci bagian yang terkena najis."

(Fatawa Ibnu Baz, 10/141)

Allahu a'lam

Hadits Dhaif Tentang Hewan Kurban Menjadi Tunggangan Melewati Shirath

ثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ الْمَرْزُبَانُ بِقَزْوِينَ ، ثَنَا أَحْمَد بْنُ الْخَضِرِ الْمَرْزِيُّ ، ثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ إبراهيم الْبُوشَنْجِيُّ ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ ، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ ، ثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْيدِ اللَّهِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ

Telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad 'Abdullah Al Marzubaan di Qazwin; Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Al Hadr Al Marziy; Telah menceritakan kepadaku 'Abdul Hamiid bin Ibraahiim Al Busyanjiy; Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Bakr; Telah menceritakan kepadaku 'Abdullah bin Al Mubaarak; Telah menceritakan kepadaku Yahya bin ‘Ubaidillah, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

"Perbaguslah hewan kurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath.”

(Diriwayatkan oleh 'Abdul Karim Ar Rafi’i Asy Syafi’i dalam kitab At Tadwin fii Akhbari Qazwiin no. 1134) 

Diriwayatkan juga oleh Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus no. 268.

Derajat Hadits :

Riwayat ini sangat lemah, karena adanya beberapa perawi yang lemah :

1. 'Abdul Hamiid bin Ibraahiim Al Busyanjiy. 

Dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim: “ia tidak kuat hafalannya dan tidak memiliki kitab”. An Nasa’i mengatakan: “ia tidak tsiqah”. Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan: “ia shaduq, namun kitab-kitabnya hilang sehingga hafalannya menjadi buruk”. 

Maka 'Abdul Hamiid bin Ibraahiim bisa diambil periwayatannya jika ada mutaba’ah.

2. Yahya bin ‘Ubaidillah Al Qurasyi. 

Dikatakan oleh Imam Ahmad: “munkarul hadits, ia tidak tsiqah”. An Nasa’i berkata: “matrukul hadits”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “dha’iful hadits, munkarul hadits, jangan menyibukkan diri dengannya”. Ibnu Hajar mengatakan: “Yahya sangat lemah”. Adz Dzahabi berkata: “para ulama menganggapnya lemah”. 

Sehingga Yahya bin ‘Ubaidillah ini sangat lemah atau bahkan matruk.

3. ‘Ubaidillah bin 'Abdillah At Taimi. 

Abu Hatim berkata: “ia shalih”. Al Hakim mengatakan: “shaduq”. Imam Ahmad mengatakan: “ia tidak dikenal, dan memiliki banyak hadits munkar”. Asy Syafi’i berkata: “kami tidak mengenalnya”. Ibnu ‘Adi berkata: “hasanul hadits, haditsnya ditulis”. Ibnu Hajar berkata: “maqbul“, dan ini yang tepat in syaa Allah. 

Maka ‘Ubaidillah ini hasan hadits-nya jika ada mutaba’ah.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama seperti Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Talkhis Al Habir (2364), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (114), Al Munawi dalam Faidhul Qadir (1/496), As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir (992), Az Zarqani dalam Mukhtashar Al Maqashidil Hasanah (96), Al Ajluni dalam Kasyful Khafa (1/133), Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah (74), serta para ulama yang lain.

Memang terdapat lafazh lain :

عظِّموا ضحاياكم ، فإنها على الصراطِ مطاياكم

“Perbesarlah hewan kurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath.”

Namun Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani setelah membawakan hadits ini beliau berkata :

لَمْ أَرَهُ، وَسَبَقَهُ إلَيْهِ فِي الْوَسِيطِ، وَسَبَقَهُمَا فِي النِّهَايَةِ، وَقَالَ مَعْنَاهُ: إنَّهَا تَكُونُ مَرَاكِبَ الْمُضَحِّينَ، وَقِيلَ: إنَّهَا تُسَهِّلُ الْجَوَازَ عَلَى الصِّرَاطِ، قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: هَذَا الْحَدِيثُ غَيْرُ مَعْرُوفٍ وَلَا ثَابِتٌ فِيمَا عَلِمْنَاهُ

“Aku tidak pernah melihat (sanad) nya. Hadits ini ada di Al Wasith (karya Al Ghazali) dan kedua hadits tersebut ada di An Nihayah (karya Al Juwaini). Mereka mengatakan tentang maknanya: ‘bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan bagi orang yang berkurban‘. Juga ada yang mengatakan maknanya, ia akan memudahkan orang yang berkurban untuk melewati shirath. Ibnu Shalah berkata: ‘hadits ini tidak dikenal, dan sepengetahuan saya tidaklah shahih.'” 

(Talkhis Al Habir, 2364)

Imam Ibnu Mulaqqin rahimahullah berkata :

لا يحضرني من خرجه بعد البحث الشديد عنه

“Tidak aku dapatkan siapa yang mengeluarkan hadits ini walaupun sudah aku cari dengan sangat gigih.” 

(Badrul Munir, 9/273)

Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan :

“Tidak ada asal-usulnya dengan lafazh ini.” 

(Silsilah Adh Dha’ifah, no. 74)

Kesimpulan

Hadits yang menyatakan bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan melewati shirath tidak shahih, bahkan sangat lemah. Ibnul ‘Arabi dalam Syarah Sunan At Tirmidzi mengatakan :

ليس في الأضحية حديث صحيح

“Tidak ada hadits yang shahih mengenai keutamaan hewan kurban.” 

(Kasyful Khafa, 1/133)

Maka keyakinan tersebut tidaklah didasari landasan yang shahih sehingga tidaklah dibenarkan.

Wallahu ta’ala a’lam

Ketika Mendapati Imam Tasyahud Akhir

Sebagian orang ketika terlambat datang ke masjid, mendapati imam sudah dalam posisi akhir shalat, misalnya duduk tahiyyat akhir. Maka timbullah pertanyaan, apakah sebaiknya ia langsung bergabung dalam jama’ah walau hanya sesaat ataukah membuat jama’ah baru ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama

Bahwa yang afdhal adalah menunggu sampai imam selesai salam, lalu berjama’ah dengan orang lain yang juga terlambat shalat (membuat jama’ah baru).

Dalil pendapat ini, antara lain :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf berkata; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat, maka ia telah mendapatkan shalat (berjama’ah).”

(HR. Al-Bukhari no. 580)

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَعَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ وَعَنْ الْأَعْرَجِ يُحَدِّثُونَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ مِنْ الْعَصْرِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ

وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَبِهِ يَقُولُ أَصْحَابُنَا وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَهُمْ لِصَاحِبِ الْعُذْرِ مِثْلُ الرَّجُلِ الَّذِي يَنَامُ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ يَنْسَاهَا فَيَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَعِنْدَ غُرُوبِهَا

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Muusa Al Anshaariy berkata; Telah menceritakan kepada kami Ma'n berkata; Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Anas, dari Zaid bin Aslam, dari 'Athaa` bin Yasaar, dan dari Busr bin Sa'iid, dan dari Al A'raj mereka menceritakannya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat subuh sebelum terbitnya matahari maka ia telah mendapatkannya. Dan barangsiapa mendapatkan saru rakaat shalat ashar sebelum terbenamnya matahari maka ia telah mendapatkannya." 

Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari 'Aisyah." Abu 'Iisa berkata; "Hadits Abu Hurairah derajatnya hasan shahih. Pendapat inilah yang diambil oleh para sahabat kami, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Menurut mereka, hadits ini berlaku bagi seseorang yang udzur, seperti seorang laki-laki yang ketinggalan shalat karena tidur atau lupa, lalu ia bangun atau teringat ketika matahari terbit atau terbenam."

(HR. At-Tirmidzi no. 186)

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka makmum masbuq yang mendapati imam dalam posisi akhir shalat tidak perlu bergabung dengan jama’ah, karena kurang dari satu raka’at. Hendaknya ia membuat jama’ah baru supaya ia mendapatkan pahala jama’ah (25-27 kali lipat).

Pendapat Kedua

Bahwa yang afdhal adalah langsung masuk dan ikut bersama jama’ah yang ada walau hanya sesaat, seperti duduk tahiyyat akhir.

Dalil pendapat ini, antara lain :

أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا

Telah mengabarkan kepada kami Ibraahiim bin Muhammad dan Muhammad bin Al Mutsanna lafazh ini miliknya, keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya 'Abdullah bin Sa'iid dia berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman Al A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

“Barangsiapa mendapatkan satu sujud shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh (berjama’ah).”

(HR. An-Nasa'i no. 550)

Sekalipun hanya sekadar bagian akhir shalat, jika itu bersama imam maka itu termasuk shalat berjama’ah.

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدٍ وَأَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b, Az Zuhriy berkata dari Sa'iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. (dalam jalur lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Abu Al Yamaan berkata; Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib, dari Az Zuhriy berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

“Jika shalat telah didirikan (terdengar iqamat), maka janganlah mendatanginya dengan berlari+ (tergesa-gesa). Dan datangilah shalat itu dengan berjalan tenang. Apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah sepertinya, dan apa yang terlewatkan darimu maka sempurnakanlah.” 

(HR. Al-Bukhari no. 908)

Perkataan Nabi فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا (apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah sepertinya) menunjukkan adanya perintah bagi orang yang terlambat berjama’ah untuk mengikuti imam, dalam kondisi apapun imamnya.

Hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu :

سَأَلْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم أَىُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا.

“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.”

(HR. Al-Bukhari no. 527)

Perkataan Nabi الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا (shalat pada waktunya) lebih utama daripada yang selainnya. Di antara bentuk shalat pada waktunya adalah shalat bersama jama’ah pertama. Karenanya, jama’ah pertama lebih utama daripada jama’ah yang berikutnya.

أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ أَنَّهُ أَخْبَرَهُمْ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ شُعْبَةُ وَقَالَ أَبُو إِسْحَقَ وَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنْهُ وَمِنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا صَلَاةَ الصُّبْحِ فَقَالَ أَشَهِدَ فُلَانٌ الصَّلَاةَ قَالُوا لَا قَالَ فَفُلَانٌ قَالُوا لَا قَالَ إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ أَثْقَلِ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَالصَّفُّ الْأَوَّلُ عَلَى مِثْلِ صَفِّ الْمَلَائِكَةِ وَلَوْ تَعْلَمُونَ فَضِيلَتَهُ لَابْتَدَرْتُمُوهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Telah mengabarkan kepada kami Isma'iil bin Mas'ud dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al Haarits, dari Syu'bah, dari Abu Ishaq bahwasanya ia mengabarkan kepada mereka, dari 'Abdullah bin Abu Bashiir, dari Bapaknya, Syu'bah berkata; dan berkata Abu Ishaq dan aku telah mendengarnya darinya, dari Bapaknya, dia berkata; Aku mendengar Ubay bin Ka'b berkata : 

"Suatu hari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam mengerjakan shalat Subuh, lantas beliau bersabda, Apakah kamu melihat Fulan ikut shalat berjamaah? ' Para sahabat menjawab, 'Tidak'. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bertanya lagi, ' Apakah si Fulan (orang lain lagi) ikut shalat berjamaah? ' Sahabat menjawab, Tidak, Beliau shallallahu'alaihi wasallam lalu bersabda: 'Dua shalat ini sangat berat bagi orang munafiq. Andaikan mereka mengetahui (pahala) nya, mereka pasti mendatanginya, walau dengan merangkak. Barisan pertama laksana barisan para malaikat, seandainya mereka mengetahui keutamaannya mereka pasti bersegera menuju barisan pertama. 

Shalat seseorang bersama satu orang yang lain lebih baik daripada shalatnya sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama satu orang. Semakin banyak yang shalat bersamanya semakin disukai Allah.”

(HR. An-Nasa'i no. 843)

Perkataan Nabi (وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ) (semakin banyak yang shalat bersamanya semakin disukai Allah) menunjukkan bahwa langsung ikut shalat bersama jama’ah pertama lebih utama daripada membuat jama’ah berikutnya, karena umumnya jama’ah pertama lebih banyak jumlahnya dan itu lebih disukai Allah.

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ طَحْلَاءَ عَنْ مُحْصِنِ بْنِ عَلِيٍّ الْفِهْرِيِّ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ حَضَرَهَا وَلَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibraahiim dia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muhammad, dari Ibnu Thalhaa`, dari Muhshin bin 'Aliy Al Fihriy, dari 'Auf bin Al Haarits, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam beliau bersabda : 

“Barangsiapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” 

(HR. An-Nasa’i no. 855. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 6163)

Orang yang masbuq ketika imam duduk tasyahud, walau dia tidak mendapatkan “status berjamaah” namun pahala orang berjamaah tetap dia dapatkan, in syaa Allah. Lebih hebat lagi, ini juga berlaku bagi orang yang ketinggalan jamaah sama sekali, dia terlambat karena adanya udzur syar’i, sehingga jamaah sudah bubar, akhirnya dia shalat sendiri. Dia pun tetap mendapatkan pahala berjamaah karena dia menginginkan shalat berjamaah, namun dia tidak mendapatkannya karena halangan syar’i, bukan karena sengaja memperlambat dan mengulur-ulur. Misal: sebelum sampai ke masjid kendaraan yang dia pakai bermasalah, atau dia sakit perut lalu buang hajat, dan halangan syar’i lainnya.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dianjurkan untuk langsung masuk mengikuti jama’ah pertama walau hanya sesaat dan ia tetap mendapatkan pahala jama’ah.

Pendapat Ketiga

Sebagian ulama mengemukakan pendapat yang menjamak (mengkompromikan) semua dalil. Kaidah yang dipegang oleh para ulama ketika ada beberapa dalil yang shahih namun seakan bertentangan :

الْجَمْعُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّرْجِيْحِ فَإِعْمَالُ جَمِيْعِ النُّصُوْصِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْأَخْذِ بِبَعْضِهَا وَ تَرْكِ الْبَعْضِ الْآخَرِ

"Menjamak (kompromi) lebih didahulukan daripada mentarjih, karena beramal dengan semua nash lebih dikedepankan daripada mengamalkan sebagiannya dan meninggalkan sebagian yang lain."

Pendapat ketiga ini memberikan rincian :

Jika makmum masbuq masuk masjid bersama orang yang juga terlambat dan mau berjama’ah, atau ia tahu ada orang yang akan datang dan shalat bersamanya, maka ia tidak bergabung bersama jama’ah yang ada, namun shalat bersama orang yang datang bersamanya dalam jama’ah berikutnya.

Jika tidak ada orang yang datang dan shalat bersamanya dan ia yakin bisa mendapati jama’ah di masjid lain, maka sebaiknya ia pindah ke masjid lain.

Jika tidak ada orang yang datang dan shalat bersamanya meskipun pindah masjid, maka hendaknya langsung masuk dan ikut bersama jama’ah yang ada walau hanya sesaat, karena berjama’ah walau sesaat tetap lebih baik daripada shalat sendirian.

Terdapat kaidah yang berbunyi :

مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ

"Apa yang tidak bisa dikerjakan semua, maka jangan ditinggalkan semua."

Jika ia akhirnya shalat sendiri, lalu ia mendengar ada orang datang belakangan dan shalat berjama’ah, maka ia boleh memutus shalatnya lalu bergabung dengan jama’ah tersebut, dalam rangka mendapatkan pahala shalat berjama’ah.

Di antara ulama yang mengemukakan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan para ulama di Lajnah Daimah.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

Soal :

Ada seseorang yang terlambat datang ke masjid dan dia mendapati shalat berjamaah pada posisi tasyahud akhir. Apakah dia ikut saja bergabung dengan jamaah yang ada ataukah dia menunggu jamaah yang akan datang berikutnya? Jika dia telah ikut bergabung dengan jamaah yang ada pada posisi tasyahud akhir, kemudian dia mendengar ada jamaah baru yang akan shalat. Apakah dia memutuskan shalatnya (lalu mengikuti jamaah yang baru) ataukah dia tetap menyempurnakan shalatnya?

Jawab :

"Jika orang ini tahu kalau kemungkinan besar akan ada jamaah lagi setelahnya maka hendaknya dia menunggu agar dia bisa shalat berjamaah dengan jamaah yang baru. Karena pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah seseorang tidak dianggap mendapatkan shalat jamaah kecuali jika dia mendapatkan satu rakaat sempurna bersama jamaah. Adapun jika dia khawatir tidak akan ada lagi orang yang bisa shalat berjamaah bersamanya, maka yang paling utama baginya adalah ikut shalat bersama jamaah yang ada walaupun mereka sudah berada pada posisi tasyahud akhir. Karena mendapati sebagian shalat bersama jamaah itu lebih baik daripada tidak shalat bersama jamaah sama sekali.

Kemudian anggaplah dia sudah terlanjur shalat bersama imam (jamaah yang ada) karena dia tahu tidak ada lagi jamaah setelahnya, tapi ternyata kemudian ada jamaah yang baru dan dia mendengar mereka sedang shalat, maka tidak mengapa dia memutuskan shalatnya bersama jamaah yang ada lalu dia pergi dan shalat bersama jamaah yang baru datang. Atau dia meniatkan shalatnya bersama jamaah yang ada sebagai shalat sunnah, sehingga dia cukup mengerjakan 2 rakaat (lalu salam), kemudian dia menuju ke jamaah yang baru lalu shalat bersama mereka. Tapi jika dia tetap bersama dengan jamaah yang ada pun itu tidak mengapa. Jadi, dia bisa memilih salah satu dari tiga alternatif amalan yang ada."

(Mukhtar min Fatawa Ash-Shalah, hal. 66, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin)

Tambahan Faedah

Ada beberapa poin lain yang perlu ditambahkan dalam masalah ini :

Penulis pernah mendengar Syaikh Shalih Fauzan ketika ditanya ini dalam sesi tanya jawab kajian kitab <كتاب صفة الصلاة من شرح العمدة> tanggal 5 Muharram 1434 mengatakan, boleh memilih, baik bergabung bersama imam yang berada di posisi duduk tahiyyat akhir, maupun menunggu ia salam lalu mendirikan jama’ah kedua, karena masalah ini luas.

Di antara para ulama ada yang mengatakan, jika masjid yang dimasuki makmum masbuq memiliki Imam Rawatib, maka ia shalat sendiri dan dimakruhkan baginya membuat jama’ah kedua.

Adapun jika masjid itu tidak ada Imam Rawatib (seperti masjid di mall atau pasar –pen), maka ia boleh shalat bersama jama’ah kedua (jika ada). 

Allahu a'lam

Minggu, 16 Agustus 2020

Keutamaan Mempunyai Anak Perempuan

Bagian dari tabiat manusia yang rakus dunia, mereka berharap anaknya bisa membantunya untuk mendapatkan harta dunia sebanyak-banyaknya. Karena itulah, umumnya menusia lebih mengharapkan kehadiran anak laki-laki daripada anak perempuan. Disamping biaya nafkah lebih murah, anak laki-laki juga bisa membantu sang ayah mengais rezeki.

Islam mengajak manusia menuju kebahagiaan akhirat, memberikan motivasi sebaliknya. Bahwa anak perempuan selayaknya dimuliakan. Sekalipun nampaknya di dunia tidak bisa membuat kaya orangtuanya, pendidikan yang diberikan orangtua kepada anak perempuan akan menjadi tabungan baginya kelak di hari kiamat.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan keutamaan anak perempuan. Diantaranya :

Pertama, hadits dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha.

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ

دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami Bisyir bin Muhammad berkata; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah; Telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Az Zuhriy berkata; Telah menceritakan kepada saya 'Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, dari 'Urwah, dari 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata :

"Telah datang seorang wanita bersama dua putrinya menemuiku untuk meminta sesuatu namun aku tidak mempunyai apa-apa selain sebutir kurma lalu aku berikan kepadanya. Lalu wanita itu membagi kurma itu menjadi dua bagian yang diberikannya untuk kedua putrinya sedangkan dia tidak memakan sedikitpun. Lalu wanita itu berdiri untuk segera pergi. Saat itulah Nabi shallallahu'alaihi wasallam datang kepadaku, lalu aku kabarkan masalah itu, maka Beliau bersabda : 

"Siapa yang diuji dengan kehadiran anak perempuan, maka anak itu akan menjadi tameng baginya di neraka."

(HR. Bukhari no. 1418)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ عَنْ ابْنِ الْهَادِ أَنَّ زِيَادَ بْنَ أَبِي زِيَادٍ مَوْلَى ابْنِ عَيَّاشٍ حَدَّثَهُ عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ سَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ

جَاءَتْنِي مِسْكِينَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلَاثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَشَقَّتْ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'iid; Telah menceritakan kepada kami Bakr yaitu Ibnu Mudhar, dari Ibnu Al Haad bahwa Ziyaad bin Abu Ziyaad -budak- dari Ibnu 'Ayyaasy; Telah menceritakan kepadanya dari 'Iraak bin Maalik; Aku mendengarnya bercerita kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziiz, dari 'Aisyah dia berkata : 

"Telah datang kepadaku seorang wanita miskin yang membawa dua anak perempuan, lalu saya memberinya makan dengan tiga buah kurma, wanita tersebut memberikan kurmanya satu persatu kepada kedua anaknya, kemudian wanita tersebut mengangkat satu kurma ke mulutnya untuk dia makan. Tapi, kedua anaknya meminta kurma tersebut, akhirnya dia pun memberikan (kurma) yang ingin ia makan kepada anaknya dengan membelahnya menjadi dua. Saya sangat kagum dengan kepribadiannya. Lalu saya menceritakan apa yang diperbuat oleh wanita tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda : 

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya untuk masuk surga atau membebaskannya dari neraka."

(HR. Muslim no. 2630)

Kedua, hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

Telah menceritakan kepadaku 'Amru An Naaqid; Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubair; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdul 'Aziiz, dari 'Ubaidullah bin Abu Bakr, dari Anas bin Maalik dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Siapa yang menanggung nafkah dua anak perempuan sampai baligh, maka pada hari kiamat, antara saya dan dia seperti ini. Beliau menggabungkan jari-jarinya."

(HR. Muslim no. 2631)

حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَوْ غَيْرِهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ ابْنَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَ بَنَاتٍ أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَ أَخَوَاتٍ حَتَّى يَمُتْنَ أَوْ يَمُوتَ عَنْهُنَّ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Telah menceritakan kepada kami Yuunus; Telah menceritakan kepada kami Hammaad yaitu Ibnu Zaid, dari Tsaabit, dari Anas bin Maalik atau yang lainnya berkata; Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda : 

"Barangsiapa yang menafkahi serta mendidik dua atau tiga anak perempuan atau dua saudara perempuan atau tiga hingga mereka menikah atau dia meninggal maka dia bersamaku seperti dua jari ini", dan beliau Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mendemontrasikannya dengan jari telunjuknya dan tengah.

(HR. Ahmad no. 12498)

Ketiga, hadits dari 'Uqbah bin 'Amir radhiyallahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ حَرْمَلَةَ بْنِ عِمْرَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عُشَانَةَ الْمُعَافِرِيَّ قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Hasan Al Mawarziy; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubaarak, dari Harmalah bin 'Imraan dia berkata; Saya mendengar Abu 'Usyaanah Al Mu'aafiriy berkata; Saya mendengar 'Uqbah bin 'Aamir berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu ia dapat bersabar dalam mengurusi mereka, memberinya makan, minum serta pakaian kepada mereka dari hasil usahanya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka di hari Kiamat kelak."

(HR. Ibnu Majah no. 3669)

Apa alasannya sampai syariat Islam lebih perhatian pada pendidikan anak perempuan? Ada beberapa alasan di sini :

1- Karena ada sebagian orang yang kurang suka dengan anak perempuan seperti pada masa Jahiliyyah sebelum Islam. Itulah mengapa sampai disebut dalam hadits yang dikaji ini, anak wanita itu adalah ujian karena umumnya banyak yang tidak suka. Sebagaimana diterangkan pula mengenai keadaan orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. An Nahl : 58)

2- Nafkah yang diberikan pada perempuan lebih banyak.

3- Mendidik anak perempuan lebih susah.

4- Pendidikan yang baik pada anak perempuan akan membuat mereka mewariskan didikan tersebut pada anak-anaknya nanti dan wanita itulah yang bertindak sebagai pendidik di rumah.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita keturunan yang shalih dan shalihah. 

Wallahul musta’an.



HUKUM MEMBUNUH ULAR

Ular adalah binatang malata yang sering ditemukan di hutan, sawah dan kadang di rumah dengan bentuk yang beraneka ragam dan kekhususan tertentu. Ular termasuk hewan yang diperintahkan oleh Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibunuh, seperti dijelaskan dalam hadits-hadits berikut ini :

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا سَالَمْنَاهُنَّ مُنْذُ حَارَبْنَاهُنَّ وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُنَّ خِيفَةً فَلَيْسَ مِنَّا

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isma'iil berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibnu 'Ajlaan, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidaklah kami pernah berdamai dengannya (ular) sejak kami memusuhinya, maka barangsiapa yang membiarkannya lantaran rasa takut, maka ia tidak termasuk golongan kami.” 

[HR. Abu Dawud no. 5248]

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَيَانٍ السُّكَّرِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ يُوسُفَ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ كُلَّهُنَّ فَمَنْ خَافَ ثَأْرَهُنَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Hamiid bin Bayaan As Sukariy, dari Ishaq bin Yuusuf, dari Syariik, dari Abu Ishaq, dari Al Qaasim bin 'Abdurrahman, dari Bapaknya, dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata; Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Bunuhlah semua ular, barangsiapa yang takut pada dendam mereka, maka ia bukan dari golonganku."

[HR. Abu Dawud no. 5249]

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ

يَرْفَعُ الْحَدِيثَ فِيمَا أَرَى إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْحَيَّاتِ مَخَافَةَ طَلَبِهِنَّ فَلَيْسَ مِنَّا مَا سَالَمْنَاهُنَّ مُنْذُ حَارَبْنَاهُنَّ

Telah menceritakan kepada kami 'Utsmaan bin Abu Syaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Numair berkata; Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Muslim ia berkata; Aku mendengar 'Ikrimah memarfu'kan hadits ini kepada Ibnu 'Abbaas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barangsiapa takut membunuh ular karena balas dendamnya, maka ia bukan dari golongan kami. Sungguh, kami tidak pernah berdamai sejak kami memerangi mereka."

[HR. Abu Dawud no. 5250]

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ مُوسَى الطَّحَّانِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا نُرِيدُ أَنْ نَكْنُسَ زَمْزَمَ وَإِنَّ فِيهَا مِنْ هَذِهِ الْجِنَّانِ يَعْنِي الْحَيَّاتِ الصِّغَارَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِهِنَّ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii' berkata; Telah menceritakan kepada kami Marwaan bin Mu'aawiyah, dari Muusa bin Ath Thahhaan ia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Saabith, dari Al 'Abbaas bin Abdul Muththalib, 

"Bahwasanya ia pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Sesungguhnya kami ingin membersihkan air zamzam, tetapi di dalamnya banyak terdapat ular kecil." Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh ular-ular tersebut."

[HR. Abu Dawud no. 5251]

Tidak diragukan lagi ini semua adalah perintah untuk membunuh ular, namun para Ulama membagi ular dalam dua katagori secara tinjauan hukum :

A. Ular yang ada di luar rumah seperti padang pasir, kebun, sawah atau hutan.

B. Ular yang ada di dalam rumah.

BAGAIMANA TINJAUAN FIQIH DALAM MENYIKAPI DUA JENIS ULAR INI ?

A. Ular yang ada di luar rumah.

Para Ulama bersepakat membunuh ular yang hidup di luar rumah adalah disyariatkan secara mutlak. Kesepakatan bolehnya membunuh ular jenis ini disampaikan oleh banyak Ulama, diantaranya :

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :

“Para ulama berkonsensus (berijma’) tentang bolehnya membunuh ular padang pasir, baik yang kecil ataupun yang besar dalam semua jenis ular." 

[At-Tamhîd, 16/27]

Juga ada kesepakatan tentang bolehnya membunuh ular tanpa memberi peringatan terlebih dahulu kepada ular tersebut sebelum membunuhnya atau dengan memberi peringatan terlebih dahulu.

Imam Al-Qirâfi rahimahullah berkata : 

“Adapun ular-ular padang pasir atau wadi (lembah) maka dibunuh tanpa ada perselisihan Ulama dengan tanpa peringatan dahulu, karena tetap berada pada perintah membunuhnya."

[Adz-Dzakhirâh, 13/288]

Sedangkan Imam Ibnu Abi Zaid Al-Qairwani rahimahullah berkata :

“Tidak diperingatkan dulu di padang pasir dan dibunuh semua yang nampak."

[Risâlah, hlm. 168]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan masalah ini :

“Menurut semua pendapat, ular boleh dibunuh di daratan dan padang pasir tanpa diperingatkan dahulu."

[Fathul Bâri, 6/221]

Dasar dari kesepakatan ini adalah :

1. Hadits 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَلْتَمِسَانِ الْبَصَرَ وَيُسْقِطَانِ الْحُبْلَى

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَعَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِي لُبَابَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى بَعْدَ ذَلِكَ عَنْ قَتْلِ جِنَّانِ الْبُيُوتِ وَهِيَ الْعَوَامِرُ وَيُرْوَى عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَيْضًا و قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ إِنَّمَا يُكْرَهُ مِنْ قَتْلِ الْحَيَّاتِ قَتْلُ الْحَيَّةِ الَّتِي تَكُونُ دَقِيقَةً كَأَنَّهَا فِضَّةٌ وَلَا تَلْتَوِي فِي مِشْيَتِهَا

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Ibnu Syihaab, dari Saalim bin 'Abdullah bin 'Umar, dari Bapaknya ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Bunuhlah semua ular; yang berbisa dan yang berekor pendek. Karena keduanya dapat membutakan mata dan menggugurkan kandungan." 

Dalam bab ini ada hadits serupa dari Ibnu Mas'ud, 'Aisyah, Abu Hurairah dan Sahl bin Sa'd. Abu 'Iisa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih. 

Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Umar dari Abu Lubabah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah itu, melarang dari membunuh ular rumah yang berada di dalam rumah." Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu 'Umar, dari Zaid Ibnul Khaththaab." 'Abdullah Ibnul Mubaarak berkata; Dilarangnya membunuh ular itu adalah ular yang mempunyai garis tipis seperti perak dan tidak berkelok saat berjalan.

[HR. Tirmidzi no. 1483]

2. Hadits Abdullah bin Mas’ûd radhiyallahu 'anhu.

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَارٍ إِذْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ وَالْمُرْسَلَاتِ فَإِنَّهُ لَيَتْلُوهَا وَإِنِّي لَأَتَلَقَّاهَا مِنْ فِيهِ وَإِنَّ فَاهُ لَرَطْبٌ بِهَا إِذْ وَثَبَتْ عَلَيْنَا حَيَّةٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْتُلُوهَا فَابْتَدَرْنَاهَا فَذَهَبَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُقِيَتْ شَرَّكُمْ كَمَا وُقِيتُمْ شَرَّهَا

قَالَ عُمَرُ حَفِظْتُهُ مِنْ أَبِي فِي غَارٍ بِمِنًى

Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh bin Ghiyaats; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy; Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim, dari Al Aswad, dari 'Abdullah ia berkata :

"Ketika kami berada di dalam gua bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, turunlah wahyu pada beliau yakni surat Al Mursalaat. Beliau benar-benar membacanya dan kami pun menerimanya langsung dari lisan beliau yang saat itu basah lembab. Dan tiba-tiba seekor ular keluar ke tempat kami, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bunuhlah ular itu!" Maka kami pun segera mengejarnya, namun ular telah lebih dahulu kabur, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ia telah terbebas dari keburukan kalian, sementara kalian pun telah diselamatkan dari keburukannya." 

'Umar berkata; Aku menghafalnya dari Bapakku di dalam gua yang berlokasi di Mina.

[HR. Bukhari no. 4934]

و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا حَفْصٌ يَعْنِي ابْنَ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ مُحْرِمًا بِقَتْلِ حَيَّةٍ بِمِنًى

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Hafsh yaitu Ibnu Ghiyaats; Telah menceritakan kepada kami Al A'masy, dari Ibraahiim dari Al Aswad dari 'Abdillah,

"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyuruh orang yang sedang ihram membunuh seekor ular ketika di Mina." 

[HR. Muslim no. 2235]

Ini menunjukkan pembunuhan ular disyariatkan bagi orang yang sedang berihram sekalipun. Jika demikian keadaannya, maka orang yang sedang tidak berihram lebih disyari’atkan lagi.

B. Ular yang ada di rumah

Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum membunuh ular yang ada di dalam rumah dan ditemukan di dalam rumah. Dalam masalah ini, para Ulama terbagi dalam empat pendapat :

1. Pendapat pertama menyatakan ular dibunuh secara mutlak tanpa diberi peringatan atau tanpa diusir dahulu baik di kota Madinah atau di luarnya. Inilah pendapat sebagian Ulama madzhab Hanafiyah.

Imam Ath-Thahawi rahimahullah menyatakan bahwa diperbolehkan membunuh semua ular, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perjanjian dengan jin untuk tidak masuk rumah umatnya. Apabila masuk tidak boleh menampakkan dirinya. Apabila mereka masuk maka telah melanggar perjanjian sehingga tidak ada lagi masalah. 

[Al-Bahru Ar-Râ’iq karya Ibnu Nujaim, 2/174]

Mereka berargumentasi dengan keumuman hadits membunuh ular yang telah disebutkan di atas, seperti hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma dan Ibnu Mas’ûd radhiyallahu 'anhu. Mereka menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membunuh ular tanpa memerinci ular yang ada di rumah atau di luar rumah.

2. Pendapat kedua menyatakan tidak boleh membunuh ular yang ada di dalam rumah sampai diberi peringatan, baik di rumah-rumah di wilayah kota Madinah atau di luar kota Madinah. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah dan dirajihkan Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah.

Imam Mâlik rahimahullah berkata :

“Lebih aku sukai untuk diperingatkan terlebih dahulu pada ular-ular yang ada di rumah-rumah baik di kota Madinah atau di luar kota Madinah selama tiga hari." 

[At-Tamhîd, 16/263]

Demikian juga Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :

“Yang benar diperingatkan ular-ular yang ada di rumah semuanya."

[At-Tamhîd, 16/263]

3. Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak boleh dibunuh ular dalam rumah yang ada di kota Madinah kecuali setelah diberi peringatan selama tiga hari. Namun ular rumah yang ada di luar kota Madinah boleh dibunuh tanpa peringatan dahulu. Inilah pendapat Imam Nâfi’. Pendapat ini berdalil dengan hadits Abu As-Sâ`ib.

و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ صَيْفِيٍّ وَهُوَ عِنْدَنَا مَوْلَى ابْنِ أَفْلَحَ أَخْبَرَنِي أَبُو السَّائِبِ مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي بَيْتِهِ قَالَ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي فَجَلَسْتُ أَنْتَظِرُهُ حَتَّى يَقْضِيَ صَلَاتَهُ فَسَمِعْتُ تَحْرِيكًا فِي عَرَاجِينَ فِي نَاحِيَةِ الْبَيْتِ فَالْتَفَتُّ فَإِذَا حَيَّةٌ فَوَثَبْتُ لِأَقْتُلَهَا فَأَشَارَ إِلَيَّ أَنْ اجْلِسْ فَجَلَسْتُ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَشَارَ إِلَى بَيْتٍ فِي الدَّارِ فَقَالَ أَتَرَى هَذَا الْبَيْتَ فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ كَانَ فِيهِ فَتًى مِنَّا حَدِيثُ عَهْدٍ بِعُرْسٍ قَالَ فَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْخَنْدَقِ فَكَانَ ذَلِكَ الْفَتَى يَسْتَأْذِنُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَنْصَافِ النَّهَارِ فَيَرْجِعُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَأْذَنَهُ يَوْمًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْ عَلَيْكَ سِلَاحَكَ فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْكَ قُرَيْظَةَ فَأَخَذَ الرَّجُلُ سِلَاحَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَإِذَا امْرَأَتُهُ بَيْنَ الْبَابَيْنِ قَائِمَةً فَأَهْوَى إِلَيْهَا الرُّمْحَ لِيَطْعُنَهَا بِهِ وَأَصَابَتْهُ غَيْرَةٌ فَقَالَتْ لَهُ اكْفُفْ عَلَيْكَ رُمْحَكَ وَادْخُلْ الْبَيْتَ حَتَّى تَنْظُرَ مَا الَّذِي أَخْرَجَنِي فَدَخَلَ فَإِذَا بِحَيَّةٍ عَظِيمَةٍ مُنْطَوِيَةٍ عَلَى الْفِرَاشِ فَأَهْوَى إِلَيْهَا بِالرُّمْحِ فَانْتَظَمَهَا بِهِ ثُمَّ خَرَجَ فَرَكَزَهُ فِي الدَّارِ فَاضْطَرَبَتْ عَلَيْهِ فَمَا يُدْرَى أَيُّهُمَا كَانَ أَسْرَعَ مَوْتًا الْحَيَّةُ أَمْ الْفَتَى قَالَ فَجِئْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ وَقُلْنَا ادْعُ اللَّهَ يُحْيِيهِ لَنَا فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِصَاحِبِكُمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ جِنًّا قَدْ أَسْلَمُوا فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهُمْ شَيْئًا فَآذِنُوهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ بَدَا لَكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فَاقْتُلُوهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thaahir Ahmad bin 'Amru bin Sarh; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Maalik bin Anas, dari Shaifiy yaitu budak dari Ibnu Aflah; Telah mengabarkan kepadaku Abu As Saa`ib -budak- Hisyaam bin Zuhrah,

"Bahwa suatu ketika dia menemui Abu Sa'iid Al Khudriy di rumahnya. Abu As Saa`ib berkata; "Ketika itu saya mendapatkan Abu Sa'iid sedang shalat. Lalu saya menunggunya hingga ia selesai shalat. Tiba-tiba saya mendengar sesuatu yang bergerak di pelepah kurma di sudut rumah, lalu saya pun menoleh kepadanya. Ternyata di sana ada seekor ular, maka saya meloncat dari tempat duduk saya untuk membunuhnya. Namun, tak diduga sebelumnya, Abu Sa'iid Al Khudriy malah memberi isyarat kepada saya agar tetap duduk. Akhirnya saya pun kembali ke tempat duduk saya. 

Selesai shalat, Abu Sa'iid menunjuk sebuah rumah di perkampungan itu seraya berkata; 'Kamu melihat rumah itu hai sahabatku? ' Saya menjawab; 'Ya, saya melihatnya.' Abu Sa'iid melanjutkan ucapannya; 'Di rumah itu dulu ada seorang pemuda yang termasuk keluarga kami dan baru saja melangsungkan pernikahannya (pengantin baru). Dulu kami berangkat menuju medan perang Khandak bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika itu pemuda tersebut meminta izin kepada Rasulullah, pada tengah hari, untuk segera pulang menemui isterinya. Akhirnya Rasulullah memberinya izin seraya berkata kepadanya: 'Bawalah senjatamu, karena aku khawatir orang-orang Bani Quraizhah akan menyerangmu! ' Tak lama kemudian, lelaki itu mengambil senjatanya dan pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia mendapati istrinya sedang berdiri di tengah pintu. Tak ayal lagi, ia pun langsung mengarahkan tombaknya ke arah istrinya (karena rasa cemburu). Namun istrinya malah berkata kepadanya; 'Tahanlah tombakmu dan masuklah ke dalam rumah agar kamu tahu mengapa aku berada di luar! ' Laki-laki itu masuk ke dalam rumah dan ternyata di dalamnya ada seekor ular besar yang sedang melingkar di atas tempat tidur. Tanpa berkata-kata lagi, langsung ia tikam ular tersebut dengan tombak yang dipegangnya. Setelah itu ia keluar seraya menancapkan tombaknya di depan rumah. Tiba-tiba ular tersebut menghantamnya. Tidak dapat diketahui dengan pasti, siapakah yang mati terlebih dahulu, ular atau pemuda itu? ' 

Abu Sa'iid Al Khudriy berkata; 'Akhirnya kami mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada beliau. Lalu kami berkata; "Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar dia dapat hidup! ' Rasulullah pun menjawab: 'Sesungguhnya di kota Madinah ini ada sekelompok jin yang telah masuk Islam. Apabila kamu melihat sesuatu yang aneh dari mereka, maka berilah izin kepada mereka untuk menetap di rumah selama tiga hari. Tetapi, jika setelah tiga hari tidak mau pergi juga, maka bunuhlah ia! Karena ia itu adalah setan! ' 

[HR. Muslim no. 2236]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab memberi peringatan dahulu dengan sabda beliau: ‘Sesungguhnya sebagian dari golongan jin telah masuk Islam di Madinah’ sehingga ada pengkhususan kota Madinah dalam pensyariatan memberi peringatan sebelum membunuh ular yang ada dirumah.

Alasan ini lemah karena yang menjadi sebab adalah adanya keislaman segolongan jin, bukan karena kota Madinahnya. Pengertian ini dikuatkan dengan hadits Abu Lubabah radhiyallahu 'anhu.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يُسْقِطَانِ الْحَبَلَ وَيَطْمِسَانِ الْبَصَرَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَرَآنِي أَبُو لُبَابَةَ أَوْ زَيْدُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَنَا أُطَارِدُ حَيَّةً لِأَقْتُلَهَا فَنَهَانِي فَقُلْتُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَ بِقَتْلِهِنَّ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ نَهَى بَعْدَ ذَلِكَ عَنْ قَتْلِ ذَوَاتِ الْبُيُوتِ

قَالَ الزُّهْرِيُّ وَهِيَ الْعَوَامِرُ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq; Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az Zuhriy, dari Saalim, dari Ibnu 'Umar berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda : 

"Bunuhlah ular-ular dan bunuhlah Dziththuf-yatain (ular yang pada punggungnya ada dua garis putih) dan Al Abtar (ular yang ekornya pendek), karena keduanya akan menggugurkan kandungan dan mengaburkan penglihatan." 

Ibnu 'Umar berkata; Abu Lubaabah atau Zaid bin Al Khaththab melihatku ketika saya sedang mengejar ular untuk saya bunuh, lalu dia melarangku. Lalu saya berkata; Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam telah menyuruh untuk membunuhnya.' (Abu Lubaabah bin 'Abdul Mundzir radhiyallahu'anhu) berkata; 'Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam sungguh telah melarang membunuhnya.' Maka dia menjawab 'Setelah itu beliau melarang membunuh ular yang berada di rumah.' Az Zuhriy berkata; itu adalah ular yang hanya tinggal di rumah dan biasanya dari jin.

[HR. Ahmad no. 15188]

4. Pendapat keempat menyatakan tidak boleh membunuh seekorpun ular di dalam rumah baik di kota Madinah ataupun di luar kota Madinah kecuali ular yang berbisa ada dua garis hitam atau garis putih di punggungnya dan yang pendek ekornya, maka dibunuh kedua-duanya secara bebas. Inilah pendapat 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhu. Dasar pendapat ini adalah hadits Abu Lubabah.

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ أَبِي لُبَابَةَ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْجِنَّانِ الَّتِي تَكُونُ فِي الْبُيُوتِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَخْطِفَانِ الْبَصَرَ وَيَطْرَحَانِ مَا فِي بُطُونِ النِّسَاءِ

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ وَجَدَ بَعْدَ ذَلِكَ يَعْنِي بَعْد مَا حَدَّثَهُ أَبُو لُبَابَةَ حَيَّةً فِي دَارِهِ فَأَمَرَ بِهَا فَأُخْرِجَتْ يَعْنِي إِلَى الْبَقِيعِ حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ وَأَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الْهَمْدَانِيُّ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَسُامَةُ عَنْ نَافِعٍ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ نَافِعٌ ثُمَّ رَأَيْتُهَا بَعْدُ فِي بَيْتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabiy, dari Maalik, dari Naafi', dari Abu Lubaabah berkata :

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang membunuh ular kecil yang ada dalam rumah, kecuali ular yang berbisa dan ular berekor pendek. Karena keduanya dapat menghilangkan penglihatan dan menggugurkan apa yang ada dalam perut wanita." 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Naafi' berkata :

"Ibnu 'Umar pernah mendapati ular di dalam rumahnya setelah ia mendengar hadits dari Abu Lubaabah. Lalu ia memerintahkan ular tersebut untuk diusir keluar, maka ular itu pun dibuang ke Baqi'." 

Telah menceritakan kepada kami Ibnu As Sarh dan Ahmad bin Sa'iid Al Hamdani keduanya berkata; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Usaamah, dari Naafi' tentang hadits ini. Naafi' berkata; "Setelah itu aku melihat (ular) di dalam rumah miliknya."

[HR. Abu Dawud no. 5253-5255]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّه سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَبَيْنَا أَنَا أُطَارِدُ حَيَّةً لِأَقْتُلَهَا فَنَادَانِي أَبُو لُبَابَةَ لَا تَقْتُلْهَا فَقُلْتُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَ بِقَتْلِ الْحَيَّاتِ قَالَ إِنَّهُ نَهَى بَعْدَ ذَلِكَ عَنْ ذَوَاتِ الْبُيُوتِ وَهِيَ الْعَوَامِرُ

Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Muhammad; Telah bercerita kepada kami Hisyaam bin Yuusuf; Telah bercerita kepada kami Ma'mar, dari Az Zuhriy, dari Saalim, dari Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang menyampaikan khuthbah di atas mimbar bersabda : 

"Bunuhlah ular-ular dan (terutama) bunuhlah ular belang (bergaris putih pada punggungnya) dan ular yang ekornya pendek (putus) karena kedua jenis ular ini dapat merabunkan pandangan dan menyebabkan keguguran (janin) ". 

'Abdullah bin Umar berkata; "Ketika aku mencari ular untuk membunuhnya, Abu Lubaabah memanggilku; dan berkata; "Jangan kamu bunuh". Aku (Ibnu 'Umar) katakan; "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan untuk membunuh ular-ular". Dia (Abu Lubaabah) berkata; " Beliau setelah itu melarang membunuh ular-ular yang tinggal di rumah, yaitu yang disebut al-'awamir (ular yang lama berdiam di rumah manusia)."

[HR. Bukhari no. 3297-3299]

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ كُلَّهَا إِلَّا الْجَانَّ الْأَبْيَضَ الَّذِي كَأَنَّهُ قَضِيبُ فِضَّةٍ قَالَ أَبُو دَاوُد فَقَالَ لِي إِنْسَانٌ الْجَانُّ لَا يَنْعَرِجُ فِي مِشْيَتِهِ فَإِذَا كَانَ هَذَا صَحِيحًا كَانَتْ عَلَامَةً فِيهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Aun berkata; Telah mengabarkan kepada kami Abu 'Awaanah, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, dari Ibnu Mas'ud ia berkata :

"Bunuhlah semua ular, kecuali ular yang bergaris putih seakan pedang dari perak." 

Abu Daawud berkata; lalu ada seorang berkata kepadaku "Ular itu tidak bisa mendaki saat merayap, jika itu benar maka in syaa Allah itu adalah salah satu dari tandanya."

[HR. Abu Dawud no. 5261]

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ هِشَامٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ ذِي الطُّفْيَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَلْتَمِسُ الْبَصَرَ وَيُصِيبُ الْحَبَلَ 

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaimaan dan Ibnu Numair, dari Hisyaam; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami; Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami 'Abdah; Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Bapaknya, dari 'Aisyah dia berkata : 

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan supaya membunuh ular bergaris dua putih di punggungnya, karena ular itu dapat membutakan mata dan mencelakakan kandungan perempuan yang hamil." 

[HR. Muslim no. 2232]

Dalam hadits-hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh ular yang ada di rumah seluruhnya tanpa dibatasi dengan harus diperingati, kemudian mengecualikan ular yang pendek ekornya dan yang berbisa yang ada dua garis dipunggungnya.

PENDAPAT YANG RAJIH (KUAT)

Dari pendapat dan dasar argumentasi para Ulama di atas, tampak pendapat yang rajih adalah keharusan mengusir dan memperingatkan ular yang ada di rumah sebelum membunuhnya, kecuali dua jenis ular yaitu ular yang pendek ekornya dan yang berbisa yang ada dua garis di punggungnya. Hal itu karena tegas dan jelasnya hadits di atas dalam pengecualian kedua jenis ular ini.

Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata :

“Dikecualikan kedua ular ini karena jin yang Mukmin tidak akan beralih rupa kebentuk keduanya, karena efek buruk langsung dari melihat keduanya. Jin yang Mukmin hanya beralih rupa dengan bentuk yang tidak berbahaya melihatnya." 

[Tanwâr Al-Hawâlik, 2/247]

Sedangkan nash-nash umum yang memerintahkan membunuh ular maka dipahami dengan nash-nash khusus melarang membunuh ular dalam rumah, nash-nash umum tersebut dibawa kepada pengertian untuk ular-ular di luar rumah. Pengkhususan ular-ular yang di rumah karena adanya nash-nash yang memerintahkan kita untuk memberi peringatan dan mengusirnya 3 kali sebelum dibunuh. 

Wallahu a’lam