Minggu, 19 Juli 2020

HUKUM MEMBATALKAN SHALAT FARDHU / WAJIB

Pada dasarnya, ketika seorang muslim telah mulai shalat, dia tidak boleh membatalkannya kecuali karena udzur. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu."
(QS. Muhammad : 33)

Para Fuqaha sepakat tidak boleh memotong shalat tanpa alasan syar’i. Dalam kitab “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” disebutkan :

قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، لأِنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ (الموسوعة الفقهية الكويتية (34/ 51)

“Memotong ibadah wajib setelah memulainya tanpa ada alasan pembenar yang syar’i tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para fuqaha, karena memotong ibadah seperti itu tanpa ada pembenar yang syar’i adalah main-main yang bertentangan dengan kehormatan ibadah sementara ada larangan untuk merusak ibadah.” 
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 34, hlm. 51)

Adapun jika ada alasan syar’i, seperti menghilangkan dharar (baik bahaya pada nyawa, kehormatan, maupun harta), atau melaksanakan yang lebih wajib yang waktunya sempit, atau menghilangkan sesuatu yang membuat shalat tidak sah seperti darah, maka boleh membatalkan shalat.

Jadi, boleh membatalkan shalat dengan maksud menjaga nyawa sendiri, menyelamatkan orang tenggelam, memadamkan kebakaran, mencegah anak/orang buta terjatuh ke sumur/jurang/tempat berbahaya, mencegah anak kecil memainkan pisau tajam, mencegah pemerkosaan/pelecehan seksual, menjaga musnahnya harta, dan semisalnya.

Imam Al-Qarafi rahimahullah berkata :

وَيُقَدَّمُ صَوْنُ النُّفُوسِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْمَنَافِعِ عَلَى الْعِبَادَاتِ

“Menjaga jiwa, badan dan manfaat-manfaat lebih diutamakan daripada ibadah.” 
(Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, juz 4 hlm 213)

Imam ‘Izzuddin Ibnu Abdis Salam rahimahullah juga berkata :

تَقْدِيمُ إنْقَاذِ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَوَاتِ، لِأَنَّ إنْقَاذَ الْغَرْقَى الْمَعْصُومِينَ عِنْدَ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ (قواعد الأحكام في مصالح الأنام (1/ 66)

“Harus didahulukan menyelamatkan orang yang tenggelam yang terjaga nyawanya daripada melaksanakan shalat, karena menyelamatkan orang yang tenggelam dan terjaga nyawanya di sisi Allah lebih afdhal daripada melaksanakan shalat.” 
(Qawa’idu Al-Ahkam, juz 1 hlm 66)

Bahkan menolong orang kafir pun tetap didahulukan daripada meneruskan shalat. Imam Al-Buhuti rahimahullah berkata :

(وَيَجِبُ رَدُّ كَافِرٍ مَعْصُومٍ) بِذِمَّةٍ أَوْ هُدْنَةٍ أَوْ أَمَانٍ (عَنْ بِئْرٍ وَنَحْوِهِ) كَحَيَّةٍ تَقْصِدُهُ (كَ) رَدِّ (مُسْلِمٍ) عَنْ ذَلِكَ بِجَامِعِ الْعِصْمَةِ (وَ) يَجِبُ (إنْقَاذُ غَرِيقٍ وَنَحْوِهِ) كَحَرِيقٍ (فَيَقْطَعُ الصَّلَاةَ لِذَلِكَ) فَرْضًا كَانَتْ أَوْ نَفْلًا، وَظَاهِرُهُ: وَلَوْ ضَاقَ وَقْتُهَا، لِأَنَّهُ يُمْكِنُ تَدَارُكُهَا بِالْقَضَاءِ، بِخِلَافِ الْغَرِيقِ وَنَحْوِهِ (فَإِنْ أَبَى قَطْعَهَا) أَيْ الصَّلَاةَ لِإِنْقَاذِ الْغَرِيقِ وَنَحْوِهِ أَثِمَ وَ (صَحَّتْ) صَلَاتُهُ كَالصَّلَاةِ فِي عِمَامَةِ حَرِيرٍ. (كشاف القناع عن متن الإقناع (1/ 380)

“Wajib untuk menyelamatkan orang kafir yang terjaga darahnya yang tenggelam dalam sumur atau terkena bahaya yang mirip dengan itu seperti jika hendak diserang seekor ular, baik (kafir itu terjaga darahnya) dengan akad dzimmah atau gencatan senjata atau perlindungan keamanan. Kewajiban yang sama juga berlaku pada seorang muslim karena baik kafir maupun muslim itu sama-sama memiliki kehormatan nyawa yang harus dijaga. Wajib juga untuk menyelamatkan orang yang tenggelam dan semisalnya seperti orang yang kebakaran sehingga dia harus menghentikan shalat untuk melakukan hal tersebut tanpa membedakan apakah shalat wajib ataukah shalat sunnah. Zhahirnya, meskipun waktunya sempit maka tetap wajib mendahulukan menyelamatkan nyawa orang karena dia bisa saja melakukan shalat dengan cara diqadha’. Berbeda dengan orang yang tenggelam yang tidak bisa diqadha'. Jika dia tidak mau menghentikan shalatnya untuk menyelamatkan orang yang tenggelam dan semisalnya maka dia berdosa meskipun shalatnya sah sebagaimana orang yang shalat dengan memakai sorban sutra.” 
(Kasysyafu Al-Qina’, juz 1, hlm. 380)

Adapun keperluan-keperluan yang tidak mendesak seperti menjawab telpon, menjawab salam/membukakan pintu tamu, menyalakan lampu, menutup pintu, memasak air panas untuk mandi dan semua keperluan yang bisa ditunda maka semua itu bukan alasan untuk membatalkan shalat.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan :

الصلاة إن كانت نافلة فالأمر أوسع لا مانع من قطعها لمعرفة من يدق الباب. أما الفريضة فلا يجوز قطعها إلا إذا كان هناك شيء مهم يخشى فواته

"Jika itu shalat sunnah, aturannya lebih longgar. Boleh saja orang membatalkannya, ketika ada orang yang mengetuk pintu. Sedangkan shalat wajib, tidak boleh dibatalkan kecuali jika di sana ada kejadian sangat penting, yang dikhawatirkan kesempatannya hilang jika tidak segera ditangani."
(Fatwa Ibnu Baz, no. 894)

Jika Anak Nangis, Bolehkah Membatalkan Shalat ?

Terkait kasus anak menangis ketika shalat, ada beberapa yang perlu diperhatikan.

Pertama, dibolehkan membatalkan shalat jika ada kebutuhan mendesak.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin – kitab madzhab Hanafi – dinyatakan :

مطلب قطع الصلاة يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا. نقل عن خط صاحب البحر على هامشه أن القطع يكون حراما ومباحا ومستحبا وواجبا، فالحرام لغير عذر والمباح إذا خاف فوت مال، والمستحب القطع للإكمال، والواجب لإحياء نفس.

"Pembahasan tentang membatalkan shalat. Bisa hukumnya haram, mubah, mustahab (dianjurkan), dan wajib. Dinukil dari karya penulis kitab Al-Bahr di catatan kaki, bahwa membatalkan shalat hukumnya haram, mubah, mustahab, dan wajib. Haram jika tanpa udzur, mubah jika untuk menyelamatkan harta, dianjurkan jika hendak menyempurnakan shalat, dan wajib untuk menyelamatkan jiwa."
(Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/52)

Kedua, dibolehkan melakukan gerakan yang tidak berlebihan ketika shalat, ketika ada kebutuhan. Seperti menggendong anak.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُصَلِّى وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَلأَبِى الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا ، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menjadi imam sambil menggendong Umaamah bintu Zainab bintu Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umaamah adalah putri Abil Ash bin Rabi’ah. Ketika beliau sujud, beliau letakkan Umaamah. Ketika beliau berdiri, beliau gendong Umaamah.” 
(HR. Bukhari no. 516 & Muslim no. 543)

Ketiga, setiap orangtua bisa belajar mengenali tangisan anaknya. Ketika anak menangis dalam shalat, ada 2 kemungkinan penyebab :

[1] Tangisan karena dia mengalami kondisi yang membahayakan dirinya, sehingga segera butuh pertolongan. Seperti terjatuh, atau tangisan karena diganggu binatang.

[2] Tangisan karena kecewa atau merasa bosan.

Dalam Fatwa Islam dinyatakan bahwa,
"Jika anak menangis ketika shalat jamaah, sementara orangtuanya tidak bisa mendiamkannya dengan tetap bertahan shalat, dibolehkan untuk membatalkan shalat untuk menolongnya. Dikhawatirkan dia menangis karena ada bahaya yang mengenai dirinya.
Jika tangisan anak bisa ditenangkan dengan tanpa harus membatalkan shalat, misalnya dengan digendong atau ditaruh di pangkuan, itu lebih baik."
(Fatwa Islam, no. 75005)

Lajnah Daimah ditanya tentang hukum membatalkan shalat karena ada kalajengking. Dan membatalkan shalat di masjidil haram agar bisa memanggil anak yang hampir hilang.

Jawaban Lajnah,

إن تيسر له التخلص من العقرب ونحوها بغير قطع الصلاة فلا يقطعها ، وإلا قطعها ، وكذلك الحال في ولده إن تيسر له المحافظة على ولده دون قطع الصلاة فعل ، وإلا قطعها

"Jika memungkinkan untuk menghindari kalajengking itu tanpa membatalkan shalat, maka sebaiknya tidak dibatalkan. Jika tidak memungkinkan, maka dia batalkan. Demikian pula terkait keadaan anaknya, jika memungkinkan untuk menjaga anaknya tanpa harus membatalkan shalat, maka jangan batalkan shalat. Namun jika tidak memungkinkan, dia bisa batalkan shalatnya."
(Fatwa Lajnah Daimah, 8/36)

Keempat, imam turut meringankan beban jamaah.

Ketika imam mendengar ada anak menangis yang sulit untuk didiamkan, imam dianjurkan meringankan shalat jamaah. Dengan tetap memperhatikan kekhusyuan shalat.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّى لأَقُومُ فِى الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

"Saya pernah mengimami shalat, dan saya ingin memperlama bacaannya. Lalu saya mendengar tangisan bayi, dan sayapun memperingan shalatku. Saya tidak ingin memberatkan ibunya." 
(HR. Bukhari no. 707)

Imam Ar-Ruhaibani rahimahullah mengatakan :

ويسن للإمام تخفيف الصلاة إذا عرض لبعض مأمومين في أثناء الصلاة ما يقتضي خروجه منها كسماع بكاء صبي

"Dianjurkan bagi imam untuk meringankan shalatnya ketika ada masalah dengan sebagian makmum pada saat shalat jamaah, sehingga mendesak makmum untuk segera menyelesaikan shalatnya, seperti mendengar tangisan bayi." 
(Mathalib Ulin Nuha, 1/640)

Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar