Sabtu, 06 Juni 2020

LARANGAN JUAL BELI DI MASJID

Jual beli dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memliki dengan ucapan ataupun perbuatan.
(Taisir Allam, Syaikh Ali Bassam, 2/232)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
لَمَّا نَزَلَتْ آخِرُ الْبَقَرَةِ قَرَأَهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ حَرَّمَ التِّجَارَةَ فِي الْخَمْرِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar; Telah menceritakan kepada kami Ghundar; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Manshuur, dari Abu Adh-Dhuha, dari Masruuq, dari 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata : 

"Ketika turun ayat-ayat terakhir dari surah Al Baqarah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menerima ayat-ayat tersebut ketika sedang berada di masjid maka kemudian Beliau mengharamkan jual beli di dalam masjid".
(HR. Bukhari no. 2084)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ وَعَنْ الْبَيْعِ وَالِاشْتِرَاءِ فِيهِ وَأَنْ يَتَحَلَّقَ النَّاسُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ بُرَيْدَةَ وَجَابِرٍ وَأَنَسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَعَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ هُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ رَأَيْتُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَذَكَرَ غَيْرَهُمَا يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَالَ مُحَمَّدٌ وَقَدْ سَمِعَ شُعَيْبُ بْنُ مُحَمَّدٍ مِنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَبُو عِيسَى وَمَنْ تَكَلَّمَ فِي حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ إِنَّمَا ضَعَّفَهُ لِأَنَّهُ يُحَدِّثُ عَنْ صَحِيفَةِ جَدِّهِ كَأَنَّهُمْ رَأَوْا أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ مِنْ جَدِّهِ قَالَ عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَذُكِرَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عِنْدَنَا وَاهٍ وَقَدْ كَرِهَ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ التَّابِعِينَ رُخْصَةٌ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَيْرِ حَدِيثٍ رُخْصَةٌ فِي إِنْشَادِ الشِّعْرِ فِي الْمَسْجِدِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Laits, dari Ibnu 'Ajlaan, dari 'Amru bin Syu'aib, dari Ayahnya, dari Kakeknya, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 

"Bahwasanya beliau melarang dari melantunkan sya'ir di dalam masjid, transaksi jual beli, dan membuat halaqah (perkumpulan) pada hari Jum'at sebelum waktu shalat." 

Ia berkata; "Dalam bab ini ada juga hadits dari Buraidah, Jaabir dan Anas." 
Abu 'Iisa berkata; "Hadits 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Aash ini derajatnya hasan. 

'Amru bin Syu'aib adalah anak dari Muhammad bin 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Aash." 
Muhammad bin Isma'iil berkata; "Aku melihat Ahmad dan Ishaq -dan menyebutkan selain keduanya-, mereka berdalil dengan hadits 'Amru bin Syu'aib." Muhammad berkata; "Syu'aib bin Muhammad telah mendengar dari kakeknya, yaitu 'Abdullah bin 'Amru." 

Abu 'Iisa berkata; "Adapun orang yang memperbincangkan hadits 'Amru bin Syu'aib dan melemahkannya adalah karena 'Amru bin Syu'aib meriwayatkan hadits dari shahifah (kitab) kakeknya. Seakan-akan mereka melihat bahwa 'Amru bin Syu'aib tidak mendengar hadits-hadits ini dari kakeknya secara langsung." 'Aliy bin 'Abdullah berkata; "Telah disebutkan dari Yahya bin Sa'iid bahwa ia berkata; "Hadits 'Amru bin Syu'aib bagi kami adalah hadits yang wahin (lemah)." 

Sebagian ahli ilmu memakruhkan transaksi jual beli di masjid, dan ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu dari kalangan tabi'in bahwa ada keringanan untuk melakukan transaksi jual beli di dalam masjid. Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam banyak hadits tentang keringanan untuk melantunkan sya'ir di masjid."
(HR. Tirmidzi no. 322)

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin 'Aliy Al Khallaal; Telah menceritakan kepada kami 'Aarim; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muhammad; Telah mengabarkan kepada kami Yaziid bin Khushaifah, dari Muhammad bin 'Abdurrahman bin Tsaubaan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Jika kalian melihat orang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah; Semoga Allah tidak memberi keuntungan kepada barang daganganmu. Jika kalian melihat orang yang mengumumkan sesuatu yang hilang di dalamnya maka katakanlah; Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu." 

Abu 'Iisa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan gharib dan menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama, mereka memakruhkan menjual dan membeli di dalam masjid, ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq namun sebagian ulama membolehkan menjual dan membeli di dalam masjid.”
(HR. Tirmidzi no. 1321)

Madzhab Maliki dan Syafi’I memakruhkan jual beli di masjid secara mutlak, baik bernilai kecil maupun besar. Dari Imam Ahmad ditemukan adanya dua riwayat, yaitu beliau memakruhkan dan mengharamkan. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa jual beli di masjid makruh namun hukumnya boleh saja bila memang penting dan nilainya tidak terlalu besar seperti jual beli kitab, alat tulis dan keperluan ta’lim.
(Bidayatul Mujtahid 2/794, Fiqh ‘ala Madzahib ‘Arba’ah 1/260, Fiqhus Sunnah 3/87)

Berkata Syaikh Sulaiman Al-Bujairmi Asy-Syafi’I rahimahullah :

وَيُكْرَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فِي الْمَسْجِدِ وَسَائِرُ الْعُقُودِ كَالْبَيْعِ إلَّا النِّكَاحَ فَيُسَنُّ عَقْدُهُ فِيهِ ، وَكَذَا يُكْرَهُ نَشْدُ الضَّالَّةِ فِيهِ

“Dimakruhkan untuk jual beli di masjid, dan seluruh transaksi sejenis jual beli, kecuali pernikahan, maka disunnahkan dilakukan di dalamnya. Begitu juga dimakruhkan untuk mencari barang yang hilang.“ 
(Tuhfatu Al-Habib ‘ala Al-Khatib, 3/ 666)   

Imam Al Mubarakfuri rahimahullah mengomentari perkataan Imam Tirmidzi rahimahullah : 

“Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid di atas dengan perkataan ‘Ini adalah haq, berdasarkan hadits-hadits bab ini… Dan aku tidak mendapati dalil yang menunjukkan kelonggaran (jual-beli di dalam masjid). Dan hadits-hadits bab ini merupakan hujjah atas orang yang memberikan kelonggaran (kebolehan)’.” 
(Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 1321)

Apakah Jual Belinya Sah ? 

Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah :

           إن باع فالبيع صحيح لأن البيع تم بأركانه وشرطه ولم يثبت وجود مفسد له وكراهة ذلك لا توجب الفساد كالغش في البيع والتدليس والتصرية وفي قول النبي صلى الله عليه وسلم قولوا : ( لا أربح الله تجارتك)  من غير اخبار بفساد البيع دليل على صحته والله أعلم

“Jika seseorang berjualan di masjid, maka jual belinya sah, karena jual belinya telah memenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak ada hal yang menyebabkan rusaknya jual beli tersebut. Adapun kemakruhan untuk berjualan di masjid tidak secara otomatis menyebabkan jual beli tersebut rusak (tidak sah). 

Sebagaimana kecurangan dan penipuan serta manipulasi susu kambing di dalam jual beli. Ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah (Maka katakanlah, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada daganganmu.”) tanpa mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak. Hal ini menunjukkan keabsahan jual beli tersebut."
(Al-Mughni, 4/337)

Batasan Masjid

Masjid adalah bangunan yang digunakan untuk shalat berjama’ah. Biasanya bangunan ini terbuat dari tembok, ada juga yang dari bambu atau sekadar tiang. Pertanyaannya apakah teras atau halaman masjid termasuk masjid, sehingga terkena hukum larangan jual beli di dalamnya ?

Berkata Imam Al-Mardawi rahimahullah :

رحبة المسجد ليست منه علي الصحيح من المذهب والروايتين

“Halaman masjid itu bukanlah bagian dari masjid menurut pendapat yang benar dalam Madzhab (Hanbali) dan dalam dua riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah ini." 
(Al-Inshaf, 3/258) 

Jika teras atau halaman masjid dianggap sebagai hukum umum, maka akan mengandung beberapa kemusykilan. Antara lain, orang yang masuk halaman masjid diperintahkan shalat tahiyatul masjid, sebagaimana ketika masuk ke dalam masjid.

Selain itu kita dapatkan hadits yang menunjukkan perbedaan hukum di dalam masjid dan di luar masjid. Antara lain :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الشُّعَيْثِيُّ عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَدَنِيِّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَا يُسْتَقَادُ فِيهَا

Telah menceritakan kepada kami Wakii'; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah Asy-Syu'aitsiy, dari Al 'Abbaas bin 'Abdurrahman Al Madaniy, dari Hakiim bin Hizaam berkata; Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda : 

"Tidak boleh melakukan hudud di dalam masjid dan juga tidak boleh meminta balasan (qishash) di dalamnya".
(HR. Ahmad no. 15027)

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ يَعْنِي ابْنَ خَالِدٍ حَدَّثَنَا الشُّعَيْثِيُّ عَنْ زُفَرَ بْنِ وَثِيمَةَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُسْتَقَادَ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنْ تُنْشَدَ فِيهِ الْأَشْعَارُ وَأَنْ تُقَامَ فِيهِ الْحُدُودُ

Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin 'Ammaar berkata; Telah menceritakan kepada kami Shadaqah -maksudnya Shadaqah bin Khaalid- berkata; Telah menceritakan kepada kami Asy Syu'aitsiy, dari Zufar bin Watsiimah, dari Hakiim bin Hizaam bahwa ia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang pelaksanaan hukuman qishas dalam masjid, melantunkan syair (buruk) dan pelaksanaan hudud secara umum."
(HR. Abu Dawud no. 4490)

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ ح و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ الْأَبَّارُ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa'iid; Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Mushir; Telah menceritakan kepada kami Hasan bin 'Arafah; Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Al Abbaar semuanya dari Isma'iil bin Muslim, dari 'Amru bin Diinaar, dari Thaawus, dari Ibnu 'Abbaas; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Hukuman hudud tidak boleh dilakukan di masjid-masjid."
(HR. Ibnu Majah no. 2599)

Hadits ini melarang menegakkan hudud di dalam masjid, tetapi kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan hudud di luar masjid. Dengan demikian terdapat perbedaan hukum antara di dalam masjid dan di luar masjid. 

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : 
“Dan telah dikenal diantara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menegakkan hudud di luar masjid, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah dalam kisah Ma’iz”. 
(Tsamar Mustathab, 2/701-702)

Lalu Syaikh Al Albani rahimahullah juga membawakan hadits :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْيَهُودِيِّ وَالْيَهُودِيَّةِ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِهِ

Dari Ibnu 'Abbaas, dia berkata : 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan rajam terhadap seorang laki-laki Yahudi dan seorang perempuan Yahudi di dekat pintu masjid Beliau”. 
(HR. Ahmad, 5/261; Al Hakim, 2/453; dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tsamar Mustathab, 2/703)

Selain itu, kita juga dapati hadits yang dengan tegas menyebutkan kejadian berjualan di dekat pintu masjid.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

Dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa 'Umar bin Al Khaththaab melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. 
(HR. Bukhari no. 886, kitab Al Jum’ah, Bab Memakai Pakaian Terbaik Yang Didapati)

Dalam riwayat lain dengan lafazh :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ

Dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata: 'Umar bin Al Khaththaab membawa jubah dari kain sutera yang dibelinya di pasar, lalu memberikan kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, belilah jubah ini sehingga tuan bisa memperbagus penampilan saat shalat 'Ied atau untuk (menemui) utusan-utusan,” maka Rasulullah shallallahu'alaihi wasalam bersabda kepadanya: “Sesungguhnya ini pakaian orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat)”. 
(HR. Bukhari no. 948)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : 
“Tersebut di dalam riwayat Malik dari Nafi’ sebagaimana telah lalu di dalam kitab Al Jum’ah, (yakni hadits no. 886, Red), bahwa hal (kejadian) itu berada di pintu masjid. Sedangkan pada riwayat Ishaq dari Nafi’ pada Nasa’i (disebutkan) “bahwa 'Umar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pasar, lalu dia melihat baju”; kedua riwayat itu tidak bertentangan, karena ujung pasar bersambung ke dekat pintu masjid”. 
(Fathul Bari, Syarh Hadits no. 5841)

Dari beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa teras atau halaman masjid tidak termasuk masjid. Dan masjid dibatasi dengan pintu yang ada di sekelilingnya, selain itu tidak masuk dalam katagori masjid. 

Note : Dikecualikan teras masjid yang bersambung ke tempat shalat yang bisa shalat tahiyatul masjid disana.

Alasan Terlarangnya Jual Beli di Masjid

Jual beli di masjid dilarang agar orang tidak sibuk dengan urusan dunia di masjid. Sehingga ia lalai dari akhirat dan lalai dari dzikir kepada Allah di rumah Allah. Lihat bagaimana sikap 'Atha’ bin Yasar (seorang ulama tabi’in) rahimahullah berikut ini :

كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ، دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ (1) وَمَا تُرِيدُ؟ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ، قَالَ: عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا. فَإِنَّمَا هذَا سُوقُ الآخِرَةِ

“Jika 'Atha' bin Yasar melewati orang yang berjual beli di masjid, ia memanggilnya dan menanyakan apa yang ia bawa dan apa yang ia inginkan? Jika orang tersebut menjawab bahwa ia ingin berjual beli maka 'Atha' akan berkata: "Silahkan anda pergi ke pasar dunia, karena di sini adalah pasar akhirat.” 
(HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2/244, no. 601)

'Umar radhiyallahu'anhu pernah melihat seorang bernama Al Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata :

يَا هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى سُوقِ الدُّنْيَا .

“Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan, keluarlah ke pasar dunia!”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179)

Juga jual beli di masjid terlarang karena tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya masjid. Rasulullah shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya masjid-masjid dibangun hanya untuk dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, untuk shalat, dan membaca Al Qur’an.” 
(HR. Muslim no. 285. Dari Anas bin Malik)

Bolehkah Tawar Menawar di Masjid ?

Tawar menawar bukanlah termasuk jual beli dan tidak masuk ke dalam larangan hadits yang statusnya hukumnya diperselisihkan para ulama. Karena yang dimaksud jual beli adalah bila terjadi akad antara kedua belah pihak, sedangkan tawar menawar atau misalnya berbicara bisnis, belumlah termasuk jual beli.

Karena saat masih tawar menawar, maksudnya saat pembeli masih menimbang-nimbang apakah dia memilih yang tunai ataukah yang tahun depan, maka ini adalah proses tawar menawar. Dan sudah maklum bahwa proses tawar menawar bukan jual beli.
(Lihat pembahasan lebih dalam masalah ini dalam kitab Al Mughni Ibnu Qudamah 6/333, Nailul Authar Syaukani 5/151-153, Syarhus Sunnah Al Baghawi 8/143 dan lainnya)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
أَتَتْهَا بَرِيرَةُ تَسْأَلُهَا فِي كِتَابَتِهَا فَقَالَتْ إِنْ شِئْتِ أَعْطَيْتُ أَهْلَكِ وَيَكُونُ الْوَلَاءُ لِي وَقَالَ أَهْلُهَا إِنْ شِئْتِ أَعْطَيْتِهَا مَا بَقِيَ وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً إِنْ شِئْتِ أَعْتَقْتِهَا وَيَكُونُ الْوَلَاءُ لَنَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَّرَتْهُ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَاعِيهَا فَأَعْتِقِيهَا فَإِنَّ الْوَلَاءَ لِمَنْ أَعْتَقَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin 'Abdullah berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Yahya, dari 'Amrah, dari 'Aisyah berkata :

"Bahwa Barirah (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi 'Aisyah, lantas ia meminta pada 'Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). 'Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.
Lantas majikan Barirah berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan 'Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Barirah-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar,

“Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” 
(HR. Bukhari no. 456. Bab : Membicarakan Perdagangan dan Jual Beli di atas Mimbar Masjid)

Boleh Utang Piutang di Masjid

Kita ketahui bersama, utang piutang berbeda dengan jual beli. Sehingga dibolehkan dilakukan di masjid selama tidak berpanjang-panjang dan dan berlama-lama. Dalam Al Mukhtashar karya Al Khalil Al Maliki rahimahullah disebutkan :

وجاز بمسجد سكنى لرجل تجرد للعبادة وَعَقْدُ نِكَاحٍ وَقَضَاءُ دَيْنٍ وَقَتْلُ عَقْرَبٍ وَنَوْمٌ بِقَائِلَةٍ

“Hal-hal berikut ini boleh dilakukan di masjid: bertempat tinggal di masjid bagi lelaki yang kesehariannya hanya beribadah, melakukan akad nikah, melunasi utang, membunuh kalajengking, dan tidur qailulah.” 
(Mukhtashar Al Khalil, 1/211)

Syaikh Al-Baji rahimahullah berkata :  


رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ فِي الْمَجْمُوعَةِ لَا بَأْسَ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي الْمَسْجِدِ دِينًا ….

“Diriwayatkan dari Al Qaasim dari Imam Maalik di dalam Al-Majmu’ah : “Tidak apa-apa seseorang membayar utang kepada temannya di dalam masjid.“ 
(Al-Muntaqa Syarh Al-Muwatha’, 1/ 342)

Syaikh Ibnu Naji At Tanukhi rahimahullah mengatakan :

ينبغي أن تنزه المساجد عن البيع والشراء، واستخف في البيان قضاء الدين وكتب الحق فيه ما لم يطل

“Hendaknya masjid dibersihkan dari semua bentuk jual beli, namun berdasarkan penjelasan penulis, diberikan kelonggaran untuk melunasi utang dan menulis hak-hak utang, selama tidak berpanjang-panjang.” 
(Syarah Ibnu Naji At Tanukhi ‘ala Matnir Risalah, 2/482)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ كَعْبٍ
أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ فَنَادَى يَا كَعْبُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَيْ الشَّطْرَ قَالَ لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُمْ فَاقْضِهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Utsmaan bin 'Umar berkata; Telah mengabarkan kepada kami Yuunus, dari Az Zuhriy, dari 'Abdullah bin Ka'b bin Maalik, dari Ka'b, 

"Bahwa ia pernah menagih utang kepada Ibnu Abu Hadrad di dalam Masjid hingga suara keduanya meninggi yang akhirnya didengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang berada di rumah. Beliau kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamarnya, beliau bersabda: "Wahai Ka'b!" Ka'b bin Malik menjawab: "Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu." Beliau bersabda: "Bebaskanlah piutangmu ini." Beliau lalu memberi isyarat untuk membebaskan setengahnya. Ka'b bin Maalik menjawab, "Sudah aku lakukan wahai Rasulullah." Beliau lalu bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): "Sekarang bayarlah."
(HR. Bukhari no. 457. Bab : Menagih Utang dan Meminta Kepastian Pelunasan di dalam Masjid)

Ini menunjukkan bahwa boleh melakukan akad utang piutang di masjid, namun hendaknya tidak menyibukkan diri dengannya.

Bagaimana Hukumnya Memasang Iklan Promosi Suatu Produk di Masjid ?

Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan rahimahullah berkata :
“Aku memandang bahwa pemasangan iklan pameran dan semacamnya yang ditempel di masjid tetap terlarang guna menutup dari hal yang terlarang (yaitu jual beli di dalam masjid).”
(Min Fiqhil Mu’amalat, hal. 51)

Yang masih dibolehkan di dalam masjid adalah akad selain jual beli seperti melunasi utang, akad nikah, dan menjaminkan barang. Akad-akad semacam ini tidak disebut jual beli.

Adapun jual beli jasa (sewa menyewa) di dalam masjid tidak dibolehkan seperti transaksi kontrak atau sewa rumah di masjid.
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 2/567)

Demikian paparan singkat mengenai masalah jual beli di masjid. Semoga bermanfaat.

Wabillahi at taufiq was sadaad



Tidak ada komentar:

Posting Komentar