Kamis, 04 Juni 2020

Larangan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Ada ilmu yang mesti diperhatikan sebelum melaksanakan puasa Ramadhan. Ada larangan yang berisi perintah untuk tidak berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan. Karena ada yang punya tujuan melaksanakan puasa sebelum itu untuk hati-hati atau hanya sekadar melaksanakan puasa sunnah biasa.

Hadits yang membicarakan hal ini disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram hadits no. 650 sebagai berikut :

٦٥٠ - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ)) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

650. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

“Janganlah kalian mendahului Ramadhaan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali bagi orang yang biasa berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa."
[Muttafaqun ‘alaih]

Penjelasan Ringkas

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhaari no. 1914 dan Muslim no. 1082, dan ini adalah lafazh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 2335, At-Tirmidzi no. 684-685, An-Nasaa’i no. 2172 & 2190, Ibnu Maajah no. 1650, Ahmad 2/234 & 347 & 408 & 438 & 477 & 497 & 513 & 521, dan yang lainnya.

Beberapa faedah yang dapat diambil dari hadits ini :

1. Larangan mendahului puasa Ramadhaan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian ulama ada yang menghukumi haram berdasarkan zhahir larangan, karena asal dari sebuah larangan menunjukkan keharaman. Adapun sebagian ulama lain ada yang menghukumi makruh berdasarkan istitsnaa’ (pengecualian) dalam hadits tersebut. Maksudnya, istitsnaa’ adalah bagi orang yang biasa puasa sunnah sehingga seandainya larangan tersebut bermakna haram, maka ia mesti didahulukan daripada puasa sunnah. Oleh karena itu. Larangan di sini bermakna makruuh.

Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata :

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يَتَعَجَّلَ الرَّجُلُ بِصِيَامٍ قَبْلَ دُخُولِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَعْنَى رَمَضَانَ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمًا فَوَافَقَ صِيَامُهُ ذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ عِنْدَهُمْ

“Para ulama mengamalkan hadits ini, dan mereka memakruhkan orang yang mempercepat/mendahulukan puasa sebelum masuknya bulan Ramadhaan karena makna Ramadhaan. Namun apabila seseorang biasa berpuasa lalu puasanya itu bertepatan dengan hari tersebut, maka tidak mengapa menurut mereka.”
[Al-Jaami’ul-Kabiir, 2/64]

2. Diperbolehkan berpuasa sunnah bagi orang yang terbiasa puasa meskipun kebetulan bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhaan, seperti puasa Daawud, Senin-Kamis, dan yang lainnya. Kebolehan ini merupakan ijmaa’ ulama.

Adapun orang yang berpuasa wajib seperti puasa qadha’ dan puasa nadzar, maka lebih utama untuk diperbolehkan karena itu merupakan ‘aziimah baginya.

3. Anjuran melaksanakan amal ibadah dan amal kebaikan yang biasa dilakukan seseorang secara berkesinambungan.

Amal kebaikan yang konsisten dilakukan meski sedikit mempunyai keutamaan yang sangat besar sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

“Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan. Dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus-menerus dilakukan, meskipun sedikit.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaari no. 1970 & 5862 & 6465 dan Muslim no. 782]

4. Diantara hikmah larangan tersebut adalah untuk membedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunnah, serta untuk mempersiapkan diri menghadapi Ramadhaan sehingga puasa di bulan tersebut menjadi syi’ar tersendiri.

Hal yang semisal adalah seperti larangan menyambung shalat fardhu dan shalat sunnah tanpa ada pemisah. Mu’aawiyyah radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata :

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

“Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami hal tersebut, yaitu agar tidak menyambung shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau keluar.”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 883]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فيه دليل لما قاله أصحابنا أن النافلة الراتبة وغيرها يستحب أن يتحول لها عن موضع الفريضة إلى موضع آخر وأفضله التحول إلى بيته، وإلا فموضع آخر من المسجد أو غيره ليكثره مواضع سجوده، ولتنفصل صورة النافلة عن صورة الفريضة. وقوله: "حتى نتكلم" دليل على أن الفصل بينهما يحصل بالكلام أيضاً ولكن بالانتقال أفضل لما ذكرناه والله أعلم

“Padanya terdapat dalil tentang apa yang dikatakan shahabat-shahabat kami (yaitu fuqahaa’ Syaafi’iyyah) bahwasannya shalat sunnah rawatib dan yang lainnya disunnahkan agar dialihkan pelaksanaannya dari tempat shalat fardhu ke tempat yang lainnya. Berpindah yang paling utama adalah di rumahnya. Dan jika tidak, maka cukup di tempat lain dari masjid atau yang lainnya untuk memperbanyak tempat sujudnya, dan untuk membedakan antara shalat sunnah dengan shalat fardhu. Dan perkataan Mu’aawiyyah : ‘hingga kami berbicara’, merupakan dalil bahwasannya pemisahan antara keduanya (shalat sunnah dengan shalat fardhu) dapat dilakukan dengan berbicara. Akan tetapi berpindah tempat lebih utama dilakukan sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, wallaahu a’lam.”
[Syarh Shahih Muslim, 6/170-171]

5. Banyak ulama Syaafi’iyyah berpendapat bahwa larangan berpuasa tersebut dimulai dari tanggal 16 Sya’baan berdasarkan hadits :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Apabila tiba pertengahan bulan Sya’baan, janganlah berpuasa hingga tiba bulan Ramadhan.”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2337, At-Tirmidzi no. 738, Ibnu Maajah no. 1651, Ahmad 2/442, ‘Abdurrazzaaq no. 7325, dan yang lainnya; shahih]

Sebagian ulama ada yang mendha’ifkan hadits ini dan sebagian yang lain menshahihkannya; dan pendapat yang menshahihkannya itu menurut kami yang lebih kuat, wallaahu a’lam. Imam At-Tirmidzi mengatakan : "Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih". Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahiih Sunan At-Tirmidzi 1/392.

Imam At-Tirmidzi rahimahullah menjelaskan hadits tersebut sebagai berikut :

وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ مُفْطِرًا فَإِذَا بَقِيَ مِنْ شَعْبَانَ شَيْءٌ أَخَذَ فِي الصَّوْمِ لِحَالِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يُشْبِهُ قَوْلَهُمْ حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَدَّمُوا شَهْرَ رَمَضَانَ بِصِيَامٍ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ ذَلِكَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَقَدْ دَلَّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّمَا الْكَرَاهِيَةُ عَلَى مَنْ يَتَعَمَّدُ الصِّيَامَ لِحَالِ رَمَضَانَ

“Makna hadits tersebut menurut sebagian ulama adalah : Jika seseorang tidak terbiasa berpuasa, kemudian ketika masuk pada pertengahan bulan Sya'ban, ia baru mulai berpuasa karena (menyambut) bulan Ramadhaan. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam (satu hadits) yang semisal makna yang diterangkan oleh mereka, yaitu beliau shalallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Janganlah kalian berpuasa mendahului bulan Ramadhaan dengan puasa, kecuali jika bertepatan hari yang kalian biasa berpuasa’. Hadits ini menunjukan larangan bagi orang yang sengaja berpuasa menjelang datangnya puasa Ramadhan.”
[Dinukil melalui perantaraan Jaami’ Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah fish-Shiyaam wal-Qiyaam wal-I’tikaaf oleh Hamdiy Haamid Shubh, hal. 37, muraja’ah : ‘Aliy Al-Halabiy]

Maka, jika seseorang berniat untuk puasa bulan Sya’ban dan ia telah memulainya sebelum pertengahan Sya’ban, maka tidak mengapa ia berpuasa hingga pada pertengahan kedua bulan Sya’ban. Namun ketika sampai sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhaan, hendaklah ia berhenti karena ada larangan yang tercantum pada hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dalam bab ini.

Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar