Kamis, 25 Juni 2020

Kafirkah Orang yang Memiliki Sihir ?


Oleh : Ustadz Dony Arif Wibowo

Imam Sulaiman bin ‘Abdillah rahimahullah berkata :

السحر محرم في جميع أديان الرسل عليهم السلام، كما قال تعالى : وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

“Sihir diharamkan dalam seluruh agama yang dibawa para Rasul ‘alaihimis-salaam, sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69).” 
[Taisirul-‘Aziizil-Hamiid, hal. 386]

Para ulama sepakat bahwa mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan sihir adalah haram, dan ia termasuk di antara dosa-dosa besar (al-kabaair). Kaum muslimin juga sepakat bahwa sihir tidaklah muncul kecuali dari orang-orang fasiq. 
[Mausu’ah Al-Ijmaa’ fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Sa’di Abu Jaib, hal. 554, no. 1910-1911]

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kekafiran pelaku sihir.

Pertama; Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam satu riwayat, dan sekelompok salaf berpendapat akan kekafiran pelaku sihir secara mutlak. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala :

وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).”
[QS. Al-Baqarah : 102]

Sisi pendalilan : Allah ta’ala telah menamai sihir dalam ayat di atas dengan kekafiran. 
[Tafsir Al-Qurthubi, 2/47]

Kedua; Asy-Syafi’i, Ahmad dalam satu riwayat, dan Dawud Azh-Zhahiri merinci keadaan pelaku sihir tersebut. Apabila pelaku sihir itu melakukan sesuatu yang mengkafirkan seperti peribadahan kepada setan dan sejenisnya selain Allah, maka kafir. Jika tidak, maka tidak kafir. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :

فَيُقَالُ لِلسَّاحِرِ: صِفِ السِّحْرَ الَّذِي تَسْحَرُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامَ كُفْرٍ صَرِيحٍ اسْتُتِيبَ مِنْهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَأُخِذَ مَالُهُ فَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامًا لَا يَكُونُ كُفْرًا، وَكَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ، وَلَمْ يَضُرَّ بِهِ أَحَدًا نُهِيَ عَنْهُ، فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَضُرُّ بِهِ أَحَدًا مِنْ غَيْرِ قَتْلٍ، فَعَمَدَ أَنْ يَعْمَلَهُ عُزِّرَ

“Dan dikatakan kepada pelaku sihir : ‘Sifatkan sihir yang engkau menyihir dengannya’. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan kufur yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima; dan jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran, tidak ma’ruuf, dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang darinya. Jika ia mengulangi, ia dihukum ta’zir. Jika ia mengetahui bahwasannya sihir itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja melakukannya, maka ia dihukum ta’zir.” 
[Al-Umm, 1/256-257]

Dalil yang dipakai oleh pendapat kedua adalah perbuatan ‘Aisyah yang tidak membunuh budak wanita yang menyihirnya karena menginginkan kemerdekaannya. Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/183 dengan sanad shahih.

Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang memerincinya. Seandainya perbuatan sihir yang dilakukan budak wanitanya itu termasuk sihir yang mengandung kesyirikan (akbar), niscaya ‘Aisyah tidak akan meninggalkan hukum untuk membunuhnya (karena ia telah murtad).

Imam Asy-Syinqithi rahimahullah berkata :

التحقيق في هذه المسألة هو التفصيل. فإن كان السحر مما يعظم فيه غير الله كالكواكب والجنّ وغير ذلك مما يؤدي إلى الكفر فهو كفر بلا نزاع، ومن هذا النوع سحر هاروت وماروت المذكور في سورة "البقرة" فإنه كفر بلا نزاع. كما دل عليه قوله تعالى: {وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ} ، وقوله تعالى: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} ، وقوله: {وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ} ، وقوله تعالى: {وَلا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى}, كما تقدّم إيضاحه. وإن كان السحر لا يقتضي الكفر كالاستعانة بخواص بعض الأشياء من دهانات وغيرها فهو حرام حرمة شديدة ولكنه لا يبلغ بصاحبه الكفر. هذا هو التحقيق إن شاء الله تعالى في هذه المسألة التي اختلف فيها العلماء.

“Dan tahqiiq dalam permasalahan ini adalah adanya perincian. Apabila sihir tersebut termasuk pengagungan terhadap selain Allah seperti pengagungan kepada bintang, jin, dan lainnya yang sampai pada derajat kekafiran, maka hukumnya kafir tanpa perselisihan. Dan yang termasuk sihir macam ini adalah sihir Haaruut dan Maaruut yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, maka ia adalah kufur tanpa perselisihan. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya ta’ala : ‘Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’ (QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69), sebagaimana telah lalu penjelasannya. Dan bila sihir tersebut tidak menuntut adanya kekafiran seperti meminta bantuan pada kekhususan sebagian benda semisal cat atau selainnya, maka ia haram dengan keharaman yang keras, akan tetapi pelakunya tidak sampai pada kekafiran. Inilah tahqiq, insya Allah ta’ala, dalam permasalahan ini yang diperselisihkan para ulama.” 
[Adhwaaul-Bayaan, 5/50]

Hukuman Bagi Penyihir

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، سَمِعَ بَجَالَةَ، يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ، وَأَبَا الشَّعْثَاءِ، قَالَ: كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنِ الزَّمْزَمَةِ، فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ، وَفَرَّقْنَا بَيْنَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَحَرِيمِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, ia mendengar Bajaalah menceritakan kepada ‘Amru bin Aus dan Abusy-Sya’tsaa’; ia (Bajaalah) berkata : 

“Dahulu aku adalah seorang sekretaris Jaz` bin Mu'aawiyah paman Al Ahnaf bin Qais. Tiba-tiba datang kepada kami surat ‘Umar satu tahun sebelum ia meninggal. Ia berkata : ‘Bunuhlah seluruh tukang sihir, dan pisahkan antara setiap orang yang memiliki mahram dari kalangan orang-orang Majusi, dan laranglah mereka dari zamzamah. Maka kami dalam sehari telah membunuh tiga orang tukang sihir, dan memisahkan antara setiap laki-laki majusi dan mahramnya dalam kitab Allah....” 
[HR. Abu Dawud no. 3043; dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2/260]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman seseorang yang telah terbukti melakukan sihir, dan ini kembali pada pokok perbedaan pendapat hukum kafir tidaknya pelaku sihir di atas. Jika pelaku sihir tersebut melakukan sihir yang tidak mengandung kekufuran, maka ia tidak dijatuhi hukuman hadd bunuh, akan tetapi dijatuhi hukum ta’zir. Kecuali jika sihir yang dilakukan itu menyebabkan kematian seseorang, maka ditegakkan hadd bunuh kepadanya.

Jika sihir yang dilakukannya itu mengandung kekafiran (yang menyebabkannya kafir), maka dijatuhi hukuman hadd bunuh atas kekafirannya itu. Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :

واختلف الفقهاء في حكم الساحر المسلم والذمي، فذهب مالك إلى أن المسلم إذا سحر بنفسه بكلام يكون كفرا يقتل ولا يستتاب ولا تقبل توبته، لأنه أمر يستسر به كالزنديق والزاني، ولأن الله تعالى سمى السحر كفرا بقوله: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} وهو قول أحمد بن حنبل وأبي ثور وإسحاق والشافعي وأبي حنيفة

“Dan para fuqahaa’ telah berselisih pendapat tentang hukum pelaku sihir muslim dan dzimmiy. Maalik berpendapat apabila ia berbuat sihir sendiri dengan perkataan yang mengandung kekufuran, maka ia dibunuh tanpa dimintai bertaubat terlebih dahulu, (dan seandainya bertaubat) tidak diterima taubatnya; karena ia (sihir) merupakan perkara yang dilakukan dengan senang hati seperti orang zindiiq dan pezina. Dan karena Allah ta’ala menamakan sihir dengan kekufuran dengan firman-Nya : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan : Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’ (QS. Al-Baqarah : 102). Hal itu merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ishaaq, Asy-Syaafi’iy, dan Abu Haniifah.” 
[Tafsir Al-Qurthubi, 2/47-48]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzab :

ﻭﻗﺎﻝ ﺗﻘﻰ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﺴﺒﻜﻰ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ ﺃﻣﺎ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﺤﺎﺻﻠﻪ ﺃﻥ اﻟﺴﺎﺣﺮ ﻟﻪ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺣﻮاﻝ، ﺣﺎﻝ ﻳﻘﺘﻞ ﻛﺎﻓﺮا، ﻭﺣﺎﻝ ﻳﻘﺘﻞ ﻗﺼﺎﺻﺎ، ﻭﺣﺎﻝ ﻻ ﻳﻘﺘﻞ ﺃﺻﻼ ﺑﻞ ﻳﻌﺰﺭ.

"Imam Taqiyyuddin As-Subkiy berkata di dalam fatawanya :
Adapun madzhab Syaafi'iy, kesimpulannya bagi penyihir ada 3 keadaan :
1. Keadaan dihukum mati sebagai seorang kafir.
2. Keadaan dihukum mati sebagai qishash.
3. Keadaan tidak dihukum mati sama sekali, tetapi dita'zir."

Tatkala diketahui bahwasanya sihir dan perdukunan merupakan penyakit meresahkan masyarakat yang berbahaya, manakala didiamkan akan menimbulkan kerusakan yang menyebar dan keburukan yang merajalela berupa pembunuhan (dengan santet atau teluh), mengambil harta dengan cara yang batil (dengan babi ngepet, tuyul, pesugihan, atau kasus dukun menipu pasiennya), memisahkan pasangan suami istri (dengan guna-guna), maka hukuman yang tepat untuknya dengan satu kata: yakni HUKUMAN MATI. Dengannya masyarakat menjadi tenang dan suasana menjadi kondusif apabila menerapkan syariat Islam.

Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar