Jumat, 17 Juli 2020

BAGAIMANA SHALAT ORANG YANG BEKERJA DI KAPAL SELAMA BERBULAN-BULAN ?

Pertanyaan
Assalamu’alaikum.
Mohon izin bertanya ustadz. Bagaimana shalatnya orang yang bekerja di kapal selama berbulan-bulan? Apakah seperti musafir yang boleh jamak qashar? Dan apakah diperbolehkan mendirikan shalat jum’at, shalat ied? Jazakallah khair (XXXXXXXX3172)

Jawaban

Wa’alaikumussalam Warahmatullah. 

Orang yang bekerja di kapal selama berbulan-bulan dan jarak perjalanannya minimal mencapai 4 barid (sekitar 88 Km), maka dia boleh menjamak dan mengqashar. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

وَيَجُوزُ الْقَصْرُ فِي سَفَرِ الْمَاءِ فِي السَّفِينَةِ لِأَنَّهُ سَفَرٌ دَاخِلٌ فِي نَصِّ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَسَوَاءٌ فِيهِ مَنْ رَكِبَ مَرَّةً أَوْ مَرَّاتٍ وَالْمَلَّاحُ الَّذِي مَعَهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيُدِيمُ السَّيْرَ فِي الْبَحْرِ وَالْمُكَارِي وَغَيْرُهُمْ فَكُلُّهُمْ لَهُمْ الْقَصْرُ إذَا بَلَغَ سَفَرُهُمْ مَسَافَةً لَوْ قُدِّرَتْ فِي الْبَرِّ بَلَغَتْ ثَمَانِيَةً وَأَرْبَعِينَ مِيلًا هَاشِمِيَّةً لَكِنَّ الْأَفْضَلَ لَهُمْ الْإِتْمَامُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ (المجموع شرح المهذب (4/ 322) 

“Boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan air seperti dalam sebuah kapal, karena itu termasuk (definisi) safar yang tercakup dalam nash Al Quran dan As-Sunnah. Tidak dibedakan apakah dia naik sekali atau beberapa kali. Termasuk juga (boleh mengqashar) pelaut yang ditemani keluarganya dan hartanya dan terus-menerus melakukan perjalanan di laut. Termasuk juga (boleh mengqashar) orang yang (berbisnis) menyewakan kendaraan dan selain mereka. Seluruhnya boleh meng-qashar jika mereka mencapai jarak yang seadanya diukur di daratan akan mencapai 48 mil hasyimiyah. Akan tetapi, yang lebih afdhal adalah tidak mengqashar/itmam. Ini yang dinyatakan oleh Asy Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah mutaqaddimin. ini juga pendapat Malik, Abu Hanifah, Dawud dan selain mereka” 
(Al-Majmu’, juz 4, hlm. 322)

Terkait apa yang lebih afdhal, apakah meng-qashar ataukah itmam/ tidak meng-qashar, maka perlu dirinci. Jika waktu safar masih 3 hari, maka masih afdal meng-qashar. Imam Asy-Syirazi rahimahullah berkata :

والأفضل أن لا يقصر إلا في سفرٍ يبلغ مسيرة ثلاثة أيام، فإذا بلغ سفره ذلك كان القصر أفضل من الإتمام (التنبيه في الفقه الشافعي (ص: 40) 

“Yang paling afdhal adalah tidak mengqashar kecuali dalam safar yang mencapai perjalanan 3 hari. Jika safarnya mencapai waktu itu maka meng-qashar lebih afdhal daripada itmam/tidak mengqashar.” 
(At-Tanbih, hlm. 40)

Adapun jika sudah lebih dari tiga hari, maka yang afdhal adalah itmam/tidak meng-qashar. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
والصواب أن من دام سفره كالملاح ونحوه فالإتمام له أفضل وإن طال سفره (تصحيح التنبيه، ص 
152) 

“Yang paling kuat adalah, siapapun yang safarnya terus-terusan seperti seorang pelaut dan semisalnya, maka tidak mengqashar adalah afdhal selama apapun safar tersebut.” 
(Tash-hih At-Tanbih, hlm. 152)

Jika aktivitas melaut itu tidak mencapai jarak qashar, maka tidak boleh menjamak dan meng-qashar. 

Jika dalam masa kerja itu sempat singgah di sebuah kota dan meniatkan tinggal di sana selama beberapa waktu, maka maksimal boleh menjamak dan meng-qashar itu hanya 3 hari. Jika sudah lebih dari 3 hari maka shalat seperti biasa. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

أَمَّا إذَا نَوَى الْإِقَامَةَ فِي بَلَدٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَأَقَلُّ فَلَا يَنْقَطِعُ التَّرَخُّصُ بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ نَوَى إقَامَةَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ إنْ نَوَى إقَامَةَ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ صَارَ مُقِيمًا وَانْقَطَعَتْ الرُّخَصُ (المجموع شرح المهذب (4/ 361) 

“Adapun jika dia berniat mukim di sebuah negeri selama 3 hari atau kurang dari itu, maka rukhshahnya (untuk mengqashar) tidak terputus tanpa ada perselisihan. Jika dia berniat mukim lebih dari 3 hari, maka Asy-Syafi’i dan ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin mengatakan, ‘Jika dia berniat 4 hari, maka dia dihitung mukim dan terputuslah rukhshahnya.” 
(Al-Majmu’, juz 4, hlm. 361)

Hanya saja, disyaratkan saat safar harus ada niat menempuh perjalanan yang jaraknya minimal membolehkan safar. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا يُشْتَرَطُ لِلْقَصْرِ أَنْ يَعْزِمَ فِي الِابْتِدَاءِ عَلَى قَطْعِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ (المجموع شرح المهذب (4/ 
331) 

“Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaqaddimin mengatakan, disyaratkan dalam mengqashar itu hendaklah seseorang berniat untuk menempuh jarak qashar di awal safarnya.” 
(Al-Majmu’, juz 4, hlm. 331)

Jika sejak awal tidak jelas niat safarnya ke mana dan tidak tahu akan menempuh jarak berapa jauh, maka tidak boleh menqashar meski sejauh apapun perjalanannya. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فَلَوْ خَرَجَ لِطَلَبِ آبِقٍ أَوْ غَرِيمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَنَوَى أَنَّهُ مَتَى لَقِيَهُ رَجَعَ وَلَا يَعْرِفُ مَوْضِعَهُ لَمْ يَتَرَخَّصْ وَإِنْ طَالَ سَفَرُهُ وَبَلَغَ مَرَاحِلَ (المجموع شرح المهذب (4/ 331) 

“Jika dia keluar untuk mencari budak yang melarikan diri, atau (mencari) debiturnya, atau (hajat lain) selain itu, dan dia berniat kapanpun dia sudah bertemu dengan yang ia cari maka dia akan pulang dan tidak mengetahui di mana lokasinya, maka dia tidak boleh mengambil rukhshah meskipun lama safarnya dan mencapai banyak marhalah -sebab di awal safar dia tidak berniat malakukan safar dengan jarak minimal safar syar’i.” 
(Al-Majmu’, juz 4, hlm. 331)

Ini terkait penjelasan shalat qashar.

Adapun terkait shalat jum’at, maka shalat jumat tidak wajib bagi musafir. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

لَا تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى الْمُسَافِرِ هَذَا مَذْهَبُنَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ (المجموع شرح المهذب (4/ 485) 

“Tidak wajib shalat jum’at bagi seorang musafir. Ini adalah madzhab kami dan tidak ada perselisihan di kalangan kami. Ibnu Al Mundzir dan lainnya menghikayatkan hal ini dari mayoritas ulama.” 
(Al-Majmu’, juz 4, hlm. 485)

Jika musafir menyelenggarakan shalat jumat sementara pesertanya semua adalah musafir, maka dalam madzhab Asy-Syafi’i itu malah tidak sah. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

هَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيمِينَ غَيْرِ مُسْتَوْطِنِينَ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ (أَصَحُّهُمَا) لَا تَنْعَقِدُ (المجموع شرح المهذب (4/ 503) 

“Apakah shalat Jumat itu sah dengan peserta orang-orang mukim tetapi tidak bertempat tinggal permanen, maka ada dua pendapat masyhur. Yang paling kuat adalah tidak sah.” 
(Al-Majmu’, juz 2, hlm. 503)

Adapun jika musafir ikut shalat jumat di kampung yang penyelenggaranya orang mukim, maka shalatnya sah. Untuk shalat ied, tidak disyaratkan harus mukim, jadi sah shalatnya in syaa Allah. 

Wallahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar