Kamis, 23 Juli 2020

ANCAMAN BAGI PELAKU YANG MEMBATALKAN PUASA DENGAN SENGAJA

Dari jalan 'Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin ‘Amir, dari Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلَانِ فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ فَأَتَيَا بِي جَبَلًا وَعْرًا فَقَالَا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الْأَصْوَاتُ؟ قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ, ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا, فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ, ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ أَشَدِّ شَيْءٍ انْتِفَاخًا وَأَنْتَنِهِ رِيحًا وَأَسْوَئِهِ مَنْظَرًا, فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: الزَّانُونَ وَالزَّوَانِي

“Ketika aku tidur, (aku bermimpi) melihat ada dua orang yang mendatangiku, kemudian keduanya memegang lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Mereka mengatakan, ‘Naiklah!’ Ketika aku sampai di atas gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat keras. Aku pun bertanya, ‘Suara apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka.’ 

Kemudian mereka membawaku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, aku melihat ada orang yang digantung dengan mata kakinya (terjungkir), pipinya sobek, dan mengalirkan darah. Aku pun bertanya, ‘Siapakah mereka itu?’ Kedua orang ini menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktunya (meninggalkan puasa).’ 

Mereka membawaku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada beberapa orang yang badannya bengkak, baunya sangat busuk, dan wajahnya sangat jelek. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Kedua orang itu menjawab, ‘Mereka para pezina lelaki dan wanita’.”

(HR. Ibnu Hibban no. 7491; Al-Hakim no. 2837; Ibnu Khuzaimah no. 1986. Dinilai shahih oleh banyak ulama, diantaranya Adz Dzahabi, Al-Albani dan Al-A’dzami)

Allahul musta'an

HUKUM MASBUQ SHALAT JUM'AT

Oleh : Ustadz Abu Sa'id Neno Triyono

Imam Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan :

فَإِنَّ قَوْمًا قَالُوا: إِذَا أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمُعَةَ، وَيَقْضِي رَكْعَةً ثَانِيَةً، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، فَإِنْ أَدْرَكَ أَقَلَّ صَلَّى ظُهْرًا أَرْبَعًا. وَقَوْمٌ قَالُوا: بَلْ يَقْضِي رَكْعَتَيْنِ أَدْرَكَ مِنْهَا مَا أَدْرَكَ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ.

“Sebagian ulama berpendapat, jika makmum mendapatkan satu rakaat shalat Jumat (bersama imam) maka dia mendapat Jumatan, sehingga dia hanya mengganti satu rakaat. Namun jika dia mendapatkan kurang dari satu rakaat (bersama imam), maka dia wajib shalat zhuhur, 4 rakaat. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i.

Sementara ulama lain berpendapat, makmum (yang masbuk) hanya mengganti dua rakaat, selama dia masih mendapatkan bagian apapun dari (shalatnya imam). Ini adalah pendapat Abu Hanifah."
(Bidayatul Mujtahid, 1/199)

Ada beberapa kondisi sesorang terlambat mengikuti shalat Jum'at secara berjamaah dan diantara bentuk gambarannya sebagai berikut :

1. Ia sama sekali tidak mendapatkan rakaat shalat Jum'at atau ia mendapatkan rakaat terakhir Imam setelah Imam ruku' pada rakaat kedua, maka dalam hal ini si masbuq melaksanakan shalat zhuhur 4 rakaat. 

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

من أدرك ركوع الثانية أدرك الجمعة فيصلي بعد سلام الإمام ركعة وإن أدركه بعده فاتته فيتم بعد سلامه ظهرا أربعا والأصح أنه ينوي في اقتدائه الجمعة

"Barangsiapa yang mendapati (minimal) ruku' nya Imam pada rakaat kedua shalat Jum'at, maka ia sempurnakan satu rakaat (yang ketinggalan) setelah Imam salam dan jika ia mendapati setelahnya, maka telah terluput (shalat Jum'at) baginya, ia melaksanakan shalat Zhuhur setelah Imam salam dan yang benar ia (tetap) berniat bermakmum untuk shalat Jum'at".
(Minhaaj Ath-Thaalibiin, hal. 26)

Al-'Allamah Shidiq Hasan Khan rahimahullah menampilkan dalil untuk masalah di atas dari atsar Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu yang berkata :

ومن فاتَتْهُ الركعتانِ فليُصلِّ أربعًا

"Barangsiapa yang terluput dua rakaat shalat Jum'at, maka hendaknya ia shalat empat rakaat".

Atsarnya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" (1/126/1) dan Ath-Thabaraaniy dalam "Al-Kabiir" (2/38/2). Imam Al-Haitsami menghasankannya dalam "Majma`" (2/192), sebagaimana hasil kajian Syaikh Al-Albani dalam "Al-Ajwibah An-Naafi'ah". Syaikh Al-Albani menshahihkan atsar ini.

Asy-Syaikh Shidiq Hasan Khan beristimbat dengan atsar di atas tatkala mengatakan :

فهذا دليل على أن من فاتته الجمعة صلى ظهرا

"Ini adalah dalil bagi orang yang terluput (dua rakaat shalat Jum'at), untuk menqadhanya dengan shalat Zhuhur".

2. Kondisi kedua adalah si masbuq sempat mendapatkan minimal ruku' Imam pada rakaat kedua. Dalam hal ini berarti ia terlewat khutbah Jum'atnya Imam atau khathib shalat Jum'at pada waktu itu.

Asy-Syaikh Khalid bin Abdil Mun'im Ar-Rifaa'iy Hafizhahullah menukil :

وقال عطاء وطاوس ومجاهد ومكحول: من لم يدرك الخطبة صلى أربعًا
رابط المادة: http://iswy.co/e16b3b

"'Athaa`, Thawus, Mujahid dan Makhuul mengatakan bahwa orang yang tidak mendapatkan khutbah, maka ia shalat 4 rakaat".

Diantara dalil yang mereka bawakan adalah atsar 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" dari dua jalan yaitu :

A. Imam Ibnu Abi Syaibah berkata :

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ ، قَالَ: حُدِّثْتُ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ قَالَ : ( إِنَّمَا جُعِلَتِ الْخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ ، فَإِنْ لَمْ يُدْرِكِ الْخُطْبَةَ ، فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا )

...dari Yahya bin Abi Katsir ia berkata; Aku diceritakan dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau berkata : 

"Hanyalah khutbah itu dijadikan menduduki shalat dua rakaat, jika tidak mendapati khutbah, maka shalatlah 4 rakaat".

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajid mengomentari sanadnya :

وهذا منقطع بين يحيى بن أبي كثير ، وعمر

"Ini terputus sanadnya antara Yahya bin Abi Katsiir dengan 'Umar".

B. Al-Imam Ibnu Abi Syaibah berkata :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ ، عَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ ، قَالَ : " كَانَتِ الْجُمُعَةُ أَرْبَعًا ، فَجُعِلَتْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ أَجْلِ الْخُطْبَةِ ، فَمَنْ فَاتَتْهُ الْخُطْبَةُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا "

....dari 'Amr bin Syu'aib, dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu beliau berkata : 

"Shalat Jum'at itu 4 rakaat, dijadikan dua rakaat karena khutbah, maka barangsiapa yang terluput khutbah padanya, maka ia shalat 4 rakaat".

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajid mengomentari sanadnya :

وهذا منقطع أيضا: عمرو بن شعيب من صغار التابعين لم يدرك عمر ، بين وفاتيهما 95 سنة 

"Ini terputus juga, 'Amr bin Syu'aib adalah tabi'i junior, tidak pernah berjumpa dengan 'Umar. Perbedaan tahun wafatnya sekitar 95 tahun".

Asy-Syaikh Al-Albani dalam "Al-Irwaa`" telah mentakhrij dua jalan di atas dan memberikan penilaian dhaif untuknya.

Selain sanadnya tidak kuat, matan atsar ini bertentangan dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu secara marfu' :

 من أدرك ركعةً من الجمعةِ فقد أدرك الجمعةَ

"Barangsiapa yang mendapati satu rakaat shalat Jum'at, maka ia telah mendapatkan Jum'at." 
(HR. Nasa'i, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dan Bin Baz)

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَهِيَ السُّنَّةُ

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa, dari Maalik, dari Ibnu Syihaab dia berkata :

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat jumat, maka sempurnakanlah yang lainnya." 

Ibnu Syihaab berkata; "Hal itu adalah sunnah."
(Muwatha' Malik no. 241)

Syaikh 'Abdul 'Aziz Ibnu Baz rahimahullah mengatakan :

إذا لم يدرك المسبوق من صلاة الجمعة إلا السجود أو التشهد ، فإنه يصلي ظهرا ولا يصلي جمعة . لأن الصلاة إنما تدرك بركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة)) وقوله صلى الله عليه وسلم: ((من أدرك ركعة من الجمعة فليضف إليها أخرى وقد تمت صلاته)) فعلم بهذين الحديثين أن من لم يدرك ركعة من الجمعة فاتته الجمعة وعليه أن يصلي ظهرا . والله ولي التوفيق .

“Apabila makmum masbuk shalat Jumat hanya mendapatkan sujud dan tasyahud, maka dia shalat zhuhur dan tidak shalat Jumat (2 rakaat). Karena status shalat hanya bisa didapatkan (setelah mengerjakan) satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat maka dia sudah dianggap mendapatkan shalat.” 
(HR. Bukhari no. 580)

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من أدرك ركعة من الجمعة فليضف إليها أخرى وقد تمت صلاته

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jumat maka hendaknya dia tambahkan rakaat yang lain, sehingga shalat Jumatnya sempurna.” 
(HR. An-Nasa'i dan At-Turmudzi)

Dari dua hadits ini diketahui bahwa orang yang tidak mendapatkan satu rakaat jumatan bersama imam maka dia tidak mendapatkan jumatan, sehingga dia wajib shalat zhuhur."
(http://ibnbaz.org/mat/1309)

Oleh sebab itu, pendapat yang kuat berdasarkan hadits ini adalah bahwa minimal seorang masbuq mendapatkan satu rakaat bersama Imam, maka ia telah mendapatkan shalat Jum'at dalam artian nanti setelah Imam salam, ia cukup melengkapi ketinggalan satu rakaat saja, sekaligus hadits ini sanggahan bagi yang mengatakan khutbah adalah syarat atau rukun dari syarat/rukun shalat Jum'at yang tidak sah tanpanya.

Wallahu a'lam

Makmum Masbuk Ketika Shalat Jumat

Kapan batasan seseorang dianggap mendapatkan Jumatan, sehingga dia hanya cukup shalat dua rakaat ?

Imam Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan :

فَإِنَّ قَوْمًا قَالُوا: إِذَا أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمُعَةَ، وَيَقْضِي رَكْعَةً ثَانِيَةً، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، فَإِنْ أَدْرَكَ أَقَلَّ صَلَّى ظُهْرًا أَرْبَعًا. وَقَوْمٌ قَالُوا: بَلْ يَقْضِي رَكْعَتَيْنِ أَدْرَكَ مِنْهَا مَا أَدْرَكَ، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ.

“Sebagian ulama berpendapat, jika makmum mendapatkan satu rakaat shalat Jumat (bersama imam) maka dia mendapat Jumatan, sehingga dia hanya mengganti satu rakaat. Namun jika dia mendapatkan kurang dari satu rakaat (bersama imam), maka dia wajib shalat zhuhur, 4 rakaat. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i.

Sementara ulama lain berpendapat, makmum (yang masbuk) hanya mengganti dua rakaat, selama dia masih mendapatkan bagian apapun dari (shalatnya imam). Ini adalah pendapat Abu Hanifah."
(Bidayatul Mujtahid, 1/199)

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana keterangan dari Syaikh 'Abdul 'Aziz Ibnu Baz rahimahullah berikut :

إذا لم يدرك المسبوق من صلاة الجمعة إلا السجود أو التشهد ، فإنه يصلي ظهرا ولا يصلي جمعة . لأن الصلاة إنما تدرك بركعة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة)) وقوله صلى الله عليه وسلم: ((من أدرك ركعة من الجمعة فليضف إليها أخرى وقد تمت صلاته)) فعلم بهذين الحديثين أن من لم يدرك ركعة من الجمعة فاتته الجمعة وعليه أن يصلي ظهرا . والله ولي التوفيق .

“Apabila makmum masbuk shalat Jumat hanya mendapatkan sujud dan tasyahud, maka dia shalat zhuhur dan tidak shalat Jumat (2 rakaat). Karena status shalat hanya bisa didapatkan (setelah mengerjakan) satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat maka dia sudah dianggap mendapatkan shalat.” 
(HR. Bukhari no. 580)

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من أدرك ركعة من الجمعة فليضف إليها أخرى وقد تمت صلاته

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Jumat maka hendaknya dia tambahkan rakaat yang lain, sehingga shalat Jumatnya sempurna.” 
(HR. An-Nasa'i dan At-Turmudzi)

Dari dua hadits ini diketahui bahwa orang yang tidak mendapatkan satu rakaat jumatan bersama imam maka dia tidak mendapatkan jumatan, sehingga dia wajib shalat zhuhur."
(http://ibnbaz.org/mat/1309)

حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَهِيَ السُّنَّةُ

Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Maalik, dari Ibnu Syihaab dia berkata :

"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat jumat, maka sempurnakanlah yang lainnya." 

Ibnu Syihab berkata; "Hal itu adalah sunnah."
(Muwatha' Malik no. 241)

Allahu waliyyut taufiq




Iftitah Ringan, Pahala Besar

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ وَثَابِتٌ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ فَدَخَلَ الصَّفَّ وَقَدْ حَفَزَهُ النَّفَسُ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فَقَالَ أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِهَا فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ بَأْسًا فَقَالَ رَجُلٌ جِئْتُ وَقَدْ حَفَزَنِي النَّفَسُ فَقُلْتُهَا فَقَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ اثْنَيْ عَشَرَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami 'Affaan; Telah menceritakan kepada kami Hammaad; Telah mengabarkan kepada kami Qataadah dan Tsaabit dan Humaid, dari Anas,

"Bahwa seorang laki-laki datang dan masuk shaf (barisan) sementara nafasnya masih terengah-engah, lalu mengucapkan,

ALHAMDU LILLAHI HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI 
(segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, baik, lagi berbarakah)." 

Seusai shalat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Siapakah diantara kalian yang mengucapkan kalimat tadi?" Para sahabat terdiam. Beliau mengulangi pertanyaannya; "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi, karena hal itu tidak masalah baginya." Lantas seorang sahabat berujar; "Aku tadi datang, sementara nafasku masih ternegah-engah, maka kuucapkan kalimat itu (maksudnya pendek dan ringkas)." Beliau bersabda: "Tadi aku melihat dua belas malaikat berebut mengangkat ucapan itu."

(HR. Muslim no. 600)

HADITS DHA'IF (LEMAH) TENTANG PEMBAGIAN BULAN RAMADHAN

Telah masyhur (populer) di tengah masyarakat sebuah hadits yang menyatakan bahwa Ramadhan dibagi menjadi tiga; awalnya terdapat rahmat, tengahnya terdapat ampunan dan akhirnya terdapat pembebasan dari api neraka. Ketahuilah bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif bahkan munkar. Justru rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka ada di seluruh Ramadhan bukan sepertiga saja.

Hadits Pertama

Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار

“Awal bulan Ramadhan adalah rahmah, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya ‘itqun minan nar (pembebasan dari neraka).”

Disebutkan dalam Silsilah Adh-Dhaifah (kumpulan hadits dhaif) :
“Hadits ini disebutkan oleh Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa, hlm. 172; Al-Khatiib dalam Muudhiihu Auhaam Al-jam’i Wa At-Tafriiq 2/149; Ibnu ‘Asaakir 27/19; Ibnu Adi dalam Al-Kamil fid Dhu’afa’, 1/165; Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus, 1/1/10–11; dengan sanad: dari Sallam bin Siwar dari Maslamah bin Shult dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. 

Kelemahan hadist ini dilihat dari dua sisi :

Pertama, adanya perawi yang benama Sallaam bin Sawwar

Berkata Al-Imam Abu Hatiim :

ليس بالقوى

“Tidak kuat (dalam periwayatannya).” 
(Lihat Al-Jarh wa At-Ta’diil, 4/259)

Berkata Al-Uqailiy :

لا يتابع على حديثه

“Haditsnya tidak bisa menjadi penguat.”

Berkata Ibnu ‘Adiy :

هو عندي منكر الحديث وعامة ما يرويه حسان إلا أنه لا يتابع عليه

“Menurutku dia adalah Munkarul Hadits, dan kebanyakan haditsnya baik hanya saja tidak dapat menjadi penguat.” 
(Lihat Tahdziib At-Tahdziib, 4/249)

Kedua, adanya perawi yang bernama Maslamah bin Ash-Shalt

Berkata Al-Imam Abu Hatiim :

شيخ بصرى متروك الحديث

“Seoarang Syaikh dari Bashrah dan dia Matrukul Hadits.“ 
(Lihat Al-Jarh Wa At-Ta’diil, 8/269)

Berkata Al-Imam Al-Azdiiy :

ضعيف الحديث

“Seorang yang lemah (dalam periwayatan hadist)."
(Lihat Adh-Dhu’afaa wal Matrukiin, 3/119, oleh Ibnul Jauziy)

Al-Uqaili mengatakan, ‘Tidak ada bukti dari hadits Az-Zuhri.’ Sedangkan Masmalah bin Shult tidak banyak dikenal.’ Demikian pula komentar Adz-Dzahabi. 
(Silsilah Ahadits Dhaifah, no. 1569)

Hadits Kedua

Diriwayatkan oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512).

ثنا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ ثَوَابٍ ،ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْجُدْعَانِيُّ ،ثنا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ ، قَالَ : خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرَ يَوْمٍ فِي شَعْبَانَ أَوْ أَوَّلَ يَوْمٍ فِي رَمَضَانَ , فَقَالَ : “أَيُّهَا النَّاسُ ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً ، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ ” . قَالُوا : لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ . فَقَالَ : ” يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ : خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ ، وَخَصْلَتَيْنِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا ، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ : فَشَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهَا : فَتُسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا ، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ “

Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Muhammad bin Tsawaab; Telah menceritakan kepadaku 'Abdul 'Aziiz bin 'Abdillah Al Jud’aaniy; Telah menceritakan kepadaku Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari 'Aliy bin Zaid, dari Sa’iid bin Musayyib, dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata :

"Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkhutbah kepada kami di akhir hari bulan Sya’ban atau di awal hari bulan Ramadhan, beliau bersabda :

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezeki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu."

Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka”.
-selesai-

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, dari 'Aliy bin Hujr As Sa’di, dari Yusuf bin Ziyad, dari Hammam bin Yahya, dari 'Aliy bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyab dari Salman Al Farisi.

Hadits ini lemah karena terdapat perawi 'Aliy bin Zaid bin Jud’an. 
Yahya bin Ma’in berkata: “ia dha’if dalam segala hal”. 
Imam Ahmad berkata: “dhai’ful hadits“. 
Ad Daruquthni berkata: “fihi layyin“. 
'Ali Al Madini berkata: “ia dhaif menurut kami”. Adz Dzahabi berkata: “ia salah seorang huffazh, namun tidak tsabt“.

Namun At Tirmidzi menyatakan: “shaduq“. Tapi yang tepat adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar: “dhai’ful hadits, haditsnya tidak bisa dihasankan kecuali dengan mutaba’ah dan syawahid“. Dan untuk 'Aliy bin Zaid ini tidak terdapat mutaba’ah yang menguatkannya.

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (10/383), Al Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib (2/115), Al Albani dalam Takhrij Al Misykah (no. 1906), juga didhaifkan oleh Syaikh 'Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110).

Ramadhan itu Seluruhnya Rahmat, Ampunan, dan Pembebasan dari Neraka

Bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini munkar. Karena matan hadits ini bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang shahih yang menyatakan bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Dantaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” 
(HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Lebih jelas lagi pada hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam.” 
(HR. Tirmidzi no. 682, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Juga hadits Jabir bin 'Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

إنَّ للهِ في كلِّ يومٍ وليلةٍ عُتَقاءَ مِنَ النَّارِ في شهرِ رمضانَ وإنَّ لكلِّ مسلمٍ دَعوةً يدعو بها فيُسْتجابُ له

“Sesungguhnya di setiap hari dan malam bulan Ramadhan dari Allah ada pembebasan dari api neraka. Dan bagi setiap Muslim ada doa yang jika ia berdoa dengannya maka akan diijabah.” 
(HR. Ahmad 2/254, Al Bazzar no. 3142, Al Haitsami berkata: “semua perawinya tsiqah”)

Dengan demikian jelaslah bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Walhamdulillah.

Wabillahi at taufiq was sadaad

Amalan Ringan Pahalanya Besar

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari Sumayya maula Abu Bakr, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Barang siapa yang membaca,
Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahuu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syai'in qodir 
(Tidak ada Ilah yang berhaq disembah selain Allah Yang Maha Tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu)

Sebanyak seratus kali dalam sehari, maka baginya mendapatkan pahala seperti membebaskan sepuluh orang budak, ditetapkan baginya seratus hasanah (kebaikan) dan dijauhkan darinya seratus keburukan dan baginya ada perlindungan dari (godaan) setan pada hari itu hingga petang dan tidak ada orang yang lebih baik amalnya dari orang yang membaca doa ini kecuali seseorang yang dapat lebih banyak mengamalkan (membaca) dzikir ini."

(HR. Bukhari no. 3293)

Tiga Amalan dengan Pahala Tanpa Batas

1. Memaafkan

Allah tidak membatasi pahala bagi orang yang memaafkan saudaranya atas kesalahan yang dilakukan kepadanya, sebagaimana firman-Nya :

{ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ}.

"Dan barangsiapa yang memberi maaf dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah."
(QS. As-Shura : 40)

2. Bersabar 

Allah juga tidak memberikan batasan berapa banyak pahala yang Allah tetapkan bagi orang yang bersabar, sebagaimana Firman-Nya :

(إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas."
(QS. Az-Zumar : 10)

3. Puasa 

Allah juga tidak membatasi pahala bagi orang yang berpuasa, sebagaimana yang Allah sebutkan melalui lisan Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم :

(كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به).

"Semua amalan anak adam miliknya kecuali puasa sesungguhnya puasa adalah milik-Ku (Allah) dan Aku akan membalasnya sendiri."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan amalan di atas sehingga kita termasuk di antara hamba-hamba Allah yang berhak untuk mendapatkan keutamaan yang telah dijanjikan-Nya…
Aamiin

Benarkah Menuduh Orang Berzina Dicambuk 80 Kali ?

Pertanyaan : 
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Mohon maaf sebelumnya, saya punya sederet pertanyaan terkait dengan hukuman buat orang yang menuduh berzina. 

1. Benarkah hukuman buat orang yang menuduh zina itu dicambuk 80 kali? Adakah dalil yang mendasari hal itu baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah? Bagaimana kalau suami menyaksikan istrinya berzina, apakah harus ada saksi juga?

2. Bagaimana bentuk tuduhan zina dilakukan, apakah harus dengan kalimat yang jelas atau bisa dengan sindiran saja?

3. Apakah yang menuduh itu harus orang Islam juga atau orang kafir pun bisa menuduh? Bagaimana juga dengan tuduhan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang terpaksa?

4. Bagaimana kalau orang yang dituduh melakukan zina ternyata bukan muslim? Dan bagaimana kalau orang itu tidak berzina pada waktu dituduh, tetapi kemudian setelah itu baru berzina?

5. Hal-hal apa saja yang membuat seorang penuduh zina bisa terbebas dari hukuman?

Terima kasih ustadz, semoga jawabannya bisa lengkap dan tidak terlalu lama.
Wassalam

Jawaban : 
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kalau saya perhatikan pertanyaannya, sepertinya pertanyaan ini datang dari orang yang sudah tidak asing lagi dengan pelajaran hukum hudud dan syariah Islam. Setidaknya, antum bukan orang yang baru kenal syariah, tetapi barangkali sudah pernah atau sedang belajar syariah.

Sebab selain pertanyaannya cukup banyak, ternyata juga sangat detail dan rinci. Sehingga saya pun terpaksa harus membolak-balik kitab fiqih berkali-kali untuk menjawab pertanyaan ini. Untung saja pertanyaannya cuma sampai lima nomor, bayangkan kalau ada 10 atau 20 nomor, maka jawabannya bisa jadi satu buku tersendiri.

Tetapi saya tetap menghargai pertanyaan ini dan dengan senang hati berusaha untuk menjawabnya, dengan secukupnya agar pembaca yang lain tidak terlalu dibuat bingung atau jenuh.

A. Hukum Menuduh Orang Berzina Tanpa Saksi

Pada dasarnya menuduh orang berbuat zina itu hukumnya haram, tetapi dalam kasus tertentu bisa juga menjadi halal, atau malah jadi wajib. 

1. Haram

Menuduh orang lain berzina hukumnya haram, bila memang tanpa bukti atau saksi. Pelakunya berdosa besar, mendapat laknat dari Allah dan ada hukum hudud yang telah diancamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala atasnya, yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.

Dasar keharamannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala  :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." 
(QS. An-Nur : 4)

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar." 
(QS. An-Nur : 23)

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : يَا رَسُول اللَّهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَال : الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْل النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْل الرِّبَا وَأَكْل مَال الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
”Jauhi olehmu tujuh perbuatan yang mencelakakan (dosa besar)”. Para shahabat bertanya, ”Perbuatan apa sajakah itu ya Rasulullah?”. Beliau menjawab,
”Menyekutukan Allah, sihir, membunuh nyawa yang telah Allah haramkan kecuali dengan hak, memakan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menunduh wanita mukminah yang baik."
(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Terkadang Bisa Menjadi Wajib

Namun adakalanya melakukan qadzf menjadi wajib hukumnya, meskipun hukum asalnya haram. Wajibnya hanya dalam keadaan dimana seorang suami mendapati istrinya sedang melakukan zina saat sedang suci dari haidh dan belum sempat disetubuhinya.

Dalam hal ini kasusnya bila istrinya itu sampai hamil dan mengandung bayi dari laki-laki lain yang menzinainya, padahal selama enam bulan tidak dikumpulinya. Pada saat itu seorang suami wajib menafikan anak itu sebagai anaknya dan wajib menjatuhkan tuduhan zina atas istrinya.

3. Antara Wajib dan Tidak Wajib

Sedangkan qadzf yang hukumnya mubah, dalam arti tidak haram dan juga tidak wajib, adalah ketika 
seorang suami mendapati istrinya berzina, atau dia meyakini dari sumber yang terpercaya bahwa istrinya berzina, namun tidak sampai ada bukti kehamilan.

B. Kriteria Tuduhan 

Para ulama mengatakan bahwa dalam melempar tuduhan orang lain berzina, ada tiga cara yang berbeda dalam lafazhnya.

1. Sharih

Lafazh sharih adalah lafazh qadzf yang tegas dan tidak bisa ditafsirkan dengan makna-makna yang selain dari tuduhan zina. Misalnya seseorang berkata : 

"Demi Allah, aku melihat fulan telah melakukan zina dengan cara melakukan hubungan badan (jima') dengan si fulanah". 

Dan lafazh qadzf yang sharih inilah yang mewajibkan hudud, atau hukuman, berupa cambuk sebanyak 80 kali. Tentunya bila orang yang melemparkan tuduhan itu tidak mampu mendatangkan hal-hal yang menggugurkan hukuman tersebut.

2. Kinayah

Lafazh kinayah adalah lafazh qadzf yang tidak tegas dan bisa ditafsirkan dengan makna-makna yang selain dari tuduhan zina.

Dalam hal ini, madzhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang melemparkan tuduhan qadzf dengan lafazh yang kina’i, harus bersumpah bahwa dia tidak berniat melakukan tuduhan zina, agar terbebas dari hudud cambuk 80 kali, sehingga hukumannya cukup dengan ta’zir.

3. Ta’ridh

Lafazh ta’ridh adalah qadzf yang tegas dan tidak bisa ditafsirkan dengan makna-makna yang selain dari tuduhan zina.

C. Syarat Penuduh dan Yang Dituduh

Agar hukuman buat penuduh bisa dijalankan, maka harus terpenuhi syarat-syarat, baik syarat pada pihak penuduh atau pun syarat pada pihak yang dituduh. 

1. Syarat Penuduh

Para ulama telah sepakat bahwa orang yang menuduh zina tidak bisa dijatuhi hukuman, kecuali bila pada dirinya terpenuhi beberapa syarat berikut ini :

a. Sudah Baligh

Berarti bila yang menuduh cuma anak kecil yang belum baligh, tidak bisa anak kecil itu dijatuhi hukuman. 

b. Berakal

Bila yang menuduh zina itu orang gila yang tidak waras, atau istilahnya ghairu 'aqil, maka hukuman pun tidak bisa dijatuhkan kepadanya

c. Ikhtiyar

Makna ikhtiyar adalah punya pilihan atau bebas memilih, tidak terpaksa, dipaksa atau di bawah ancaman pihak-pihak tertentu. 

Sedangkan jenis kelamin, status budak, atau status keislaman tidak menjadi syarat dalam hal ini. Jadi pihak penuduh bisa saja seorang wanita, budak atau bahkan orang kafir sekalipun. 

2. Syarat Orang yang Dituduh

Agar pihak penuduh bisa dijatuhi hukuman, maka pihak yang dituduh harus berstatus muhshan. Apa maksudnya? Orang yang muhshan itu adalah orang yang memenuhi kriteria ihshan, antara lain :

a. Beragama Islam

Maka kalau yang dituduh berzina bukan orang Islam, penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman. Dalam hal ini ada dalil dari hadits Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwa orang kafir bukan termasuk orang muhshan :

مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ

"Siapa yang musyrik (memeluk agama syirik) dia bukan orang muhshan."
(HR. Ad-Daruquthuni)

b. Baligh

Kalau yang dituduh berzina cuma anak kecil yang belum baligh, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

c. Berakal

Kalau yang dituduh berzina hanya orang gila yang pikirannya cuma sebelah, alias akalnya tidak waras, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

d. Merdeka

Demikian juga bila orang yang dituduh bersatatus budak, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

e. Iffah dari Zina

Yang dimaksud dengan iffah dari zina adalah status seseorang yang terhormat dan suci atau menjauhi diri dari perbuatan zina. Dia selalu berada dalam keadaan menjaga diri dan kehormatannya dari perbuatan terlarang itu serta menghindari dari mendekat-dekat kepada zina. Mungkin terjemahan mudah dari iffah ini adalah : orang baik-baik. 

Lawan dari istilah iffah ini adalah perbuatan zina itu sendiri. Maka orang yang tidak iffah adalah orang yang pernah atau malah suka berzina, serta tidak menjaga diri dari hal-hal yang mendekati zina itu sendiri.

D. Bagaimana Agar Penuduh Terbebas Dari Cambuk 80 Kali ? 

Tuduhan kepada orang lain melakukan zina bisa benar dan bisa tidak benar. Prinsipnya bila tuduhan itu benar, tentu saja penuduh tidak perlu dijatuhi hukuman. Sebaliknya, bila tuduhan itu tidak benar, maka penuduhnya bisa dijatuhi hukuman.

Secara lebih rinci, ada beberapa hal lain yang membuat orang yang menuduh zina tidak perlu dijatuhi hukuman cambul 80 kali, antara lain adalah :

1. Permaafan dari yang Dituduh

Seandainya orang yang dituduh berzina memberi maaf, maka hukuman cambuk 80 kali buat penuduh bisa dibatalkan. Ini adalah pendapat yang paling banyak dipegang, khususnya dalam madzhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Landasannya dalam pandangan mereka, bahwa urusan tuduhan zina merupakan pelanggaran hak adami dan bukan hak Allah. 

Jadi mirip seperti masalah mu'amalah atau utang piutang, dimana bila orang yang memberi utang memaafkan, selesai sudah kewajiban pengutang.

Memang ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tuduhan zina merupakan pelanggaran atas hak Allah, seperti kasus zina itu sendiri. Sehingga meski pun yang dituduh sudah memaafkan, namun permaafan itu tidak secara otomatis membebaskan penuduh dari hukuman. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Al-Hanafiyah.

2. Li’an

Li'an adalah kasus dimana suami mendapati istrinya telah berzina, namun suami tidak bisa mendatangkan empat orang saksi sebagai syarat diterima tuduhan. Maka dalam hukum syari'ah dikenal istilah li'an. 

Dalam hal ini seorang suami yang meli'an istrinya sendiri tidak perlu dijatuhi hukuman qadzaf berupa cambuk 80 kali. 

3. Pembuktian

Yang dimaksud dengan pembuktian disini ada dua macam, yaitu didatangkannya 4 orang saksi zina yang memenuhi syarat, atau adanya pengakuan dari pelaku zina atas zina yang dilakukannya. 

Kalau kesaksian atau pengakuan itu ada, maka penuduh zina tidak perlu dijatuhi hukuman cambuk 80 kali, karena tuduhannya terbukti secara syar'i telah benar.

4. Yang Dituduh Bukan Muhshan

Syarat jatuhnya tuduhan adalah bahwa orang yang dituduh berzina itu orang yang muhshan. Orang yang dikatakan muhshan itu adalah orang yang beragama Islam, aqil, baligh, merdeka, dan suci dari perzinaan. 

Bila orang yang dituduh zina tidak memenuhi salah satu dari kriteria muhshan, maka gugurlah hukuman buat penuduh. Misalnya orang yang dituduh itu bukan muslim, atau anak kecil yang belum baligh, atau orang gila yang tidak berakal, atau budak hamba sahaya, atau orang yang memang berstatus pezina, mana saja dari salah satu kriteria muhshan itu, maka terbebaslah penuduhnya dari hukuman.

Umpamanya ada seorang muhshan dituduh berzina, tetapi tidak lama kemudian orang ini malah mengerjakan perbuatan zina itu betulan, maka terbebaslah penuduhnya dari hukuman meski zina itu dilakukan setelah adanya tuduhan.

5. Dicabutnya Persaksian

Tindakan zina yang dilakukan oleh seseorang baru bisa dijatuhi hukuman manakala ada empat orang saksi di pengadilan dengan segala persyaratannya. Kalau eksekusi belum dijalankan, lalu tiba-tiba ada saksi yang mencabut kesaksiannya, maka saksi itu tidak bisa dianggap sebagai penuduh zina yang wajib dihukum.

Jadi maksud poin ini adalah saksi yang mencabut kesaksiannya akan terlepas dari hukuman sebagai penuduh. 

Itulah sekilas lintas tentang apa dan bagaimana ketentuan syariah terhadap orang yang menuduh orang lain berzina. Sampai disini dulu jawabannya, semoga bermanfaat dan mendapatkan keberkahan. Aamiin. 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., MA



Sebaiknya Muslim Tahu...

1. Surat terpanjang di dalam Al-Qur`an adalah Surat Al-Baqarah.

2. Surat terpendek di dalam Al-Qur`an adalah Surat Al-Kautsar.

3. Ayat terpanjang di dalam Al-Qur`an adalah Ayat 282 pada Surat Al-Baqarah.

4. Ayat terpendek di dalam Al-Qur`an adalah Ayat 64 Surat Ar-Rahman, مُدْهَامَّتَانِ (Mud Haammataan), yang bermakna: "kedua surga itu (kelihatan) hijau tua warnanya".

5. Ayat di dalam Al-Qur'an yang di dalamnya terkandung seluruh huruf hijaiyah (dari Alif sampai dengan Yaa), yaitu Surat Al-Fath ayat 29 dan Surat Ali 'Imran ayat 154.

6. Surat yang paling utama di dalam Al-Qur`an: Surat Al-Fatihah.

7. Juz yang paling banyak berisi surat adalah Juz ke-30 (Juz 'Amma).

8. Surat yang berisi banyak sumpah Allah adalah Surat Asy-Syams (surat ke-91).

9. Huruf yang paling banyak digunakan di dalam Al-Qur`an adalah حرف الألف Huruf Alif.

10. Huruf yang paling sedikit digunakan di dalam Al-Qur`an adalah حرف الظاء Huruf Zha`.

11. Kata terpanjang di dalam Al-Qur`an adalah "Fa-Asqaynaakumuuhu" فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ pada Surat Al-Hijr ayat 22.

12. Nama nabi yang banyak disebut di dalam Al-Qur`an adalah Nabi Musa 'alaihissalam.

13. Malam yang paling utama yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Malam Qadr.

14. Bulan yang paling utama yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Bulan Ramadhan.

15. Minuman terbaik yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Susu.

16. Makanan terbaik yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Madu.

17. Angka terbesar yang disebut Al-Qur`an adalah 100.000 (seratus ribu).

18. Hewan terbesar yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Ikan Paus yang menelan Nabi Yunus 'alaihissalam.

19. Hewan terkecil yang disebut di dalam Al-Qur`an adalah Nyamuk.

20. Nama buah yang paling banyak disebut di dalam Al-Qur`an adalah Anggur.

Maa sya Allah...
Baarakallahu fiiykum

Tidak Wajib Menghadap Persis ke Arah Ka’bah ?

Menghadap kiblat termasuk salah satu syarat sah shalat. Kecuali ketika shalat khauf (shalat ketika perang), mereka yang tidak mampu menghadap kiblat karena udzur, atau ketika shalat di atas kendaraan.

Allah ta'ala berfirman :

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram…" 
(QS. Al-Baqarah : 144)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cara shalat yang benar, beliau mengatakan :

إِذا قمتَ إِلى الصلاة فأسبغ الوضوء، ثمَّ استقبِل القبلة فكبِّر

"Jika kamu hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat dan lakukan takbiratul ihram..."
(HR. Bukhari no. 6667)

Kemudian, ulama sepakat bahwa orang yang bisa melihat Ka’bah atau melihat Masjidil Haram, dia harus menghadap persis ke arah Ka’bah.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ
لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashr berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dari 'Athaa` berkata; Aku mendengar Ibnu 'Abbaas berkata :

"Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat dengan memandang Ka'bah lalu bersabda: "Inilah kiblat."
(HR. Bukhari no. 398)

Dalam Al-Hawi fi Tafsir Al-Quran dinyatakan :

أمّا إذا كان مشاهدًا لها فقد أجمعوا أنه لا يجزيه إلا إصابة عين الكعبة

"Jika orang itu bisa melihat Ka’bah, mereka sepakat bahwa shalatnya tidak sah kecuali dengan menghadap persis ke arah Ka’bah."

Jauh dari Ka’bah, Haruskah Menghadap Tepat ke Arah Ka’bah ?

Polemik kiblat mulai diangkat, sejalan dengan proyek kementrian agama dalam meluruskan arah kiblat di berbagai masjid. Berbondong-bondong beberapa masjid di sekitar kita, melakukan kallibrasi arah kiblat. Dan rata-rata, arah bangunan tidak searah dengan kiblat pasca-kalibrasi.

Akibatnya, pola shaf masjid menjadi korbannya. Semua serba dimiringkan, yang sedikit mengganggu pemandangan dalam masjid.

Agar ketika beramal kita memiliki keyakinan dan pedoman, berikut kita akan simak penjelasan para ulama tentang arah kiblat, terutama bagi mereka yang jauh dari Ka’bah. Apakah harus tepat ke arah Ka’bah ?

Sebagian ulama berpendapat bahwa semua orang yang shalat, wajib menghadap tepat ke arah Ka’bah. Namun pendapat ini dinilai sangat lemah oleh ulama lainnya. Bahkan Ibnul Arabi menyatakan, bahwa itu adalah kewajiban yang tidak mungkin bisa dilaksanakan (kecuali oleh sebagian kecil orang).

Ketika menyebutkan pendapat ini, Imam Al-Qurthubi menukil keterangan Imam Ibnul 'Arabi.

قال ابن العربي : وهو ضعيف ; لأنه تكليف لما لا يصل إليه

Ibnul 'Arabi menyatakan :
“Ini pendapat lemah. Karena di sana ada unsur taklif (membebani) untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.” 
(Tafsir Al-Qurthubi, 2/160)

Sementara itu, mayoritas ulama mengatakan,

Kewajiban mereka yang jauh dari Ka’bah adalah menghadap ke arah di mana Ka’bah berada. Dan itulah arti perintah menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Mekkah.

Ini merupakan jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, dan sebagian Syafi'iyah.

Bahkan Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa semua ulama sepakat, bagi orang yang jauh dari Mekkah, dia tidak wajib menghadap persis ke arah Ka’bah. Dalam tafsirnya, Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan :

وأجمعوا على أن كل من غاب عنها أن يستقبل ناحيتها وشطرها وتلقاءها

"Ulama sepakat bahwa orang yang jauh dari Ka’bah, dia boleh menghadap ke arah di mana Ka’bah berada."
(Tafsir Al-Qurthubi, 2/160)

Sebagai contoh warga Indonesia. Kiblat berada di arah barat-barat laut. Sehingga menurut mayoritas ulama, masyarakat Indonesia sudah disebut menghadap kiblat, ketika mereka menghadap ke arah barat-barat laut.

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini :

Pertama, firman Allah tentang perintah menghadap kiblat.

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Hadapkanlah wajahmu ke arah (Syatral) Masjidil Haram…”

Keterangan :

معنى شَطره، أي: نَحوَه وتلقاءَه

"Makna kata ‘Syathrahu’ adalah ke arah di mana masjidil haram berada."
(Majmu’ Fatawa, 22/207)

Ayat itu tidak menyatakan, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram…”, tapi “Hadapkanlah wajahmu ke arah (Syatral) Masjidil Haram…”. Adanya tambahan kata Syatrah menunjukkan bahwa dalam menghadap kiblat tidak harus tepat ke arah Ka’bah.

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjelaskan arah kiblat.

Beliau berposisi di Madinah, sejauh 490 km di sebelah utara Mekkah. Untuk perjalanan sepekan dengan unta di masa itu. Sehingga kiblat masjid nabawi menghadap ke arah selatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan arah kiblat dengan sangat mudah.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ بَكْرٍ الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا الْمُعَلَّى بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَخْنَسِيِّ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَإِنَّمَا قِيلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ لِأَنَّهُ مِنْ وَلَدِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ مِنْهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَابْنُ عَبَّاسٍ و قَالَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا جَعَلْتَ الْمَغْرِبَ عَنْ يَمِينِكَ وَالْمَشْرِقَ عَنْ يَسَارِكَ فَمَا بَيْنَهُمَا قِبْلَةٌ إِذَا اسْتَقْبَلْتَ الْقِبْلَةَ و قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ هَذَا لِأَهْلِ الْمَشْرِقِ وَاخْتَارَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ التَّيَاسُرَ لِأَهْلِ مَرْوٍ

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan Bakr Al Marwaziy berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Mu'alla bin Manshuur berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Ja'far Al Makhzumiy, dari 'Utsmaan bin Muhammad Al Akhnas, dari Sa'iid Al Maqburiy, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Antara timur dan barat adalah arah kiblat." 

Abu 'Iisa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Ia disebut dengan 'Abdullah bin Ja'far Al Makhzumi karena ia adalah anak dari Al Miswar bin Makhramah. 

Telah diriwayatkan lebih dari seorang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Antara timur dan barat adalah arah kiblat." Di antara yang berpendapat seperti itu adalah 'Umar bin Al Khaththaab, 'Aliy bin Abu Thaalib dan Ibnu 'Abbaas. Ibnu 'Umar berkata; "Jika engkau jadikan arah barat pada sisi kananmu dan arah timur pada sisi kirimu, maka antara keduanya adalah arah kibat. Dan dengan begitu engkau telah menghadap ke kiblat." 

Ibnu Al Mubaarak berkata; "Antara timur dan barat adalah arah kiblat, dan ini adalah untuk penduduk wilayah timur." Dan 'Abdullah bin Al Mubaarak memilih arah kiri bagi penduduk Marwa."
(HR. Tirmidzi no. 344)

Syaikh Al-Mubarakfuri rahimahullah menyebutkan keterangan Imam As-Suyuthi rahimahullah.

قال السيوطي ليس هذا عاما في سائر البلاد وإنما هو بالنسبة إلى المدينة الشريفة ونحوها

As-Suyuthi mengatakan :
“Hadits ini tidak bersifat umum untuk semua negeri. Namun aturan ini berlaku untuk Madinah kota mulia atau yang posisinya seperti Madinah.” 
(Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Sunan Turmudzi, 2/266)

Bagi penduduk Madinah, kiblat mereka menghadap ke selatan. Selama mereka terhitung menghadap ke selatan, mereka telah menghadap kiblat, sekalipun tidak tepat ke arah Ka’bah.

Ketiga, kejadian perubahan Ka’bah di Masjid Quba.

Arah kiblat pernah berpindah dua kali. Dulu, di awal-awal kaum muslimin hijrah di Madinah, mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Enam bulan berikutnya, Allah perintahkan agar kiblat mereka menuju ke arah Mekkah.

Sehingga dulu para sahabat melakukan shalat menghadap ke utara (ke Baitul Maqdis), kemudian pindah menghadap ke arah selatan (ke Mekkah).

Suatu ketika, kaum muslimin di masjid Quba shalat subuh dengan menghadap Baitul Maqdis (utara). Tiba-tiba datang utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka shalat. Utusan ini mengatakan :

أَلاَ إِنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ إِلَى الْكَعْبَةِ

“Sesungguhnya kiblat telah dipindah.”

Akhirnya, para sahabat yang sedang melaksanakan shalat subuh berjamaah memutar arah tubuhnya. Imam berputar, yang awalnya menghadap ke utara menjadi shalat jamaah menghadap ke selatan. Ini semua mereka lakukan tanpa membatalkan shalat. 
(HR. Muslim no. 526)

Anda bisa pastikan, mereka ketika berputar, tidak akan 100% tepat ke arah Ka’bah. Itu sesuatu yang sangat mustahil. Namun shalat mereka tetap sah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mereka untuk mengulangi shalatnya.

Keempat, islam adalah agama yang sangat mudah, tidak merepotkan penganutnya.

Ada banyak ayat yang menegaskan bahwa islam itu mudah, tidak menyulitkan. Diantaranya :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” 
(QS. Al-Hajj : 78)

Allah juga berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Allah tidak ingin menyusahkan kalian." 
(QS. Al-Baqarah : 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Agama itu mudah. Tidak ada seorang-pun yang membuat sulit agama, kecuali dia akan sangat kerepotan.” 
(HR. Bukhari no. 39)

Ketika setiap orang yang hendak shalat harus melakukan kalibrasi (penyesuaian) arah kiblat, tentu saja ini akan sangat merepotkan dan ini bertentang dengan prinsip syariat yang memberikan kemudahan.

Mungkin kita bisa melakukannya ketika di masjid yang arah kiblatnya telah disesuaikan. Masalahnya, kita mengerjakan shalat tidak hanya di masjid. Bagaimana jika shalat itu di rumah, atau di tempat yang arah kiblatnya belum disesuaikan ?

Bukankah Sudah ada Kompas ?

Ada beberapa jawaban untuk menjawab pertanyaan ini :

Pertama, tidak mungkin setiap shalat, kita harus membawa kompas. Dan ini akan sangat merepotkan. Dan ini bertentangan dengan prinsip syariat islam yang memberi kemudahan.

Kedua, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, tabi'in, para ulama imam madzhab belum ada kompas. Kompas baru ditemukan abad 9 M oleh orang cina. Mereka menggunakan jarum yang mengambang, sebagaimana diuraikan dalam buku Loven Heng. Pelaut Persia memperoleh kompas dari orang Cina dan kemudian memperdagangkannya.

Sementara pelaksanaan syariat yang paling ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan keterbatasan alat navigasi ketika itu, sangat memungkinkan mereka shalat tidak tepat menghadap kiblat. Apakah berarti shalat mereka tidak sah??

Ketiga, ketika Allah menurunkan Al-Quran di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dia tahu bahwa di masa depan ada alat navigasi yang canggih. Namun Allah tidak memerintahkan kita untuk menghadap tepat ke arah kiblat.

Yang Allah perintahkan adalah menghadap ke arah di mana kiblat berada (Syathral Masjidil Haram).

Keempat, sekalipun sudah dikalibrasi, orang yang shalat tidak akan lepas dari faktor kesalahan dan penyimpangan. Meskipun hanya 1 atau 2 derajat. Sementara jarak Indonesia dengan Mekkah, lebih dari 7900 km. Hanya dengan menyimpang 1 derajat, anda telah menyimpang sejauh 544 km.

Sementara kita tidak mungkin bisa tepat 100% ke arah Ka’bah.

Semua Mengakui Tidak Mungkin Bisa Tepat

Sejatinya semua ulama sepakat bahwa tidak mungkin seseorang bisa menghadap kiblat tepat ke arah Ka’bah. Sampaipun mereka yang berpendapat disyariatkan untuk tepat menghadap Ka’bah, maksud mereka adalah secara niat.

Dalam Al-Hawi fi Tafsir Al-Quran dinyatakan :

وكأنّ الفريق الأول حين أحسوا صعوبة مذهبهم، خصوصًا من غير المشاهد لها قالوا: إن فرض المشاهد للكعبة إصابةُ عينها حسًّا، وفرض الغائب عنها إصابة عينها قصدًا

"Para ulama yang berpendapat harus tepat ke arah Ka’bah, mereka merasa kesulitan untuk menerapkan pendapatnya. Terutama bagi mereka yang jauh dari Ka’bah. Mereka mengatakan,

‘Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk tepat menghadap Ka’bah. Sementara bagi yang tidak melihat Ka’bah harus berniat tepat ke arah Ka’bah.’"

Kemudian dikomentari penulis Al-Hawi fi Tafsir :

وبعد هذا يكاد يكون الخلاف بين الفريقين شكليًا، لأنهم صرحوا بأنّ غير المشاهد لها يكفي أن يعتقد أنه متوجه إلى عين الكعبة

"Dengan ini kita bisa simpulkan bahwa perbedaan pendapat kedua madzhab hanya perbedaan luar (tetapi hakekatnya sama). Karena mereka menegaskan bahwa mereka yang tidak melihat Ka’bah cukup meyakini bahwa dirinya telah menghadap tepat ke arah Ka’bah."
(Al-Hawi fi Tafsir Al-Quran Al-Karim)

Fatwa MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau mushala agar mengarah ke kiblat.

Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H. Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA.

Diktum Fatwa

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat Al-Ka’bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap kearah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.
(http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-tentang-arah-kiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50)

Fatwa MUI ini menindaklanjuti beredarnya informasi di tengah masyarakat mengenai adanya ketidakakuratan arah kiblat di sebagian masjid atau mushala di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit. Atas informasi tersebut masyarakat resah dan mempertanyakan hukum arah kiblat.

Sehingga komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang arah kiblat untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat, demikian tercantum dalam Fatwa yang ditanda tangani oleh Ketua Muhammad Anwar Ibrahim dan sekretaris Hasanudin itu.
(http://www.sulut.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=2277)

Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat. Wallahu a’lam bish shawab. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud : 88)

Allahu a’lam

Hukum Adzan Tanpa Wudhu

Terdapat sebuah hadits yang menyatakan,

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ يَحْيَى الصَّدَفِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤَذِّنُ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Hujr berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Waliid bin Muslim, dari Mu'aawiyah bin Yahya Ash Shadafiy, dari Az Zuhriy, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

"Tidak boleh melakukan adzan kecuali orang yang telah berwudhu."
(HR. Tirmidzi no. 200)

Derajat Hadits

Al Waliid bin Muslim termasuk perawi mudallis dengan tadlis taswiyah. Sementara sanad hadits ini mu’an’an.

Mu'aawiyah bin Yahya Ash Shadafiy adalah perawi yang dhaif.

Az Zuhriy dari Abu Hurairah terputus. Karena Az Zuhriy tidak pernah mendengar dari Abu Hurairah. Sehingga statusnya munqati’.
(Al-Irwa’, 1/240)

Dalam riwayat selanjutnya, terdapat atsar dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
لَا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ إِلَّا مُتَوَضِّئٌ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ الْحَدِيثِ الْأَوَّلِ قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَمْ يَرْفَعْهُ ابْنُ وَهْبٍ وَهُوَ أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ الْوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ وَالزُّهْرِيُّ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْأَذَانِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ فَكَرِهَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ وَإِسْحَقُ وَرَخَّصَ فِي ذَلِكَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَأَحْمَدُ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muusa berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Wahb, dari Yuunus, dari Ibnu Syihaab ia berkata; Abu Hurairah berkata :

"Tidak sepantasnya mengumandangkan adzan kecuali orang yang telah berwudhu." 

Abu 'Iisa berkata; "Hadits ini lebih shahih daripada hadits yang pertama." Abu 'Iisa berkata; "Dan hadits Abu Hurairah tidak ada yang memarfu'kannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kecuali Ibnu Wahb, namun hadits ini lebih shahih daripada hadits riwayat Al Waliid Ibnu Muslim. Sedangkan Az Zuhriy juga tidak mendengar dari Abu Hurairah. Para ulama berselisih tentang hukum adzan yang dilakukan tanpa berwudhu terlebih dahulu. Sebagian dari mereka memakruhkannya, pendapat ini diambil oleh Syafi'i dan Ishaq. Sedangkan sebagian lain memberi keringanan, pendapat ini diambil oleh Sufyaan Ats Tsauriy, bin Al Mubaarak dan Ahmad."
(HR. Tirmidzi no. 201)

Atsar ini juga terputus antara Ibnu Syihaab dengan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Kesimpulan, hadits di atas adalah hadits dhaif yang tidak bisa dijadikan dalil.

Mengingat hadits ini statusnya dhaif, maka tidak bisa dijadikan dalil larangan mengumandangkan adzan bagi orang yang tidak memiliki wudhu. Karena itulah, ulama sepakat bahwa bukan termasuk syarat sahnya adzan, orang yang mengumandangkan adzan harus suci dari hadats kecil. Sehingga orang yang tidak memiliki wudhu karena hadats kecil, status adzannya sah. Sebagaimana keterangan Al-Wazir Ibnu Hubairah. 
(Al-Ifshah ‘an Ma’ani Ash-Shihah, 1/68)

Selain keterangan ijma’ di atas, diantara dalil lain yang menjelaskan bolehnya adzan tanpa memiliki wudhu adalah hadits bolehnya berdzikir dalam keadaan berhadats.

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ الْبَهِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-'Alaa' dan Ibraahiim bin Myusa keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Zaa`idah, dari Bapaknya, dari Khaalid bin Salamah, dari Al-Bahiy, dari 'Urwah, dari 'Aisyah berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap waktunya."
(HR. Muslim no. 373)

Dan adzan isinya adalah dzikir kepada Allah sebagai tanda panggilan shalat.

Ulama sepakat bahwa dianjurkan agar ketika mengumandangkan adzan, seseorang dalam keadaan suci dari hadats besar maupun kecil. Meskipun ini bukan syarat sah adzan. Karena adzan termasuk dzikir, dan kita dianjurkan untuk mengagungkan Allah dalam keadaan sudah bersuci.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ حُضَيْنِ بْنِ الْمُنْذِرِ أَبِي سَاسَانَ عَنْ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ أَنَّهُ
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ عَلَى طَهَارَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'la; Telah menceritakan kepada kami Sa'iid, dari Qataadah, dari Al Hasan, dari Hudhain bin Al Mundzir Abi Saasaan, dari Al Muhaajir bin Qunfudz,

"Bahwasanya dia pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi, namun beliau tidak menjawab salamnya hingga berwudhu, kemudian beliau meminta maaf seraya bersabda: "Sesungguhnya aku tidak suka menyebut Nama Allah Ta'ala kecuali dalam keadaan suci."
(HR. Abu Dawud no. 17)

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama menilai makruh adzan dalam kondisi berhadats. Diantaranya adalah ulama tabi'in, 'Atha' bin Abi Rabah dan Imam Asy-Syafi'i.

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan :

وَأَنَا لِلْأَذَانِ جُنُبًا أَكْرَهُ مِنِّي لِلْأَذَانِ مُحْدِثًا، وَأَنَا لِلإِقَامَةِ مُحْدِثًا أَكْرَهُ مِنِّي لِلْأَذَانِ مُحْدِثًا

"Bagi saya, orang yang adzan dalam kondisi junub, lebih aku benci dibandingkan orang yang adzan dalam kondisi berhadats kecil. Bagi saya, orang yang iqamah dalam kondisi berhadats kecil, lebih aku benci dibandingkan orang yang adzan dalam kondisi berhadats kecil."
(Syarh As-Sunnah, Al-Baghawi, 2/266)

Allahu a’lam

Rabu, 22 Juli 2020

LARANGAN BERSUMPAH DENGAN MENDAHULUI ALLAH

Larangan Memvonis Ahli Neraka kepada Orang Lain

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 
(QS. Al Hujurat : 1)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” 
(QS. Al Ahzab : 36)

حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُعْتَمِرِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ أَوْ كَمَا قَالَ

Telah menceritakan kepada kami Suwaid bin Sa'iid, dari Mu'tamir bin Sulaimaan, dari Bapaknya; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Imraan Al Jauniy, dari Jundab bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda : 

"Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata; 'Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.' Sementara Allah berfirman: 'Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah memutuskan amal perbuatanmu." Kurang lebih begitulah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
(HR. Muslim no. 2621)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ بْنِ سُفْيَانَ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنِي ضَمْضَمُ بْنُ جَوْسٍ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbaah bin Sufyaan berkata; Telah mengabarkan kepada kami 'Aliy bin Tsaabit, dari 'Ikrimah bin 'Ammaar ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Dhamdham bin Jaus ia berkata; Abu Hurairah berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Ada dua orang laki-laki bersaudara dari Bani Israa'iil; salah seorang dari mereka suka berbuat dosa sementara yang lain giat dalam beribadah. Orang yang giat dalam beribadah itu selalu melihat saudaranya berbuat dosa hingga ia berkata, "Berhentilah." Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata lagi, "Berhentilah." Orang yang suka berbuat dosa itu berkata, "Biarkan aku bersama Tuhanku, apakah engkau diutus untuk selalu mengawasiku!" Ahli ibadah itu berkata, "Demi Allah, sungguh Allah tidak akan mengampunimu, atau tidak akan memasukkanmu ke dalam surga." 

Allah kemudian mencabut nyawa keduanya, sehingga keduanya berkumpul di sisi Rabb semesta alam. Allah kemudian bertanya kepada ahli ibadah: "Apakah kamu lebih tahu dari-Ku? Atau, apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?" Allah lalu berkata kepada pelaku dosa: "Pergi dan masuklah kamu ke dalam surga dengan rahmat-Ku." Dan berkata kepada ahli ibadah: "Pergilah kamu ke dalam neraka." 

Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku ada dalam tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu ucapan yang mampu merusak dunia dan akhiratnya."
(HR. Abu Dawud no. 4901)

حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ جَوْسٍ الْيَمَامِيِّ قَالَ
قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ يَا يَمَامِيُّ لَا تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا قُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ إِنَّ هَذِهِ لَكَلِمَةٌ يَقُولُهَا أَحَدُنَا لِأَخِيهِ وَصَاحِبِهِ إِذَا غَضِبَ قَالَ فَلَا تَقُلْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ كَانَ أَحَدُهُمَا مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى نَفْسِهِ فَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى ذَنْبٍ فَيَقُولُ يَا هَذَا أَقْصِرْ فَيَقُولُ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا قَالَ إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ فَقَالَ لَهُ وَيْحَكَ أَقْصِرْ قَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا قَالَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ أَبَدًا قَالَ أَحَدُهُمَا قَالَ فَبَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا وَاجْتَمَعَا فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلْ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلْآخَرِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي خَازِنًا اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسُ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِالْكَلِمَةِ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aamir; Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah bin 'Ammaar, dari Dhamdham bin Jaus Al Yamaamiy berkata :

"Abu Hurairah berkata kepadaku, "Wahai orang Yamaam janganlah sekali-kali kamu berkata kepada seseorang; 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu,' atau 'tidak memasukkanmu ke dalam surga selama-lamanya,' aku berkata; "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya ini adalah sebuah kalimat yang sering dikatakan salah seorang dari kami kepada saudaranya atau sahabatnya jika ia marah," Abu Hurairah berkata; "Kamu jangan mengucapkannya karena sesungguhnya aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Pernah ada dua orang laki-laki dari Bani Israa`iil yang satu adalah seorang yang rajin ibadah sedangkan yang lain melampaui batas terhadap dirinya, mereka adalah dua orang yang saling bersaudara, maka yang rajin beribadah selalu melihat saudaranya berbuat dosa, hingga ia berkata; 'Berhentilah,' saudaranya yang berbuat dosa berkata; 'Tinggalkanlah aku, demi Tuhanku apakah kamu telah diutus kepadaku sebagai pengawas,'" 

Rasulullah bersabda: "Hingga pada suatu hari ketika ia melihat saudaranya telah berbuat dosa yang ia rasa adalah suatu hal yang besar maka ia berkata; 'Celaka kamu, berhentilah! ' saudaranya berkata; 'Tinggalkanlah aku, demi Tuhanku apakah kamu diutus kepadaku sebagai pengawas,'" Rasulullah bersabda: "Maka laki-laki yang rajin beribadah berkata; 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu,' atau 'tidak memasukkanmu ke dalam surga selama-lamanya,'" ia mengatakan salah satu darinya. 

Rasulullah bersabda: "Lalu Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mencabut nyawa mereka, lalu keduanya berkumpul, maka Allah berfirman kepada seorang yang berbuat dosa; 'Pergi dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku,' dan berfirman kepada yang satu lagi; 'Apakah kamu lebih tahu tentang urusan-Ku? apakah kamu membawa rahasia yang ada di tangan-Ku? pergi dan bawalah dia ke neraka.'" Rasulullah bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Abul Qasim berada di genggaman-Nya, sungguh dia telah berbicara dengan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."
(HR. Ahmad no. 7942)

PELAJARAN HADITS

1. Berkata atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa terbesar yang menghanguskan amal pelakunya. Seperti klaim laki-laki ini, bahwa Allah tidak mengampuni fulan. Allah Maha Mampu untuk melakukan apa yang Dia inginkan dan rahmat-Nya sangat luas.

2. Hendaknya seorang muslim berhati-hati dalam bermuamalah dengan Tuhannya. Dia harus bersikap dengan sikap ubudiyah, mentaati-Nya, menjalankan perintah-Nya, bersabar dalam berdakwah dan tidak terburu-buru dalam menghukumi mereka.

3. Hadits di atas menunjukkan bahwa neraka lebih dekat kepada seseorang daripada tali sandalnya sendiri. Demikian halnya dengan surga.

4. Takut terhadap su’ul khatimah. Ahli ibadah ini masuk Neraka dan pelaku dosa itu masuk Surga.

5. Hadits ini mengandung dalil bagi Ahlus Sunnah, bahwa Allah mengampuni dosa tanpa taubat jika berkehendak, sebagaimana Dia mengampuni pelaku dosa ini padahal dia tekun berlaku dosa seperti yang tertangkap dari hadits.

Allahul musta'an

Cari Berkah dalam Pekerjaan, Bukan Besarnya Gaji

حَدَّثَنَا يَزِيدُ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ عَنْ وَائِلٍ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ

Telah menceritakan kepada kami Yaziid; Telah menceritakan kepada kami Al Mas'udiy, dari Waa`il Abu Bakr, dari 'Abaayah bin Rifaa'ah bin Raafi' bin Khadiij, dari Kakeknya Raafi' bin Khadiij dia berkata :

"Dikatakan, "Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?" beliau bersabda: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” 
(HR. Ahmad, 4/141)

Kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa para sahabat tidak bertanya manakah pekerjaan yang paling banyak penghasilannya. Namun yang mereka tanya adalah manakah yang paling thayyib (diberkahi). Sehingga dari sini kita tahu bahwa tujuan dalam mencari rezeki adalah mencari yang paling berkah, bukan mencari manakah pekerjaan yang penghasilannya paling besar. Karena penghasilan yang besar belum tentu berkah.
Demikian penjelasan berharga dari Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 6/10.

Pekerjaan yang gajinya besar pun kadang sampai melalaikan dari ibadah seperti shalat. Sungguh mengkhawatirkan.

Baarakallahu fiiykum

4 JANJI ALLAH DALAM AL-QUR'AN

SUNGGUH jika kita selalu berhusnuzhan kepada Sang Pencipta, kita tak akan pernah lelah untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, berusahalah untuk Lillah.

Karena Allah telah menyiapkan suatu yang indah untuk kita, seperti 4 janji Allah di dalam Al-Qur’an di bawah ini :

1. 
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".
(QS. Ibrahim : 7)

2. 
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku."
(QS. Al-Baqarah : 152)

3. 
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu."
(QS. Ghafir : 60)

4. 
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

"Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun."
(QS. Al-Anfal : 33)

Semoga dapat meningkatkan ghirah kita dalam menjalani hidup ini dan mempersiapkan hidup yang sesungguhnya nanti.

Baarakallahu fiiykum



KEUTAMAAN SURAH AL MULK

Hadits Pertama

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَبَّاسٍ الْجُشَمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ سُورَةً مِنْ الْقُرْآنِ ثَلَاثُونَ آيَةً شَفَعَتْ لِرَجُلٍ حَتَّى غُفِرَ لَهُ وَهِيَ سُورَةُ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar; Telah menceritakan pada kami Muhammad bin Ja’far; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari ‘Abbaas Al Jusyamiy, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Ada suatu surat dari Al Qur’an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafa’at bagi yang membacanya, sampai dia diampuni, yaitu: “Tabaarakalladzii biyadihil mulku… (surat Al Mulk).”

Abu 'Iisa berkata; Hadits ini hasan.
(HR. Tirmidzi no. 2891)

Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan :
“'’Abbas Al Jusyamiy tidak diketahui mendengar hadits dari Abu Hurairah. Akan tetapi Ibnu Hibban menyebutkan perawi tersebut dalam Ats Tsiqat. Hadits tersebut memiliki syahid (penguat) dari hadits yang shahih dari Anas, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir dengan sanad yang shahih.” 
(Nailul Authar, 2/227)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

سُوْرَةٌ فِى الْقُرْآنِ خَاصَمَتْ عَنْ صَاحِبِهَا حَتَّى أَدْخَلَتْهُ الْجَنَّةَ : تَبارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ

“Satu surat dalam Al-Qur’an yang hanya (terdiri dari) tiga puluh ayat akan membela orang yang selalu membacanya (di hadapan Allah Ta’ala) sehingga dia dimasukkan ke dalam surga, yaitu surat: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan."

(HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath no. 3654 dan Al-Mu’jamush Shagir no. 490, dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar dinukil dalam kitab Faidhul Qadiir 4/115 dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahiihul Jami’ish Shagiir no. 3644)

Penilaian Hadits :

1. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (22/277) mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.

2. Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ (2091) mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.

3. Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan bahwa hadits tersebut tidak shahih. Karena yang mentsiqahkan ‘Abbas Al Jusyamiy hanyalah Ibnu Hibban, tidak yang lainnya. Sedangkan Ibnu Hibban sudah terkenal sebagai orang yang mutasahil (bermudah-mudahan dalam mentsiqahkan). Namun ada beberapa atsar yang menguatkan hadits ini.  
(Lihat At Tashil li Ta’wilit Tanzil Juz-u Tabarak, hal. 64)

Hadits Kedua

أخبرنا عبيد الله بن عبد الكريم وقال حدثنا محمد بن عبيد الله أبو ثابت المدني قال حدثنا بن أبي حازم عن سهيل بن أبي صالح عن عرفجة بن عبد الواحد عن عاصم بن أبي النجود عن زر عن عبد الله بن مسعود قال : من قرأ { تبارك الذي بيده الملك } كل ليلة منعه الله بها من عذاب القبر وكنا في عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم نسميها المانعة وإنها في كتاب الله سورة من قرأ بها في كل ليلة فقد أكثر وأطاب

Telah menceritakan pada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdil Kariim, ia berkata; Telah menceritakan pada kami Muhammad bin ‘Ubaidillah Abu Tsaabit Al Madiniy, ia berkata; Telah menceritakan pada kami Ibnu Abi Haazim, dari Suhail bin Abi Shaalih, dari ‘Irfijah bin ‘Abdul Waahid, dari ‘Aashim bin Abin Nujuud, dari Zarr, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata :

“Barangsiapa membaca “Tabarakalladzi bi yadihil mulk” (surat Al Mulk) setiap malam, maka Allah akan menghalanginya dari siksa kubur. Kami di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan surat tersebut “Al Mani’ah” (penghalang dari siksa kubur). Dia adalah salah satu surat di dalam Kitabullah. Barangsiapa membacanya setiap malam, maka ia telah memperbanyak dan telah berbuat kebaikan.” 
(HR. An Nasa'i dalam Al Kabir 6/179 dan Al Hakim. Hakim mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)

Sanadnya layyin/lemah, ‘Irfijah bin 'Abdul Waahid terhalang, yang lain tidak mempercayainya, Al Hafizh berkata dalam At Taqriib (389) : “bisa diterima yaitu; ketika diurutkan dan jika tidak, maka sanadnya lemah”.

‘Irfijah dalam periwayatannya tidak mengikutinya dengan sempurna, tetapi ia tidak disepakati oleh rawi yang lebih kuat, yaitu; Sufyan Ats Tsauri. Maka Hakim (3839) meriwayatkan dari jalur Ibnu Mubarak dan Thabrani dalam “Al Kabiir” dari jalur 'Abdur Razzaq (8651), keduanya dari Sufyan, dari ‘Ashim, dari Zirr, dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata :

 ( يؤتى الرجل في قبره فتؤتى رجلاه فتقول رجلاه : ليس لكم على ما قبلي سبيل كان يقرأ بي سورة الملك ، ثم يؤتى من قبل صدره أو قال بطنه فيقول : ليس لكم على ما قبلي سبيل كان يقرأ بي سورة الملك ، ثم يؤتى رأسه فيقول ليس لكم على ما قبلي سبيل كان يقرأ بي سورة الملك . قال : فهي المانعة تمنع من عذاب القبر ، وهي في التوراة سورة الملك ، من قرأها في ليلة فقد أكثر وأطنب ) .

“Ketika seseorang di dalam kuburnya didatangkan adzab, maka kedua kakinya berkata: kalian tidak bisa menjangkaunya; karena ia dahulu membaca surat Al Mulk, lalu didatangkan dadanya atau perutnya berkata: kalian tidak bisa menjangkaunya; karena ia dahulu membaca surat Al Mulk, lalu didatangkan kepalanya, dan berkata: kalian tidak bisa menjangkaunya; karena ia dahulu membaca surat Al Mulk. Ia berkata: Maka, ia (surat Al Mulk) adalah pelindung/penjaga, dan di dalam Taurat juga ada surat Al Mulk. Barangsiapa yang membacanya pada malam hari, maka ia telah melakukan banyak hal dan panjang”.

Penilaian Hadits :

1. Hakim mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih. Sebagaimana dinukilkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib wa At Tarhib (2/294).

2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib (1589).

Catatan penting yang mesti diperhatikan :

Keutamaan surat ini bisa diperoleh jika seseorang rajin membacanya setiap malamnya, merenungkan kandungannya dan menghayati artinya serta mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dan mengimani berbagai berita yang disampaikan di dalamnya.
(Faidhul Qadir, 4/115)

Fatwa dari Para Ulama yang Duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Saudi Arabia)

Pertanyaan : 
Apakah surat Al Mulk (tabaarakalladzi bi yadihil mulk …) jika dibaca setiap malam akan memberi syafa’at ketika mati bagi orang yang membacanya ?

Jawaban : 

Hadits yang membicarakan hal tersebut dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan teks :
Telah menceritakan pada kami ‘Amr bin Marzuq, telah menceritakan pada kami Syu’bah, telah menceritakan pada kami Qatadah, dari ‘Abbas Al Jusyamiy, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada suatu surat dari Al Qur’an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafa’at bagi yang membacanya, sampai dia diampuni, yaitu: “Tabaarakalladzii biyadihil mulku… (surat Al Mulk)”. 

Al Mundziri dalam mukhtasharnya mengatakan bahwa hadits tersebut dikeluarkan oleh An Nasa'i dan Ibnu Majah. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan. Akan tetapi, dalam sanadnya terdapat perawi yang dha’if.

Oleh karena itu, diharapkan bagi siapa yang mengimani isi surat ini, menghapalkannya, mengharap wajah Allah dengan menarik pelajaran berharga di dalamnya serta mengamalkan hukum yang ada di dalamnya, semoga mendapatkan syafa’at karena membacanya.

Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan keenam dari fatwa no. 9604, 4/334-335. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrazaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota]

Semoga kajian dari kami mengenai surat Al Mulk bisa menjadi ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat.

Video Takhrijnya bisa dilihat di akun fb saya :
https://web.facebook.com/rio.boxer.98/posts/693028957468961



Arsy Berguncang (Bergetar) Saat Sahabat Nabi Muhammad Ini Wafat

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا فَضْلُ بْنُ مُسَاوِرٍ خَتَنُ أَبِي عَوَانَةَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ
وَعَنْ الْأَعْمَشِ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ فَإِنَّ الْبَرَاءَ يَقُولُ اهْتَزَّ السَّرِيرُ فَقَالَ إِنَّهُ كَانَ بَيْنَ هَذَيْنِ الْحَيَّيْنِ ضَغَائِنُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اهْتَزَّ عَرْشُ الرَّحْمَنِ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ

Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Al Mutsanna; Telah bercerita kepada kami Fadhal bin Musaawir, menantu dari Abu 'Awaanah; Telah bercerita kepada kami Abu 'Awaanah, dari Al A'masy, dari Abu Sufyaan, dari Jaabir radhiallahu 'anhu; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"'Arsy bergetar (berguncang) disebabkan meninggalnya Sa'ad bin Mu'aadz". 

Dan dari Al A'masy telah bercerita kepada kami Abu Shaalih dari Jaabir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti redaksi hadits ini. 
Ada seseorang yang berkata kepada Jaabir, bahwa Al Baraa' berkata; "Yang bergetar adalah tempat tidurnya". Maka Jaabir berkata; " diantara dua suku ini ('Aus dan Khazraj) ada orang yang dengki dan aku pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "'Arsy Allah yang Maha Pengasih bergetar disebabkan meninggalnya Sa'ad bin Mu'aadz".
(HR. Bukhari no. 3803)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الرُّزِّيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ الْخَفَّافُ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَجَنَازَتُهُ مَوْضُوعَةٌ يَعْنِي سَعْدًا اهْتَزَّ لَهَا عَرْشُ الرَّحْمَنِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah Ar Ruzziy; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhaab bin 'Athaa` Al Khaffaaf, dari Sa'iid, dari Qataadah; Telah menceritakan kepada kami Anas bin Maalik, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Tatkala jenazah Sa'ad diletakkan: 'Arsy Allah bergetar atas kematian Sa'ad.'"
(HR. Muslim no. 2467)

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini. Pertama, memahami dari zhahirnya hadits bahwa arasy bergetar karena senang menyambut ruhnya Sa’ad bin Mu’adz. Dalam hal ini Arasy termasuk jisim (sesuatu yang membutuhkan tempat) yang mungkin bergerak atau diam. Kedua, yang dimaksud arasy terguncang yaitu Malaikat yang menjaga arasy bergembira atas kedatangan ruhnya Sa'ad bin Mu’adz.

Dalam Fatawa Dar Al-Ifta’ Al-Misriyyah dijelaskan bahwa sahabat Sa’ad bin Mu’adz mendapatkan tempat yang mulia ini atas keberanian dalam menghadapi lawan saat perang Khandak, ia terkena anak panah lawan sehingga ia menjadi pahlawan yang mati dalam peperangan. Ini sebagai bukti Kecintaan kepada Nabi, walau nyawanya melayang demi membela kebenaran.

Dari sini dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan kedudukan yang mulia di hadapan Allah dibutuhkan perjuangan yang maksimal tidak hanya harta bahkan nyawa taruhannya.

Allahu a'lam