Kamis, 04 Juni 2020

LARANGAN MELAMAR WANITA YANG TELAH DILAMAR ORANG LAIN

حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ سَمِعْتُ نَافِعًا يُحَدِّثُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ يَقُولُ
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibraahiim; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; Aku mendengar Naafi' menceritakan bahwa Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma berkata,

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga ia meninggalkannya atau pun menerimanya, atau pun ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama."
(HR. Bukhari no. 5142)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَسُمْ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyuub, Qutaibah dan Ibnu Hujr, semuanya dari Isma'ili bin Ja'far. Ibnu Ayyuub mengatakan; Telah menceritakan kepada kami Isma'iil; Telah mengabarkan kepadaku Al 'Alaa` dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Janganlah seorang Muslim menawar barang yang telah ditawar saudaranya, dan jangan pula meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya."
(HR. Muslim no. 1413)

و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ اللَّيْثِ وَغَيْرِهِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُا
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ

Dan telah menceritakan kepada kami Abu At Thaahir; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Wahb dari Al Laits dan lainnya dari Yaziid bin Abi Habiib dari 'Abdurrahman bin Syimaasah bahwa dia pernah mendengar 'Uqbah bin 'Aamir di atas mimbar berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Orang Mukmin adalah saudara Mukmin lainnya, maka tidak halal bagi seorang Mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya."
(HR. Muslim no. 1414)

Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far bin Rabii'ah dari Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda :

"Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."
(HR. Bukhari no. 5143-5144)

Al-Hafizh berpendapat dalam Al-Fath, bahwa larangan ini untuk pengharaman, ia mengatakan :
“Menurut jumhur, larangan ini untuk pengharaman…” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka untuk pengharaman, tetapi tidak membatalkan akad.”

Bahkan, Imam An-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini untuk pengharaman berdasarkan ijma’. Tetapi mereka berselisih mengenai syarat-syaratnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau walinya yang dia izinkan. Jika lelaki kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.

Menurut Imam Asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila seorang lelaki (pertama) meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika seseorang (lelaki kedua) tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya. Hujjah dalam perkara ini ialah kisah Fathimah binti Qais.
(Fathul Baari, 9/199)

Dalilnya adalah hadits Fatimah binti Qais yang telah dicerai suaminya Abu 'Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dia (Fathimah binti Qais) berkata :
“Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) bahwa Mu'aawiyah bin Abi Sufyaan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul), sedangkan Mu'aawiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid." Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku merasa bahagia hidup dengannya."
(HR. Muslim no. 1480)

Berkata Imam Syafi’I menerangkan hadits di atas :

وقد أَعْلَمَتْ فَاطِمَةُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَنَّ أَبَا جَهْمٍ وَمُعَاوِيَةَ خَطَبَاهَا وَلَا أَشُكُّ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ خِطْبَةَ أَحَدِهِمَا بَعْدَ خِطْبَةِ الْآخَرِ فلم يَنْهَهُمَا وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا ولم نَعْلَمْهُ أنها أَذِنَتْ في وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَخَطَبَهَا على اسامة ولم يَكُنْ لِيَخْطُبَهَا في الْحَالِ التي نهى فيها عن الْخِطْبَةِ ولم أَعْلَمْهُ نهى مُعَاوِيَةَ وَلَا أَبَا جَهْمٍ عَمَّا صَنَعَا وَالْأَغْلَبُ أَنَّ أَحَدَهُمَا خَطَبَهَا بَعْدَ الْآخَرِ فإذا أَذِنَتْ الْمَخْطُوبَةُ في إنْكَاحِ رَجُلٍ بِعَيْنِهِ لم يَجُزْ خِطْبَتُهَا في تِلْكَ الْحَالِ

“Fatimah telah memberitahukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’aawiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain), saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’aawiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti ini, orang lain tidak boleh melamarnya lagi.“
(Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet 1 : 5/64)

Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa 'Umar bin Khaththab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin 'Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan 'Abdullah bin 'Umar, padahal 'Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya.
(Ibnu Qudamah, Al Mughni, 9/568)

Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.

Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual, maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.

Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal.
(Ibnu Rusydi, Bidayah Al Mujtahid, 2/3)

Catatan :

Imam Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan :
“Maksud dari larangan hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang wanita, maka tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.“
(Ibnu Rusydi, Bidayah Al Mujtahid, Beirut, Dar Al Kutub Al-Ilmiyah, 1988, cet ke-10, 2/3)

Allahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar