Kamis, 11 Juni 2020

Hukum Mengeraskan Dzikir

Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air. Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjama’ah dengan dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air. Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara. Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan mengeraskan suara?

Dalil yang Jadi Rujukan

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Nashir berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazaaq berkata; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata; Telah mengabarkan kepadaku 'Amruu bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibnu 'Abbaas, mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu 'Abbaas radhiallahu 'anhuma mengabarkan kepadanya,

"Bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir setelah orang selesai menunaikah shalat fardhu terjadi di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu 'Abbaas mengatakan, "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya."
(HR. Bukhari no. 841)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin 'Abdullah berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan; Telah menceritakan kepada kami 'Amruu berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Ma'bad, dari Ibnu 'Abbaas radhiallahu 'anhuma berkata :

“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.”
(HR. Bukhari no. 842)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat, “Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat.” Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ibnu Hazm. Beliau rahimahullah berkata :

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.”
(Al Muhalla, 4/260)

Demikian juga pendapat Imam Ath Thabari, beliau rahimahullah berkata :

فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء من التكبير عقب الصلاة

“Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.”
(Lihat Fathul Bari, 2/325)

Pendapat Jumhur

Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di antara alasannya disinggung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari.

Setelah menyebutkan perkataan Imam Ath Thabari, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan perkataan Imam Ibnu Baththal yang mengatakan :
“Hal ini tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir saat peperangan setelah shalat Shubuh, ‘Isya’ dengan tiga kali takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan di masa silam. Ibnu Baththal dalam Al ‘Utaibah menyebutkan bahwa Imam Malik berkata, “Amalan tersebut muhdats (amalan bid’ah, direka-reka).”
(Fathul Bari, 2/325-326)

Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.

Pijakan Jumhur

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yuusuf; Telah bercerita kepada kami Sufyaan, dari 'Aashim, dari Abu 'Utsmaan, dari Abu Muusa Al Asy'ariy radhiallahu 'anhu berkata :

"Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan apabila menaiki bukit kami bertalbiyah dan bertakbir dengan suara yang keras. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya".
(HR. Bukhari no. 2992)

Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.

Imam Ath Thabari rahimahullah berkata :

فِيهِ كَرَاهِيَة رَفْع الصَّوْت بِالدُّعَاءِ وَالذِّكْر ، وَبِهِ قَالَ عَامَّة السَّلَف مِنْ الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ اِنْتَهَى

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara pada do’a dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu para sahabat dan tabi’in.”
(Fathul Bari, 6/135)

Atsar dari Qais bin ‘Abbaad, ia berkata :

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يكرهون رفع الصوت عند ثلاث : عند القتال، وعند الجنائز، وعند الذكر

“Adalah para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci mengangkat/meninggikan suara dalam tiga keadaan : saat peperangan, saat berada di sekitar jenazah-jenazah, dan saat berdzikir”.
(Al-Ausath oleh Ibnul-Mundzir, 5/389)

Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat, tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu. Beliau boleh jadi pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka ta’lim atau pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan pendapat mayoritas ulama lainnya. Imam Syafi'i rahimahullah menjelaskan,

وَأَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنْ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ، ثُمَّ يُسِرُّ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: {وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا} [الإسراء: 110] يَعْنِي وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الدُّعَاءَ وَلَا تَجْهَرْ تَرْفَعْ وَلَا تُخَافِتْ حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَك

“Aku memilih pendapat bagi Imam dan Makmum untuk berdzikir kepada Allah setelah selesai shalat, mereka berdzikir dengan suara pelan, kecuali ia sebagai Imam yang wajib mengajarkan (bacaan-bacaan dzikir), maka ia mengeraskan suaranya, hingga dirasa ia telah mengajarkannya, setelah itu melirihkan bacaan dzikirnya, karena Allah Azza wa Jalla berfirman : “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Maknanya Wallahu Ta’aalaa A’lam adalah doa, jangan kamu mengeraskan dan mengangkat suara dan jangan pula terlalu lirih, sampai engkau sendiri tidak mendengarnya”.
(Al Umm, 1/150)

Selanjutnya beliau Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,

وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم

“Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjahrkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat. Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara yang pernah disebutkan.”
(Al Umm, 1/151)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :

وَاحْتَجَّ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ لتفسيره الاية بحديث عائشة رضى الله تعالى عَنْهَا قَالَتْ ” فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى (وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا) نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ ” رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَهَكَذَا قَالَ أَصْحَابُنَا إنَّ الذِّكْرَ وَالدُّعَاءَ بَعْدَ الصَّلَاةِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَرَّ بِهِمَا إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ فَيَجْهَرَ لِيَتَعَلَّمُوا فَإِذَا تَعَلَّمُوا وَكَانُوا عَالِمِينَ أَسَرَّهُ وَاحْتَجَّ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ فِي الْإِسْرَارِ بِحَدِيثِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ” كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله تعالى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنَّا إذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هللنا وكبرنا ارتفعت اصواتنا فقال النبي صل الله تعالي عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إنَّهُ مَعَكُمْ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ” رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

“Imam Baihaqi dan selainnya berhujjah untuk menafsirkan ayat di atas dengan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa beliau berkata : ‘berkaitan firman Allah : “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya”, turun dalam masalah doa’ (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian pendapat ashab kami (madzhab Syafi’i), bahwa dzikir dan doa setelah salam disunnahkan dengan pelan, kecuali ia seorang Imam shalat yang hendak mengajarkan kepada orang-orang, maka ia mengeraskan suaranya untuk mengajari mereka, jika mereka sudah belajar dan sudah bisa, maka sang Imam melirihkannya.

Imam Baihaqi dan selainnya berdalil tentang melirihkan suara dengan hadits Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : ‘Kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kami jika naik keatas bukit, bertahlil dan bertakbir, dengan mengeraskan suara’, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “wahai manusia kasihinilah diri kalian, kalian tidak sedang berdoa kepada Dzat yang tuli dan ghaib, Dia bersama kalian, maha mendengar dan sangat dekat” (HR. Bukhari)’."
(Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 3/487)

Imam Al-Maawardiy rahimahullah (w. 450 H) berkata :

وَيُسِرُّ بِدُعَائِهِ وَلَا يَجْهَرُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ إِمَامًا يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ الدُّعَاءَ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْهَرَ بِهِ

“Pelan dalam berdoa, tidak keras, kecuali jika ia seorang Imam yang hendak mengajari orang-orang berdzikir, maka tidak mengapa mengeraskan suaranya”.
(Al-Haawiy Al-Kabiir, 2/148 cet. Daarul Kutubul Imiyyah-Beirut)

Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata,
“Doa jama’i atau berjama’ah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam.” Ibnu Syihab berkata, “Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian anggapan kami.” Dalam riwayat Muslim disebutkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidaklah duduk selain sekadar membaca, “Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaraka ya dzal jalaali wal ikram.”
(Al I’tisham, 1/351)

Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu ‘Abbas yang telah kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir jama’ah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak dengan suara keras.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Bagaimana hukum mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat?”

Jawab :

"Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

ُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ الصَّلاَةِ فِي عَهْدِ النَّبِي عَلَيْهِ السَّلاَمُ بِرَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ

“Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras”.

Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu ‘Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal “كُنَّا = Kunnaa” (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.

Berkata Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.

Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.

Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para shabahat bacaan ayat Al-Qur’an di dalam shalat Zhuhur dan Ashar, dan Umar juga melakukan sunnah ini.

Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar pernah men-jahr-kan do’a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan Imam Asy-Syafi’i, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari’at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.

Walaupun hadits : “Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)”. Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya ‘shahih’.

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّ مَنْ تَدْعُوْنَهُ لَيْسَ بأَصَمَّ وَلاَغَائِبٍ إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا إِنَّمَا تَدْعُوْنَ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِ كُمْ مِنْ غُنُقِ رَا حِلَتِهِ إِلَيْهِ

“Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesungguhnya kalian berdo’a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri”.

Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca Al-Qur’an, orang yang ‘masbuq’ dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

يَاايُّهَا النَّاسُ كُلُكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلاَ يَجْهَرُ بَعْضُكُم عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ

“Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahr-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain."

Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat :

فَتُؤْذُوْاالْمُؤْمِنِيْنَ

“Sehingga mengganggu kaum mu’minin (yang sedang bermunajat)”.

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madinah Al-Munawarrah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

Syaikh Abu Al-Hasan As-Sulaimani hafizhahullah berkata :
"Maka yang rajih menurutku dalam perkara ini adalah bahwa menjahrkan dzikir selepas shalat itu hanya dalam hal yang disebutkan oleh dalil saja, atau menjahrkan kadang-kadang saja untuk dzikir yang tidak disebutkan tentang jahrnya tanpa menjadikannya sebagai kebiasaan dengan syarat aman dari riya' dan tidak mengganggu orang lain. Adapun selain itu, maka berdzikir dengan suara pelan itu lebih utama sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah.

Adapun dzikir setelah shalat wajib maka tidaklah dijahrkan kecuali dengan ucapan takbir yang disebutkan dalam hadits Ibn ‘Abbas dalam Shahihain. Dan yang rajih –sebagaimana pendapat sebagian salaf- bahwasanya yang dijahrkan itu adalah ucapan takbir tiga kali karena 3 kali itu adalah jumlah banyak yang paling sedikit. Kalaupun ditambah lebih dari tiga kali, maka tak mengapa. Tiada dalil untuk membatasi tiga kali saja. Dan menjahrkan pula dengan kalimat tahlil yang disebutkan dalam hadits Ibnu Az-Zubair dalam riwayat Muslim. Adapun ucapan dzikir yang selain itu, maka tidaklah dijahrkan …
-SELESAI penukilan dari Syaikh Abu al-Hasan As-Sulaimani …

Faedah dari Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan,
“Yang disunnahkan dalam setiap do’a adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada sebab yang memerintahkan untuk menjahrkan. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf : 55)

Allah menceritakan tentang Zakariya,

إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam : 3)

Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang.” (QS. Al A’raf : 205). Dalam shahihain disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ

“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghaib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” Inilah yang disebutkan oleh para ulama ketika dalam hal shalat dan do’a, di mana mereka sepakat akan hal ini."
(Majmu’ Al Fatawa, 22/468-469)

Faedah Dzikir dengan Lirih

Berikut di antara faedah dzikir dan do’a lebih baik dengan suara lirih :

Pertama : Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.

Kedua : Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja, tentu saja ia tidak mengeraskan suara.

Ketiga : Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyu’an yang merupakan ruh dan inti do’a. Orang yang meminta tentu saja akan merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta. Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan do’anya.

Keempat : Lebih meraih keikhlasan.

[http://www.saaid.net/Doat/ehsan/108.html]

Penutup

Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan dinilai bid’ah adalah berdo’a dan berdzikir berjama’ah dengan satu suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar