Minggu, 31 Mei 2020

Anjuran Berkumur Setelah Makan Sebelum Melaksanakan Shalat

Al-Imaam Al-Bukhaari rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ مَوْلَى بَنِي حَارِثَةَ، أَنَّ سُوَيْدَ بْنَ النُّعْمَانِ أَخْبَرَهُ، " أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ خَيْبَرَ، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِالصَّهْبَاءِ وَهِيَ أَدْنَى خَيْبَرَ، فَصَلَّى الْعَصْرَ، ثُمَّ دَعَا بِالْأَزْوَادِ فَلَمْ يُؤْتَ إِلَّا بِالسَّوِيقِ، فَأَمَرَ بِهِ فَثُرِّيَ، فَأَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَلْنَا، ثُمَّ قَامَ إِلَى الْمَغْرِبِ فَمَضْمَضَ وَمَضْمَضْنَا، ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Busyair bin Yasaar maulaa Bani Haaritsah, bahwasannya Suwaid bin An-Nu’maan pernah mengkhabarkan kepadanya :

"Bahwa ia pernah keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Khaibar. Hingga ketika mereka sampai di Shahbaa’, satu daerah dekat dengan Khaibar, beliau mendirikan shalat ‘Ashar. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta disediakan makanan dari perbekalan (yang dibawa), namun tidak ada yang dapat didatangkan kecuali sawiiq (makanan dari adonan gandum yang keras). Lalu beliau memintanya, dan kemudian sawiiq itu dilunakkan (dengan air). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memakannya, dan kami pun memakannya. Setelah selesai, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk melaksanakan shalat Maghrib, lalu beliau berkumur-kumur dan kami pun berkumur-kumur. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa (mengulangi) wudhu.”
[HR. Al-Bukhaari no. 209]

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ وَقُتَيْبَةُ قَالَا حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ لَبَنًا فَمَضْمَضَ وَقَالَ إِنَّ لَهُ دَسَمًا

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair dan Qutaibah keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihaab dari 'Abdullah bin 'Abdullah bin 'Utbah dari Ibnu 'Abbaas,

"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam minum susu kemudian berkumur-kumur, beliau lalu bersabda: "Sesungguhnya susu mengandung lemak."
[HR. Al-Bukhaari no. 211]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

فِيهِ اِسْتِحْبَاب الْمَضْمَضَة مِنْ شُرْب اللَّبَن . قَالَ الْعُلَمَاء : وَكَذَلِكَ غَيْره مِنْ الْمَأْكُول وَالْمَشْرُوب تُسْتَحَبّ لَهُ الْمَضْمَضَة ، وَلِئَلَّا تَبْقَى مِنْهُ بَقَايَا يَبْتَلِعهَا فِي حَال الصَّلَاة ، وَلِتَنْقَطِع لِزَوْجَتِهِ وَدَسَمه ، وَيَتَطَهَّر فَمه

“Dalam hadits tersebut (yaitu hadits Ibnu ‘Abbaas) terdapat petunjuk disunnahkan berkumur-kumur setelah minum susu. Para ulama berkata : ‘Begitu pula dengan yang lainnya dari jenis makanan dan minuman, disunnahkan baginya untuk berkumur-kumur, agar tidak tersisa makanan/minuman tersebut di mulut ketika shalat, memutuskan kekentalan dan lemaknya, serta membersihkan mulutnya.”
[Syarh Shahih Muslim, 2/72]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

إِنَّمَا فِيهِ بَيَان الْعِلَّة لِلْمَضْمَضَةِ مِنْ اللَّبَن فَيَدُلّ عَلَى اِسْتِحْبَابهَا مِنْ كُلّ شَيْء دَسِم

“Dan hadits tersebut terdapat penjelasan sebab dilakukannya berkumur-kumur karena minum susu, dan juga menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur karena makan segala sesuatu yang berlemak.”
[Fathul-Baari, 1/333]

Namun dalam riwayat lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah langsung shalat tanpa berkumur-kumur terlebih dahulu, sehingga dijadikan dalil tidak wajibnya berkumur-kumur setelah makan (sebelum shalat).

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وَهَيْبٌ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ عَرْقًا مِنْ شَاةٍ، ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَمَسَّ مَاءً "

Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah, dari Wahb bin Kaisaan, dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Athaa’, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata :

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan urat daging kambing, lalu shalat tanpa berkumur-kumur dan tanpa berwudhu.”
[HR. Ahmad, 1/281]

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي الزُّهْرِيُّ، عَنْ فُلَانِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ لَحْمًا أَوْ عَرْقًا، فَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَمَسَّ مَاءً، فَصَلَّى "

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Hisyaam bin ‘Urwah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Az-Zuhriy, dari Fulaan bin ‘Amru bin Umayyah, dari Ayahnya ia berkata :

“Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam makan urat atau daging kambing, lalu tidak berkumur-kumur dan tidak pula menyentuh air (untuk berwudhu) dan kemudian shalat.”
[HR. Ahmad, 4/179]

Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam

Larangan (Makruh) Minum Langsung dari Wadah Air (Ceret, Kendi, Teko)


حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اخْتِنَاثِ الْأَسْقِيَةِ يَعْنِي أَنْ تُكْسَرَ أَفْوَاهُهَا فَيُشْرَبَ مِنْهَا

Telah menceritakan kepada kami Adam; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Az Zuhriy dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah dari Abu Sa'iid Al Khudriy radhiallahu 'anhu dia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang meminum langsung dari mulut kantong air yaitu dengan memecahkan sedikit mulut wadah air lalu meminum langsung darinya."
(HR. Bukhari no. 5625)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الشُّرْبِ مِنْ فِي السِّقَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad; Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai'; Telah menceritakan kepada kami Khaalid dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbaas radhiallahu 'anhuma dia berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang minum langsung dari mulut wadah air."
(HR. Bukhari no. 5629)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشْرَبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ
قَالَ أَيُّوبُ فَأُنْبِئْتُ أَنَّ رَجُلًا شَرِبَ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَخَرَجَتْ حَيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami Ismaa'iil; Telah mengkabarkan kepada kami Ayyuub dari 'Ikrimah dari Abu Hurairah, dia berkata :

"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarang meminum air langsung dari mulut wadah air."

Ayyuub berkata: "Pernah diberitakan kepadaku bahwa ada seorang lelaki yang meminum air langsung dari mulut wadah air, dan tiba-tiba ada ular keluar dari dalamnya."
(HR. Ahmad no. 6856 dan 9929)

Faidah :

Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ النَّهْي عَنْ اِخْتِنَاثهَا نَهْي تَنْزِيه لَا تَحْرِيم

“Para ulama sepakat pelarangan ikhtinaats/minum langsung dari wadah air adalah pelarangan yang bersifat tanziih, bukan tahriim.”
(Syarh Shahiih Muslim, 13/194 dan Fathul-Baari, 10/91)

Para ulama menyebutkan adanya sejumlah illah atau motif hukum untuk larangan ini.

Pertama, apa yang terdapat di dalam wadah air itu tidak terlihat dari luar sehingga boleh jadi di dalamnya terdapat serangga atau bahkan ular yang bisa mengganggunya. Dikisahkan ada orang yang minum melalui mulut wadah air dan yang keluar adalah ular. Motif hukum ini tidak kita jumpai pada botol minuman di zaman ini karena umumnya apa yang ada di dalam botol itu terlihat dari luar.

Kedua, orang yang minum melalui mulut wadah air itu sering kali ketumpahan air karena air yang keluar dari botol tersebut ternyata lebih banyak dari kadar yang dibutuhkan sehingga membasahi baju peminumnya. Motif hukum ini juga kita jumpai pada orang yang minum dari botol sebagaimana bisa kita saksikan.

Ketiga, air yang masuk dengan cara minum seperti itu membuat air mengalir dengan deras dan dikhawatirkan bisa memutuskan urat-urat yang tipis yang ada di tenggorokan.

Keempat, maksud larangan adalah agar ludah peminum tidak mengenai mulut wadah air atau bercampur dengan air minum yang ada dalam botol tersebut atau nafasnya masuk ke dalam mulut wadah air yang berdampak peminum selanjutnya merasa jijik. Dimungkinkan juga hal tersebut menjadi penyebab tertular penyakit yang ada pada peminum pertama. Motif hukum ini kita jumpai pada aktivitas minum dari botol dengan syarat mulut botol diemut dengan mulut. Oleh karena itu jika minumnya dengan cara ditenggak sehingga mulut peminum tidak bersentuhan dengan mulut botol hukumnya tidak mengapa.

Namun hal tersebut berlaku manakala botol minuman tersebut akan diminum oleh orang lain. Jika botol minuman tersebut hanya diminum sendiri maka tidak mengapa minum dengan mengemut mulut botol.

Tidaklah salah jika kita simpulkan bahwa dilarangnya minum dari mulut wadah air itu dikarenakan keempat faktor di atas sebagaimana pendapat Imam Ibnul Arabi dan Imam Ibnu Abi Jamrah yang bisa kita simak di Fathul Bari saat penulis Fathul Bari menjelaskan hadits no. 5628.

Sebagian motif hukum di atas masih kita jumpai pada orang yang minum dari botol minuman. Oleh karena itu sepatutnya kita tidak minum dari mulut botol minuman terutama jika ada orang lain yang akan ikut minum darinya.

Wallahu a'lam


SALAH SATU ADAB BERTAMU

Ketika kita mengetuk pintu atau memberi salam, lalu tuan rumah bertanya "siapa?", maka wajib menyebutkan nama.

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَى أَبِي فَدَقَقْتُ الْبَابَ فَقَالَ مَنْ ذَا فَقُلْتُ أَنَا فَقَالَ أَنَا أَنَا كَأَنَّهُ كَرِهَهَا

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Waliid Hisyaam bin 'Abdul Malik; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Al Munkadir dia berkata; Saya mendengar Jaabir bin 'Abdullah radhiallahu 'anhuma berkata :

"Aku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karena utang ayahku, lalu aku mengetuk pintu rumah beliau, beliau bertanya;: "Siapakah itu?" aku menjawab; "Saya." Beliau bersabda: "Saya, saya!." Seolah-olah beliau membencinya."

(HR. Bukhari no. 6250)

Amalan Tergantung pada Akhirnya

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ نَظَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى رَجُلٍ يُقَاتِلُ الْمُشْرِكِينَ ، وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنْهُمْ فَقَالَ « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا » . فَتَبِعَهُ رَجُلٌ فَلَمْ يَزَلْ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى جُرِحَ ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ . فَقَالَ بِذُبَابَةِ سَيْفِهِ ، فَوَضَعَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، فَتَحَامَلَ عَلَيْهِ ، حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا »

"Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada yang membunuh orang-orang musyrik dan ia merupakan salah seorang prajurit muslimin yang gagah berani. Namun anehnya beliau malah berujar, “Siapa yang ingin melihat seorang penduduk neraka, silakan lihat orang ini.” Kontan seseorang menguntitnya, dan terus ia kuntit hingga prajurit tadi terluka dan ia sendiri ingin segera mati (tak kuat menahan sakit, pen.). Lalu serta merta, ia ambil ujung pedangnya dan ia letakkan di dadanya, lantas ia hujamkan hingga menembus di antara kedua lengannya.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.”
(HR. Bukhari no. 6493)

Dalam riwayat lain disebutkan,

وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.”
(HR. Bukhari no. 6607)

Amalan yang dimaksud di sini adalah amalan shalih, bisa juga amalan jelek. Yang dimaksud ‘bil khawatim’ adalah amalan yang dilakukan di akhir umurnya atau akhir hayatnya.

Imam Az-Zarqani dalam Syarh Al-Muwatha’ menyatakan bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah akan dibalas. Siapa yang beramal jelek lalu beralih beramal baik, maka ia dinilai sebagai orang yang bertaubat. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman menjadi kufur, maka ia dianggap murtad.

Kenapa Bisa Suul Khatimah ?

Dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali mengenai hadits Sahl bin Sa’ad di atas pada kalimat “ia beramal yang dilihat oleh orang”, maksudnya adalah batinnya berbeda dengan lahiriyahnya. Maksudnya, seseorang bisa mendapatkan akhir hidup yang jelek karena masalah batinnya yang di mana perkara batin tidaklah nampak oleh orang-orang. Inilah sebab yang mengakibatkan seseorang mendapatkan suul khatimah.

Bisa jadi pula seseorang beramal seperti amalan penduduk neraka. Namun dalam batinnya, masih ada benih kebaikan. Ternyata benih kebaikan tersebut tumbuh pesat di akhir hidupnya, hingga ia meraih husnul khatimah.

Kata Al Hafizh Ibnu Rajab, dari sinilah para ulama khawatir dengan keadan suul khatimah, keadaan akhir hidup yang jelek. Lihat pembahasan Al Hafizh Ibnu Rajab dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1/173.

Jangan Terkagum

Sehingga jangan terkagum pada amalan kita saat ini. Karena akhir hayat itulah penentunya, apakah benar kita bisa istiqamah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تُعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَاناً مِنْ عُمْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً سَيِّئاً وَإِنَّ الْعَبْدَ لِيَعْمَلُ الْبُرْهَةَ مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ سَيِّئٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلاً صَالِحاً وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْراً اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ »

“Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek. Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih.

Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal.” Para sahabat bertanya,
“Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu.”

(HR. Ahmad, 3/ 120, 123, 230, 257 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah 347-353 dari jalur dari Humaid, dari Anas bin Malik. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat shahih Bukhari – Muslim. Lihat pula Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1334, hal yang sama dikatakan oleh Syaikh Al-Albani)

Oleh karenanya, penting sekali amalan yang kontinu dan menjadi akhir hidup dengan penutup terbaik yaitu husnul khatimah.

Baarakallahu fiiykum

Manusia Tidak Pernah Merasa Puas dengan Harta

Allah Ta’ala berfirman,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
(QS. At Takatsur : 1-8)

Inilah sifat manusia, tidak pernah merasa puas dengan harta. Buktinya adalah hadits-hadits berikut :

Pertama :

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yuusuf; Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Abu Hashiin dari Abu Shaalih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Celakalah budak dinar, budak dirham dan budak pakaian (sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), jika diberi ia akan ridha dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridha."
(HR. Bukhari no. 6435)

Kedua :

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aashim dari Ibnu Juraij dari 'Athaa` dia berkata; Saya mendengar Ibnu 'Abbaas radhiallahu 'anhuma berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat."
(HR. Bukhari no. 6436)

Ketiga :

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الْغَسِيلِ عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِمَكَّةَ فِي خُطْبَتِهِ يَقُولُ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلْئًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Sulaimaan bin Al Ghasiil dari 'Abbaas bin Sahl bin Sa'd dia berkata; Saya mendengar Ibnu Zubair dalam khutbahnya di atas mimbar ketika di Makkah, katanya :

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sekiranya anak Adam diberi satu bukit yang dipenuhi dengan emas, niscaya ia akan menginginkan bukit yang kedua, dan apabila diberi yang kedua, niscaya ia menginginkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah akan menerima taubat siapa saja yang bertaubat.'"
(HR. Bukhari no. 6438)

Keempat :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
وَقَالَ لَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ أُبَيٍّ قَالَ كُنَّا نَرَى هَذَا مِنْ الْقُرْآنِ حَتَّى نَزَلَتْ أَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin 'Abdullah; Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa'd dari Shaalih dari Ibnu Syihaab dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Anas bin Maalik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Sekiranya anak Adam memiliki sebukit emas, niscaya ia akan mengharapkan dua bukit emas lagi, dan tidaklah mulutnya dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah akan menerima taubat siapa yang bertaubat."

Abu Waliid mengatakan kepada kami; Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah dari Tsaabit dari Anas dari Ubay dia berkata; 'Kami berpendapat hal ini dari ayat Al Qur'an, hingga turun surat 'Al Haakumut takaatsur.'
(HR. Bukhari no. 6439-6440)

Beberapa faedah dari hadits-hadits di atas :

Pertama : Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang ada.

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah”, maksudnya: Tatkala manusia mati, perutnya ketika dalam kubur akan dipenuhi dengan tanah. Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut hingga ia pun kelak akan menjadi debu.
(Syarh Ibnu Baththal)

Ketiga : Hadits ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin memperbanyak harta. Oleh karenanya, para ulama begitu qana'ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh.
(Syarh Ibnu Baththal)

Keempat : Hadits ini adalah anjuran untuk zuhud pada dunia. Yang namanya zuhud pada dunia adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan dari Allah.
(Keterangan Ibnu Rajab dalam Jaami'ul Ulum wal Hikam)

Kelima : Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur dengan yang diberi. Ada pula yang tidak pernah merasa puas.

Raihlah Kekayaan Hakiki

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus; Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr; Telah menceritakan kepada kami Abu Hashiin dari Abu Shaalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda :

"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati."
(HR. Bukhari no. 6446)

Ya Allah, Berikanlah Kepada Kami Kecukupan

Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a :

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaaf wal ghina”
Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina
(HR. Muslim no. 2721)

Imam An Nawawi –rahimahullah- mengatakan,
”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 17/41, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobi)

Berarti dalam do'a ini kita meminta pada Allah [1] petunjuk (hidayah), [2] ketakwaan, [3] sifat menjauhkan diri dari yang haram, dan [4] kecukupan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang selalu memiliki sifat ghina yang selalu merasa cukup dengan nikmat harta yang Allah berikan.

Larangan Keluar dari Masjid Ketika atau Setelah Adzan

Segala puji bagi Allah serta shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan keluarganya dan para pengikutnya yang baik hingga hari kiamat.

Ikhwati fillah, termasuk adab islam terhadap masjid adalah ketika berada di dalam masjid setelah adzan dikumandangkan dan sebelum menunaikan shalat wajib kita dilarang keluar masjid.

Ada beberapa hadits shahih serta hasan yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُهَاجِرِ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash dari Ibraahiim bin Al Muhaajir dari Abu Sya'tsaa', katanya :

"Ketika kami tengah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah, dan ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, seseorang berdiri meninggalkan masjid sambil berjalan. Abu Hurairah terus mengawasinya hingga laki-laki keluar dari masjid. Abu Hurairah lalu berkata; "Orang ini telah membangkang Abul Qaasim shallallahu 'alaihi wasallam."
(HR. Muslim no. 655)

Dalam riwayat lain, ada tambahan :

حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ وَشَرِيكٌ عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
خَرَجَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَمَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَالَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَلَا يَخْرُجْ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُصَلِّيَ

Telah menceritakan kepada kami Haasyim berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Mas'uudiy dan Syariik dari Asy'ats bin Abu Asy Sya'tsaa` dari Bapaknya, dari Abu Hurairah, Abu Asy Sya'tsaa` berkata :

"Seorang lelaki keluar dari masjid setelah mu`adzin mengumandangkan adzan, maka Abu Hurairah berkata; orang ini telah bermaksiat terhadap Abu Qaasim shallallahu 'alaihi wasallam."

Berkata; dan menurut hadits Syariik, Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh kami; "Jika salah seorang dari kalian berada di masjid kemudian diseru untuk shalat, maka janganlah keluar hingga ia shalat."
(HR. Ahmad no. 10512)

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْمُهَاجِرِ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ
خَرَجَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَ مَا أُذِّنَ فِيهِ بِالْعَصْرِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُثْمَانَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَعَلَى هَذَا الْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَ الْأَذَانِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ وَيُرْوَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ قَالَ يَخْرُجُ مَا لَمْ يَأْخُذْ الْمُؤَذِّنُ فِي الْإِقَامَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا عِنْدَنَا لِمَنْ لَهُ عُذْرٌ فِي الْخُرُوجِ مِنْهُ وَأَبُو الشَّعْثَاءِ اسْمُهُ سُلَيْمُ بْنُ أَسْوَدَ وَهُوَ وَالِدُ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ وَقَدْ رَوَى أَشْعَثُ بْنُ أَبِي الشَّعْثَاءِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ أَبِيهِ

Telah menceritakan kepada kami Hannaad berkata; Telah menceritakan kepada kami Wakii' dari Sufyaan dari Ibraahiim bin Al Muhaajir dari Abu Asy Sya'tsaa` ia berkata :

"Setelah adzan dikumandangkan, seorang laki-laki keluar dari masjid, maka Abu Hurairah pun berkata; "Orang ini telah durhaka kepada Abu Qaasim shallallahu 'alaihi wasallam."

Abu 'Iisa berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari 'Utsmaan." Abu 'Iisa berkata; "Hadits Abu Hurairah derajatnya hasan shahih.
Hadits ini diamalkan pula oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang setelah mereka. Yaitu, seseorang tidak diperbolehkan keluar dari dalam masjid setelah adzan dikumandangkan kecuali karena ada udzur; seperti belum berwudhu atau karena perkara lain yang harus dikerjakan."

Telah diriwayatkan dari Ibraahiim An Nakha'i bahwa ia pernah berkata; "Seseorang boleh keluar dari dalam masjid selama mu'adzin belum mengumandangkan iqamah." Abu 'Iisa berkata; "Kami juga setuju dengan pendapat tersebut, seseorang boleh keluar lantaran ada udzur." Abu Sya'tsaa` namanya adalah Sulaim bin Aswad, dan ia adalah orangtua Asy'ats bin Abu Asy Sya'tsaa`. Dan Asy'ats bin Abu Asy Sya'tsaa` telah meriwayatkan hadits ini dari ayahnya."
(HR. Tirmidzi no. 204)

وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:( لا يسمع النداء في مسجدي هذا ثم يخرج منه إلا لحاجة ثم لا يرجع إليه إلا منافق ) رواه الطبراني في الأوسط وروايته محتج بها في الصحيح كما قال المنذري في الترغيب والترهيب 1/260 .

Dan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

"Tidaklah seseorang mendengarkan adzan di masjidku ini kemudian dia keluar – kecuali karena satu keperluan – kemudian tidak kembali lagi melainkan dia orang munafik."
(HR. Thabrani dalam Mu’jamul Ausath dan riwayatnya dapat dijadikan hujjah dalam hadits shahih sebagaimana kata Al-Mundziri dalam At-Targhib Wat-Tarhib, 1/260. Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah: Hadits hasan shahih. Lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, 1/224)

Hadits ini mempunyai pendukung berupa hadits mursal.

أَخْبَرَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ حَرْمَلَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ يُوَدِّعُهُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَقَالَ لَهُ لَا تَبْرَحْ حَتَّى تُصَلِّيَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ مِنْ الْمَسْجِدِ إِلَّا مُنَافِقٌ إِلَّا رَجُلٌ أَخْرَجَتْهُ حَاجَتُهُ وَهُوَ يُرِيدُ الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّ أَصْحَابِي بِالْحَرَّةِ قَالَ فَخَرَجَ قَالَ فَلَمْ يَزَلْ سَعِيدٌ يَوْلَعُ بِذِكْرِهِ حَتَّى أُخْبِرَ أَنَّهُ وَقَعَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَانْكَسَرَتْ فَخِذُهُ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Al Mughiirah; Telah menceritajkan kepada kami Al 'Auzaa'i; Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Rahman bin Harmalah ia berkata :

"Ada seorang laki-laki datang menemui Sa'iid bin Al Musayyab hendak berpamitan untuk menunaikan haji atau umrah, lalu ia (Sa'iid bin Al Musayyab) berkata kepadanya: 'Janganlah kamu pergi melakukan perjalanan hingga kamu shalat (terlebih dahulu), karena Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: 'Tidaklah seseorang keluar meninggalkan masjid setelah dikumandangkannya adzan kecuali ia seorang munafik, kecuali jika ia mempunyai keperluan yang sangat mendesak dan berniat kembali lagi ke masjid', kemudian laki-laki tersebut berkata: 'Maaf, para sahabatku telah ada di Harrah (maka aku harus menyusul), laki-laki itu pun tetap ngotot keluar masjid', Abdur Rahman bin Harmalah berkata: 'Laki-laki tersebut tetap saja nekad keluar' dan Sa'iid terus saja mengingatkannya hingga datang kabar laki-laki tersebut terjatuh dalam perjalanannya dan tulang pahanya patah'."
(HR. Darimi no. 460)

Al-Muhaddits Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan :
"Perkataan Abu Hurairah terhadap yang keluar dari masjid: “adapun ini sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim” dimungkinkan sebagai hadits marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil yang nyata yaitu dengan menisbatannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam posisi berhujjah dengannya, karena tidak patut salah seorang dari mereka yang dikenal baik agama, amanah dan kekuatan hapalannya, serta terjauh dari dusta dan tempat-tempat yang meragukan, seolah beliau mendengar sesuatu yang bermakna pengharaman keluar dari masjid setelah adzan lalu menyebutnya sebagai maksiat, maka apabila ini benar, dapat disimpulkan bahwa orang yang masuk masjid untuk shalat wajib lalu adzan dikumandangkan di waktu itu, maka diharamkan keluar untuk keperluan yang tidak penting hingga dia shalat wajib karena masjid tersebut telah ditetapkan untuk shalat tersebut atau karena kalau dia keluar barangkali ada yang menghalanginya untuk kembali kemasjid itu atau masjid lain sehingga dia ketinggalan shalat jama’ah)."
(Shahih Muslim, 2/281)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
"Ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, sesungguhnya ia berkata kepada orang-orang, 'Marilah kita shalat!' Maksudnya sambutlah seruan ini!
Sedangkan keluar dari masjid setelah adzan berkumandang termasuk perbuatan dosa karena ia telah mendengar panggilan 'Marilah kita shalat,' tetapi ia justru pergi."
(Syarah Riyadhus Shalihin)

Syaikh -rahimahullah- menambahkan,
"Para ulama berpendapat bahwa dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh jamaah shalat diharamkan untuk keluar dari masjid setelah adzan (dikumandangkan). Kecuali karena terpaksa seperti ingin buang air kecil, ingin buang air besar, ingin buang angin sehingga ia harus berwudhu kembali, sedang sakit dan harus segera dibawa pulang, keluar untuk mengimami shalat di masjid lain atau ia seorang muadzin yang akan adzan di masjid lain."

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :

يجوز الخروج من المسجد بعد الأذان لحاجة عارضة كالوضوء، وكالحاجة التي ذكرها السائل إذا كان يرجع قبل الإقامة، ولا يجوز الخروج بعد الأذان لمن لا يريد الرجوع إلا بعذر شرعي؛ لما ثبت عن أبي هريرة

“Boleh keluar dari masjid setelah adzan untuk suatu kebutuhan yang urgen seperti wudhu atau seperti yang disebutkan penanya (yaitu menyambut tamu) jika ia berniat untuk kembali lagi ke masjid sebelum iqamah. Dan tidak boleh keluar dari masjid setelah adzan bagi orang yang tidak berniat untuk kembali lagi, kecuali jika ada udzur syar’i. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah.”
(Majmu’ Fatawa wal Maqalat Syaikh Ibni Baz, 10/338)

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَقُمْنَا فَعَدَّلْنَا الصُّفُوفَ قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ ذَكَرَ فَانْصَرَفَ وَقَالَ لَنَا مَكَانَكُمْ فَلَمْ نَزَلْ قِيَامًا نَنْتَظِرُهُ حَتَّى خَرَجَ إِلَيْنَا وَقَدْ اغْتَسَلَ يَنْطُفُ رَأْسُهُ مَاءً فَكَبَّرَ فَصَلَّى بِنَا

Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma'ruuf dan Harmalah bin Yahya, keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb; Telah mengabarkan kepadaku Yuunus dari Ibnu Syihaab dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdurrahman bin 'Auf, ia mendengar Abu Hurairah berkata :

"Ketika iqamah dikumandangkan, maka kami berdiri dan kami luruskan shaf sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang, tidak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang hingga beliau berdiri di tempat shalatnya sebelum bertakbir, beliau ingat sesuatu, lalu beliau pergi seraya berujar: "Tetaplah kalian berada di posisi kalian." Maka kami terus berdiri menunggu beliau hingga beliau muncul kembali, rupanya beliau mandi dan masih terlihat di kepalanya meneteskan air. Beliau pun bertakbir dan mengimami shalat."
(HR. Muslim no. 605)

Keluar Masjid Setelah Adzan untuk Shalat di Masjid Lain

Bagaimana jika seorang berada di masjid, lalu adzan dikumandangkan dan ia ingin keluar menuju masjid yang lain untuk shalat di sana?

Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah mengatakan :

تحريم الخروج من المسجد فيه تفصيل : إِن كان بلا داعي ولا غرض له صحيح حرم ، وذلك أَن صورته صورة من ينصرف عن المسجد لا يصلي . أَما إِذا كان يريد الصلاة في مسجد آخر أَو له عذر أَو ناويًا الرجوع والوقت متسع فلا يحرم

“Diharamkan keluar dari masjid (setelah adzan) ada rinciannya: Jika keluar dari masjid tersebut tanpa kebutuhan dan tujuan yang dibenarkan, maka itu haram. Yaitu jika ia keluar dari masjid tersebut sehingga tidak mengerjakan shalat. Adapun jika ia bermaksud untuk shalat di masjid yang lain atau ada udzur atau berniat untuk kembali lagi ke masjid ketika waktu (menunggu iqamah) cukup longgar, maka tidak mengapa.”
(Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/104)

Namun Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hendaknya hal ini tidak dilakukan, karena bisa jadi ketika seseorang keluar dari masjid untuk shalat di masjid lain bisa jadi ada orang lain yang melihat dan mengikuti perbuatannya keluar dari masjid namun bukan untuk shalat di masjid lain. Beliau mengatakan :

يحرم الخروج من المسجد بعد الأذان إلا لعذر ، ولكن الحديث هذا ليس فيه صراحة بأن الرجل خرج ليصلي في مسجد آخر ، فقد يكون خرج لئلا يصلي ، والذي نرى أنه إذا خرج ليصلي في مسجد آخر يعلم أنه يدركه فلا حرج عليه ، لكن لا ينبغي أن يفعل لئلا يقتدي به من يخرج ولا يصلي

“Diharamkan keluar dari masjid setelah adzan kecuali jika ada udzur. Namun hadits tersebut tidak dengan tegas menunjukkan bahwa orang yang keluar itu dikarenakan ia ingin shalat di masjid lain. Bahkan bisa jadi ia keluar agar tidak ikut shalat. Maka menurut kami, jika seseorang keluar dari masjid untuk shalat di masjid yang lain, yang ia yakini bahwa ia masih bisa mendapati shalat (jama’ah) di sana, maka tidak mengapa. Namun sebaiknya ini tidak dilakukan karena bisa jadi akan diikuti oleh orang memang keluar agar tidak ikut shalat.”
(Liqa Baabil Maftuh, 9/38)

Penutup

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُذِّنَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ أَدْبَرَ فَإِذَا سَكَتَ أَقْبَلَ فَلَا يَزَالُ بِالْمَرْءِ يَقُولُ لَهُ اذْكُرْ مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى لَا يَدْرِيَ كَمْ صَلَّى
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِذَا فَعَلَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ وَسَمِعَهُ أَبُو سَلَمَةَ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ja'far dari Al A'raj berkata; Berkata, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Jika panggilan shalat (adzan) dikumandangkan maka setan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan tersebut. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dia kembali lagi hingga senantiasa dia mengganggu seseorang seraya berkata; ingatlah sesuatu, yang semestinya harus tidak diingat, yang pada akhirnya orang itu tidak menyadari berapa raka'at yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya".

Berkata, Abu Salamah bin 'Abdurrahman; "Bila seseorang melakukan hal seperti itu, maka hendaklah dia sujud dua kali dalam posisi duduk". Dan Abu Salamah mendengar keterangan ini dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu.
(HR. Bukhari no. 1222)

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menuturkan,
“Larangan keluar masjid setelah adzan dikumandangkan, hampir sama dengan makna hadits di atas, yaitu agar tidak menyerupai setan yang lari saat mendengarkan adzan. Wallâhu a’lam.”
(Syarh Shahîh Al-Bukhari, 2/235, Fathul Bâri, 2/87)

Demikian semoga bermanfaat.
Wabillahi at taufiq was sadaad.



MATAHARI PERNAH BERHENTI

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Al 'Alaa'; Telah bercerita kepada kami Ibnu Al Mubaarak dari Ma'mar dari Hammaam bin Munabbih dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu berkata; Rasulullah Shallallahu'alai wasallam bersabda :

"Ada seorang Nabi diantara para Nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya; "Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama), dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya, dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak".

Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung datang waktu shalat 'Ashar atau sekitar waktu itu lalu Nabi itu berkata kepada matahari; "Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami. Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut."

Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya) namun api itu tidak dapat memakannya. Maka Nabi tersebut berkata; "Sungguh diantara kalian ada yang berkhiyanat (mencuri ghanimah) untuk itu hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbai'at kepadaku. Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut lalu Nabi tersebut berkata; "Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah maka hendaklah suku kamu berbai'at kepadaku. Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut lalu Nabi tersebut berkata; "Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah". Maka mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya' Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidak mampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita".
[HR. Bukhari no. 3124]

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ لِبَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin 'Aamir berkata; Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Hisyaam dari Ibnu Siiriin dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Sesungguhnya matahari tak pernah ditahan untuk seorang manusia pun, selain untuk Nabi Yusya’ di hari beliau melakukan perjalanan menuju Baitul Maqdis”.
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 2/325]

Ahli Hadits Negeri Yordania, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa matahari tak pernah ditahan (oleh Allah), selain untuk Yusya’ –alaihis salam-. Di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang lemahnya sesuatu yang diriwayatkan bahwa hal itu juga (terjadi) bagi selain beliau."
[Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 202]

Sejarah yang luar biasa, matahari ditahan oleh Allah Sang Maha Pencipta segala sesuatu. Makhluk yang demikian besar tunduk kepada ketentuan Allah.

Merupakan sunnatullah bahwa seluruh makhluk yang ada di dunia ini, wajib tunduk dan menghambakan diri secara kauni kepada Rabbul ‘alamin. Sebesar apapun makhluk tersebut dalam pandangan manusia, tetap saja makhluk yang wajib tunduk kepada kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Matahari adalah salah satu makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jamad (benda mati) dan yang sangat besar baik materinya maupun manfaatnya bagi manusia. Sekalipun demikian, dia tidaklah congkak dan kufur terhadap perintah Allah. Jika demikian keadaannya, maka bagaimana dengan manusia yang kecil. Layakkah manusia baginya untuk kufur dan membangkang terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala?!

Allahul Muwaffiq

Rasulullah Selalu Memilih yang Lebih Mudah/Ringan

Hidup adalah pilihan, begitu orang katakan. Selalu ada pilihan dari setiap hal yang kita hadapi. Dan begitupun teladan kita Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dihadapkan pada pilihan Rasulullah selalu memilih yang lebih mudah.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf; Telah mengabarkan kepada kami Maalik dari Ibnu Syihaab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa dia berkata :

"Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diberi pilihan dari dua perkara yang dihadapinya, melainkan beliau mengambil yang paling ringan (mudah) selama bukan perkara dosa. Seandainya perkara dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah membenci (memusuhi) karena pertimbangan kepentingan pribadi semata, kecuali memang karena menodai kehormatan Allah, dan apabila kehormatan Allah dinodai, maka beliau adalah orang yang paling membenci (memusuhi) nya."
(Shahih Bukhari no. 3560)

Demikianlah kebiasaan Nabi jika disuruh memilih di antara dua perkara, beliau pasti memilih yang lebih mudah di antara keduanya. Ini adalah manhaj beliau dalam dakwah dan pengajarannya, beliau tidak ingin mempersulit umatnya. Beliau ingin agar umatnya mudah dan ringan dalam menjalankan syariat agamanya, beliau ingin membuat mereka gembira dan tidak ingin membuat mereka lari ketakutan dari ajaran Islam.

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

Telah menceritakan kepada kami Adam; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu At Tayyaah dia berkata; Saya mendengar Anas bin Maalik radhiallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari."
(Shahih Bukhari no. 6125)

Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, memilih yang lebih mudah (tasyir) dalam melaksanakan ajaran agama merupakan suatu keharusan, karena hal ini merupakan sesuatu yang dituntut oleh syariat itu sendiri. Bukan dikarenakan tuntutan realitas atau menyesuaikan dengan zaman, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Dan, pada dasarnya syariat Islam berdiri di atas prinsip kemudahan dan keringanan, sebagaimana disebutkan dengan sangat jelas dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah nabawiyah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya."
(QS. Al-Baqarah : 185)

Dalam hadits pertama disebutkan, bahwa beliau memilih yang lebih mudah di antara dua perkara, maksudnya yaitu dalam dua perkara yang sama, bukan dalam dua perkara yang berbeda. Karena hal ini jelas tidak mungkin. Dan jika ada dua perkara yang sama di hadapan beliau, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat, maka beliau akan memilih yang lebih mudah dan ringan di antara keduanya, selama hal tersebut tidak mempunyai konsekuensi dosa atau maksiat.

Lebih jelasnya, kita ambil contoh misalnya, memilih antara beribadah dengan memberat-beratkan diri hingga dapat membuat badan sakit dan beribadah dengan porsi yang sedang tetapi intens, maka beliau memilih yang terakhir. Atau jika beliau disuruh memilih antara harus berperang atau berdamai, maka beliau akan memilih berdamai jika memungkinkan. Atau jika disuruh memilih antara berpuasa dalam perjalanan atau berbuka, tentu beliau memilih berbuka. Demikian seterusnya.

Terhadap orang yang senang mempersulit dan memberat-beratkan dalam melaksanakan agamanya, baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memperingatkan mereka,

“Hancurlah orang-orang yang suka memberat-beratkan! Beliau mengatakannya tiga kali.”
(HR. Muslim)

Imam An-Nawawi mengatakan, bahwa al-mutana-ththi’un di sini, yaitu mereka yang senang mempersulit dan memberat-beratkan diri dalam urusan agama yang tidak semestinya.

Sumber : 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar

MEMBERI PINJAMAN (UTANG) ITU PAHALANYA LEBIH BESAR DARI SEDEKAH

ثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا مَسْلَمَةُ بْنُ عُلَيٍّ ، عَنْ يَحْيَى بْنِ الْحَارِثِ الذِّمَارِيِّ ، عَنِ الْقَاسِمِ ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” دَخَلْتُ الْجَنَّةَ ، فَرَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا الصَّدَقَةَ بِعَشْرٍ وَالْقَرْضَ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ ، فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيلُ ، كَيْفَ صَارَتِ الصَّدَقَةُ بِعَشْرٍ وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ ؟ قَالَ : لأَنَّ الصَّدَقَةَ تَقَعُ فِي يَدِ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ ، وَالْقَرْضُ لا يَقَعُ إِلا فِي يَدِ مَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ ” .

Telah menceritakan kepada kami Daawud Ibn Rusyaidin berkata; Telah menceritakan kepada kami Salamah Ibn Bisyrin; Telah menceritakan kepada kami Maslamah Ibn ‘Ulayin dari Yahya Ibn Al-Haarits Adz-Dzimaariy dari Al-Qaasim, dari Abi Umaamah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Ketika aku masuk ke dalam surga maka aku melihat pada pintunya tertulis 'Pahala sedekah itu 10 kali lipat pahala, sedangkan pahala mengutangkan 18 kali lipat pahala.'"

Maka aku bertanya pada Jibril, mengapa pahala sedekah lebih kecil daripada pahala mengutangkan?

"Jibril menjawab, karena di dalam sedekah kadang orang yang disedekahi tidak butuh-butuh amat (orang mampu) artinya masih ada simpanan, dan terkadang orang yang membutuhkan (fakir). Sedangkan di dalam utang, orang tidak akan berutang kalau ia tidak butuh."
(HR. Thabrani dan Baihaqi)

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْكَرِيمِ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ و حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنْ الصَّدَقَةِ قَالَ لِأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لَا يَسْتَقْرِضُ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin 'Abdul Kariim berkata; Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Khaalid berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Yaziid. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Haatim berkata; Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Khaalid berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Yaziid bin Abu Maalik dari Bapaknya dari Anas bin Maalik ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

"Pada malam aku diisra'kan aku melihat di atas pintu surga tertulis 'Sedekah akan dikalikan menjadi sepuluh kali lipat, dan memberi pinjaman dengan delapan belas kali lipat'. Maka aku pun bertanya: "Wahai Jibril, apa sebabnya memberi utang lebih utama ketimbang sedekah?" Jibril menjawab:

"Karena saat seorang peminta meminta, (terkadang) ia masih memiliki (harta), sementara orang yang meminta pinjaman, ia tidak meminta pinjaman kecuali karena ada butuh."
(HR. Ibnu Majah no. 2431)

Allahu a'lam

LARANGAN MENUTUP DINDING DENGAN KAIN

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَبِي الْحُبَابِ مَوْلَى بَنِي النَّجَّارِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ
قَالَ فَأَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ إِنَّ هَذَا يُخْبِرُنِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَمَاثِيلُ فَهَلْ سَمِعْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ ذَلِكَ فَقَالَتْ لَا وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكُمْ مَا رَأَيْتُهُ فَعَلَ رَأَيْتُهُ خَرَجَ فِي غَزَاتِهِ فَأَخَذْتُ نَمَطًا فَسَتَرْتُهُ عَلَى الْبَابِ فَلَمَّا قَدِمَ فَرَأَى النَّمَطَ عَرَفْتُ الْكَرَاهِيَةَ فِي وَجْهِهِ فَجَذَبَهُ حَتَّى هَتَكَهُ أَوْ قَطَعَهُ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ قَالَتْ فَقَطَعْنَا مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ وَحَشَوْتُهُمَا لِيفًا فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَيَّ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibraahiim; Telah mengabarkan kepada kami Jariir dari Suhail bin Abu Shaalih dari Sa'iid bin Yasaar Abu Al Hubaab budak dari Bani An Najjaar dari Zaid bin Khaalid Al Juhaniy dari Abu Thalhah Al Anshaariy ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar."

Zaid berkata; 'Lalu aku menemui 'Aisyah dan aku tanyakan kepadanya; 'Abu Thalhah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar." Apakah anda pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan hal itu. 'Aisyah menjawab; 'Tidak, akan tetapi akan aku ceritakan kepadamu perbuatan beliau yang pernah aku lihat. Aku pernah melihat beliau keluar dalam suatu perjalanan, lalu aku mengambil kain kemudian aku tutupkan pada pintu. Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang dan beliau melihat kain tersebut, aku mengerti ada tanda kebencian dari wajah beliau, kemudian beliau mencabutnya dan memotongnya seraya bersabda; 'Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah.' 'Aisyah berkata; Lalu aku memotongnya untuk dijadikan dua bantal dan aku isi dengan pelepah kurma. Beliau tidak mencelaku atas hal itu."
[HR. Muslim no. 2107]

Salim bin 'Abdullah bin 'Umar rahimahullah berkata :
“Aku mengadakan pesta pernikahan sewaktu ayahku (Ibnu 'Umar) masih hidup. Maka ayahkupun mengundang orang-orang. Dan Abu Ayyub termasuk orang yang diundang. Sementara rumahku sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Lalu Abu Ayyub masuk dan melihatku sedang berdiri. Ia memperhatikan dinding rumahku yang sudah ditutupi dengan permadani dinding berwarna hijau. Ia berkata, ‘Ya 'Abdullah (Ibnu 'Umar) apakah kalian yang menutupi dinding dengan permadani?’ Dengan malu ayahku berkata, ‘Kami dikendalikan kaum wanita wahai Abu Ayyub.’ Lalu ia berkata, ‘Tadinya aku khawatir kaum wanita mengendalikan perkara ini namun aku tidak khawatir mereka mengendalikan dirimu. Aku tidak akan makan makanan kalian dan tidak akan masuk ke rumah kalian.’ Kemudian ia pun keluar.” 
[HR. Bukhari, 9/249. Dalam Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah An-Nabawiyyah, Pustaka Imam Syafi’i, 2006, hlm. 3/238-239]

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Diantaranya :

1. Mayoritas ulama Syafi'iyyah dan salah satu riwayat keterangan dari Imam Ahmad, berpendapat larangan yang terdapat dalam hadits di atas dihukumi makruh. Kecuali jika kain penutup tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar (makhluk bernyawa) maka status hukumnya berubah menjadi haram. Inilah pendapat paling kuat dari madzhab hambali sebagaimana yang dikatakan Imam Ibn Qudamah dalam Al Mughni.

Menurut pendapat Hanabilah hukum makruh ini berlaku jika tidak ada keperluan ketika memasang penutup kain tersebut. Adapun jika ada keperluan (seperti ketika musim dingin dipasang kain penutup tembok untuk memperhangat ruangan) memasang penutup kain maka hukumnya boleh (tidak lagi makruh). Karena tidak lagi termasuk sikap berlebih-lebihan.

Dan pendapat ini merupakan pendapat terkuat dalam madzhab Hanafiyah. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Bahr Ar-Raiq :

وله أن يستر الجدار باللبد وغيره

“Orang boleh menutup tembok dengan labid (kain wall tanpa bulu).”

Demikian pula menurut Malikiyah, ini merupakan pendapat dalam madzhab itu. Mereka menyebutkan dalam pembahasan tentang walimah di buku-buku fiqhnya, bahwa bukan termasuk hal terlarang menutup tembok dengan sutra. Simak penjelasannya di Asy-Syarh Al-Kabir (2/337).

2. Sebagian Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa larangan tersebut dihukumi haram. Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah di atas. Pendapat ini bisa dibantah dengan dua hal berikut ini :

Pertama, Dalam hadits ‘Aisyah di atas tidak terdapat pengharaman menutupi dinding dengan kain. Namun lafazh yang ada hanyalah mengkhabarkan bahwa “Kami tidak diperintah untuk menutupi dinding.” Peniadaan perintah ini tidak menunjukkan akan haramnya perbuatan tersebut. Begitu juga tidak bisa dihukumi sunnah dan wajib. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.

Imam An Nawawi rahimahullah berkata :

فاستدلوا به على أنه يمنع من ستر الحيطان وتنجيد البيوت بالثياب وهومنع كراهة تنزيه لاتحريم هذا هو الصحيح وقال الشيخ أبو الفتح نصر المقدسى من أصحابنا هو حرام وليس في هذا الحديث ما يقتضي تحريمه لأن حقيقة اللفظ أن الله تعالى لم يأمرنا بذلك وهذا يقتضي أنه ليس بواجب ولا مندوب، ولا يقتضي التحريم.

“Para ulama berdalil dengannya larangan menutupi dinding rumah dengan kain. Namun larangan ini adalah makruh bukan haram dan itulah yang shahih. Sementara Syaikh Abul Fath Nashr Al Maqdisi dari ash-hab kami berkata: Hukumnya haram. Padahal lafazh hadits tersebut tidak menunjukkan haram, ia hanya menunjukkan bahwa Allah tidak memerintahkan kita demikian, artinya bukan wajib dan bukan sunnah dan bukan haram."
[Syarah Shahih Muslim, 14/86]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :

وقال غيره ليس في السياق ما يدل على التحريم وإنما فيه نفي الأمر لذلك ونفي الأمر لا يستلزم ثبوت النهي لكن يمكن أن يحتج بفعله صلى الله عليه وسلم في هتكه

"Ulama lainnya mengatakan bahwa konteks hadits tidak menunjukkan haramnya memasang penutup dinding, namun di sana hanya meniadakan perintah untuk menutup dinding. Dan tidak ada perintah, tidak menunjukkan adanya larangan. Hanya saja, mungkin seseorang berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menarik dan melepasnya."
[Fathul Bari, 9/250]

Fatwa yang sama juga dilakukan Syaikh Ibnu Baz :

ترك تلبيس الجدر بالستر أولى وأفضل؛ لحديث: (إنا لم نؤمر عن أن نغطي الجدر) لكن ليس فيه محذور ليس بمحرم لأنه لم ينهى عنه فيما علمنا، وإنما ذلك جائز وتركه أفضل، فلا حرج في ذلك إذا جعله إما للزينة وإما لترك الغبار وإما لأسباب أخرى لا حرج في ذلك إن شاء الله، لكن تركه أولى.

"Tidak menutupi dinding dengan wallpaper, lebih baik dan lebih afdhal. Mengingat hadits, ‘Kita tidak diperintahkan untuk menutup dinding.’ Hanya saja, ini tidak dilarang dan tidak haram. Karena menutup dinding tidak dilarang menurut yang saya tahu. Ini boleh, sekalipun meninggalkannya lebih afdhal. Sehingga tidak masalah jika ada yang memasang untuk hiasan atau menutup debu atau karena alasan lainnnya. Meskipun tidak ditutup lebih afdhal."
[http://www.binbaz.org.sa/noor/11319]

Kedua, Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dikarenakan ada gambar makhluk bernyawa yang ada pada kain penutup milik 'Aisyah radhiallahu’anha. Hal ini berdasarkan riwayat lain yang disebutkan Imam Bukhari, Muslim, Imam Ahmad dan yang lainnya. 'Aisyah radhiallahu’anha mengatakan,

دخل النبي صلى الله عليه وسلم علي، وقد سترت نمطا ” أي نشرته، وجعلته ساتراً “فيه تصاوير “.

“Suatu saat Nabi shallallahu’alaihi wasallam masuk menemuiku. (Sebelum beliau datang) aku bentangkan tirai penutup terbuat dari kain yang ada gambar (makhluk bernyawa).”

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : 
“Gambar tersebut adalah gambar kuda yang memiliki sayap.” 
[Fathul Mun’im, 8/373]

Fatwa Al Allamah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan :

Seorang pendengar dari Irak bertanya melalui suratnya, 
Aku pernah mendengar sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam secara makna beliau shallallahu’alaihi wasallam suatu ketika masuk menemui ‘Aisyah dan mendapati (kain) penutup dinding yang dipasang (di atas pintu) atau jaman sekarang disebut gorden. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepada 'Aisyah,
”Kami adalah umat yang tidak diperintah untuk menutupi dinding.”

Berdasarkan hadits yang mulia ini apakah gorden yang dipasang hanya boleh selebar bukaan jendela? atau apakah boleh memasang gorden pada tembok yang terdapat jendela? Mohon berilah kami pencerahan. Baarakallahufiikum.

Jawaban :

Hadits yang disebutkan oleh penanya tersebut terdapat dalam Shahih Muslim. Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat gorden yang menjuntai dibalik pintu hal ini membuat wajah beliau menampakkan kebencian. Lalu beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إن الله لم يأمرنا أن نكسو الحجارة والطين

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kami memakaikan kain pada bebatuan dan tanah liat (dinding).”

Kemudian beliau memotong kain tersebut.

Hadits ini menjadi dalil bahwa seseorang tidak pantas menutupi tembok rumahnya dengan jenis kain yang dibenci oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Karena kebencian itu terlihat pada wajah beliau ditambah lagi khabar beliau bahwa Allah Ta’ala tidak memerintahkan hal itu.

Adapun gorden yang digunakan orang jaman sekarang jika digunakan untuk tujuan yang benar selain sebagai “penutup” saja maka tidak apa-apa in syaa Allah. Sebagaimana jika seseorang memakai gorden dengan tujuan menutupi sisi jendelanya dari sengatan matahari atau dengan tujuan lainnya maka hal ini tidak masalah. Karena kondisi semacam ini bukan termasuk memakaikan kain pada bebatuan atau tanah liat (dinding) akan tetapi masuk katagori penjagaan dari gangguan yang mendekatinya. Memberi kain penutup (kiswah) juga diperbolehkan untuk tujuan kemashlahatan lainnya. Berbeda jika kiswah tadi digunakan dalam rangka semata-mata untuk menghiasi dinding agar lebih cantik maka inilah yang termasuk dalam larangan dalam hadits. Tidak pantas untuk kita lakukan.” 
[Fatawa Nur ‘Ala Darb]

Pada kesempatan lain beliau rahimahullah juga ditanya dengan permasalahan yang sama.

Pertanyaan :
Larangan menutupi dinding. Apakah hukum larangan ini sampai derajat haram? Apakah maksud larangan tersebut berlaku jika menutupi satu sisi dinding saja atau harus semua sisi?

Jawaban :

Menutup dinding itu ada dua macam :

Pertama, menutupi secara riil (menyelimuti) . Sebagai contoh jika seseorang menutupi rumah atau batu dengan kain penutup (kiswah) sebagaimana ka’bah. Maka jelas ini perbuatan terlarang karena ia telah menyerupakan rumahnya dengan ka’bah.

Kedua, menutupi bagian dalam (tembok rumah) maka hal ini tidak mengapa selama ada kebutuhan. Baik untuk menjaga dari udara dingin, udara panas atau agar tidak silau dari cahaya luar tatkala seseorang ingin tidur. Karena bangunan rumah saat ini -sebagaimana kalian juga tahu- berubah menjadi dingin di musim dingin dan akan panas di musim panas. Maka tidak mengapa jika seseorang memasang penutup kain di dindingnya untuk mereduksi suhu dingin di musim dingin dan suhu panas di musim panas. Karena perbuatan ini tidak bermaksud menutupi secara hakiki akan tetapi dengan maksud untuk melindungi dari udara dingin, udara panas serta melindungi dari sinar matahari agar tidak menyilaukan bagi orang yang ingin tidur sehingga dia bisa istirahat dengan tenang.”
[Liqaa’ Albaab Almaftuuh (2), Tathbiiq Fatawa Ibn Utsaimin rahimahullah lianduruwiid]

Kesimpulan : memasang kain penutup pada dinding hukumnya makruh bila sekadar untuk hiasan (karena termasuk sikap berlebih-lebihan) tanpa ada keperluan yang penting. Dan hukumnya berubah menjadi haram jika kain tersebut terbuat dari sutra atau terdapat gambar makhluk bernyawa.

Allahu a’lam

Sabtu, 30 Mei 2020

Jadikanlah Aku Termasuk Golongan yang Sedikit

مَرَّ سَيِّدُنَا عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ذَاتَ يَوْمٍ بِرَجُلٍ فِيْ السُّوْقِ.
فِإِذَا بِالرَّجُلِ يَدْعُوْا وَيَقُوْلُ:.

Suatu hari, Sayyidina ‘Umar bin Al-Khaththaab رضي الله عنه pernah melewati seorang pria di pasar, lalu orang tersebut berdoa dan mengucapkan :

« اللهم اجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ القَلِيْلِ … اللهم اجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ القَلِيْلِ »

Ya Allah, Jadikanlah diriku termasuk hamba-hamba-Mu yang sedikit… Ya Allah, Jadikanlah diriku termasuk hamba-hamba-Mu yang minoritas…

فَقَالَ لَهُ سَيِّدُنَا عُمَرَ: مِنْ أَيْنَ أَتَيْتَ بِهَذَا الدُّعَاءِ؟

Lantas Sayyidina 'Umar pun bertanya :

Darimana kamu dapati doa seperti ini??

فَقَالَ الرَّجُلُ: إنَّ اللهَ يَقُوْلُ فِي كِتَابِهِ العَزِيْزِ:

Pria tersebut menjawab :

Sesungguhnya Allah ﷻ berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :

﴾وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴿

Dan alangkah sedikitnya hamba-hamba-Ku uang bersyukur (QS. Saba’ : 13)

فَبَكَى سَيِّدُنَا عُمَرَ وَقَالَ: كُلُّ النَّاسِ أَفْقَهُ مِنْكَ يَا عُمَرَ.

Lantas Sayyidina Umar pun menangis sembari berkata kepada diri sendiri “Setiap orang sepertinya lebih faqih darimu wahai 'Umar.”

[Atsar riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Az-Zuhd, dan Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 10/105 no. 30006. Atsar ini didiamkan oleh para ulama, tidak disebutkan shahih atau dha’ifnya. Wallahu a’lam]

Faedah :

إِذَا نَصَحْتَ أَحَداً بِتَرْكِ مَعْصِيَةٍ كَانَ رَدُهُ: « أَكْثَرُ النَّاسِ تَفْعَلُ ذَلِكَ، لَسْتُ وَحْدِي! »

Jika Anda menasihati seseorang untuk meninggalkan kemaksiatan, seringkali ia membantah : banyak orang kok yang juga mengerjakannya. Bukan saya sendiri...

وَﻟَﻮْ ﺑَﺤَﺜْﺖَ ﻋَﻦْ ﻛَﻠِﻤَﺔِ « أَكْثَرُ النَّاسِ » فِي القُرْآنِ الكَرِيْمِ لَوَجَدْتَ بَعْدَهَا:

Namun, apabila Anda menelaah kata Aktsarun Nâs (“kebanyakan manusia”) di dalam Al-Qur’an Al-Karim, niscaya Anda kan dapati lanjutan setelahnya berbunyi :

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah mengetahui

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah beriman

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan manusia tidaklah bersyukur

وَﻟَﻮْ ﺑَﺤَﺜْﺖَ ﻋَﻦْ ﻛَﻠِﻤَﺔِ « أَكْثَرَهُمْ » لَوَجَدْتَ بَعْدَهَا:

Dan jika Anda menelaah kata Aktsaruhum (“Kebanyakan mereka”), niscaya anda dapat lanjutan setelahnya berbunyi :

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan mereka tidaklah mengetahui

﴿ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ ﴾

Kebanyakan mereka tidaklah berakal/memahami

﴿ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ ﴾

Namun kebanyakan mereka tidaklah beriman

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَشْكُرُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan mereka tidaklah bersyukur

﴿ كَانَ أَكْثَرُهُم مُّشْرِكِينَ ﴾

Kebanyakan dari mereka adalah orang yang menyekutukan Allah (musyrik)

﴿ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ ﴾

Akan tetapi kebanyakan mereka itu bodoh

﴿ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾

Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik

﴿ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ ﴾

Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik

﴿ وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ ﴾

Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir

﴿ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴾

Kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta

فَكُنْ أَنْتَ مِن القَلِيْلِ الَّذِي قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْهِمْ:

Jadilah Anda termasuk dari yang sedikit,
yang Allah berfirman tentangnya :

﴿ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴾

Dan alangkah sedikitnya hamba-hamba-Ku yang bersyukur

﴿ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ ﴾

Dan tidaklah beriman bersama dengannya (nabi) melainkan hanya sedikit

﴿ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ ﴾

Kecuali orang yang beriman dan beramal shalih, dan alangkah sedikitnya mereka

﴿ ثُلَّةٌ مِّنَ الأَوَّلِينَ ۝ وَقَلِيلٌ مِّنَ الْآخِرِينَ ﴾

Sebagian besar dari orang-orang terdahulu, dan sebagian kecil dari orang-orang yang belakangan.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang sedikit, yang selamat dan beruntung di sisi-Nya.

Baarakallahu fiiykum

Dalil Tentang Menyentuh (Kulit) Wanita Tidak Membatalkan Wudhu

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

Telah menceritakan kepada kami Isma'iil berkata; Telah menceritakan kepadaku Maalik dari Abu An Nadhr mantan budak 'Umar bin 'Ubaidullah, dari Abi Salamah bin 'Abdurrahman dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata,

"Aku pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sementara kedua kakiku di arah Kiblat (shalatnya). Jika sujud beliau menyentuh kakiku, maka aku tarik kedua kakiku. Dan jika berdiri aku kembali meluruskan kakiku." 'Aisyah berkata, "Pada saat itu di rumah-rumah belum ada lampu penerang."
(Shahih Bukhari no. 382)

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ شُعَيْبٍ عَنْ اللَّيْثِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي وَإِنِّي لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Al Hakam dari Syu'aib dari Laits dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu Haad dari 'Abdurrahman bin Qaasim dari Al Qaasim dari 'Aisyah dia berkata :

"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat dan aku berbaring di depannya laksana mayat, apabila beliau ingin melakukan shalat witir, beliau menyentuhku dengan kakinya."
(Sunan Nasa'i no. 166)

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi zhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri).
(Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam Ash-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah; Telah menceritakan kepadaku 'Ubaidullah bin 'Umar dari Muhammad bin Yahya bin Habbaan dari Al-A'raj dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dari Aisyah radhiyallahu'anha dia berkata,

"Aku kehilangan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pada suatu malam dari kasur peraduanku, lalu aku mencarinya, lalu tanganku mendapatkan bagian luar kedua telapak kakinya dalam keadaan beliau berada di masjid. Kedua telapak kakinya tegak lurus, dan beliau berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari bahaya murkaMu, dan berlindung dengan ampunanMu dari bahaya hukumanMu, dan aku berlindung kepadaMu dari adzabMu, aku tidak bisa menghitung pujian atasMu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji atas diriMu'."
(Shahih Muslim no. 486)

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Dan zhahir hadits ini Aisyah menyentuh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa ada pembatas kain, karena kondisinya Aisyah terjaga dan terbangun di malam hari, lalu mencari suaminya, dan ia tidak mengetahui kalau suaminya sedang sujud dalam shalat. Kondisi seperti ini sulit untuk dibayangkan bahwa Aisyah langsung mencari kain untuk diletakan di tangannya terlebih dahulu lalu baru mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka penjelasan sebagian ulama bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya telah menyelisihi zhahir hadits.
(At-Tamhid 8/501, Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَفْلَحُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah; Telah mengabarkan kepada kami Aflah bin Humaid dari Al Qaasim dari 'Aisyah berkata,

"Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bejana, dan tangan kami saling bersentuhan."
(Shahih Bukhari no. 261)

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ وَكَانَ يُخْرِجُ رَأْسَهُ إِلَيَّ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Manshur dari Ibraahiim dari Al Aswad dari 'Aisyah berkata,

"Aku dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang haid. Beliau juga pernah mendekatkan kepalanya kepadaku saat beliau i'tikaf, aku lalu basuh kepalanya padahal saat itu aku sedang haid."
(Shahih Bukhari no. 299, 300, 301)

Istidlalnya, bahwa mandi janabah adalah ibadah untuk bersuci, bahkan ada wudhu di dalamnya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan berwudhu/bersuci, niscaya Nabi tidak akan mandi bareng dengan istrinya, karena pasti tidak terlepas dari saling menyentuh, apalagi digambarkan dalam hadits ini, tangan Nabi saling bersentuhan dengan istri Beliau.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَأَيْضًا فَمِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ مَسَّ النَّاسِ نِسَاءَهُمْ مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَمَسُّ امْرَأَتَهُ ؛ فَلَوْ كَانَ هَذَا مِمَّا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لَكَانَ النَّبِيُّ بَيَّنَهُ لِأُمَّتِهِ ؛ وَلَكَانَ مَشْهُورًا بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يَنْقُلْ أَحَدٌ أَنَّ أَحَدًا مِنْ الصَّحَابَةِ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِمُجَرَّدِ مُلَاقَاةِ يَدِهِ لِامْرَأَتِهِ أَوْ غَيْرِهَا وَلَا نَقَلَ أَحَدٌ فِي ذَلِكَ حَدِيثًا عَنْ النَّبِيِّ : فَعُلِمَ أَنَّ ذَلِكَ قَوْلٌ بَاطِلٌ

"Padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya."
(Majmu’ Fatawa, 21/235)

Allahu a'lam

Hukum Menerima Suap Serangan Fajar PEMILU

Menerima "Serangan Fajar" dalam PEMILU baca (sogok/suap) untuk memilih calon atau partai tertentu adalah haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tentang bahaya suap.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَعَائِشَةَ وَابْنِ حَدِيدَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يَصِحُّ قَالَ و سَمِعْت عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَقُولُ حَدِيثُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنُ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَصَحُّ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awaanah dari 'Umar bin Abu Salamah dari Ayahnya dari Abu Hurairah ia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang disuap dalam masalah hukum."

Ia berkata; Dalam hal ini ada hadits serupa dari 'Abdullah bin 'Amru, A`isyah, Ibnu Hadidah dan Ummu Salamah. Abu 'Iisa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih, hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari 'Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan juga dari Abu Salamah dari Ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam namun tidak shahih. Ia mengatakan; Serta aku mendengar 'Abdullah bin 'Abdurrahman berkata; Hadits Abu Salamah dari 'Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah hadits yang lebih hasan dan lebih shahih di dalam bab ini.
(Jami' Tirmidzi no. 1336)

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ خَالِهِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Abu Muusa Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Aamir Al 'Aqadiy; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari bibinya Al Haarits bin 'Abdurrahman dari Abu Salamah dari 'Abdullah bin 'Amru ia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang disuap."

Abu 'Iisa berkata; Hadits ini hasan shahih.
(Jami' Tirmidzi no. 1337)

Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok/suap itu haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).

Yang dimaksud risywah atau uang sogok dikatakan oleh Imam Ibnul ‘Arabi,

كُلّ مَال دُفِعَ لِيَبْتَاعَ بِهِ مِنْ ذِي جَاهُ عَوْنًا عَلَى مَا لَا يَحِلُّ

“Segala sesuatu yang diserahkan untuk membayar orang yang punya kedudukan supaya menolong dalam hal yang tidak halal.”

Dalam hadits disebutkan istilah rasyi, yang dimaksudkan adalah orang yang menyerahkan uang sogok. Sedangkan murtasyi adalah yang menerimanya. Adapun perantaranya disebut dengan ra-is.

Jadi terlarang, meminta suap, memberi suap, menerima suap dan menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap.

Allahul musta'an



NERAKA TIDAK AKAN MEMBAKAR BEKAS SUJUD

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَادَةَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَأْكُلُ النَّارُ ابْنَ آدَمَ إِلَّا أَثَرَ السُّجُودِ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaadah Al Waashithiy; Telah menceritakan kepada kami Ya'quub bin Muhammad Az Zuhriy; Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa'd dari Az Zuhriy dari 'Athaa` bin Yaziid dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda :

"Api neraka akan membakar anak Adam, kecuali mereka yang terdapat bekas sujud, sebab Allah mengharamkan api neraka untuk membakar bekas sujud."
(HR. Ibnu Majah no. 4326)

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَعَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُمَا
أَنَّ النَّاسَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ هَلْ تُمَارُونَ فِي الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ لَيْسَ دُونَهُ سَحَابٌ قَالُوا لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ تُمَارُونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ قَالُوا لَا قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ شَيْئًا فَلْيَتَّبِعْ فَمِنْهُمْ مَنْ يَتَّبِعُ الشَّمْسَ وَمِنْهُمْ مَنْ يَتَّبِعُ الْقَمَرَ وَمِنْهُمْ مَنْ يَتَّبِعُ الطَّوَاغِيتَ وَتَبْقَى هَذِهِ الْأُمَّةُ فِيهَا مُنَافِقُوهَا فَيَأْتِيهِمْ اللَّهُ فَيَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ فَيَقُولُونَ هَذَا مَكَانُنَا حَتَّى يَأْتِيَنَا رَبُّنَا فَإِذَا جَاءَ رَبُّنَا عَرَفْنَاهُ فَيَأْتِيهِمْ اللَّهُ فَيَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ فَيَقُولُونَ أَنْتَ رَبُّنَا فَيَدْعُوهُمْ فَيُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ جَهَنَّمَ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يَجُوزُ مِنْ الرُّسُلِ بِأُمَّتِهِ وَلَا يَتَكَلَّمُ يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ إِلَّا الرُّسُلُ وَكَلَامُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ وَفِي جَهَنَّمَ كَلَالِيبُ مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ هَلْ رَأَيْتُمْ شَوْكَ السَّعْدَانِ قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنَّهَا مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ قَدْرَ عِظَمِهَا إِلَّا اللَّهُ تَخْطَفُ النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ فَمِنْهُمْ مَنْ يُوبَقُ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُخَرْدَلُ ثُمَّ يَنْجُو حَتَّى إِذَا أَرَادَ اللَّهُ رَحْمَةَ مَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَمَرَ اللَّهُ الْمَلَائِكَةَ أَنْ يُخْرِجُوا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَيُخْرِجُونَهُمْ وَيَعْرِفُونَهُمْ بِآثَارِ السُّجُودِ وَحَرَّمَ اللَّهُ عَلَى النَّارِ أَنْ تَأْكُلَ أَثَرَ السُّجُودِ فَيَخْرُجُونَ مِنْ النَّارِ فَكُلُّ ابْنِ آدَمَ تَأْكُلُهُ النَّارُ إِلَّا أَثَرَ السُّجُودِ فَيَخْرُجُونَ مِنْ النَّارِ قَدْ امْتَحَشُوا فَيُصَبُّ عَلَيْهِمْ مَاءُ الْحَيَاةِ فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ ثُمَّ يَفْرُغُ اللَّهُ مِنْ الْقَضَاءِ بَيْنَ الْعِبَادِ وَيَبْقَى رَجُلٌ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَهُوَ آخِرُ أَهْلِ النَّارِ دُخُولًا الْجَنَّةَ مُقْبِلٌ بِوَجْهِهِ قِبَلَ النَّارِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ اصْرِفْ وَجْهِي عَنْ النَّارِ قَدْ قَشَبَنِي رِيحُهَا وَأَحْرَقَنِي ذَكَاؤُهَا فَيَقُولُ هَلْ عَسَيْتَ إِنْ فُعِلَ ذَلِكَ بِكَ أَنْ تَسْأَلَ غَيْرَ ذَلِكَ فَيَقُولُ لَا وَعِزَّتِكَ فَيُعْطِي اللَّهَ مَا يَشَاءُ مِنْ عَهْدٍ وَمِيثَاقٍ فَيَصْرِفُ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ فَإِذَا أَقْبَلَ بِهِ عَلَى الْجَنَّةِ رَأَى بَهْجَتَهَا سَكَتَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْكُتَ ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ قَدِّمْنِي عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ أَلَيْسَ قَدْ أَعْطَيْتَ الْعُهُودَ وَالْمِيثَاقَ أَنْ لَا تَسْأَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنْتَ سَأَلْتَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا أَكُونُ أَشْقَى خَلْقِكَ فَيَقُولُ فَمَا عَسَيْتَ إِنْ أُعْطِيتَ ذَلِكَ أَنْ لَا تَسْأَلَ غَيْرَهُ فَيَقُولُ لَا وَعِزَّتِكَ لَا أَسْأَلُ غَيْرَ ذَلِكَ فَيُعْطِي رَبَّهُ مَا شَاءَ مِنْ عَهْدٍ وَمِيثَاقٍ فَيُقَدِّمُهُ إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَإِذَا بَلَغَ بَابَهَا فَرَأَى زَهْرَتَهَا وَمَا فِيهَا مِنْ النَّضْرَةِ وَالسُّرُورِ فَيَسْكُتُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَسْكُتَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَدْخِلْنِي الْجَنَّةَ فَيَقُولُ اللَّهُ وَيْحَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مَا أَغْدَرَكَ أَلَيْسَ قَدْ أَعْطَيْتَ الْعُهُودَ وَالْمِيثَاقَ أَنْ لَا تَسْأَلَ غَيْرَ الَّذِي أُعْطِيتَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ لَا تَجْعَلْنِي أَشْقَى خَلْقِكَ فَيَضْحَكُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهُ ثُمَّ يَأْذَنُ لَهُ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ تَمَنَّ فَيَتَمَنَّى حَتَّى إِذَا انْقَطَعَ أُمْنِيَّتُهُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا أَقْبَلَ يُذَكِّرُهُ رَبُّهُ حَتَّى إِذَا انْتَهَتْ بِهِ الْأَمَانِيُّ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ مَعَهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yamaan berkata; Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata; Telah mengabarkan kepadaku Sa'iid bin Al Musayyab dan 'Athaa' bin Yaziid Al Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepada keduanya, bahwa orang-orang berkata,

"Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat nanti?" Beliau menjawab: "Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) bulan pada malam purnama, bila tidak ada awan yang menghalanginya?" Mereka menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Beliau bertanya lagi: "Apakah kalian dapat membantah (bahwa kalian dapat melihat) matahari, bila tidak ada awan yang menghalanginya?" Mereka menjawab, "Tidak." Beliau lantas bersabda: "Sungguh kalian akan dapat melihat-Nya seperti itu juga. Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat, lalu Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman: 'Barangsiapa menyembah sesuatu, maka ia akan ikut dengannya.' Maka di antara mereka ada yang mengikuti matahari, di antara mereka ada yang mengikuti bulan dan di antara mereka ada pula yang mengikuti thaghut-thaghut. Maka tinggallah ummat ini, yang diantaranya ada para munafiknya. Maka Allah mendatangi mereka dan lalu berfirman: 'Aku adalah Rabb kalian.' Mereka berkata, 'Inilah tempat kedudukan kami hingga datang Rabb kami. Apabila Rabb kami telah datang pasti kami mengenalnya.' Maka Allah mendatangi mereka seraya berfirman: 'Akulah Rabb kalian.' Allah kemudian memanggil mereka, lalu dibentangkanlah Ash Shirath di atas neraka Jahannam. Dan akulah orang yang pertama berhasil melewatinya di antara para Rasul bersama ummatnya. Pada hari itu tidak ada seorangpun yang dapat berbicara kecuali para Rasul, dan ucapan para Rasul adalah: 'Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah.' Dan di dalam Jahannam ada besi yang ujungnya bengkok seperti duri Sa'dan (tumbuhan yang berduri tajam). Pernahkah kalian melihat duri Sa'dan?" Mereka menjawab: "Ya, pernah." Beliau melanjutkan: "Sungguh dia seperti duri Sa'dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui ukuran besarnya duri tersebut kecuali Allah. Duri tersebut akan menusuk-nusuk manusia berdasarkan amal-amal mereka. Di antara mereka ada yang dikoyak-koyak hingga binasa disebabkan amalnya, ada pula yang dipotong-potong kemudian selamat melewatinya. Hingga apabila Allah berkehendak memberikan rahmat-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya dari penghuni neraka, maka Allah memerintahkan Malaikat untuk mengeluarkan siapa saja yang pernah menyembah Allah. Maka para Malaikat mengeluarkan mereka, yang mereka dikenal berdasarkan tanda bekas-bekas sujud (atsarus sujud). Dan Allah telah mengharamkan kepada neraka untuk memakan (membakar) atsarus sujud, lalu keluarlah mereka dari neraka. Setiap anak keturunan Adam akan dibakar oleh neraka kecuali mereka yang memiliki atsarus sujud. Maka mereka keluar dalam keadaan sudah hangus terbakar (gosong), lalu mereka disiram dengan air kehidupan kemudian jadilah mereka tumbuh seperti tumbuhnya benih di tepian aliran sungai. Setelah itu selesailah Allah memutuskan perkara di antara hamba-hambaNya. Dan yang tinggal hanyalah seorang yang berada antara surga dan neraka, dan dia adalah orang terakhir yang memasuki surga di antara penghuni neraka yang berhak memasukinya, dia sedang menghadapkan wajahnya ke neraka seraya berkata, 'Ya Rabb, palingkanlah wajahku dari neraka! Sungguh anginnya neraka telah meracuni aku dan baranya telah memanggang aku.' Lalu Allah berfirman: 'Apakah seandainya kamu diberi kesempatan kali yang lain kamu tidak akan meminta yang lain lagi? ' Orang itu menjawab: 'Tidak, demi kemuliaan-Mu, ya Allah! ' Maka Allah memberikan kepadanya janji dan ikatan perjanjian sesuai apa yang dikehendaki orang tersebut. Kemudian Allah memalingkan wajah orang tersebut dari neraka. Maka ketika wajahnya dihadapkan kepada surga, dia melihat taman-taman dan keindahan surga lalu terdiam dengan tertegun sesuai apa yang Allah kehendaki. Kemudian orang itu berkata, 'Ya Rabb, dekatkan aku ke pintu surga! ' Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Bukankah kamu telah berjanji dan mengikat perjanjian untuk tidak meminta sesuatu setelah permintaan kamu sebelumnya?" Orang itu menjawab, 'Ya Rabb, aku tidak mau menjadi ciptaanMu yang paling celaka.' Allah kembali bertanya: 'Apakah kamu bila telah diberikan permintaanmu sekarang ini, nantinya kamu tidak akan meminta yang lain lagi?" Orang itu menjawab, 'Tidak, demi kemuliaan-Mu. Aku tidak akan meminta yang lain setelah ini.' Maka Rabbnya memberikan kepadanya janji dan ikatan sesuai apa yang dikehendaki orang tersebut. Lalu orang tersebut didekatkan ke pintu surga. Maka manakala orang itu sudah sampai di pintu surga, dia melihat keindahan surga dan taman-taman yang hijau serta kegembiraan yang terdapat didalamnya, orang itu terdiam dengan tertegun sesuai apa yang Allah kehendaki. Kemudian orang itu berkata, 'Ya Rabb, masukkanlah aku ke surga! ' Allah berfirman: 'Celakalah kamu dari sikap kamu yang tidak menepati janji. Bukankah kamu telah berjanji dan mengikat perjanjian untuk tidak meminta sesuatu setelah kamu diberikan apa yang kamu pinta?" Orang itu berkata, 'Ya Rabb, janganlah Engkau menjadikan aku ciptaan-Mu yang paling celaka.' Maka Allah Azza Wa Jalla tertawa mendengarnya. Lalu Allah mengizinkan orang itu memasuki surga. Setelah itu Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Bayangkanlah! ' Lalu orang itu membayangkan hingga setelah selesai apa yang ia bayangkan, Allah berfirman kepadanya: 'Dari sini.' Dan demikianlah Rabbnya mengingatkan orang tersebut hingga manakala orang tersebut selesai membayangkan, Allah berfirman lagi: "Ini semua untuk kamu dan yang serupa dengannya."
(HR. Bukhari no. 806)

Allahul musta'an