Sabtu, 23 Juli 2022

Penukaran Uang Lebaran – Tradisi Riba

Allah mengingatkan kepada orang yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.

Allah Ta'ala berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” 
(QS. An-Nisa : 65)

Dalam ilmu hukum, kita diajarkan jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan.

Hukum syariat datang dari Allah, sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya datang jauh setelah itu.

Secara hierarki, hukum syariat jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan.

Karena itulah, tradisi yang melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.

Tukar-Menukar Uang

Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.

Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadits dari 'Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum sya'ir (kasar) ditukar dengan gandum sya'ir, kurma ditukar dengan kurma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.” 
(HR. Muslim no. 1587)

Dalam riwayat lain, Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” 
(HR. Muslim no. 1584)

Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bin 'Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.

“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan,
“Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” 
(HR. Muslim no. 1592)

Berdasarkan hadits di atas :

Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok :

[1] Kelompok 1

Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.

[2] Kelompok 2

Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.

Aturan Baku yang Berlaku

Dari hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan.

Pertama. Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis.

Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, 

مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ

"Takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai)."

Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Kedua. Jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

"Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.”

Terdapat kaidah :

إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط

"Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai."

Ketiga. Jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terutang selama saling ridha.

Tukar Menukar Uang Receh

Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100 ribu ditukar dengan pecahan Rp 5 ribu, dengan selisih 10 ribu atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.

Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha

Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.

Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.

Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.

Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.

Bagaimana dengan firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” 
(QS. An-Nisa : 29)

Jawab :

Ayat ini kita yakini benar. Aturannya juga benar. Namun saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang halal. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.

Itu Upah Penukaran Uang

Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus bawa modal, dst. Jadi layak dapat upah.

Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank. Tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.

Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 ribu. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 ribu. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.

Sementara kasus tukar menukar ini nilainya flat, setiap 100 ribu, harus ada kelebihan 10 ribu atau 5 ribu. Ini transaksi riba, dan bukan upah.

Wallahu a'lam

Menghitung Zakat Utang

Yang dimaksud zakat utang adalah zakat untuk harta milik orang lain yang ada di tangan kita.

Keberadaan utang yang ada di tangan seseorang, bisa menjadi penghalang zakatnya atau pengurang nilai zakatnya.

Sebagai ilustrasi, (asumsi, nishab zakat 43 jt)

Si A memiliki uang dan tabungan dengan total senilai 50 jt. Tapi si A tanggungan utang kredit kendaraan senilai 40 jt. Apakah utang si A yang melebihi menjadi penghalang bagi si A untuk menzakati tabungannya? Karena jika utang itu dibayarkan, tabungan si A tinggal 10 juta, dan itu kurang dari satu nishab.

Di posisi ini, utang menjadi penghalang bagi si A sehingga tidak terkena kewajiban zakat.

Dalam kasus ini, ulama berbeda pendapat. Apakah keberadaan utang bisa menjadi penghalang wajibnya zakat ataukah tidak? Sementara ketika jatuh haul, utang itu belum dibayarkan si A.

Sebelumnya, kami tegaskan, yang dibahas di sini adalah ketika utang itu belum dibayarkan sampai haul. Jika utang itu sudah dibayarkan sebelum, ulama sepakat si A tidak wajib zakat. Karena tabungan yang dia miliki menjadi kurang dari satu nishab.

Misalnya, dari kasus di atas.

Tabungan Si A mencapai 50 jt tepat ketika bulan Muharram 1436 H. Berarti jatuh tempo zakatnya adalah Muharram 1437 H. Si A juga punya tanggungan utang 40 jt, yang boleh dilunasi sampai 3 tahun lagi. Selanjutnya, di sana ada 2 keadaan,

[1] Jika si A melunasi utangnya sebelum datang Muharram 1437 H, maka si A tidak perlu bayar zakat. Karena pada saat haul, tabungan si A sudah turun di bawah satu nishab.

[2] Jika sampai Muharram 1437 H, si A sama sekali tidak membayar utangnya, sehingga tabungannya masih utuh 50 jt selama setahun, apakah si A berkewajiban zakat?

Dalam kasus ini ulama berbeda pendapat.

Pertama, si A tidak wajib zakat. Sekalipun tabungan si A di atas satu nishab, tapi dia punya utang yang bisa mengurangi tabungannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan :

أن الدين يمنع وجوب الزكاة في الأموال الباطنة رواية واحدة وهي الأثمان وعروض التجارة وبه قال عطاء وسليمان بن يسار و ميمون بن مهران و الحسن و النخعي و الليث و مالك و الثوري و الأوزاعي و اسحق و أبو ثور وأصحاب الرأي

"Utang bisa menghalangi wajibnya zakat untuk harta bathin, yaitu tabungan dan harta perdagangan, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.  Dan ini merupakan pendapat 'Atha’, Sulaiman bin Yasar, Maimun bin Mihran, Hasan Al-Bashri, An-Nakkha’i, Al-Laits, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan Ashabur ra’yi (ulama kufah)."
(Al-Mughni, 2/633)

Kedua, bahwa utang bisa menghalangi wajibnya zakat, kecuali utang jangka panjang. Yang pembayarannya bisa ditunda lama. Utang semacam ini tidak menghalangi wajibnya zakat.

Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. (Al-Inshaf, 3/24)

Ketiga, bahwa utang tidak menghalangi zakat

Selama utang belum dibayarkan, masuk dalam perhitungan zakat, sehingga keberadaan utang tidak menghalangi zakat. Ini pendapat Imam Syafi'i dalam qaul jadid, dan pendapat yang dikuatkan para ulama kontemporer.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

الدين هل يمنع وجوب الزكاة ؟ فيه ثلاثة أقوال ، أصحها عند الأصحاب , وهو نص الشافعي رضي الله عنه في معظم كتبه الجديدة : تجب … فالحاصل أن المذهب وجوب الزكاة سواء كان المال باطنا أو ظاهرا أم من جنس الدين أم غيره

"Apakah utang menghalangi zakat? Di sana ada 3 pendapat. Yang paling benar, menurut ulama Syafi'iyah, dan ini yang ditegaskan Imam Syafi'i radhiyallahu ‘anhu di mayoritas karyanya yang baru, bahwa tetap wajib zakat… kesimpulannya, syafi'iyah berpendapat wajib zakat, baik itu harta bathin maupun zhahir, baik dari harta utang atau yang lainnya."
(Al-Majmu’, 5/344)

Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh Syaikh Ibnu Baz. Beliau rahimahullah mengatakan :

وأما الدين الذي عليه فلا يمنع الزكاة في أصح أقوال أهل العلم

"Utang yang menjadi tanggungan seseorang, tidak menghalangi zakat, menurut pendapat yang paling benar di antara ulama."
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/189)

Keterangan semisal disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

والذي أرجحه أن الزكاة واجبة مطلقا ، ولو كان عليه دين ينقص النصاب ، إلا دَيْناً وجب قبل حلول الزكاة فيجب أداؤه ، ثم يزكي ما بقي بعده

"Pendapat yang rajih, bahwa zakat itu hukumnya wajib secara mutlak. Meskipun muzakki (wajib zakat) memiliki utang yang bisa mengurangi nishab. Kecuali utang yang harus dilunasi sebelum jatuh tempo zakat, sehingga harus dia bayarkan. Kemudian dia bayar zakat untuk sisanya."
(Asy-Syarh Al-Mumthi’, 6/35)

Tarjih :

Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat ketiga. Dengan beberapa pertimbangan :

[1] Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para amil zakat untuk mengambil zakat kaum muslimin di sekitar Madinah, beliau tidak memberikan rincian masalah utang. Apakah muzakki masih punya utang atau tidak.

[2] Riwayat dari As-Sa`ib bin Yazid, beliau pernah mendengar 'Utsman mengatakan :

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيُؤَدِّهِ ، حَتَّى تُخْرِجُوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ

"Ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang punya tanggungan utang, hendaknya dia lunasi utangnya, kemudian dia keluarkan zakat hartanya."
(HR. Al-Qasim bin Sallam dalam Al-Amwal, no. 917).

Dalam riwayat lain, 'Utsman mengatakan :

فمن كان عليه دين فليقض دينه وليزك بقية ماله

"Siapa yang punya tanggungan utang, segera dia lunasi utangnya, dan dia zakati sisa hartanya."

Pernyataan ini disampaikan 'Utsman di depan para sahabat lainnya, sementara tidak ada satupun diantara mereka yang mengingkari.

Ini menunjukkan, ketika utang itu belum dibayarkan, maka masuk hitungan zakat. Sebaliknya, ketika utang itu dibayarkan, dia tidak masuk dalam hitungan zakat.

Allahu a’lam.

Bacaan I’tidal yang Diperebutkan Malaikat 

 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Nu'aim bin 'Abdullah Al Mujmir, dari 'Aliy bin Yahya bin Khallaad Az Zuraqiy, dari Rifaa’ah bin Raafi’ Az Zuraqiy -radhiallahu 'anhu- dia berkata :

“Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mengangkat kepalanya dari ruku' beliau mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya). 
Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca :

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik, dan penuh berkah).

”Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?” Orang itu menjawab, “Saya.” Beliau bersabda: “Aku melihat 33 malaikat atau lebih berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk mencatat kalimat tersebut.” 

(HR. Al-Bukhari no. 799)

BERBUKA DENGAN KURMA YANG BERJUMLAH GANJIL BUKAN SUNNAH ?

Oleh : Ustadz Dody Kurniawan

Beredar fatwa Syaikh 'Utsaimin rahimahullah tentang tidak ada kesunnahannya berbuka puasa dengan kurma yang berjumlah ganjil, dengan alasan tidak adanya dalil khusus yang menunjukkan hal itu (lihat gambar). Apakah pendapat seperti ini benar?, mari kita bahas.

Pada dasarnya Allah ta'ala dan Rasulnya shallallahu 'alaihi wasallam suka dengan yang ganjil, ada banyak dalil yang menunjukkan tentang hal itu dan salah satunya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ

“Sesungguhnya Allah ﷻ itu ganjil (Esa) dan menyukai yang ganjil.” 
(HR. Al Bukhari no. 6410 dan Muslim no. 2677)

Dalil ini atau yang semakna dengannya menunjukkan dianjurkannya sesuatu dengan jumlah yang ganjil. Dalam 'Umdatul Qari disebutkan tentang penjelasan hadits ini :

يفضله فِي الْأَعْمَال وَكثير من الطَّاعَات وَلِهَذَا جعل الله الصَّلَوَات خمْسا وَالطّواف سبعا وَندب التَّثْلِيث فِي أَكثر الْأَعْمَال وَخلق السَّمَوَات سبعا وَالْأَرضين سبعا وَغير ذَلِك.

"Allah mengutamakan bilangan ganjil dalam berbagai hal dan banyak ketaatan. Allah menjadikan shalat sebanyak lima waktu, thawaf dengan tujuh kali putaran, dan anjuran untuk melakukan beragam kesunnahan dengan tiga kali (semisal wudhu). Juga Allah menciptakan langit bumi yang tujuh tingkat, dan lain sebagainya.” 
(‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 23/29)

Karenanya seseorang pernah bertanya kepada Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah tentang kesunnahan perkara yang ganjil, didalamnya disebutkan :

فضيلة الشيخ وفقكم الله ، هل الوتر يكون في جميع الأشياء المباحة مثل شرب القهوة وغيرها أم هو في الأشياء التي ورد فيها النص ؟

Syaikh Yang mulia, semoga Allah memberimu Taufiq. Apakah kesunnahan jumlah ganjil berlaku juga pada perkara yang mubah seperti minum kopi atau yang lainnya, atau (kesunnahannya) sebatas pada yang memiliki nash khusus di dalamnya?.

Beliau menjawab :

في كل الأشياء الإيتار طيب ، الإيتار في الإستجمار بالأحجار ، النبي صلى الله عليه وسلم كان يقطع الإستجمار على وتر ، ويأكل الرطبات على وتر ، وهكذا ، فجميع الأقوال والأفعال يستعمل الوتر . نعم . سنة ، هذا من السنة . نعم . وفي الإناء إذا شربت ، إذا شربت ، تتنفس ثلاثة أنفاس ، هذا وتر ، ولا تتنفس نفسين فقط .نعم .

"Dalam semua perkara bila diganjilkan maka baik. Ganjil dalam beristijmar dengan batu. Bahwasanya Nabi ﷺ mencukupkan istijmar dengan jumlah yang ganjil, memakan kurma dengan jumlah yang ganjil dan sebagainya. Maka seluruh perkataan dan perbuatan sebaiknya diganjilkan. Iya, Sunnah, ini bagian dari Sunnah. Dan setiap wadah bila kamu minum bernapaslah tiga kali, ini adalah ganjil, jangan cukupkan dengan dua kali napas saja." 

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa melakukan sesuatu perkara dengan jumlah yang ganjil adalah disunnahkan, termasuk memakan kurma untuk berbuka maupun makan sahur, baik di bulan Ramadhan maupun diluar bulan Ramadhan. Pendapat inilah yang lebih dekat dengan kebenaran, berdasarkan keumuman nash sebagaimana telah berlalu penjelasannya. 

Allahu ta'ala a'lam.
Semoga bermanfaat.



Jumat, 22 Juli 2022

Shalat Witir Tiga Rakaat, Bagaimana Melakukannya ?

1. Mengerjakan tiga rakaat dengan pola 2 – 1 (dua raka’at salam, lalu satu raka’at salam)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
وَعَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ فِي الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf berkata; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi' dan 'Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu 'Umar, 

"Bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya." 

Dan dari Naafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar memberi salam di antara satu rakaat dan dua rakaat witir hingga dia menuntaskan sebagian keperluannya.
(HR. Al Bukhari no. 990-991)

2. Mengerjakan tiga raka’at sekaligus lalu salam

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِخَمْسٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِثَلَاثٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Ibraahiim bin Ad Dimasyqi berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Firyaabiy, dari Al Auzaa'i, dari Az Zuhriy, dari 'Athaa` bin Yaziid Al Laitsi, dari Abu Ayyuub Al Anshaariy, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

"Witir adalah haq (disyariatkan). Barangsiapa suka shalat witir lima rakaat maka hendaklah ia mengerjakannya. Barangsiapa suka shalat witir tiga rakaat, maka hendaklah ia mengerjakannya, dan barangsiapa suka shalat witir satu rakaat, maka hendaklah ia mengerjakannya."
(HR. Ibnu Majah no. 1190)

Dari Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at terakhir.” 
(HR. Al Baihaqi, 3/28)

Kalau ingin melakukan tiga raka’at langsung tidak boleh diserupakan dengan shalat Maghrib.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لا توتروا بثلاث أوتروا بخمس أو بسبع ولا تشبهوا بصلاة المغرب

“Janganlah lakukan shalat witir yang tiga rakaat seperti shalat Maghrib. Namun berwitirlah dengan lima atau tujuh rakaat.” 
(HR. Ibnu Hibban no. 2429; Al Hakim dalam Mustadraknya no. 1138 dan Al Baihaqi dalam Sunan Kubra no. 4593. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Artinya, kalau caranya seperti shalat Maghrib berarti yang tiga rakaat memakai tasyahud awal di dalamnya. Itu yang tidak dibolehkan pada tiga rakaat.

Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Hadits ini menunjukkan bahwa syari’at ingin agar ibadah sunnah tidak disamakan dengan ibadah wajib.”
(Syarhul Mumthi’, 4/79)

Semoga bermanfaat.
Baarakallahu fiiykum

Sunnah Merenggangkan Siku Tangan dari Perut Ketika Ruku'

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو أَخْبَرَنِي فُلَيْحٌ حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ سَهْلٍ قَالَ اجْتَمَعَ أَبُو حُمَيْدٍ وَأَبُو أُسَيْدٍ وَسَهْلُ بْنُ سَعْدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَذَكَرُوا صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بَعْضَ هَذَا قَالَ ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا وَوَتَّرَ يَدَيْهِ فَتَجَافَى عَنْ جَنْبَيْهِ قَالَ ثُمَّ سَجَدَ فَأَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ حَتَّى فَرَغَ ثُمَّ جَلَسَ فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَأَقْبَلَ بِصَدْرِ الْيُمْنَى عَلَى قِبْلَتِهِ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَكَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ 

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik bin 'Amru; Telah mengabarkan kepadaku Fulaih; Telah menceritakan kepadaku 'Abbaas bin Sahl dia berkata :

"Abu Humaid, Abu Usaid, Sahl bin Sa'd dan Muhammad bin Maslamah bermajlis dan menyebutkan tata cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Humaid mengatakan; "Aku adalah orang yang paling mengetahui tata cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." lalu dia menyebutkan sebagian dari hadits ini, katanya; 

"Kemudian beliau ruku' dengan meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya seakan-akan beliau menggenggamnya, dan mengikatkan kedua tangannya seperti tali lalu merenggangkannya (sedikit membengkokkan) dari kedua lambungnya." 

Selanjutnya dia berkata; "kemudian beliau sujud, dengan merapatkan hidung dan dahinya (ke lantai), dan merenggangkan kedua tangannya dari kedua lambungnya serta meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua pundak. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya (duduk di antara dua sujud) sehingga tulang beliau kembali ke posisi semula, seusainya (sujud) beliau duduk iftirasy (duduk di atas kaki kiri) dengan menghadapkan punggung kaki kanan ke arah kiblat, dan meletakkan kaki kanan di atas lutut kanan, dan telapak tangan kiri di atas lutut kiri, sambil menunjuk dengan jari (telunjuk) nya." 

[Sunan Abi Dawud no. 627].

Sunnah Mengangkat Tangan Ketika Bangkit ke Rakaat Ketiga

حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
كَانَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَفَعَ ذَلِكَ ابْنُ عُمَرَ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami 'Ayyaasy berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'la berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah, dari Naafi',

"Bahwa Ibnu 'Umar ketika memulai shalat, dia bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya, dan ketika rukuk mengangkat kedua tangannya, dan ketika mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH mengangkat kedua tangannya, dan ketika berdiri dari dua rakaat mengangkat kedua tangannya. Lalu Ibnu 'Umar mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan seperti itu." 
(HR. Bukhari no. 739)

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْمُحَارِبِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Utsmaan bin Abu Syaibah dan Muhammad bin 'Ubaid Al Muhaaribiy keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari 'Aashim bin Kulaib, dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Ibnu 'Umar dia berkata :

"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangkit dari raka'at kedua, beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya."
(HR. Abu Dawud no. 743)

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَعْرَجِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَصْنَعُ مِثْلَ ذَلِكَ إِذَا قَضَى قِرَاءَتَهُ وَأَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ وَيَصْنَعُهُ إِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ صَلَاتِهِ وَهُوَ قَاعِدٌ وَإِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ كَذَلِكَ وَكَبَّرَ
قَالَ أَبُو دَاوُد فِي حَدِيثِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ حِينَ وَصَفَ صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin 'Aliy; Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Al Haasyimiy; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Abu Az Zinaad, dari Muusa bin 'Uqbah, dari 'Abdullah bin Al Fadl bin Rabii'ah bin Al Haarits bin 'Abdul Muththalib, dari 'Abdurrahman bin Al A'raj, dari 'Ubaidullah bin Abu Raafi', dari 'Aliy bin Abu Thaalib radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 

"Bahwa apabila beliau berdiri untuk melaksanakan shalat wajib, beliau bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, beliau melakukan seperti itu apabila selesai membaca surat dan hendak ruku', demikian juga apabila bangkit dari ruku'. Beliau tidak pernah sama sekali mengangkat kedua tangannya ketika mengerjakan shalat dengan posisi duduk. Apabila bangkit dari sujud kedua, beliau mengangkat kedua tangannya lagi sambil mengucapkan takbir." 

Abu Daawud berkata; "Dalam hadits Abu Humaid As Saa'idiy ketika dia mensifati sifat shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu; "Apabila beliau berdiri dari raka'at kedua, beliau bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, sebagaimana beliau takbir ketika memulai shalat."
(HR. Abu Dawud no. 744)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ
سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ إِتْيَانًا قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى إِلَى الْأَرْضِ سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى عَضُدَيْهِ عَنْ إِبْطَيْهِ وَفَتَخَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا صَلَاتُهُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ قَالَ وَمَعْنَى قَوْلِهِ وَرَفَعَ يَدَيْهِ إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ يَعْنِي قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar dan Muhammad bin Al Mutsanna mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'iid Al Qaththaan berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Hamiid bin Ja'far berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru bin 'Athaa`, dari Abu Humaid As Saa'idiy ia berkata : 

"Aku mendengarnya -waktu itu ia berada di antara sepuluh sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah Abu Qataadah bin Rib'i- ia berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu dengan shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di antara kalian." Mereka berkata; "Engkau bukan orang yang lebih dulu menjadi sahabat beliau dan tidak lebih banyak mendatanginya ketimbang kami!" ia berkata; "Benar, " mereka berkata; "Maka ceritakanlah!" ia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berdiri shalat selalu tegak dan berimbang lalu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Jika beliau ingin rukuk, maka beliau kembali mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya dan mengucapkan Allahu Akbar. Lalu rukuk dan berimbang, tidak mengangkat atau menundukkan kepalanya, lalu meletakkan kedua tangannya pada lutut. Setelah itu beliau mengucapkan Sami'a Allahu Liman Hamidah seraya mengangkat kedua tangannya secara berimbang hingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Kemudian beliau sujud dengan diiringi ucapan Allahu Akbar, beliau merenggangkan kedua tangannya menjauh dari ketiak dan melenturkan jari-jari kakinya. Beliau lalu melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya secara berimbang hingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Setelah itu beliau kembali sujud seraya mengucapkan Allahu Akbar, lalu melipat kaki kirinya dan duduk (istirahat) dengan seimbang hingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Setelah itu beliau bangkit dan melakukan seperti itu pada rakaat yang kedua. Hingga ketika beliau bangkit dari dua sujud, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahu sebagaimana ketika membuka shalat (takbiratul ihram). Beliau lalu melakukan seperti itu hingga rakaat yang terakhir, beliau melipat kaki kirinya dan duduk tawaruk (duduk dengan menempelkan pantat pada lantai) kemudian mengucapkan salam." 

Abu 'Iisa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Ia berkata; "Maksud dari ucapannya, "Hingga ketika beliau bangkit dari dua sujud, beliau mengangkat kedua tangannya, "yakni bangun dari dua rakaat shalat." 
(HR. Tirmidzi no. 304)

Baarakallahu fiiykum

Bergeser dari Tempat Shalat Wajib untuk Shalat Sunnah

Beberapa ulama mengatakan, dianjurkan untuk berpindah tempat bagi orang yang hendak shalat sunnah setelah shalat wajib. Baik dia imam maupun makmum. Ini merupakan keterangan dari Ibnu 'Abbas, Ibnu Zubair, Abu Sa'id dan salah satu riwayat dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhum.

Diantara dalil yang menunjukkan anjuran ini adalah :

Pertama, Allah berfirman tentang Fir'aun dan kaumnya yang dibinasakan :

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ

“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh.” 
(QS. Ad-Dukhan : 29)

Ibnu 'Abbas menafsirkan bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia, maka bumi yang dulu pernah dijadikan sebagai tempat ibadah, menangisinya. Langit yang dulu dilalui untuk naiknya amal yang dia lakukan, juga menangisinya. Sementara kaumnya Fir'aun, karena mereka tidak memiliki amal shalih, dan tidak ada amalnya yang naik ke langit, bumi dan langit tidak menangisinya karena merasa kehilangan darinya. 
(Tafsir Ibn Katsir, 7/254)

Allah juga berfirman :

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” 
(QS. Az-Zalzalah : 4)

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa bumi akan menjadi saksi untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Perbuatan yang baik maupun yang buruk. Makna ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Beliau rahimahullah menyatakan :

والعلة في ذلك تكثير مواضع العبادة كما قال البخاري والبغوي لأن مواضع السجود تشهد له كما في قوله تعالى ( يومئذ تحدث أخبارها) أي تخبر بما عمل عليها

"Alasan dianjurkannya pindah tempat ketika shalat sunnah adalah memperbanyak tempat pelaksanaan ibadah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bukhari dan Al-Baghawi. Karena tempat yang digunakan untuk sujud, akan menjadi saksi baginya, sebagaimana Allah berfirman,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”

Maksudnya adalah mengabarkan semua amalan yang dilakukan di atas bumi."
(Nailul Authar, 3/235)

Kedua, hadits dari Nafi bin Jubair, bahwa beliau pernah shalat jumat bersama Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Setelah salam, Nafi bin Jubair langsung melaksanakan shalat sunnah. Setelah selesai shalat, Mu'awiyah mengingatkan :

لَا تَعُدْ لِمَا صَنَعْتَ، إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ، فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ، أَوْ تَخْرُجَ، فَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِذَلِكَ، أَنْ «لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى يَتَكَلَّمَ أَوْ يَخْرُجَ»

“Jangan kau ulangi perbuatan tadi. Jika kamu selesai shalat Jumat, jangan disambung dengan shalat yang lainnya, sampai berbicara atau keluar masjid. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. Beliau bersabda :

“Jangan kalian sambung shalat wajib dengan shalat sunnah, sampai kalian bicara atau keluar.” 
(HR. Muslim no. 883)

Termasuk cakupan makna bicara dalam hadits ini adalah berdzikir setelah shalat. Hadits ini menunjukkan, hikmah seseorang berpindah tempat ketika hendak melakukan shalat sunnah setelah shalat wajib adalah agar tidak termasuk menyambung shalat wajib dengan shalat sunnah.

Kadar minimal dzikirnya adalah :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنِي شَدَّادٌ أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنِي أَبُو أَسْمَاءَ الرَّحَبِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muusa berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Al Mubaarak berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Auza'i berkata; Telah menceritakan kepadaku Syaddaad Abu 'Ammaar berkata; Telah menceritakan kepadaku Abu Asmaa` Ar Rahabiy berkata; Telah menceritakan kepadaku Tsaubaan pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata :

"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ingin berlalu (pergi) dari shalatnya beliau beristighfar tiga kali. Setelah itu beliau mengucapkan: "Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta yaa dzal-jalaali wal-ikraam”.

Ia berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Abu 'Ammaar namanya adalah Syaddaad bin 'Abdullah."
(HR. Tirmidzi no. 299, 300)

Ketiga, keterangan sahabat, dari 'Atha’ bahwa Ibnu 'Abbas, Ibnu Zubair, Abu Sa'id, dan Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhum mengatakan :

لَا يَتَطَوَّعُ حَتَّى يَتَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ الْفَرِيضَةَ

“Hendaknya tidak melakukan shalat sunnah, sampai berpindah dari tempat yang digunakan untuk shalat wajib.” 
(HR. Ibnu Abi Syaibah no. 6012)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

قال أصحابنا فإن لم يرجع إلى بيته وأراد التنفل في المسجد يستحب أن ينتقل عن موضعه قليلاً لتكثير مواضع سجوده ، هكذا علله البغوي وغيره ، فإن لم ينتقل إلى موضع آخر فينبغي أن يفصل بين الفريضة والنافلة بكلام إنسان

“Ulama madzhab kami mengatakan, jika seseorang tidak langsung pulang ke rumahnya setelah shalat wajib, dan ingin shalat sunnah di masjid maka dianjurkan untuk bergeser sedikit dari tempat shalatnya, agar memperbanyak tempat sujudnya. Demikian alasan yang disampaikan Al-Baghawi dan yang lainnya. Jika dia tidak berpindah dari tempatnya maka hendaknya antara shalat wajib dan shalat sunnah dia pisah dengan pembicaraan.” 
(Al-Majmu’, 3/491)

Allahu a’lam

Bolehkah Membaca Al-Quran Sambil Tiduran (Berbaring) ?

Allah berfirman memuji orang yang rajin berdzikir dalam setiap kesempatan.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ‏

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” 
(QS. Ali Imran : 191)

Allah juga memerintahkan kita untuk berdzikir dalam semua keadaan.

فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ

“Apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.” 
(QS. An-Nisa’ : 103)

Syaikh Bin Baz rahimahullah menjelaskan :

فالأمر في هذا واضح، وذكر الله يشمل القرآن ويشمل أنواع الذكر من التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير، فالله -جل وعلا- وسَّع الأمر

"Perintahnya dalam ayat ini sangat jelas. Dzikrullah mencakup Al-Quran dan mencakup semua bentuk dzikir, baik tasbih, tahlil, tahmid, maupun takbir. Allah Ta’ala memberi kelonggaran dalam masalah dzikir."
(Fatawa Ibnu Baz – http://www.binbaz.org.sa/noor/2388)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah membaca Al-Quran sambil berbaring. 

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ سَمِعَ زُهَيْرًا عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ أَنَّ أُمَّهُ حَدَّثَتْهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَّكِئُ فِي حَجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim Al Fadhl bin Dukain bahwa dia mendengar Zuhair, dari Manshuur bin Shafiyyah bahwa Ibunya menceritakan kepadanya, bahwa 'Aisyah menceritakan kepadanya,

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berbaring di pangkuanku ketika aku sedang haid, lalu beliau membaca Al-Quran."
(HR. Bukhari no. 297)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

فيه جواز قراءة القرآن مضطجعا ومتكئاً

"Hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Quran sambil tiduran dan bersandar."
(Syarh Shahih Muslim, 3/211)

Allahu a’lam

Nuzulul Qur’an Tanggal 17 Ramadhan

Oleh : Ustadz Dony Arif Wibowo

Sudah sangat mentradisi di masyarakat kita setiap tanggal 17 Ramadhan, diperingati hari – yang katanya – diturunkannya Al-Qur’an (baca : hari nuzuulul-Qur’aan). Benarkah pada tanggal tersebut Allah menurunkan Al-Qur’an ?

Allah ta’ala telah menjelaskan pada kita bahwa Al-Qur’an turun di bulan Ramadhaan, sebagaimana firman-Nya :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhaan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” 
[QS. Al-Baqarah : 185]

Lebih spesifik lagi, Allah ta’ala menjelaskan detail waktunya :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” 
[QS. Ad-Dukhaan : 3]

Malam diberkahi tersebut adalah Lailatul-Qadr :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailatul-Qadr (malam kemuliaan).” 
[QS. Al-Qadr : 1]

حَدَّثَنَـا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَسَنِ، قال: ثنا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ، قال: ثنا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: " إِنَّـا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ، قَالَ: نزل الْقُرْآنُ جُمْلَةً إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ.....

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya : 

"Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi" (QS. Ad-Dukhaan : 3), ia berkata : “Al-Qur’an turun sekaligus ke langit dunia pada Lailatul-Qadr….” 
[Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin bi Ashbahaan 4/226; shahih]

حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: ثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ، قَالَ: ثَنَا دَاوُدُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " أَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَكَانَ اللَّهُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوحِيَ مِنْهُ شَيْئًا أَوْحَاهُ، فَهُوَ قَوْلُهُ: إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ".

Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Daawud, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : 

“Allah menurunkan Al-Qur’an ke langit dunia pada Lailatul-Qadr. Apabila Allah hendak mewahyukan sesuatu darinya (Al-Qur’an), maka Ia mewahyukannya. Itulah makna firman-Nya : ‘Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada Lailatul-Qadr (malam kemuliaan)’ (QS. Al-Qadr : 1).” 
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya, 24/531; shahih]

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

قال ابن عباس وغيره: أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العِزّة من السماء الدنيا، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم.

“Ibnu ‘Abbaas dan yang lainnya berkata : ‘Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus dari Al-Lauhul-Mahfuuzh ke Baitul-‘Izzah di langit dunia. Kemudian diturunkan secara bertahap sesuai konteks realitasnya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam kurun waktu 23 tahun.” 
[Tafsiir Ibni Katsiir, 8/441]

Jadi, yang diturunkan Allah pada Lailatul-Qadr adalah Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauh Mahfuuzh ke langit dunia. Inilah yang dikatakan jumhur ulama.

Kapankah terjadinya Lailatul-Qadr itu ?

Pendapat yang terkuat yang mempunyai sandaran nash, ia terjadi pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhaan, terutama di malam-malam ganjilnya.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ، أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَيَقُولُ: " تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : 

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa ber-i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhaan, dan beliau pernah bersabda : "Carilah Lailatul-Qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhaan." 
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2020]

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Abu Suhail, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radhiyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : 

“Carilah Lailatul-Qadr itu malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhaan.” 
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2017]

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى، فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى، فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى "

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

“Carilah Lailatul-Qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhaan, yaitu pada sembilan hari tersisa, tujuh hari tersisa, dan lima hari tersisa” 
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2021]

Tidak ada dalam perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih bahwa Lailatul-Qadr terjadi pada tanggal 17 Ramadhaan.

Kemudian,… kapankah wahyu Al-Qur’an pertama kali turun kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?

Wahyu pertama kali turun adalah pada hari Senin :

وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ، عَنْ غَيْلَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْبَدٍ الزِّمَّانِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ "، فَقَالَ: " فِيهِ وُلِدْتُ، وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ "

Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun, dari Ghailaan, dari ‘Abdullah, dari ‘Abdullah bin Ma’bad Az-Zimmaaniy, dari Abu Qataadah Al-Anshaariy radhiyallaahu ‘anhu : 

"Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, maka beliau menjawab : “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu Al-Qur’an diturunkan kepadaku.” 
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1162]

Ada satu riwayat menjelaskan spesifik tanggalnya, yaitu :

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عِمْرَانُ أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، الْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid maulaa Bani Haasyim : Telah menceritakan kepada kami ‘Imraan Abul-‘Awwaam, dari Qataadah, dari Abul-Maliih, dari Waatsilah bin Al-Asqa’ : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : 

“Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibraahiim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadhaan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhaan, dan Al-Furqaan (Al-Qur’an) diturunkan pada tanggal 24 Ramadlaan.” 
[Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/107; dihasankan oleh Al-Albaani dalam Silsilah Ash-Shahiihah 4/104 no. 1575]

Al-Baihaqi menukil perkataan Al-Hulaimiy rahimahumallah bahwa yang dimaksudkan dengan tanggal 24 Ramadhaan adalah malam tanggal 25 Ramadhaan.
[Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iimaan 3/521 no. 2053]

Namun sebagian ulama ada yang memahami hadits Waatsilah tersebut terkait turunnya Al-Qur’an secara keseluruhan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Apapun itu, penyebutan 17 Ramadhaan sebagai waktu turunnya Al-Qur’an tidak mempunyai landasan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun perkataan salaf – kecuali hanya pendapat dari orang-orang setelah mereka. Ditetapkannya tanggal 17 Ramadhaan sebagai terjadinya peristiwa nuzuulul-Qur’aan hanyalah merupakan prasangka semata, dan kemudian malah membudaya menjadi keyakinan yang berjangkit di masyarakat kita.

Anyway,…… mari kita jadikan ‘enggan berkreativitas dalam perkara agama’ sebagai bagian dari attitude kita dalam beragama, terkait peringatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "

“Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena setiap bid’ah itu adalah sesat.” 
[Hadits shahih]

Wallaahu a’lam

Adakah Malaikat Penyelamat Manusia ?

Mungkin yang anda maksud adalah malaikat yang diperintahkan Allah untuk menjaga manusia.

Keberadaan malaikat ini, telah Allah sebutkan dalam Al-Quran :

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

"Bagi manusia ada malaikat mu’aqibat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah."
(QS. Ar-Ra’du : 11)

Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa semua manusia yang hidup, dia disertai 4 malaikat.

2 malaikat pencatat amal. Yang satu di kanan dan yang satu di kiri. Malaikat di kanan mencatat amal baik, sementara malaikat yang di kiri mencatat amal buruk.

2 malaikat penjaga. Yang satu di depan dan yang satu di belakang.

Untuk apa mereka menjaga manusia ?

Mereka menjaga manusia dari semua takdir buruk yang belum saatnya menimpa mereka. Meskipun ada bahaya besar yang mengancamnya, jika dia belum ditakdirkan terkena bahaya, maka malaikat ini akan menjaganya sehingga dia selamat dari bahaya.

Kita sering mendengar dalam sebuah kecelakaan besar, semua penumpang meninggal, tapi ada satu bayi yang selamat. Padahal secara perhitungan, seharusnya dia meninggal, karena tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Allah menjaganya dengan memerintahkan Malaikat mu’aqibat.

Keberadaan Malaikat mu’aqibat ini telah diceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِى فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

“Para Malaikat di malam dan siang hari silih berganti mengawasi kalian, dan mereka berkumpul pada saat shalat Subuh dan shalat Ashar. Kemudian para malaikat yang mengawasi kalian semalam suntuk naik (menuju Allah). Allah menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui tentang kondisi para hamba-Nya, “Bagaimana kondisi kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan mengerjakan shalat, dan kami mendatangi mereka juga dalam kondisi sedang shalat.” 
(HR. Bukhari no. 7486)

Mereka diistilahkan malaikat mu’aqibat karena mereka datang silih berganti. Ada malaikat yang berjaga siang, dan ada yang berjaga di malam hari.

Semua Berjalan Sesuai Takdir Allah

Keberadaan malaikat ini memberi pelajaran bagi kita, bahwa apapun yang belum ditakdirkan Allah untuk menimpa kita, tidak akan terjadi pada kita. Meskipun andai semua manusia berharap agar itu menimpa kita. Sebaliknya, jika Allah telah takdirkan musibah itu menimpa kita, pasti akan terjadi pada kita. Sekalipun sejuta usaha telah kita lakukan untuk menghindarinya.

Allah Ta'ala berfirman :

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya."
(QS. Al-Hadid : 22)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ وَابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَجَّاجِ قَالَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي قَيْسُ بْنُ الْحَجَّاجِ الْمَعْنَى وَاحِدٌ عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muusa; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Al Mubaarak; Telah mengabarkan kepada kami Laits bin Sa'ad dan Ibnu Lahi'ah, dari Qais bin Al Hajjaaj berkata; Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin 'Abdurrahman; Telah mengabarkan kepada kami Abu Al Waliid; Telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa'ad; Telah menceritakan kepadaku Qais bin Al Hajjaaj -artinya sama-, dari Hanasy Ash Shan'aaniy, dari Ibnu 'Abbaas berkata :

"Aku pernah berada di belakang Rasulullah ﷺ pada suatu hari, beliau bersabda, "Hai 'nak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat; jagalah Allah niscaya Ia menjagamu, jagalah Allah niscaya kau menemui-Nya di hadapanmu, bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. 

Ketahuilah sesungguhnya seandainya umat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu dan seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah padamu. 

Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering (maksudnya takdir telah ditetapkan)." 

Berkata Abu 'Iisa: Hadits ini hasan shahih.
(HR. Turmudzi no. 2516)

Allahu a’lam

Membaca Shalawat Ketika Lupa

Benarkah dianjurkan membaca shalawat ketika kita lupa ?

Jawab :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Terdapat hadits yang menyatakan anjuran shalawat ketika lupa.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا نسيتم شيئاً فصلوا علي تذكروه إن شاء الله

“Jika kalian lupa sesuatu, bacalah shalawat kepadaku, kalian akan segera ingat, in syaa Allah.”

Hadits ini disebutkan Al Hafizh Ibnul Qayyim dalam Jalaul Afham. Beliau menyebutkan riwayat yang dibawakan Abu Musa Al-Madini, dari jalur Muhammad bin Itab Al-Maruzi, dari Sa’dan bin 'Abdah, dari 'Ubaidillah Al-Atki, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. 

Ada 2 perawi yang menjadi bukti bahwa hadits ini dha'if.

[1] 'Ubaidillah Al-Atki

Banyak ulama hadits memberikan komentar miring untuknya.

Diantaranya, Al-Bukhari menyebutnya, “Banyak meriwayatkan hadits munkar.” Komentar Al-Uqaili, “Haditsnya tidak bisa diangkat dengan penguat.” Al-Baihaqi berkomentar, “Haditsnya tidak bisa jadi penguat.” 
(Tahdzib At-Tahdzib, 7/27)

[2] Sa’dan bin 'Abdah

Kata Ibnu 'Adi dalam Al-Kamil, “Tidak ma'ruf”.

Karena itulah, hadits ini didhaifkan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi dalam Al-Qaul Al-Badi’ (hlm. 326).

Lalu apa yang bisa dilakukan ketika lupa ?

Tidak ada amal khusus ketika lupa. Sebagian ulama menganjurkan untuk mengingat Allah. Karena lupa itu dari setan, sementara cara untuk mengusir setan adalah dengan mengingat Allah.

Diantara dalil mengingat Allah ketika lupa adalah firman Allah :

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

"Ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”  
(QS. Al-Kahfi : 24)

Syaikh Asy-Syinqithi menyebutkan salah satu tafsir yang disampaikan ulama terkait ayat ini :

إذا وقع منك النسيان لشيء فاذكر الله ؛ لأن النسيان من الشيطان ، كما قال تعالى عن فتى موسى : (وَمَآ أَنْسَانِيهُ إِلاَّ الشيطان أَنْ أَذْكُرَهُ)

"Jika kamu mengalami lupa, maka ingatlah Allah. karena lupa itu dari setan. Seperti yang Allah firmankan tentang kawannya Musa, “Tidak adalah yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali setan.” 
(Adhwaul Bayan, 4/62)

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Harta Suami Milik Istri, Harta Istri Bukan Milik Suami ?

Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh dengan jalan halal.

Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.

Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Seperti yang Allah ungkapkan terkait aturan pembagian warisan. Karena itu, suami bisa mendapat warisan dari harta istri, sebaliknya istri juga mendapat warisan dari harta suami.

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan."
(QS. An Nisa : 12)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Sehingga ketika meninggal, ada yang diwariskan untuk keluarganya. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya sebagai warisan, setelah istrinya meninggal. Itupun dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Demikian pula istri. Dia berhak mendapat bagian warisan dari harta suaminya, dengan jumlah tertentu yang ditetapkan syariat.

Adanya saling mewarisi antara suami dan istri, menunjukkan bahwa apa yang dimiliki suami tidak otomatis menjadi milik istri dan sebaliknya. Masing-masing memiliki hak atas harta yang mereka miliki. Jika semua harta yang masuk ke dalam rumah menjadi milik bersama, tentu tidak ada aturan masalah warisan.

Lalu apa hak istri ?

Jika istri tidak bekerja, lalu apa hak istri untuk mencukupi kebutuhan?

Istri punya hak untuk mendapatkan nafkah dari suami. Nafkah dengan nilai yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun suami tidak berkewajiban memberi lebih dari nafkah.

Allah berfirman :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Lelaki itu menjadi pemimpin bagi para istrinya, disebabkan Allah memberikan kelebihan bagi mereka dan karena mereka memberikan nafkah kepada istrinya dari harta mereka." 
(QS. An-Nisa : 34)

Apa Cakupan Nafkah ?

Dalam Fatawa Islam ditegaskan :

والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها

"Nafkah mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak." 
(Fatawa Islam no. 3054).

Boleh saja suami menyerahkan seluruh uang penghasilannya kepada istri untuk dikelola demi mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, perlu diingat bahwa harta tersebut adalah tetap dalam hitungan kepemilikan suami. Istri hanya sekadar pengelola. Oleh karena itu, istri harus berusaha maksimal dalam memegang amanah, tidak boleh dipergunakan di luar batas kebutuhan kecuali atas izin dari suaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan keberadaan istri sebagai pengemban amanah di rumah suaminya :

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، … ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

"Kalian semua adalah penanggung dan akan ditanya tentang apa yang dia pertaggung jawabkan… wanita menjadi penanggung jawab di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang apa yang dia pertanggung jawabkan…"
(HR. Bukhari no. 2409)

Ketika istri menjadi ratu di rumah suaminya, dia bertanggung jawab untuk menjaga harta suami yang ada di rumahnya. Terutama ketika suami sedang pergi. Meskipun harta itu di luar kepemilikan istri. Allah berfirman menyebutkan ciri wanita shalihah,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

"Wanita shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, untuk sesuatu yang dipelihara oleh Allah."
(QS. An-Nisa : 34)

Ibnu Katsir menyebutkan keterangan ahli tafsir, Imam As-Sudi, dia menjaga dirinya, kehormatannya dan harta suaminya, ketika suaminya tidak ada di rumah. 
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/293).

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا

"Sebaik-baik istri adalah wanita yang jika suaminya melihatnya, menyenangkan suaminya, jika diperintahkan suaminya, dia mentaatinya, dan jika suaminya jauh darinya, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartanya."
(HR. Thayalisi no. 2444 dan Al-Bazzar no. 8537)

Demikian, Allahu a’lam

Siapa yang Paling Berhak Menentukan Mahar ?

Jika calon suami memberi mahar berupa baju, si wanita sudah menerima, tapi orangtua meminta agar minimal dalam bentuk cincin emas, apakah boleh bagi wali untuk menolaknya?

Jawab :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Mahar termasuk kewajiban suami yang harus diberikan kepada istrinya. Allah berfirman :

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” 
(QS. An-Nisa' : 4)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan :

هذه الآية تدل على وجوب الصداق للمرأة وهو مجمع عليه ولا خلاف فيه

"Ayat ini menunjukkan wajibnya memberi mahar bagi wanita, dan ini disepakati ulama, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini."
(Tafsir Al-Qurthubi, 5/24)

Dan mahar adalah hak wanita. Karena itu, dia berhak untuk menggugurkan mahar atau menyerahkannya kepada suami atau memberikannya kepada siapapun yang dia inginkan.

Allah berfirman :

فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan nyaman dan baik."
(QS. An-Nisa' : 4)

Hanya saja ulama berbeda pendapat, siapa yang paling berhak menentukan besarnya mahar? Wali ataukah pengantin wanita?

Pertama, yang paling berhak menentukan nilainya adalah wali pengantin wanita. Jika maharnya bernilai di bawah umumnya nilai mahar yang ada di masyarakat (mahar mitsl).

Karena urusan mahar, urusan pengantin wanita, sehingga dia tidak boleh menentukan sendiri.

Dalam Al-Mudawwanah – kitab fiqh Malikiyah – dinyatakan :

فإن كانت بكرا فقالت: قد رضيت ، وقال الولي: لا أرضى – والفرض أقل من صداق مثلها -؟ قال: الرضا إلى الولي ، وليس إليها؛ لأن أمرها ليس يجوز في نفسها

"Jika dia gadis, dan mengatakan, “Saya setuju.” Sementara wali mengatakan tidak setuju, dan mahar kurang dari nilai mahar mitsl, menurut Ibnul Qaasim, persetujuan kembali kepada wali, bukan ke si pengantin. Karena urusan dirinya, tidak boleh dikembalikan ke pribadinya."
(Al-Mudawwanah, 2/153)

Namun jika mahar itu senilai mahar mitsl, maka persetujuan kembali kepada pihak wanita.

قال ابن القاسم: ولو كان الذي فرض الزوج لها هو صداق مثلها ، فقالت: قد رضيت وقال الولي: لا أرضى ، كان القول قولها ، ولم يكن للولي ههنا قول

Ibnul Qaasim mengatakan, 
“Jika mahar yang disediakan suami untuk si istri adalah mahar mitsl, lalu istri menyatakan setuju. Sementara wali menyatakan tidak setuju, maka persetujuan yang dianggap adalah persetujuan istri. Dalam hal ini, wali tidak punya hak pendapat."
(Al-Mudawwanah, 2/153)

Kedua, yang paling berhak menentukan nilai mahar adalah pengantin wanita. Sementara wali sama sekali tidak berhak menggugatnya. Meskipun nilainya di bawah mahar mitsl.

Imam Syahnun rahimahullah – ulama malikiyah – mengatakan :

وقد قيل: إنها إذا رضيت بأقل من صداق مثلها : أنه جائز؛ ألا ترى أن وليها لا يزوجها إلا برضاها؟ فإذا رضيت بصداق ، وإن كان أقل من صداق مثلها: فعلى الولي أن يزوجها

"Ada yang berpendapat, jika pengantin setuju dengan mahar di bawah mahar mitsl, itu boleh. Tidakkah anda perhatikan bahwa wali tidak boleh menikahkan si wanita kecuali dengan kerelaan si wanita? Jika si wanita ridha dengan nilai mahar, meskipun kurang dari mahar mitsl, maka wali harus menikahkannya."
(Al-Mudawwanah, 2/153)

Keterangan lain disampaikan dalam Al-Qawanin Al-Fiqhiyah :

إذا رضيت المرأة بدون صداق مثلها ، لم يكن لأوليائها اعتراض عليها ؛ خلافا لأبي حنيفة

"Jika si wanita rela dengan mahar yang lebih murah dengan mahar mitsl, maka walinya tidak berhak untuk menolaknya menikah. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah."
(Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, 1/136)

Pendapat ini yang lebih mendekati, in syaa Allah…

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Sejarah Nama Bulan Ramadhan

Ada lima bulan – Rabi’ul awal – akhir, Jumadil awal – akhir, dan Ramadhan – yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut.

– Rabi’ul awal dan akhir diambil dari kata rabi’ [arab: ربيع] yang artinya semi. Karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan dengan musim semi.

– Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata: jamad [arab: جماد], yang artinya beku. Karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, dimana air membeku.

– Sedangkan Ramadhan diambil dari kata Ramdha’ [arab: رمضاء], yang artinya sangat panas. Karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.

Asal Penamaan Ramadhan

Imam An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib Al-Asma wa Al-Lughat, menyebutkan beberapa pendapat ahli bahasa, terkait asal penamaan Ramadhan.

Pertama, diambil dari kata Ar-Ramdh [arab: الرمض] yang artinya panasnya batu karena terkena terik matahari. Sehingga bulan ini dinamakan Ramadhan, karena kewajiban puasa di bulan ini bertepatan dengan musim panas yang sangat terik. Pendapat ini disampaikan oleh Al-Ashma’i – ulama ahli bahasa dan syair arab – (w. 216 H), dari Abu 'Amr.

Kedua, diambil dari kata Ar-Ramidh [arab: الرميض], yang artinya awan atau hujan yang turun di akhir musim panas, memasuki musim gugur. Hujan ini disebut Ar-Ramidh karena melunturkan pengaruh panasnya matahari. Sehingga bulan ini disebut Ramadhan, karena membersihkan badan dari berbagai dosa. Ini merupakan pendapat Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi – ulama tabi'in ahli bahasa, peletak ilmu arudh – (w. 170 H).

Ketiga, nama ini diambil dari pernyataan orang arab, [رمضت النصل] yang artinya mengasah tombak dengan dua batu sehingga menjadi tajam. Bulan ini dinamakan Ramadhan, karena masyarakat arab di masa silam mengasah senjata mereka di bulan ini, sebagai persiapan perang di bulan syawwal, sebelum masuknya bulan haram. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Azhari – ulama ahli bahasa, penulis Tahdzib Al-Lughah – (w. 370 H).

Kemudian Imam An-Nawawi menyebutkan keterangan Al-Wahidi :

"Al-Wahidi mengatakan, berdasarkan keterangan Al-Azhari, berarti Ramadhan adalah nama yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah. Sementara berdasarkan dua pertama, berarti nama Ramadhan adalah nama islami."

(Tahdzib Al-Asma wa Al-Lughat, 3/126)

Allahu a’lam