Sabtu, 02 Januari 2021

MISTERI HAIKAL SULAIMAN

 

Oleh : Asy Syaikh Mamduh Farhan Al Buhairi
 
Haikal Sulaiman ‘alaihis salam yang diklaim orang-orang Yahudi terpendam dan tertimbun di area Masjid Al-Aqsa sekarang adalah salah satu isu utama di balik penjajahan Israel di Palestina. Tulisan ini memaparkan secara ringkas informasi tentang Haikal Sulaiman itu sendiri dan misteri keberadaannya.
 
Haikal Sulaiman ialah tempat ibadah yang dibangun oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam termasuk penyembelihan kurban persembahan kepada Allah ‘azza wa jalla. Dalam Haikal ini terdapat kuil suci, dan tabut. Didirikan di kola Ursyalim (Yerusalem) di atas bukit Muria, di tempat yang sama Nabi Dawud ‘alaihissalam sebelumnya juga mendirikan tempat beliau beribadah.
 
Bani Israel mengalami peperangan dalam rentang waktu cukup lama. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa wilayah pemukiman yang pasti, demikian seterusnya sampai era Nabi Dawud ‘alaihis salam. Oleh karena itu mereka pun tidak memiliki rumah ibadah untuk melaksanakan ritual ibadah. Mereka mengusung-usung tabut dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika Nabi Sulaiman ’alaihis salam memerintah Bani Israel, kondisinya sudah sangat membaik, beliau berhasil meredam peperangan. Periode beliau dapat dipandang sebagai masa keemasan Bani Israel; harta berlimpah, kondisi keamanan stabil, pemerintahan kerajaan mapan. Dengan situasi yang kondusif seperti itu Nabi Sulaiman pun dapat mendirikan Haikal.
 
Tabut sendiri adalah peti yang dibuat Bani Israel, di dalamnya terdapat tongkat Nabi Sulaiman ’alaihissalam dan Nabi Harun ’alaihissalam ; juga dua lempengan batu yang bertuliskan ayat-ayat Taurat; dan naskah kitab Taurat yang diyakini ditulis tangan oleh Nabi Musa ’alaihissalam; berikutnya bejana isi tiga liter yang di dalamnya ada al-mann, yaitu makanan dan minuman yang sama sekali tidak melibatkan campur tangan manusia. Al-Mann ialah sejenis manisan yang dihasilkan oleh pohon-pohonan yang mendapat siraman hujan sehingga terbentuk seperti sarang burung, kurang ­lebih seperti sarang burung Layang-­Layang. Sebagian ulama Tafsir ada yang mengatakan bahwa Al-Mann itu adalah sarang burung Gagak. Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang gemuk penuh daging. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Al-Qur’an :

“Dan Kami menaungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan untuk kamu mann dan salwa”
(QS. Al-Baqarah : 57)
 
Mann dan salwa diturunkan Allah kepada Bani Israel.
 
Nabi Sulaiman ’alaihissalam memulai pembangunan Haikal pada tahun keempat pemerintahan beliau dengan mempekerjakan 180 ribu pekerja. Bebatuannya didatangkan dari Yaman, dan kayu dari Libanon. Tiang-tiangnya berlapis emas murni, sementara dindingnya dihiasi dengan batu permata dan pualam. Pembangunan Haikal memakan waktu delapan tahun berturut-turut.
 
1. Kuil Suci adalah bangunan permanen berbentuk kubus, tidak berjendela, dibangun di area tertinggi Haikal Sulaiman yang disebut dengan Haikal. Antara Kuil Suci dan bagian lain bangunan terdapat dinding pemisah dan rantai dari emas, dan beberapa pintu yang hanya dimasuki oleh para pemimpin spiritual pada hari pengampunan.
 
2. Tabut adalah-tempat–menyimpan. Tabut sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
 
3. Karaben ialah patung-patung burung bersayap besar yang menaungi tabut di bagian kiri dan kanan Haikal Sulaiman.
 
4. Altar Kurban, yaitu tempat penyembelihan kurban yang dilaksanakan setiap hari sebagai ibadah kepada Allah.
 
5. Menara dan Meja Roti Per­sembahan, yaitu tiang-tiang di mana di bawahnya diletakkan kurban dan roti persembahan.
 
6. Tempat mencuci kurban dan mandi pemimpin spiritual, terdapat di luar Haikal.
 
Haikal Sulaiman mengalami tiga kali penghancuran, yang semuanya terjadi sebelum Masehi. Penghancuran pertama dilakukan oleh Raja Nebukadnezar ketika berhasil menguasai Yerusalem. Setelah Raja Heredos membangunnya kembali untuk menarik simpati orang-orang Yahudi, Haikal Sulaiman kembali dihancurkan oleh Raja Anthiokhos yang menyerang Yerusalem. Ke­mudian Herodos kembali merebut kekuasaan dengan bantuan orang-­orang Romawi, dia pun kembali membangun Haikal untuk kali ketiga. Tetapi tidak lama kemudian kekuasaannya berakhir di tangan panglima perang Romawi Adrianus yang juga menghancurkan Yerusalem dan membersihkannya dari orang­-orang Yahudi dengan melakukan pembantaian dan pengusiran. Demikian kehancuran bangunan Haikal Sulaiman ini.
 
Setelah agama Nasrani tersebar di Palestina, orang-orang Nasrani pun menghancurkan pondasi Haikal Sulaiman di masa pemerintahan kaisar Romawi Konstantin, sehingga tidak berbekas sama sekali kecuali bagian pagar yang sebagian besarnya adalah dinding Buraq atau yang disebut oleh orang Yahudi saat ini sebagai tembok ratapan. Bagian-bagian yang hilang tidak berbekas itu yang hingga sekarang masih dicari-cari oleh orang Yahudi. Motivasi mereka untuk menemukan kembali situs Haikal ialah menghancurkan Masjid Al-Aqsa dan membangun kembali Haikal Sulaiman.
 
Sesungguhnya tidak seorang pun yang menyangkal bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam telah membangun tempat suci untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla; tidak dipungkiri bahwa bangunan tersebut pun menjadi salah satu rumah Allah. Oleh karena itu Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an sebagai Al-Masjid Al-Aqsa sebagaimana yang terdapat di awal surah Al-Isra. Orang-orang Yahudi pada saat ini berusaha keras untuk membuktikan bahwa Haikal Sulaiman sebagaimana yang dibangun oleh Nabi Sulaiman berada tepat dan terkubur pada lokasi Masjid Al-Aqsa hari ini dengan luas yang sama. Namun demikian, terlepas apakah mereka betul akan menemukannya atau tidak ada sama sekali, sesungguhnya kita umat Islam lebih berhak atas Nabi Sulaiman dan rumah ibadah yang telah beliau bangun. Gambar rekaan bangunan Haikal Sulaiman seperti yang dipublikasikan oleh orang-orang Yahudi kepada dunia sebenarnya tidak memiliki sumber yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu desain dan ornamen bangunan yang ditampilkan menjadi pertanyaan tersendiri di kalangan arkeolog; karena jelas-jelas bercorak Romawi, berbeda jauh dengan gaya bangunan yang dikenal pada masa Nabi Sulaiman.
 
Dari sisi lain, kata Haikal sendiri berasal dari bahasa Sumeria yaitu Aikal kemudian diarabkan menjadi Haikal yang berarti bangunan besar, kemudian lebih umum digunakan untuk bangunan besar yang dipakai untuk beribadah. Karena itu rumah ibadah yang dibangun oleh Nabi Sulaiman tersebut pun beliau sebut Aikal. Kita umat Islam beriman bahwa Nabi Sulaiman bin Dawud `alaihima as-salam beliaulah yang mendirikan Masjid Al-Aqsa. Orang Yahudi menyebutnya Haikal, dan kita menyebutnya Masjid. Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Amru bin Al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ­bersabda :
 
“Tatkala Sulaiman bin Dawud selesai membangun Baital-Maqdis, dia berdo’a kepada Allah meminta tiga perkara: Hukum yang sesuai dengan hukum-­Nya; kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun setelah dia; dan tidak seorang pun yang mendatangi masjid ini semata-mata untuk shalat, melainkan dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana dia dilahirkan oleh ibunya. Rasulullah berkata, ‘Adapun yang dua, sesungguhnya Allah telah mengabulkannya, saya berharap beliau juga diberi yang ketiga.’”
 
Masjid Al-Aqsa yang ada sekarang dibangun di atas reruntuhan Masjid yang dibangun oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang disebut Haikal oleh orang Yahudi, tetapi sumber-sumber Yahudi sendiri saling bertentangan dalam menjelaskan luasan dan spesifikasi atau rincian Haikal. Dalam kitab Hezkel (42: 15, 19) dijelaskan bahwa panjang masing-masing pagar terluar ialah 500 qasbah sehingga luas totalnya ialah 2,5 kilometer persegi. Padahal pada saat itu luas Masjid al-Aqsa tidak lebih dari satu kilometer persegi. Inilah diantara bukti ketidakbenaran tuduhan orang‑orang Yahudi. Pertentangan serupa juga terdapat antara perjanjian lama dan sumber-sumber Yahudi; keterangan yang terdapat dalam Safar Raja-Raja Pertama (6:3) berbeda sekali dengan yang disebutkan dalam Berita Hari-Hari Kedua (3:3). Selain membuktikan kebo­hongan klaim Haikal Sulaiman versi Yahudi, pertentangan itu juga membuktikan bahwa kitab-kitab tersebut bukanlah kitab suci yang murni dari Allah; mustahil kontradiksi semacam ini dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Maha Suci Allah dari hal-hal seperti itu.
 
Sesungguhnya dalih orang-orang Yahudi dalam melakukan penggalian di bawah masjid Al-Aqsa dalam rangka mencari dan meneliti situs peninggalan Nabi Sulaiman adalah kebohongan belaka, karena Masjid Al-Aqsa berada di dataran tinggi yang terdiri atas bebatuan, bukan tanah atau padang pasir. Dengan demikian mustahil di bawahnya tertimbun situs-situs peninggalan Nabi Sulaiman. Gambar Haikal yang dipublikasikan oleh Yahudi sendiri pun menggambarkan bahwa posisinya yang berada di dataran tinggi dikelilingi oleh pagar pada keempat sisinya persis seperti Masjid yang ada sekarang. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan sebenarnya dari penggalian yang mereka lakukan di bawah Masjid Al-Aqsa adalah untuk membuat keropos tanah pertapakan Masjid supaya ambruk. Jika Masjid telah ambruk – demi Allah, semoga hal tersebut tidak terjadi – maka Masjid tersebut pun tinggal puing-puing dan sisa-sisanya, sehingga status kita umat Islam sama dengan mereka, sama-sama tidak memiliki bangunan fisik hanya situs bersejarah, lalu masing-masing pihak, baik kaum Muslim maupun Yahudi sama-sama mengajukan klaim hak untuk membangun kembali tempat suci di sana. Selain itu penggalian dan penghancuran terselubung terhadap Masjid Al-Aqsa mereka lakukan juga dalam rangka berusaha menemukan kembali tulang-belulang Yasu’ dan harta peninggalan Nabi Sulaiman yang mereka yakini terpendam di sekitar lokasi ini.
 
Patut diketahui bahwa Quds, berdasarkan piagam internasional tidak dianggap sebagai kota Arab maupun Yahudi, tetapi di bawah penguasaan amnesti Internasional, karena keberadaannya sebagai warisan peradaban dunia, berdasarkan resolusi tahun 1947, yang berarti bahwa masyarakat Internasional lah yang berhak menentukan bangunan apa yang lebih pantas dibangun kembali jika Masjid Al-Aqsa betul-betul runtuh. Jika itu sampai terjadi kita dapat menebak ke arah mana pilihan “masyarakat internasional” tersebut di arahkan.
 
Oleh karenanya umat Islam harus mewaspadai tipu daya Yahudi, wajib untuk menyatukan kata menghadang tindak-tanduk orang-orang Yahudi yang membabi buta terhadap tanah dan Masjid yang diberkahi Allah. Sesungguhnya hal tersebut merupakan amanah di pundak kita. Hendaklah kita mencemaskan suatu pagi saat kita bangun tidur ternyata kita tidak lagi menjumpai Masjid Al-Aqsa di tempatnya, lalu kita pun menyesali, tetapi penyesalan di waktu yang tidak lagi berguna.
 
Sumber : Majalah Qiblati, Edisi 2 Th. VIII, Muharram – Safar 1434 H, Desember 2012 – Januari 2013, Hal. 24-29

Apa Itu Haikal Sulaiman ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.
 
Haikal dalam bahasa Ibrani artinya baitul ilah (Baitullah). Berdasarkan riwayat dari Yahudi, bahwa Nabi Dawud ‘alaihis salam adalah orang yang pertama kali berencana membangun Haikal. Namun beliau wafat sebelum rencana itu terlaksana. Kemudian rencana itu dilanjutkan oleh putranya, Sulaiman ‘alaihis salam. Beliau membangun Haikal di atas Gunung Muria, yang lebih dikenal dengan Piramida Suci. Tempat ini di atas Masjidil Aqsha dan Masjid Kubah Batu.
 
Haikal ini sangat diagungkan orang yahudi. Mereka anggap itu tempat ibadah yang mulia. Dan Sulaiman membangun tempat ini untuk mereka dan keturunan mereka.
(Fatwa Islam, no. 230200)
 
Dalam Ensiklopedi tentang Inggris, terbitan tahun 1926 M (teks berbahasa arab) disebutkan :

أن اليهود يتطلعون إلى اجتماع الشعب اليهودي في فلسطين واستعادة الدولة اليهودية وإعادة بناء الهيكل وإقامة عرش داود في القدس ثانية وعليه أمير من نسل داود
 
"Bahwa Yahudi berencana mengumpulkan semua masyarakat Yahudi di Palestina, dan menyiapkan pembangunan negara yahudi, serta membangun kembali Haikal, mengembalikan singgasana Dawud di kota Quds kedua, dan harus ada penguasa dari keturunan Dawud."
 
Sejarah Haikal Tidak Pasti ?
 
Kita belum bisa memastikan keberadaan Haikal, apakah itu benar-benar ada ataukah hanya konspirasi sejarah yang dibangun Yahudi untuk memotivasi masyarakatnya agar bisa menjajah Palestina. Artinya, tidak kita benarkan dan juga tidak kita ingkari. Karena berita ahli kitab, ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan dusta.
 
Karena itulah, dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Orang ahli kitab membaca Taurat dengan bahasa ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada kaum muslimin.”
 
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 
لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم، وقولوا: آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
 
“Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakannya, namun ucapkan: Kami beriman dengan kitab yang diturunkan kepada kami (Al Quran) dan kitab yang diturunkan kepada kalian.”
(HR. Bukhari no. 4485)
 
Dan sebenarnya kita – sebagai umat islam – tidak memiliki banyak kepentingan dengan keberadaan Haikal ini. Percaya maupun tidak percaya dengan keberadaannya, tidak membuat kita lebih beriman. Sehingga bisa jadi akan sia-sia waktu kita, ketika info semacam ini harus kita cari dengan mendalam.
Jika informasi tentang keberadaan Haikal itu benar, islam tidak pernah menolaknya. Karena islam tidak pernah menolak realita.
 
Allahu a’lam

Jumat, 01 Januari 2021

Status Bibi dalam Mahram

Saya mendengar hadits bahwa bibi itu seperti ibu.. Apa maksudnya? Dan sejauh mana hubungan kita dengan bibi? Mohon pencerahannya.

Jawab :
 
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.
 
Benar, bahwa bibi kedudukannya sebagaimana ibu. Yang dimaksud bibi di sini adalah bibi dari ibu. Karena bibi ada 2 :
Bibi dari ibu, yang disebut dengan khalah [arab: الْخَالَةُ]
Bibi dari bapak, yang disebut dengan ‘Ammah [arab: العَمَّة]
 
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ نَافِعِ بْنِ عُجَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَرَجَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ إِلَى مَكَّةَ فَقَدِمَ بِابْنَةِ حَمْزَةَ فَقَالَ جَعْفَرٌ أَنَا آخُذُهَا أَنَا أَحَقُّ بِهَا ابْنَةُ عَمِّي وَعِنْدِي خَالَتُهَا وَإِنَّمَا الْخَالَةُ أُمٌّ فَقَالَ عَلِيٌّ أَنَا أَحَقُّ بِهَا ابْنَةُ عَمِّي وَعِنْدِي ابْنَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ أَحَقُّ بِهَا فَقَالَ زَيْدٌ أَنَا أَحَقُّ بِهَا أَنَا خَرَجْتُ إِلَيْهَا وَسَافَرْتُ وَقَدِمْتُ بِهَا فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثًا قَالَ وَأَمَّا الْجَارِيَةُ فَأَقْضِي بِهَا لِجَعْفَرٍ تَكُونُ مَعَ خَالَتِهَا وَإِنَّمَا الْخَالَةُ أُمٌّ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى بِهَذَا الْخَبَرِ وَلَيْسَ بِتَمَامِهِ قَالَ وَقَضَى بِهَا لِجَعْفَرٍ وَقَالَ إِنَّ خَالَتَهَا عِنْدَهُ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى أَنَّ إِسْمَعِيلَ بْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَهُمْ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ هَانِئٍ وَهُبَيْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ لَمَّا خَرَجْنَا مِنْ مَكَّةَ تَبِعَتْنَا بِنْتُ حَمْزَةَ تُنَادِي يَا عَمُّ يَا عَمُّ فَتَنَاوَلَهَا عَلِيٌّ فَأَخَذَ بِيَدِهَا وَقَالَ دُونَكِ بِنْتَ عَمِّكِ فَحَمَلَتْهَا فَقَصَّ الْخَبَرَ قَالَ وَقَالَ جَعْفَرٌ ابْنَةُ عَمِّي وَخَالَتُهَا تَحْتِي فَقَضَى بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِخَالَتِهَا وَقَالَ الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ
 
Telah menceritakan kepada kami Al 'Abbaas bin Abdul 'Azhiim; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Malik bin 'Amr; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muhammad, dari Yaziid bin Al Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Naafi' bin 'Ujair, dari Ayahnya, dari 'Aliy radhiallahu 'anhu, ia berkata : 
 
"Zaid bin Haaritsah pergi menuju Mekkah dan datang membawa anak wanita Hamzah, kemudian Ja'far berkata; aku akan mengambilnya, aku lebih berhak terhadapnya ia adalah anak pamanku, dan bibinya (dari pihak ibu) adalah istriku, sesungguhnya bibi dari pihak ibu adalah sama dengan seorang ibu. Kemudian 'Aliy berkata; aku lebih berhak terhadapnya, ia adalah anak pamanku dan anak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah istriku, dan ia lebih berhak terhadapnya. Kemudian Zaid berkata; aku lebih berhak terhadapnya, aku keluar dan pergi menuju kepadanya, dan datang membawanya. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu menyebutkan sebuah hadits, beliau bersabda :
 
"Adapun anak itu aku putuskan untuk Ja'far, ia akan bersama bibinya, sesungguhnya bibi dari pihak ibu adalah seperti ibu."
 
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Iisa; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Farwah, dari 'Abdurrahman bin Abu Laila dengan hadits ini tidak secara sempurna. Ia berkata; dan beliau memutuskan anak tersebut untuk Ja'far, beliau berkata : 
 
"Sesungguhnya bibinya dari pihak ibu adalah istrinya." 
 
Telah menceritakan kepada kami 'Abbad bin Muusa bahwa Isma'il bin Ja'far, ia telah menceritakan kepada mereka dari Isra`il, dari Abu Ishaq, dari Hani` dan Hubairah, dari 'Aliy, ia berkata :
 
"Kami keluar dari Mekkah, dan kami diikuti anak wanita Hamzah, ia memanggil; wahai paman, wahai paman! Kemudian 'Aliy mengambilnya dan menggandeng tangannya. Ia berkata (kepada Fathimah); ambillah anak pamanmu! Kemudian Fathimah menggendongnya. 'Aliy menceritakan hadits ini, ia berkata; Ja'far berkata; ia adalah anak pamanku dan bibinya dari pihak ibu adalah istriku. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memutuskan bahwa anak tersebut adalah menjadi hak bibinya dari pihak ibu, dan beliau berkata; ibu dari pihak ibu adalah seperti ibu."
(HR. Abu Dawud no. 2278 - 2280)
 
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menjelaskan hadits ini :
"Bibi lebih berhak dalam kebaktian, penghormatan, dan hubungan kekerabatan."
 
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ إِسْرَائِيلَ ح قَالَ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ وَهُوَ ابْنُ مَدُّوَيْهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ وَاللَّفْظُ لِحَدِيثِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ
وَفِي الْحَدِيثِ قِصَّةٌ طَوِيلَةٌ وَهَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ
 
Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Wakii'; Telah menceritakan kepada kami Bapakku, dari Israa`iil -dalam riwayat lain-; Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad ia adalah Ibnu Madduwaih; Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Muusa, dari Israa`iil -lafazh adalah milik haditsnya 'Ubaidullah-, dari Abu Ishaq Al Hamdaaniy, dari Al Barraa` bin 'Aazib, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 
 
"Khalah (bibi dari ibu) itu kedudukannya sama dengan seorang ibu." 
 
Hadits ini memiliki kisah yang panjang dan ini merupakan hadits shahih.
(HR. Tirmidzi no. 1826)
 
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ ذَنْبًا عَظِيمًا فَهَلْ لِي تَوْبَةٌ قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ لَا قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ خَالَةٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَبِرَّهَا
وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَالْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَفْصٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ حَفْصٍ هُوَ ابْنُ عُمَرَ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'aawiyah, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Bakr bin Hafsh, dari Ibnu 'Umar, 
 
"Bahwasanya seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh, aku telah berbuat dosa besar, apakah aku masih mempunyai kesempatan untuk bertaubat?" beliau balik bertanya: "Apakah kamu masih mempunyai ibu?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak." Kemudian beliau bertanya lagi: "Apakah kamu mempunyai bibi?" laki-laki itu menjawab, "Ya." Beliau bersabda: "Kalau begitu, berbaktilah kepadanya." 
 
Hadits semakna juga diriwayatkan dari 'Aliy dan Al Barraa` bin 'Aazib. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Umar; Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Uyainah, dari Muhammad bin Suuqah, dari Abu Bakr bin Hafsh, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam semisalnya. Dan di dalamnya ia tidak menyebutkan; Dari Ibnu 'Umar. Dan ini adalah lebih shahih dari haditsnya Abu Mu'aawiyah. Abu Bakr bin Hafsh adalah Ibnu 'Umar bin Sa'd bin Abu Waqash.
(HR. Tirmidzi no. 1827)
 
Hadits ini menunjukkan bahwa berbakti kepada khalah/bibi, memiliki nilai besar dan bisa menjadi kaffarah/penebus dosa.
 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ صَوَاحِبِي لَهُنَّ كُنًى قَالَ فَاكْتَنِي بِابْنِكِ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْن اخْتُهَا قَالَ مُسَدَّدٌ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ فَكَانَتْ تُكَنَّى بِأُمِّ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَكَذَا قَالَ قُرَّانُ بْنُ تَمَّامٍ وَمَعْمَرٌ جَمِيعًا عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ وَرَوَاهُ أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ حَمْزَةَ وَكَذَلِكَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ وَمَسْلَمَةُ بْنُ قَعْنَبٍ عَنْ هِشَامٍ كَمَا قَالَ أَبُو أُسَامَةَ
 
Telah menceritakan kepada kami Musaddad dan Sulaimaan bin Harb secara makna, keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Hisyaam bin 'Urwah, dari Bapaknya, dari 'Aisyah radhiallahu 'anha ia berkata :
 
"Wahai Rasulullah, semua sahabat-sahabatku mempunyai kunyah (julukan)?" beliau menjawab: "Kalau begitu, julukilah dirimu dengan nama anakmu (keponakanmu), 'Abdullah. "Yaitu anak saudara perempuannya (Asma bintu Abu Bakr). Musaddad berkata, "Maksudnya adalah 'Abdullah bin Az Zubair, maka ia diberi julukan Ummu 'Abdullah."
 
Abu Daawud berkata, "Demikianlah yang dikatakan oleh Qurran bin Tammam dan Ma'mar. Semuanya dari Hisyam seperti itu. Abu Usamah meriwayatkannya dari Hisyam, dari Abbad bin Hamzah. Sebagaimana Hammad bin Salamah dan Maslamah bin Qa'nab juga meriwayatkannya dari Hisyam, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Usamah."
(HR. Abu Dawud no. 4970)
 
Batasan Hubungan Bibi dan Keponakan
 
Bibi termasuk mahram bagi seseorang. Sehingga boleh untuk salaman, berduaan dengannya, atau membuka wajahnya di depan keponakannya, seperti yang dilakukan antara ibu dengan putranya.
Hanya saja, yang boleh dibuka adalah bagian anggota tubuh yang umumnya dibuka, seperti kepala sampai leher, hasta, dan sebagian betis. Sehingga, bibi tidak boleh mengenakan baju tipis atau transparan, atau membentuk lekuk tubuh.
 
Warisan Bibi sama dengan Ibu ?
 
Urusan warisan, berbeda dengan masalah kedekatan. Dalam masalah warisan, Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturannnya. Kita hanya bisa menggunakannya.
Sekalipun bibi kedudukannya sebagaimana ibu dalam hal hak merawat dan kebaktian, namun warisan bibi berbeda dengan warisan ibu.
 
Allahu a’lam
 
 

 

Hadits Ihdad

Ahlul lughah berpendapat bahwa ihdad adalah al-man’u [1]. Sedangkan al-hidadu secara bahasa artinya tidak berhias karena kematian suami, atau perkabungan [2]. Ibnu Darsutawaih mendefinisikan makna ihdad dengan tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya [3].
 
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ سَمِعْتُ نَافِعًا يَقُولُ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تَحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تَحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
 
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar ia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhaab ia berkata; Aku mendengar Yahya bin Sa'iid berkata; Aku mendengar Naafi' berkata dari Shafiyyah binti Abu 'Ubaid bahwa ia telah mendengar Hafshah binti 'Umar isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 
 
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berkabung terhadap mayit di atas tiga hari kecuali terhadap suaminya, maka ia berkabung terhadapnya selama empat bulan sepuluh hari."
[HR. Nasa'i no. 3503]
 
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ عَلْقَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ تُوُفِّيَ ابْنٌ لِأُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ دَعَتْ بِصُفْرَةٍ فَتَمَسَّحَتْ بِهِ وَقَالَتْ نُهِينَا أَنْ نُحِدَّ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ إِلَّا بِزَوْجٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Musaddad; Telah menceritakan kepada kami Bisyir bin Al Mufadhdhal; Telah menceritakan kepada kami Salamah bin 'Alqamah dari Muhammad bin Siiriin berkata : 
 
"Telah wafat anak Ummu 'Athiyyah radhiallahu 'anha. Pada hari ketiga (dari kematian anaknya) dia meminta wewangian, lalu memakainya kemudian berkata: "Kami dilarang berkabung melebihi tiga hari kecuali bila ditinggal mati suaminya".
[HR. Bukhari no. 1279]
 
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ دَخَلْتُ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ حِينَ تُوُفِّيَ أَخُوهَا فَدَعَتْ بِطِيبٍ فَمَسَّتْ بِهِ ثُمَّ قَالَتْ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
 
Telah menceritakan kepada kami Ismaa'iil; Telah menceritakan kepada saya Maalik dari 'Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amru bin Hazm dari Humaid bin Naafi', dari Zainab binti Abu Salamah bahwa dia mengabarkannya, katanya; Aku pernah menemui Ummu Habibah radhiallahu 'anha, istri Nabi shallallahu'alaihi wasallam. Lalu dia berkata; Aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : 
 
"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berkabung melebihi tiga hari kecuali bila ditinggal mati suaminya yang saat itu dia boleh berkabung sampai empat bulan sepuluh hari". 
 
Lalu aku menemui Zainab binti Jahsy ketika saudara laki-lakinya meninggal dunia. Saat itu dia meminta minyak wangi lalu memakainya kemudian berkata, aku sebenarnya tidak memerlukan minyak wangi seandainya aku tidak mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda dari atas mimbar :
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung atas mayit melebihi tiga hari selain karena kematian suaminya, boleh hingga empat bulan sepuluh hari."
[HR. Bukhari no. 1281, 1282]
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
 
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari 'Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Amru bin Hazm, dari Humaid bin Naafi', dari Zainab binti Abu Salamah bahwa ia telah mengabarkan tiga hadits ini kepadanya. Zainab berkata :
 
"Aku menemui Ummu Habibah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat bapaknya, Abu Sufyan bin Harb, wafat. Lalu Ummu Habibah meminta wewangian yang di dalamnya terdapat minyak wangi kuning yang sudah usang. Kemudian dari wewangian itu, ia meminyaki seorang budak wanita lalu memegang kedua belah pipinya seraya berkata, "Demi Allah, aku tidak berhajat sedikitpun terhadap wewangian, hanya saja aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
 
'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.'"
[HR. Bukhari no. 5334]
 
قَالَتْ زَيْنَبُ وَسَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ
تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ
قَالَ حُمَيْدٌ فَقُلْتُ لِزَيْنَبَ وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ فَقَالَتْ زَيْنَبُ كَانَتْ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَائِرٍ فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعَرَةً فَتَرْمِي ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ سُئِلَ مَالِكٌ مَا تَفْتَضُّ بِهِ قَالَ تَمْسَحُ بِهِ جِلْدَهَا
 
(Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya) Zainab berkata; Aku mendengar Ummu Salamah berkata :
 
"Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sementara matanya juga terasa perih. Bolehkah ia bercelak?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak." Beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Masa berkabungnya adalah empat bulan sepuluh hari."
"Sesungguhnya pada masa jahiliyah dulu, salah seorang dari kalian melempar kotoran setelah satu tahun." Humaid berkata; Aku bertanya kepada Zainab, "Apa maksud dari pernyataan bahwa, ia melempar kotoran setelah setahun?" Zainab menjawab, "Maksudnya, bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, dan memakai pakaian yang paling lusuh miliknya. Ia tidak boleh menyentuh wewangian hingga berlalu satu tahun. Kemudian keledai, kambing atau sebangsa burung didatangkan kepada wanita itu agar ia mengusap kulitnya. Dan amat jarang ia mengusap suatu pun kecuali sesuatu itu akan mati. Setelah itu, ia keluar lalu diberi kotoran hewan dan ia lemparkan, setelah itu ia bebas menyentuh kembali sekehendaknya berupa wewangian atau pun yang lainnya." Malik ditanya, "Apa makna Tanfadhdhu bihi?" Ia menjawab, "Yaitu, mengusap kulitnya dengannya."
[HR. Bukhari no. 5336, 5337]
 
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَطَّيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ
 
Telah menceritakan kepadaku 'Abdullah bin 'Abdul Wahhaab; Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari Ayyub dari Hafshah dari Ummu 'Athiyyah ia berkata : 
 
"Kami dilarang untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali atas suami, yakni empat bulan sepuluh hari."
"Kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian dan tidak pula memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian yang terbuat dari bahan dedaunan."
"Pada masa suci kami telah diberi keringanan, yakni ketika salah seorang dari kami telah mandi bersih dari haidnya, maka ia boleh memakai potongan kecil dari dahan yang dipergunakan untuk kemenyan dan obat yang sering dinamakan qusth atau minyak wangi Azhfar." Dan kami juga dilarang untuk mengikuti jenazah."
[HR. Bukhari no. 5341]
 
Allahu a'lam
 
[1] Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Atsqalani, Fathul Bari, (Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/2004 M), juz 9, hlm. 553.
 
[2] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, cetakan kedua, 1997 M), hlm. 243.
 
[3] Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Atsqalani, Fathul Bari, juz 9, hlm. 553.

Paradigma Pemikiran yang Terbalik dan Perlu Diluruskan

ZIARAH KUBUR adalah untuk MEMBERI, bukan untuk MENERIMA. Kita berziarah adalah untuk MENDOAKAN, bukan untuk MEMINTA DOA atau BERKAH. Kita berziarah adalah untuk mengingatkan diri kepada kematian dan hari akhir, bahwa para ahli kubur tersebut SUDAH MATI dan tidak mampu beramal lagi. Bukan malah menjadikan mereka SEAKAN ORANG YANG HIDUP TERUS, sehingga mampu mendoakan kita, atau menjadi perantara antara diri kita dengan Allah, atau memudahkan urusan kita, dst.

Karena paradigma "ziarah untuk menerima" inilah, banyak dari para peziarah lebih MENGGANTUNGKAN hatinya kepada para mayit. Padahal seharusnya mereka menggantungkan hati dan harapannya kepada ALLAH jalla jalaaluh.
Harusnya kita selalu camkan ayat berikut ini saat berziarah :
 
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
 
"Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. Al Baqarah : 134)
 
 

 

Keutamaan Shalat Di Masjid Quba'

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَبْرَدِ مَوْلَى بَنِي خَطْمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah dari 'Abdul Hamiid bin Ja'far berkata; Telah menceritakan kepada kami Abul Abrad mantan budak Bani Khathmah, ia mendengar Usaid bin Zhuhair Al Anshaariy -ia termasuk sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam- ia menceritakan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 
 
"Shalat di masjid Quba' seperti melakukan 'Umrah."
(HR. Ibnu Majah no. 1411)
 
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكَرْمَانِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ يَقُولَ قَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
 
Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin 'Ammaar berkata; Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Isma'iil dan 'Iisa bin Yuunus keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaimaan Al Karmaaniy berkata; Aku mendengar Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif berkata; Sahl bin Hunaif berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
 
"Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba' dan shalat di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala 'umrah."
(HR. Ibnu Majah no. 1412)
 
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan sunnah ini setiap akhir pekan, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :
 
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ
 
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Ismaa'iil; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muslim dari 'Abdullah bin Diinaar dari Ibnu'Umar radhiallahu 'anhuma berkata :
 
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengunjungi masjid Quba' pada setiap hari Sabtu, baik dengan berkendaraan ataupun berjalan kaki". 
 
Dan Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma juga melakukannya seperti itu.
(HR. Bukhari no. 1193)
 
 

 

Doa Ketika Mendengar Petir

Apa doa yang dibaca ketika mendengar petir/ halilintar/ guntur ?
 
Dari ‘Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan :

سُبْحَانَ الَّذِي سَبَّحَتْ لَهُ
 
”Subhanalladzi sabbahat lahu” 
(Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya).
 
Lalu beliau mengatakan, ”Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya.”
(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad jilid 3, hal. 46, no. 744)
 
Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan :
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ
 
“Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih” 
(Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya). 
 
Kemudian beliau mengatakan,
”Inilah ancaman yang sangat keras untuk penduduk suatu negeri”.
(Diriwiyatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad jilid 3, hal. 47 no. 745)

 


 

MASBUQ HANYA MENDAPATKAN TASYAHUD AKHIR IMAM, APAKAH MENDAPATKAN PAHALA SHALAT BERJAMAAH ?

Oleh : Ustadz Neno Triyono
 
Para ulama berbeda pendapat terkait apakah si masbuq yang pada saat masuk masjid hanya mendapatkan Imam sedang tasyahud akhir, apakah ia tetap mendapatkan pahala shalat berjamaah atau tidak?
 
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu' (4/219) menyebutkan dua pandangan dalam madzhab Syafi'i terkait soalan di atas, kata beliau :
 
وَتَحْصُلُ لَهُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لَكِنْ دُونَ فَضِيلَةِ مَنْ أَدْرَكَهَا مِنْ أَوَّلِهَا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيحُ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْجُمْهُورُ مِنْ أَصْحَابِنَا الْعِرَاقِيِّينَ وَالْخُرَاسَانِيِّينَ وَجَزَمَ الْغَزَالِيُّ بِأَنَّهُ لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لِلْجَمَاعَةِ إلَّا إذَا أَدْرَكَ رُكُوعَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ وَالْمَشْهُورُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ بِأَنَّ صَلَاتَهُ تَنْعَقِدُ وَلَوْ لَمْ تَحْصُلْ لَهُ الْجَمَاعَةُ لَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَنْعَقِدَ
 
"Si masbuq mendapat keutamaan shalat berjamaah, namun keutamaannya di bawah orang-orang yang mengikuti imam semenjak pertama. Ini adalah pendapat yang shahih dan dipastikan oleh penulis (Imam Asy-Syairaziy) dan mayoritas ashab kami dari kalangan iraqiyyin maupun Khurasaniyyin.
Imam Ghazali menegaskan bahwa si masbuq tidak mendapatkan keutamaan jamaah, kecuali jika ia mendapatkan (minimal) ruku' pada rakaat terakhirnya Imam.
Namun pendapat yang masyhur (di kalangan Syafi'iyyah) adalah yang pertama, alasannya tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalatnya si masbuq (yang hanya mendapati tasyahud akhir Imam, pent-) dianggap sah, seandainya ia tidak mendapatkan jama'ah, tentunya shalatnya tadi dianggap tidak sah"
 
Al-'Allamah Bin Baz rahimahullah memiliki pendapat lain dimana beliau merincinya, kenapa si masbuq sampai terlambat mengikuti Imam hingga hanya mendapati tasyahud akhirnya Imam, apakah ada alasan syar'i atau tidak?. Kata beliau :
 
ﺃﻣﺎ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﻔﻴﻪ ﺗﻔﺼﻴﻞ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﺬﻭﺭﺍً ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﻛﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻟﺖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺫﻫﺐ ﻳﺘﻮﺿﺄ ﺃﻭ ﺷﻐﻠﻪ ﺷﺎﻏﻞ ﻻ ﺣﻴﻠﺔ ﻓﻴﻪ ﻓﻠﻪ ﺃﺟﺮ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﺬﻭﺭ ﺑﻌﺬﺭ ﺷﺮﻋﻲ ﺣﻜﻤﻪ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﻀﺮ
 
"Adapun pahala berjamaah, maka ada perinciannya. Jika ia punya alasan syar'i, seperti karena buang hajat yang bikin kebelet atau ia pergi berwudhu lagi (mungkin karena hadats di tengah-tengah shalat, pent-) atau kesibukan yang memang tidak direkayasa, maka ia mendapatkan pahala shalat berjamaah, karena orang yang punya udzur syar'i hukumnya seperti orang yang normal ...".
 
Kemudian beliau menyebutkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya, diantaranya hadits riwayat Bukhari :
 
ﺇﺫﺍ ﻣﺮﺽ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺃﻭ ﺳﺎﻓﺮ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﻘﻴﻤﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ
 
"Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka Allah tetap tuliskan pahalanya yang biasa diamalkannya ketika mukim dan sehat".
 
Adapun jika si masbuq di atas tidak ada udzur syar'i, beliau berkata :
 
ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺄﺧﺮ ﻋﻦ ﺗﺴﺎﻫﻞ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ
 
"... Adapun jika ia terlambat karena menggampangkannya, maka ia tidak mendapatkan keutamaan pahala berjama'ah".
 
Berdasarkan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi'i dan perincian Asy-Syaikh Bin Baz, maka ketika seorang masuk masjid dan mendapati Imam sudah tasyahud terakhir, segera saja untuk bergabung. 
 
 
Namun jika ia menggunakan asumsi seperti pandangannya Imam Ghazali, maka fatwa Al-'Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berikut bisa dijadikan pertimbangan :
 
إذا دخل الإنسان المسجد والإمام في التشهد الأخير فإن كان يرجو وجود جماعة لم يدخل مع الإمام، وإن كان لا يرجو ذلك دخل معه لأن القول الراجح أن صلاة الجماعة لا تدرك إلا بركعة لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم:(من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة).
(فتاوى أركان الإسلام ص445)
 
"Jika seorang masuk masjid sedangkan Imam dalam posisi tasyahud akhir, jika ia merasa ada gelombang berikutnya yang melaksanakan shalat berjamaah, maka ia tidak usah bergabung bersama Imam. Namun jika tidak ada, maka langsung saja bergabung bersama Imam. Karena pendapat yang rajih shalat berjamaah tidak didapatkan kecuali jika mendapatkan satu rakaat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat, maka berarti ia telah mendapatkan shalat".

Masbuk di Tahiyat Akhir, Tidak Memperoleh Pahala Shalat Berjamaah ?

Oleh : Ustadz Muflih Safitra bin Muhammad Saad Aly
 
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
 
Pendapat Pertama.
 
Bahwa makmum masbuk terhitung mendapati shalat (dan pahala) berjama’ah jika ia mendapatkan minimal 1 (satu) raka’at bersama imam. Jika kurang dari satu raka’at maka tidak dianggap berjama’ah. Ini adalah pendapat Imam Malik rahimahullah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Dalil pendapat ini, antara lain :
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
 
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf berkata; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
 
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat berarti dia telah mendapatkan shalat."
(HR. Al-Bukhari no. 580)
 
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا مَعْنٌ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَعَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ وَعَنْ الْأَعْرَجِ يُحَدِّثُونَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ مِنْ الْعَصْرِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَبِهِ يَقُولُ أَصْحَابُنَا وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَهُمْ لِصَاحِبِ الْعُذْرِ مِثْلُ الرَّجُلِ الَّذِي يَنَامُ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ يَنْسَاهَا فَيَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَعِنْدَ غُرُوبِهَا
 
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Muusa Al Anshaariy berkata; Telah menceritakan kepada kami Ma'n berkata; Telah menceritakan kepada kami Maalik bin Anas dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha` bin Yasaar, dan dari Busr bin Sa'iid dan dari Al A'raj mereka menceritakannya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 
 
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat subuh sebelum terbitnya matahari maka ia telah mendapatkannya. Dan barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat ashar sebelum terbenamnya matahari maka ia telah mendapatkannya." 
 
Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari 'Aisyah." Abu 'Iisa berkata; "Hadits Abu Hurairah derajatnya hasan shahih. Pendapat inilah yang diambil oleh para sahabat kami, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Menurut mereka, hadits ini berlaku bagi seseorang yang udzur, seperti seorang laki-laki yang ketinggalan shalat karena tidur atau lupa, lalu ia bangun atau teringat ketika matahari terbit atau terbenam."
(HR. At-Tirmidzi no. 186)
 
Pendapat Kedua.
 
Bahwa makmum masbuk yang langsung bergabung dengan jama’ah dan mengikuti imam dianggap mendapatkan shalat (dan pahala) berjama’ah walau kurang dari satu raka’at. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad juga berpendapat yang sama, kecuali untuk shalat Jum’at.
 
Dalilnya adalah karena sekalipun hanya sekadar bagian akhir shalat, jika itu bersama imam maka itu termasuk shalat berjama’ah.
 
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا وَمَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
 
Telah mengabarkan kepada kami Ibraahiim bin Muhammad dan Muhammad bin Al Mutsanna lafazh ini miliknya, keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari 'Abdullah bin Sa'iid dia berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman Al A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, beliau bersabda :
 
“Barangsiapa mendapatkan satu sujud shalat Subuh sebelum terbit matahari, maka ia telah mendapatkan shalat Subuh (berjama’ah). Barangsiapa mendapatkan satu sujud shalat Ashar sebelum terbenam matahari, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar (berjama’ah).”
(HR. An-Nasa'i no. 550)
 
Pendapat Terpilih
 
Penulis lebih mengikuti pendapat kedua, dimana makmum masbuk yang langsung bergabung bersama jama’ah dan imam dianggap mendapatkan shalat dan pahala berjama’ah walau kurang dari satu raka’at.
Penulis pernah mendengar Syaikh Muhammad bin Mukhtar Asy-Syinqithiy (anggota Haiah Kibaril Ulama dan pengajar di Masjid Nabawi), dalam kajian ‘Umdatul Fiqh, Bab Adab Berjalan Menuju Shalat (Masjid) di Riyadh, tanggal 7 Rabiuts Tsani 1434 H, menyebutkan pendapat yang sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, bahwa makmum masbuk sudah dikatakan mendapati shalat dan pahala berjama’ah dengan semata-mata keluar dari rumahnya menuju masjid untuk shalat berjama’ah (sekalipun ikut berjama’ah kurang dari satu raka’at –pent).
 
Dalil pendapat ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
 
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَفِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا ، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ
 
“Shalat seseorang bersama jama’ah dilipatgandakan pahalanya dibandingkan shalatnya di rumah dan pasarnya sebanyak 25 kali lipat. Demikian itu apabila ia berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian ia keluar menuju masjid dan tidaklah ia keluar kecuali untuk mengerjakan shalat berjama’ah.”
(HR. Bukhari no. 647)
 
Perkataan Nabi وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ (dilipatgandakan pahalanya sebanyak 25 kali lipat apabila ia berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian ia keluar menuju masjid) menunjukkan bahwa pahala orang yang ikut shalat berjama’ah sudah dilipatkan sebanyak 25 (atau 27 derajat dalam hadits lain) dengan semata-mata keluarnya orang tersebut dari rumahnya dengan niat shalat berjama’ah. Dengan kata lain sekalipun makmum masbuk hanya sempat ikut berjama’ah kurang dari satu raka’at, maka ia telah dianggap berjama’ah.
 
Wallahu'alam

 

Jumlah Nama Surat Al Fatihah

Oleh : Muhammad Rezki Hr

Telah jelas berdasarkan keterangan para Ulama bahwa Al Fatihah memiliki banyak nama yang hal tersebut menunjukkan keagungan surat ini di dalam Islam. Namun para Ulama berbeda pendapat mengenai berapa sebenarnya jumlah nama dari surat Al Fatihah. Al Imam As Suyuthi dalam karyanya Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an menyebutkan bahwa jumlah nama dari Al Fatihah adalah berkisar pada dua puluhan nama. Sedangkan Al Fairuz Abadi dalam kitabnya Bashair Dzawit Tamyiz fi Lathaifil Kitabil ‘Aziz berpendapat bahwa Al-Fatihah memiliki hampir tiga puluh nama. Berikut akan dibawakan di antara nama-nama tersebut beserta penjelasan ringkasnya.

Nama-Nama yang Disebutkan Secara Jelas dalam Nash

1. Al Fatihah/Fatihatul Kitab/Fatihatul Quran
 
Al Fatihah artinya adalah pembukaan, sehingga Fatihatul Kitab bermakna pembukaan dari kitab dan Fatihatul Quran bermakna pembukaan dari Al Quran. Nama ini diambil dari sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
 
لاَ صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
 
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit)
 
Perlu diperhatikan bahwa surat ini dinamakan sebagai pembukaan jika dilihat dari sisi penyusunan Al Quran dalam bentuk tertulis, bukan dari sisi urutan penurunan ayat-ayatnya. Berdasarkan pendapat yang lebih tepat, surat yang pertama turun adalah surat Al Alaq.
 
2. Ummul Quran dan Ummul Kitab
 
Ummul Quran maknanya adalah induk atau inti dari Al Quran, sedangkan Ummul Kitab maknanya adalah induk atau inti dari kitab. Dinamakan demikian karena inti dari kandungan Al Quran juga terdapat di dalam Al Fatihah. Nama ini bersumber dari sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
 
الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي
 
“(Surat) alhamdulillah (yaitu Al Fatihah) adalah ummul qur’an, ummul kitab dan as sab’ul matsani.”
(HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
 
3. As Sab’ul Matsani
 
Arti dari As Sab’ul Matsani adalah tujuh (ayat) yang diulang-ulang. Nama ini selain disebutkan dalam hadits yang telah disebutkan di atas, juga disebutkan dalam ayat berikut (yang artinya) :
“Dan sungguh Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang berulang-ulang dan Al Qur’an yang agung.”
(QS. Al Hijr : 87)
 
Di antara penjelasan kenapa disebut sebagai tujuh ayat yang diulang-ulang adalah karena surat Al Fatihah dibaca diulang-ulang di setiap rakaat shalat.
 
4. Al Quran Al 'Azhim
 
Makna Al 'Azhim adalah Yang Agung. Nama ini bersumber dari surat Al Hijr yang telah disebutkan di atas.
 
“Dan sungguh Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca) berulang-ulang dan Al Qur’an yang agung.”
(QS. Al Hijr : 87)
 
Berdasarkan penjelasan Al Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan Al Quran Al 'Azhim dalam ayat tersebut adalah surat Al Fatihah. Penjelasan ini juga diperkuat oleh sebuah hadits dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
 
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin (surat al-Fatihah) adalah as sab’ul matsani dan Al-Qur’an yang agung yang dikaruniakan padaku.”
(HR. Bukhari dari Abu Sa’id bin Al Mu’alla)
 
5. Ash Shalah
 
Nama ini diambil dari sebuah hadits Qudsi, dimana Allah berfirman :
“Aku membagi Ash Shalah antara aku dan hambaku menjadi dua bagian. Apabila seorang hamba berkata :
 
الحمد لله رب العلمين
Allah menjawab : ‘hambaku memujiku’.
 
Dan apabila seorang hamba berkata :
 
الرحمن الرحيم
Allah menjawab : ‘Hambaku menyanjungku’.
 
Dan apabila seorang hamba berkata :
 
ملك يوم الدين
Allah menjawab : ‘hambaku mengagungkanku’.
 
Dan apabila seorang hamba berkata :
 
ﺇياك نعبد و ﺇياك نستعين
Allah berkata: ’ini adalah dua bagian antara aku dan hambaku. Dan untuk hambaku apa yang dia inginkan’.”
(HR. Muslim no. 390, dari Abu Hurairah)
 
Yang dimaksud dengan Ash Shalah dalam hadits tersebut adalah Al Fatihah.
 
6. Ar Ruqyah
 
Dinamakan dengan Ar Ruqyah karena dikisahkan dalam sebuah hadits shahih bahwa para sahabat pernah diminta untuk meruqyah seseorang yang tersengat kalajengking. Para sahabat kemudian membacakan surat Al Fatihah kepada orang tadi dan dengan serta merta diberi kesembuhan oleh Allah. Ketika para sahabat menceritakan kisah tersebut kepada Nabi shallallaahu’alaihi was sallam, beliau pun bersabda: “Tahukah engkau bahwa (Al Fatihah) itu adalah Ruqyah?”
(HR. Bukhari no. 2276 dan Muslim no. 2201, dari Abu Sa’id Al Khudri)
 
7. Asy Syifa
 
Nama Asy Syifa bermakna penawar. Nama ini diambil dari sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam Sunan Ad Darimi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri secara marfu’, dikatakan :
 
فاتحة الكتاب شفاء من كل سم
 
“Al Fatihah sebagai syifa (penawar) dari segala racun.”
(HR. At Tirmidzi no. 2878 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 2/259)
 
Nama lainnya yang Disebutkan oleh Para Ulama
 
1. Asasul Quran
 
Asasul Quran bermakna asas atau pondasi dari Al Quran. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asy Sya’bi dari sahabat Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhuma bahwasanya Al Fatihah adalah Asasul Quran.
 
2. Al Waqiyah
 
Nama ini disebutkan oleh Imam Sufyan bin ‘Uyainah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya. Al Waqiyah bermakna pelindung.
 
3. Al Kafiyah
 
Al Kafiyah bermakna sesuatu yang mencukupi. Nama ini disebutkan oleh sebagian ulama berasal dari sebuah hadits mursal :
 
أمُّ القُرْآنِ عِوَضٌ مِن غَيْرِها وليسَ غَيْرُها منها عِوضاً
 
“Ummul Quran lah yang menjadi pengganti dari yang selainnya, sedangkan yang lainnya tidak dapat menggantikannya.”
(HR. Ahmad 2/284, Muslim no. 780)
 
4. Nama-nama lainnya
 
Selain itu terdapat beberapa nama lainnya yang disebutkan oleh Fairuz Abadi dalam karyanya Basha’ir Dzawit Tamyiz fi Lathaifil Kitabil ‘Aziz tanpa beliau menyebutkan dalil yang melandasinya, diantaranya: Al Hamdu (Pujian), Asy Syafiah, Al Wafiyah (Yang Mencukupi), Suratuts Tsana’ (Surat Sanjungan).
 
Al Imam As Suyuthi dalam karyanya Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an juga menyebutkan nama lainnya tanpa menyebutkan nash yang jelas, diantaranya: Al Kunz (Perbendaharaan), An Nur (Cahaya), Suratus Syukr (Surat Syukur).