Sabtu, 05 Februari 2022

Larangan Menyisir atau Merapikan Rambut Setiap Hari

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَنَسٍ

Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Khasyram berkata; Telah mengabarkan kepada kami 'Iisa bin Yuunus, dari Hisyaam, dari Al Hasan, dari 'Abdullah bin Mughaffal ia berkata :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang menyisir dan merapikan rambut kecuali sesekali." 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'iid, dari Hisyaam, dari Al Hasan dengan sanad ini, seperti hadits tersebut." Abu 'Iisa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih." Ia berkata, "Dalam bab ini juga ada hadits dari Anas."
(HR. Tirmidzi no. 1756)

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَلَ إِلَى فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ وَهُوَ بِمِصْرَ فَقَدِمَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ آتِكَ زَائِرًا وَلَكِنِّي سَمِعْتُ أَنَا وَأَنْتَ حَدِيثًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجَوْتُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَكَ مِنْهُ عِلْمٌ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَمَا لِي أَرَاكَ شَعِثًا وَأَنْتَ أَمِيرُ الْأَرْضِ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنْ الْإِرْفَاهِ قَالَ فَمَا لِي لَا أَرَى عَلَيْكَ حِذَاءً قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin 'Aliy berkata; Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Jurairiy, dari 'Abdullah bin Buraidah berkata :

"Seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkunjung ke rumah Fadhaalah bin 'Ubaid yang berada di Mesir. Ia lalu datang kepadanya seraya berkata, "Aku datang kepadamu bukan untuk berkunjung, tetapi aku dan kamu sendiri telah mendengar hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka aku berharap engkau mempunyai ilmu tentang itu." Fadhaalah bertanya, "Hadits tentang apa itu?" sahabat Nabi itu menjawab, "Begini dan begini." 

Fadhaalah bertanya, "Kenapa rambutmu tampak kusut dan berantakan, padahal engkau adalah seorang pemimpin?" ia menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang kita untuk bermewah-mewah." 

Fadhaalah lalu bertanya lagi, "Kenapa aku juga melihatmu tidak mengenakan sepatu?" ia menjawab, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk berjalan dengan tanpa alas kaki sesekali."
(HR. Abu Dawud no. 4160)

أَخْبَرَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ كَهْمَسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ

كَانَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامِلًا بِمِصْرَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَإِذَا هُوَ شَعِثُ الرَّأْسِ مُشْعَانٌّ قَالَ مَا لِي أَرَاكَ مُشْعَانًّا وَأَنْتَ أَمِيرٌ قَالَ كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا عَنْ الْإِرْفَاهِ قُلْنَا وَمَا الْإِرْفَاهُ قَالَ التَّرَجُّلُ كُلَّ يَوْمٍ

Telah mengkhabarkan kepada kami Isma'iil bin Mas'ud, dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al Haarits, dari Kahmas, dari 'Abdullah bin Syaqiiq, dia berkata :

"Terdapat seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjadi gubernur di Mesir, kemudian dia didatangi oleh seseorang dari sahabatnya yang mendapatinya berambut acak-acakan tidak teratur. Orang tersebut berkata; "Kenapa kulihat rambutmu tidak teratur sedangkan engkau adalah seorang pemimpin?" Dia berkata; "Dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami dari irfah. Kami bertanya; "Irfah itu apa?" Beliau bersabda; "Menyisir setiap hari." 
(HR. Nasa'i no. 5058)

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرٌ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ وَمُحَمَّدٍ قَالَا

التَّرَجُّلُ غِبٌّ

Telah mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Yuunus, dari Al Hasan dan Muhammad, mereka berkata :

"Menyisir itu berselang hari."
(HR. Nasa'i no. 5057)

Al-Imam As-Sindi rahimahullah berkata :

أن يفعل يوما ويترك يوما والمراد كراهة المداومة عليه

“Dia mengurusinya sehari dan meninggalkannya sehari. Dan yang dimaksud adalah makruhnya (dibenci) bila pria mengurusi rambutnya setiap hari.” 
(Hasyiatus Sindi ‘alan Nasa'i no. 5055)

Al-Hafizh Al-'Iraqi rahimahullah menerangkan bahwa larangan menyisir rambut bagi pria setiap hari adalah larangan yang dibenci (makruh) bukan larangan yang haram. 
(Tuhfatul Ahwadzi, 5/364)

Syaikh Al-Adzim Al-Abadi berkata dalam Aunul Ma’bud :

وَلَا فَرْق بَيْن الرَّجُل وَالْمَرْأَة لَكِنْ الْكَرَاهَة فِيهَا أَخَفّ لِأَنَّ بَاب التَّزْيِين فِي حَقّهنَّ أَوْسَع مِنْهُ فِي حَقّ الرِّجَال وَمَعَ هَذَا فَتَرْك التَّرَفُّه وَالتَّنَعُّم لَهُنَّ أَوْلَى . كَذَا فِي شَرْح الْمُنَاوِيّ وَاَللَّه أَعْلَم .

“Dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, akan tetapi ke-makruh-an bagi wanita lebih ringan karena masalah berhias bagi wanita lebih luas perkaranya dibandingkan laki-laki, oleh karena itu meninggalkan bermewah-mewah dan bernikmat-nikmat bagi para wanita adalah lebih utama. 

Demikianlah dalam syarahnya Al-Munaawiy.”

LARANGAN RAMBUT TERIKAT DALAM SHALAT

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ لَا أَكُفُّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا

Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Ismaa'iil berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awaanah, dari 'Amru, dari Thaawus, dari Ibnu 'Abbaas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : 

"Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh anggota sujud, dan dilarang mengumpulkan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud)."
(HR. Bukhari no. 816)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا أَكُفَّ ثَوْبًا وَلَا شَعْرًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar; Telah menceritakan kepada kami Muhammad, yaitu Ibnu Ja'far; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amru bin Diinaar, dari Thaawus, dari Ibnu 'Abbaas, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : 

"Aku diperintahkan untuk bersujud pada tujuh anggota badan, dan aku tidak melipat baju dan mengikat rambut."
(HR. Muslim no. 490)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ

أُمِرْنَا أَلَّا نَكُفَّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا وَلَا نَتَوَضَّأَ مِنْ مَوْطَإٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah bin Numair berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Idriis, dari Al A'masy, dari Abu Waa`il, dari Ibnu Mas'ud ia berkata :

"Kami diperintah untuk tidak menahan rambut dan kain saat sujud. Dan kami tidak diperintahkan untuk mengulang wudhu apabila menginjak kotoran."
(HR. Ibnu Majah no. 1041)

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادٍ الْعَامِرِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ أَنَّ بُكَيْرًا حَدَّثَهُ أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ

أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ يُصَلِّي وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ مَا لَكَ وَرَأْسِي فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوفٌ

Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Sawwaad Al-'Aamiriy; Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah bin Wahb; Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Al-Haarits bahwa Bukair telah menceritakan kepadanya bahwa Kuraib, maula Ibnu 'Ababas telah menceritakan kepadanya dari 'Abdullah bin 'Abbaas, 

"Bahwa dia melihat 'Abdullah bin Al-Haarits shalat sedangkan rambutnya terikat dari belakangnya, maka dia berdiri, lalu mulai melepaskannya. Ketika dia berpaling, maka dia menghadap pada Ibnu 'Abbaas seraya berkata, "Mengapa kamu memperlakukan rambutku demikian?" Dia menjawab, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : 

'Permisalan ini adalah sebagaimana permisalan orang yang shalat dalam keadaan tangannya terikat di tengkuk."
(HR. Muslim no. 492)

حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي مُخَوَّلُ بْنُ رَاشِدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعْدٍ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ يَقُولُ

رَأَيْتُ أَبَا رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ وَهُوَ يُصَلِّي وَقَدْ عَقَصَ شَعْرَهُ فَأَطْلَقَهُ أَوْ نَهَى عَنْهُ وَقَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَهُوَ عَاقِصٌ شَعَرَهُ

Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Khalaf berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid Ibnul Haarits, dari Syu'bah. (Dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far berkata; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata; Telah menceritakan kepadaku Mukhawwal bin Raasyid berkata; Aku mendengar

Abu Sa’ad –seorang lelaki penduduk Madinah- ia berkata :

“Aku melihat Abu Raafi’ Maula Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyaksikan Al-Hasan sedang shalat dengan rambut terikat. Lalu ia melepaskan ikatannya atau ia melarangnya. Lalu ia berkata, 

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang seseorang mengerjakan shalat dengan rambut terikat,” 
(HR. Ibnu Majah no. 1042)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي رَافِعٍ

أَنَّهُ مَرَّ بِالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَهُوَ يُصَلِّي وَقَدْ عَقَصَ ضَفِرَتَهُ فِي قَفَاهُ فَحَلَّهَا فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ الْحَسَنُ مُغْضَبًا فَقَالَ أَقْبِلْ عَلَى صَلَاتِكَ وَلَا تَغْضَبْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي رَافِعٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَهُوَ مَعْقُوصٌ شَعْرُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَعِمْرَانُ بْنُ مُوسَى هُوَ الْقُرَشِيُّ الْمَكِّيُّ وَهُوَ أَخُو أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muusa berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrazzaaq berkata; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dari 'Imraan bin Muusa, dari Sa'iid bin Abu Sa'iid Al Maqburiy, dari Ayahnya, dari Abu Raafi',

"Bahwasanya ia pernah melewati Hasan bin 'Aliy ketika Hasan sedang melaksanakan shalat. Hasan waktu itu mengikat rambutnya dan meletakkannya pada tengkuk, namun Abu Raafi' mengurainya kembali. Maka Hasan pun berpaling kepadanya dengan marah. Abu Raafi' berkata; "Kembalilah shalat dan jangan marah, karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Itu adalah tempat duduk setan." 

Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ummu Salamah dan 'Abdullah bin 'Abbaas." 

Abu 'Iisa berkata; "Hadits Abu Raafi' derajatnya hasan. Hadits ini diamalkan oleh ahli ilmu. Mereka memakruhkan seorang laki-laki shalat dengan mengikat rambutnya." Abu 'Iisa berkata; "'Imraan bin Muusa namanya adalah Al Qurasyi Al Makki, ia adalah saudara Ayyuub bin Muusa."
(HR. Tirmidzi no. 384)

Penjelasan Hadits :

Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, (26/109) :

اتفق الفقهاء على كراهة عقص الشعر في الصلاة ، والعقص هو شد ضفيرة الشعر حول الرأس كما تفعله النساء ، أو يجمع الشعر فيعقد في مؤخرة الرأس ، وهو مكروه كراهة تنزيه ، فلو صلى كذلك فصلاته صحيحة

"Para ulama sepakat bahwa shalat dalam kondisi rambut terikat adalah hukumnya makruh. Mengikat di sini maksudnya mengikat rambut bagian belakang seperti yang dilakukan pada wanita atau mengikat keseluruhan rambut kemudian di kebelakangkan. Shalat dengan kondisi seperti ini, hukumnya makruh tanzih (pent, makruh yang kita kenal, bukan makruh yang bermakna haram/makruh tahrim). Namun jika seorang shalat dengan keadaan seperti ini, tetap sah."

Berkata Al Hafizh Ibnu Atsir rahimahullah dalam kitab An Nihayah : 

“Makna hadits ini yaitu jika ia membiarkan rambutnya terurai, maka rambut itu akan jatuh ke tanah ketika sujud. Sehingga pelakunya diberi pahala sujud dengan jatuhnya rambutnya. Tapi kalau rambut itu ditahan maka ini artinya sama saja rambut tersebut tidak ikut sujud."

Imam Al-Munawi rahimahullah berkata : 

"Orang yang rambutnya diikat di belakang, berarti rambutnya tidak jatuh ke lantai, maka dia tidak termasuk disaksikan seluruh anggota tubuhnya, sebagaimana halnya orang yang tangannya terikat di belakang pundak, tidak terletak di atas lantai dalam sujud. Abu Syamah berkata, "Pemahaman hadits ini berlaku terhadap perbuatan mengikat rambut sebagaimana dilakukan para wanita." 
(Faidhul Qadhir, 3/6)

Siapa yang mengerjakan shalat dengan rambut terurai, rambutnya pasti tergerai ke lantai ketika sujud (bila rambutnya panjang). Ia akan mendapat pahala sujud dengan rambut tergerai ke lantai. Karena hal itu menunjukkan bahwa ia merendahkan kedudukan rambutnya dalam beribadah kepada Allah. Dasar-dasarnya adalah sebagai berikut :

Rambut yang terikat diserupakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tangan yang terputus, karena kedua tangan yang terputus itu tidak sampai menyentuh lantai saat sujud. Demikian pula rambut yang terikat, ia tidak sujud bersama dengan rambutnya.

Sejumlah atsar yang diriwayatkan dari Salaf, di antaranya adalah, diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia lewat di hadapan seorang lelaki yang sedang sujud dengan rambut terikat. Beliau mengurainya. Selesai shalat ‘Abdullah bin Mas’ud berkata kepadanya, “Janganlah engkau ikat rambutmu, karena rambutmu juga hendak sujud. Dan sesungguhnya setiap helai rambut yang sujud ada pahalanya.” Lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku mengikatnya agar tidak tergerai.” “Tergerai lebih baik bagimu!” sahut Ibnu Mas’ud." 

(Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 2/185/4996 dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authaar, 2/387)

LARANGAN DALAM HADITS DI ATAS KHUSUS BAGI KAUM PRIA, BUKAN UNTUK WANITA

Imam Al Ghazali rahimahullah mengatakan :

وقد يكون الكف في شعر الرأس ، فلا يصلين وهو عاقص شعره ، والنهى للرجال 

"Menahan rambut itu adalah rambut kepala, maka janganlah shalat sambil menahan rambutnya. LARANGAN INI BERLAKU BAGI LAKI-LAKI."
(Ihya 'Ulumuddin, 1/157)

Imam Zakariya Anshari rahimahullah mengatakan :

قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَيَنْبَغِي تَخْصِيصُهُ – يعني الكفت - فِي الشَّعْرِ بِالرَّجُلِ ، أَمَّا فِي الْمَرْأَةِ فَفِي الْأَمْرِ بِنَقْضِهَا الضَّفَائِرَ مَشَقَّةٌ وَتَغْيِيرٌ لِهَيْئَتِهَا الْمُنَافِيَةِ لِلتَّجْمِيلِ " انتهى . 

"Az Zarkasyi mengatakan bahwa larangan itu khususnya bagi LAKI-LAKI, ada pun bagi wanita PERINTAH MELEPAS IKATAN RAMBUT TENTU MEMBERATKAN dan bisa mengubah penampilan dan mengurangi keindahan ... dst."
(Asnal Mathalib, 1/163)

Imam Al-’Iraqi rahimahullah berkata :

“Hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya. Dan juga akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib, padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat mandi tersebut.” 
(Nailul Authar, 2/440)

Wallahu a'lam

Suami Tidak Wajib Melunasi Utang Istri ?

Maksud pembahasan ini adalah salah satu, baik suami atau istri memiliki utang apakah suami wajib menanggung utang istri? Dan sebaliknya, apakah istri juga dituntut untuk menanggung utang suami?

Titik masalahnya adalah apakah utang termasuk dalam nafkah? Jika itu masuk dalam bagian nafkah, berarti pihak yang wajib memberi nafkah, harus menanggung utang itu.

Pertama, Apakah istri menanggung utang suami ?

Istri, berapapun harganya tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah suaminya. Karena harta istri menjadi murni milik istri. Allah menegaskan bahwa harta istri murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
(QS. An-Nisa : 4)

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dijelaskan tafsir ayat ini,

والآية الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من مجرد الإذن، فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج عليها مع عدم رضاها بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة إنما هو أن يكون بطيب النفس

"Ayat di atas menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati."
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)

Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orangtuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.

Dengan demikian, istri tidak wajib menanggung utang suami. Karena istri tidak wajib menafkahi suaminya.

Kedua, Apakah suami menanggung utang istri ?

Kembali ke pertanyaan, apakah utang termasuk bagian dari nafkah ?

Kita simak batasan nafkah,

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Isma'iil; Telah menceritakan kepada kami Hammaad; Telah mengabarkan kepada kami Abu Qaza'ah Al Baahaliy, dari Hakiim bin Mu'aawiyah Al Qusyairiy, dari Ayahnya, ia berkata :

"Aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau bersabda: 

"Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah." 

Abu Daawud berkata; dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan; semoga Allah memburukkan wajahmu. 
(HR. Abu Dawud no. 2142)

Dalam Fatawa Islam ditegaskan,

والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها

"Nafkah mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak." 
(Fatawa Islam no. 3054)

Berdasarkan pengertian di atas, utang istri bisa kita bagi menjadi 2 :

[1] Utang karena untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya

Misalnya, suami selama berbulan-bulan tidak memberikan nafkah kepada istrinya, kemudian sang istri berutang untuk bisa mendapatkan makanan. Dalam posisi ini, suami wajib menanggung utang istrinya. Karena hakekatnya utang itu disebabkan suaminya yang tidak mencukupi kebutuhan istrinya.

[2] Utang di luar kebutuhan hidup

Misalnya istri berutang untuk menambah perabotan, untuk menambah koleksi baju, koleksi perhiasan, koleksi…koleksi…

Apakah utang ini masuk bagian nafkah ?

Utang semacam ini bukan termasuk bagian nafkah, sehingga suami tidak wajib melunasinya.

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

فلا يجب على الزوج قضاء دين زوجته، إلا أن يتبرع بذلك إحسانا إليها، طالما كان دينها خاصا بها، ولم يكن بسبب إهماله في النفقة الواجبة عليه شرعا

"Suami tidak wajib melunasi utang istrinya, kecuali jika suami berbaik hati memberikan santunan untuk istrinya. Selama utang itu terkait pribadi istrinya semata, dan tidak disebabkan sikap suami yang menelantarkan istrinya dalam memberikan nafkah wajib."
(Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 295159)

Allahu a’lam



Tidur Seperti Apa yang Membatalkan Wudhu ?

Oleh : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kelanjutan tentang pembatal wudhu, kami rinci dalam postingan kali ini, yaitu mengenai masalah tidur. Apakah tidur membatalkan wudhu ataukah tidak, dalam masalah ini para ulama ada silang pendapat. Beda pendapat ini terjadi dikarenakan perbedaan dalam menilai hadits.

Hadits yang membicarakan tentang masalah tidur membatalkan wudhu terlihat (secara zhahir) saling bertentangan. Sebagian hadits menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu. Sebagian lagi menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu. Sehingga dari sini para ulama menempuh dua jalan. Ada yang melakukan jama’ (menggabungkan dalil) dan ada yang melakukan tarjih (memilih manakah dalil yang lebih kuat).

Para ulama yang melakukan tarjih, boleh jadi ada yang memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats dan boleh jadi pula ada yang memiliki pendapat bahwa tidur termasuk hadats sehingga mengharuskan untuk wudhu. Sedangkan ulama yang menempuh jalan jama’, mereka memiliki pendapat bahwa tidur bukanlah hadats, namun hanya mazhannatu lil hadats (kemungkinan terjadi hadats). Mereka pun nantinya berselisih, bagaimanakah bentuk tidur yang bisa membatalkan wudhu.

Intinya, dalam masalah ini ada delapan pendapat. Berikut di antara pendapat tersebut dan akan kami sebutkan beberapa dalil yang digunakan. [1]

Pendapat pertama : Tidur sama sekali bukan termasuk pembatal wudhu.

Inilah yang menjadi pendapat beberapa sahabat semacam Ibnu ‘Umar dan Abu Musa Al Asy’ari. Pendapat ini juga menjadi pendapat Sa’id bin Jubair, Makhul, ‘Ubaidah As Salmani, Al Awza’i dan selain mereka. Di antara dalil mereka adalah hadits dari Anas bin Malik,

أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.

“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”[2]

Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.

“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qatadah, “Iya betul. Demi Allah.”[3]

Pendapat kedua : Tidur termasuk pembatal wudhu, baik tidur sesaat maupun tidur yang lama. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hurairah, Abu Rafi’, ‘Urwah bin Az Zubair, ‘Atha’, Al Hasan Al Bashri, Ibnul Musayyib, Az Zuhri, Al Muzanni, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Al Albani -rahimahullah-.

Dalil dari pendapat ini adalah sebagaimana buang air besar dan kencing menyebabkan batalnya wudhu ketika memakai khuf, begitu pula tidur. Perhatikan hadits berikut dari Shafwan bin ‘Assal tentang mengusap khuf.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خِفَافِنَا وَلَا نَنْزِعَهَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami, jika kami bersafar, maka cukup kami mengusap sepatu kami, tanpa perlu melepasnya selama tiga hari. Tidak perlu melepasnya ketika wudhu batal karena buang air besar, kencing atau tertidur kecuali jika dalam keadaan junub.”[4]

Dalam hadits ini disebutkan tidur secara umum tanpa dikatakan tidur yang sesaat atau yang lama. Dan ditambah lagi bahwa tidur ini disamakan dengan kencing dan buang air besar yang merupakan pembatal wudhu.

Pendapat ketiga : Tidur yang lama yang membatalkan wudhu dalam keadaan tidur mana saja. Sedangkan tidur yang cuma sesaat tidak membatalkan wudhu.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Malik dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini memaknai hadits Anas yang disebutkan dalam pendapat pertama sebagai tidur yang sedikit (sesaat). Mereka memiliki argumen dengan perkataan Abu Hurairah,

مَنِ اسْتَحَقَّ النَّوْمَ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ.

“Barangsiapa yang tertidur, maka wajib baginya untuk berwudhu.”[5] Namun perkataan ini hanya sampai derajat mauquf (sekedar perkataan sahabat).

Pendapat keempat : Tidak membatalkan wudhu kecuali jika tidurnya dalam keadaan berbaring (pada lambung) atau bersandar. Sedangkan apabila tidurnya dalam keadaan ruku’, sujud, berdiri atau duduk, maka ini tidak membatalkan wudhu baik di dalam maupun di luar shalat.

Inilah pendapat Hammad, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Daud, dan pendapat Imam Asy Syafi’i.

Di antara dalilnya adalah dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى النَّائِمِ جَالِسًا وُضُوْءٌ حَتَّى يَضَعُ جَنْبَهُ

“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidur dalam keadaan duduk sampai ia meletakkan lambungnya.” Namun hadits ini adalah hadits yang dha’if (lemah).[6]

Pendapat kelima : Wudhu tidak batal jika tidur dalam keadaan duduk, baik dalam shalat maupun di luar shalat, baik tidur sesaat maupun lama.

Alasan mereka, tidur hanyalah mazhannatu lil hadats (sangkaan akan muncul hadats). Dan tidur dalam keadaan seperti ini masih mengingat berbagai hal (misalnya ia masih merasakan kentut atau hadats).

Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan Asy Syaukani. Pendapat ini menafsirkan hadits Anas dalam pendapat pertama bahwa para sahabat ketika itu tidur dalam keadaan duduk. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menyanggah pendapat ini dengan menyebutkan sebuah riwayat dari Al Bazzar dengan sanad yang shahih bahwa hadits Anas yang menceritakan sahabat yang tidur menyebutkan kalau ketika itu ada di antara sahabat yang tidur dengan berbaring (pada lambungnya), lalu mereka pergi hendak shalat.

Dan masih ada beberapa pendapat lainnya yang terbilang cukup lemah.

Pendapat yang terkuat :

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam inilah yang mazhannatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats. Pendapat ini sejalan dengan pemahaman pada pendapat pertama.

Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.

Demikian pembahasan singkat ini. Semoga bermanfaat.

Catatan kaki :

[1] Pembahasan ini kami sarikan dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/129-132, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[2] HR. Muslim no. 376.

[3] HR. Muslim no. 376.

[4] HR. An Nasa-i no. 127. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[5] HR. Al Baihaqi, 2/135, ‘Abdur Razaq no. 481. Hadits ini adalah hadits mauquf (hanya perkataan sahabat) dengan sanad yang shahih dan tidak shahih jika marfu’ (disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lihat penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam At Talkhis Al Habir, 1/179

[6] Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebutkan hadits ini dalam Lisanul Mizan, 8/181. Dalam hadits ini ada perawi yang tertuduh berdusta dan sering memalsukan hadits, sebagaimana kata Ibnu Ma’in.

Apakah Tidur Membatalkan Wudhu ?

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini :

1. Tidur bukan termasuk pembatal wudhu.
2. Tidur termasuk pembatal wudhu.
3. Tidur merupakan sebab kemungkinan besar terjadinya pembatal wudhu, sehingga ada yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak batal.

Pendapat pertama, Tidur bukan termasuk pembatal wudhu

Pendapat ini dinukil dari beberapa sahabat dan tabi'in, seperti Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan Sa'id bin Musayib. Di antara alasan pendapat ini,

1. Keterangan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العشاء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تخفق رؤوسهم ثم يصلون ولا يتوضؤون

"Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka menunggu shalat isya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepala mereka ngantuk dan kepala tertunduk. Kemudian mereka shalat jamaah dan mereka tidak mengulangi wudhu."
(HR. Abu Daud 200 dan dishahihkan Al-Albani)

Dalam riwayat Al-Bazzar terdapat tambahan,

يضعون جنوبهم

“Mereka bertelekan.”

2. Bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Hanya saja dikhawatirkan dengan tidur orang akan melakukan hadats dan dia tidak merasa. Artinya, munculnya hadats statusnya meragukan. Dan sesuatu yang meragukan tidak bisa menggugurkan yang yakin.

Pendapat kedua, tidur termasuk pembatal wudhu

Semua tidur baik sebentar maupun lama, dengan posisi apapun. Selagi telah hilang kesadaran karena tertidur, maka wudhunya batal. Ini merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabi'in, dan pendapat yang dipilih oleh Ishaq bin Rahuyah, Al-Muzani, Hasan Al-Bashri, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dan Ibn Hazm. Di antara dalil pendapat ini,

Hadits Shafwan bin ‘Asal radhiyallahu ‘anhu,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفرا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ولكن من غائط وبول ونوم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami apabila dalam perjalanan, agar tidak melepaskan sepatu kami selama 3 hari 3 malam, kecuali jika karena junub. Kami tidak perlu melepas ketika wudhu karena selesai buang air besar, kencing, atau tidur.” 
(HR. An-Nasa’I 127, Turmudzi 96, dan dihasankan Al-Albani)

Juga hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.” 
(HR. Ahmad 887, Ibn Majah 477, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidur‘ dalam daftar pembatal wudhu, sebagaimana buang air besar dan kencing. Tanpa dibedakan antara tidur model tertentu dengan model tidur lainnya. Sementara Shafwan bin ‘Asal termasuk sahabat yang masuk islam di masa akhir dakwah, sebagaimana keterangan Ibn Hazm.

Pendapat ketiga, tidak semua tidur membatalkan wudhu

Pendapat ini memberikan rincian. Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini sejatinya merupakan kompromi antara hadits Anas bin Malik dengan hadits Shafwan bin ‘Asal dan hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum.

Inilah pendapat para ulama madzhab empat.

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri.

1. Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini merupakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran.

2. Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafi'iyah. Sementara Daud Azh-Zhahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.

3. Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah.

Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Azh-Zhahiri kembali pada bentuk tidur.

4. Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn Taimiyah dan Ibn Utsaimin.

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Malikiyah, merinci antara tidur pembatal wudhu dan tidur yang bukan pembatal wudhu dengan kembali pada makna tidur itu sendiri.

Hadits Anas bin Malik, dimana para sahabat menunggu shalat isya sampai tertidur, dan mereka ketika mendengar iqamah langsung shalat tanpa mengulang wudhu, dipahami sebagai kondisi tidur yang masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Sementara hadits Shafwan bin Asal yang menyebutkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu dipahami untuk tidur yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ketika terjadi hadats, orang ini tidak merasakan sama sekali.

Kompromi semacam ini, dikuatkan oleh hadits, diantaranya,

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثاً ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده

“Apabila kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke air, sampai dia cuci tiga kali. Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur.” 
(HR. Muslim 278)

Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur” maknanya, orang yang tidur itu sudah tidak lagi sadar. Oleh karena itu, jika ada orang yang tidur dan dia masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal.

Kemudian hadits lain yang menguatkan kompromi ini adalah hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.”

Artinya, mata akan tetap berfungsi sebagai penyumbat ketika orang yang tidur masih bisa merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Meskipun matanya terpejam. Sehingga wudhunya tidak batal. Sebaliknya, ketika orang yang tidur tidak lagi sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya batal.
(Simak Syarhul Mumthi’, 1/277)

Allahu a’lam



Kisah Tentang Larangan Shalat Di Masjid Dhirar

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (107) لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108) 

"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih."
(QS. At Taubah : 107-108)

Sebab Turunnya Ayat

أخرج ابن مردويه عن طريق ابن أسحق قال ذكر ابن شهاب الزهري عن ابن أكيمة الليثي عن ابن أخي أبي رهم الغفاري أنه سمع أبا رهم وكان ممن بايع تحت الشجرة يقول أتى من بنى مسجد الضرار رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو متجهز إلى تبوك فقالوا يا رسول الله أنا بنينا مسجدا لذي العلة والحاجة والليلة الشاتية والليلة المطيرة وأنا نحب أن تأتينا فتصلي لنا فيه قال إني على جناح سفر ولو قدمنا إن شاء الله أتيناكم فصلينا لكم فيه فلما رجع نزل بذي أوان على ساعة من المدينة فأنزل الله في المسجد والذين اتخذزا مسجدا ضررا وكفرا

Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishaq rahimahullah yang berkata :

Ibnu Syihab az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akimah al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu. Dia mendengar Abi Rahmi al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu (dia termasuk yang ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Hudaibiyah) berkata :

“Telah datang orang-orang yang membangun masjid dhirar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid buat orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan shalat di masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masjid tersebut yang mereka niatkan untuk membahayakan kaum muslimin dan sebagai bentuk kekafiran.”[1]

Penjelasan Ayat

Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nasrani dan mempelajari kitab-kitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; sehingga Islam menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada waktu perang Badar.

Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin di Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga terjadilah perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama dan menyetujui pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud buruknya, mereka berkata, ”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan berkata, ”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk Islam, [2] bahkan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama mereka”.[3] Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh dalam keadaan terusir. [4]

Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk membangun masjid dhirâr.[5]

Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk. Lalu mereka mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar beliau mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud (mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar adanya).[6]

Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat di atas. Penjelasannya:

“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.[7] Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan masjid mereka’,[8] dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik,[9] serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. [10] Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir ar-Râhib.[11] Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan, ”Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[12]

Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu :

"Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih."
[At-Taubah/9 :108]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua, ”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang zhalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah. ”Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar.[13]

Sedangkan Abu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi) akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya.[14]

Allahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

Footnotes :

[1] Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal. 115).

[2] Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal. 210-211).

[3] Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal. 425).

[4] Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal. 210-211).

[5] Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal. 425).

[6] Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal. 211).

[7] Tafsir Ath-Thabari (Juz 14 / Hal. 468).

[8] Tafsir As-Sa’di (Hal. 351).

[9] Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal. 102).

[10] Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal. 425).

[11] Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal. 257).

[12] Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal. 102).

[13] Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal. 212).

[14] Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal. 257).

Hukum Muslim Memasuki Gereja

Para ulama sepakat bahwa masuk ke dalam rumah ibadah agama lain pada saat orang-orang kafir itu sedang menjalankan ritual agama hukumnya haram. 

Sedangkan bila di dalam rumah ibadah itu sedang tidak ada ritual agama, maka para ulama berbeda pendapat, ulama berbeda pendapat menjadi 3 kelompok pendapat;

[A] Makruh;
[B] Boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan shalat di dalamnya;
[C] Haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin.

[A] Makruh

Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah, mereka berpandangan bahwa sejatinya memasuki gereja atau sinagog dan tempat ibadah agama lain tidak diharamkan sama sekali.

Hanya saja makruh. Makruh bukan karena tidak boleh masuk, akan tetapi dimakruhkan karena gereja atau sinagog itu tempat berkumpulnya setan [مَجْمَعُ الشَّيَاطِينِ].

(Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/380)

Allah Ta'ala berfirman :

لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Janganlah kamu beribadah dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.” 
(QS. At Taubah : 108)

Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.

[B] Boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan shalat di dalamnya

Ini pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama dari madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyyah dan juga Hanabilah, yaitu tidak ada larangan untuk memasuki gereja atau juga tempat ibadah agama lain. Namun makruh hukumnya jika melakukan shalat disitu.

(Hasyiyah Qalyubi wa 'Amirah 3/235, Kasysyaful-Qina' 1/293, Ahkam Ahli Dzimmah 3/1230)   

Sebenarnya dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal punya 3 riwayat terkait shalat di dalam gereja atau sinagog;

[1] Boleh, tidak ada kemakruhan sebagaimana hukum memasukinya.
[2] Makruh melakukan shalat di dalamnya.
[3] Dibedakan antara gereja yang ada patungnya atau tidak, kalau ada patungnya maka shalatnya makruh, kalau tidak ada maka boleh-boleh saja.

Kesemua riwayat ini diceritakan oleh Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, akan tetapi yang menjadi pendapat madzhab Hanbali sebenarnya ialah pendapat boleh masuk dan boleh juga shalat tanpa kemakruhan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Buhuti dalam Kasysyaful-Qina'.

(Kasysyaful-Qina' 1/293)

- Boleh Masuk dan Shalat di Dalamnya

Kelompok yang mengatakan bolehnya masuk gereja atau sinagog dan melakukan shalat di dalamnya berargumen dengan riwayat Imam Abu Daud bahwa Nabi shallallahu'alaihi wasallam pernah masuk Ka'bah yang di dalamnya ketika itu ada patung Ibrahim dan Ismail. Ini sebagaimana direkam oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. 

(Al-Mughni li-Ibn Qudamah, 7/283)

Dan Nabi pun melakukan shalat di dalam Ka'bah yang ketika itu masih ada patungnya. Seandainya kalau itu tidak boleh, pastilah Nabi tidak akan melakukan shalat di dalamnya. Dan pasti beliau shallallahu'alaihi wasallam melarang para sahabat untuk itu, tapi tidak ada larangan.

(Kasysyaful-Qina', 1/293)

Imam Ibnu Qudamah juga mengutip cerita bahwa ketika Umar bin Khaththab memasuki negeri Syam dan itu diketahui oleh kaum Nasrani negeri tersebut, mereka berinisiatif untuk menyambut Umar dengan menyajikannya makanan. Namun jamuannya itu disajikan di dalam sinagog mereka.

Lalu Umar menolak hadir dan memerintahkan 'Ali untuk menggantikannya. Datanglah 'Ali ke undangan tersebut lalu masuk ke sinagog dan menyantap hidangan yang disediakan. Kemudian berkata: "aku tidak tahu kenapa Umar menolak datang?".

(Al-Mughni li-Ibn Qudamah, 7/283)

Dari cerita di atas jelas bahwa para sahabat tidak pernah berselisih tentang bolehnya memasuki sinagog atau gereja dan tempat ibadah orang non-muslim, karena itu 'Ali bertanya kenapa Umar menolak. Kemudian kalau seandainya itu sebuah keharaman, kenapa Umar menyuruh 'Ali datang, harusnya Umar larang juga 'Ali. Apakah seorang sahabat sekelas Umar tega membiarkan sahabat lainnya jatuh dalam dosa ?

Imam Ibnu Qayyim menambahkan bahwa dulu juga para sahabat melakukan shalat di dalam gereja, ketika melakukan penaklukan beberapa kota untuk mengislamkannya. Kalau shalatnya saja boleh apalagi memasukinya.

(Ahkam Ahli Dzimmah, 3/1231)

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab tidak melakukan shalat di dalam sinagog setelah menaklukan Palestina (Quds), itu bukan berarti pelarangan. Karena tidak shalatnya Umat di dalam gereja sama sekali tidak berarti larangan.

Umar melakukan itu agar nantinya orang muslim setelahnya tidak merubah sinagog itu menjadi masjid yang akhirnya menyulitkan orang Nasrani melakukan ibadah, maka Umar shalat di luar. Dan akhirnya umat Muslim membangun masjid di tempat shalat Umar itu berdampingan dengan Sinagog.

- Makruh Shalat di Dalamnya

Yang mengatakan boleh masuk, tapi makruh shalat di dalamnya beralasan sama seperti yang diutarakan oleh madzhab Al-Hanafiyah, bahwa sinagog, gereja dan tempat ibadah agama lain itu tempat berkumpulnya setan.

Para ulama ini bersepakat atas kemakruhan shalat di pemakaman, maka jauh lebih makruh lagi kalau itu di tempat ibadah agama lain. Walaupun jika ia shalat, tetap sah shalatnya akan tetapi di-makruh-kan saja.

Kemudian yang memakruhkan shalat di dalamnya jika itu ada patungnya, apalagi jika patung-patung itu berhadapan langsung dengan arah shalat. Seakan-akan terkesan bahwa ia sedang bersujud di hadapan patung. Jelas ini tercela.

(Ahkam Ahli Dzimmah, 3/1232)

[3] Haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin.

Ini pendapat sebagian ulama madzhab Asy-Syafi'iyyah, akan tetapi bukan pendapat resmi madzhab. Ini pendapat salah seorang ulama madzhab tersebut, yaitu Imam 'Izz Ad-Din bin Abdis-Salam yang kemudian diikuti oleh sebagiannya.

(Mughni Al-Muhtaaj, 6/78)

Beliau mengatakan bahwa seorang muslim dilarang memasuki gereja, sinagog atau juga tempat ibadah umat lain kecuali dengan izin. Berarti jika diizinkan, boleh memasukinya. Dan itu pun kalau tidak ada patungnya, kalau ada maka hukumnya tidak boleh memasukinya.

Dalam Hasyiah ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli disebutkan :

لَا يَجُوزُ لَنَا دُخُولُهَا إلَّا بِإِذْنِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِيهَا تَصْوِيرٌ حَرُمَ مُطْلَقًا، وَكَذَا كُلُّ بَيْتٍ فِيهِ صُورَةٌ

"Tidak bolek masuk dalam gereja kecuali dengan izin mereka (pemilik gereja) dan seandainya dalam gereja tersebut ada patung-patung, maka haram secara mutlak, demikian juga setiap rumah yang ada patung."

Alasan beliau kenapa harus dengan izin, karena gereja, sinagog dan tempat ibadah umat lain itu milik mereka sendiri, dan kita selain dari golongannya dilarang mengakses itu kecuali memang diizinkan.

Dan beliau melarang mutlak jika di dalamnya ada patung, diizinkan atau tidak, kalau ada patungnya tetap di larang. Beliau mengatakan bahwa rumah yang ada patungnya saja dilarang untuk dimasuki, apalagi gereja dan sinagog.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaaj, menjelaskan bahwa yang dimaksud patung oleh Imam 'Izz Ad-Diin ialah patung yang Mu'azhzhamah [معظمة] "diagungkan". Maksudnya ialah patung yang diagungkan dan disembah. Kalau hanya ada gambar-gambar atau juga patung namun statusnya bukan patung utama yang disembah, maka tempat ibadah itu tidak mengapa untuk di masuki.

(Tuhfatul-Muhtaj 9/295)

Penulis disini memilih pendapat makruh jika tidak ada hajat atau hal yang darurat.

Wallahu a'lam



Kisah 4 Bayi yang Bisa Berbicara

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَصَاحِبُ جُرَيْجٍ وَكَانَ جُرَيْجٌ رَجُلًا عَابِدًا فَاتَّخَذَ صَوْمَعَةً فَكَانَ فِيهَا فَأَتَتْهُ أُمُّهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ أَيْ رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى وُجُوهِ الْمُومِسَاتِ فَتَذَاكَرَ بَنُو إِسْرَائِيلَ جُرَيْجًا وَعِبَادَتَهُ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بِحُسْنِهَا فَقَالَتْ إِنْ شِئْتُمْ لَأَفْتِنَنَّهُ لَكُمْ قَالَ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهَا فَأَتَتْ رَاعِيًا كَانَ يَأْوِي إِلَى صَوْمَعَتِهِ فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَحَمَلَتْ فَلَمَّا وَلَدَتْ قَالَتْ هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ فَاسْتَنْزَلُوهُ وَهَدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا زَنَيْتَ بِهَذِهِ الْبَغِيِّ فَوَلَدَتْ مِنْكَ فَقَالَ أَيْنَ الصَّبِيُّ فَجَاءُوا بِهِ فَقَالَ دَعُونِي حَتَّى أُصَلِّيَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ فِي بَطْنِهِ وَقَالَ يَا غُلَامُ مَنْ أَبُوكَ قَالَ فُلَانٌ الرَّاعِي قَالَ فَأَقْبَلُوا عَلَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ وَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ وَقَالُوا نَبْنِي لَكَ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا أَعِيدُوهَا مِنْ طِينٍ كَمَا كَانَتْ فَفَعَلُوا وَبَيْنَا صَبِيٌّ يَرْضَعُ مِنْ أُمِّهِ فَمَرَّ رَجُلٌ رَاكِبٌ عَلَى دَابَّةٍ فَارِهَةٍ وَشَارَةٍ حَسَنَةٍ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذَا فَتَرَكَ الثَّدْيَ وَأَقْبَلَ إِلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهِ فَجَعَلَ يَرْتَضِعُ قَالَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَحْكِي ارْتِضَاعَهُ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ فِي فَمِهِ فَجَعَلَ يَمُصُّهَا قَالَ وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ وَهِيَ تَقُولُ حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَتَرَكَ الرَّضَاعَ وَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا فَهُنَاكَ تَرَاجَعَا الْحَدِيثَ فَقَالَتْ حَلْقَى مَرَّ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَمَرُّوا بِهَذِهِ الْأَمَةِ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَقُلْتَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا قَالَ إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ كَانَ جَبَّارًا فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَإِنَّ هَذِهِ يَقُولُونَ لَهَا زَنَيْتِ وَلَمْ تَزْنِ وَسَرَقْتِ وَلَمْ تَسْرِقْ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun; Telah mengabarkan kepada kami Jariir bin Haazim; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau telah bersabda: 

"Tidak ada bayi yang dapat berbicara ketika masih berada dalam buaian kecuali tiga bayi: 

Bayi 'Iisa bin Maryam, dan bayi dalam perkara Juraij. 

Juraij adalah seorang laki-laki yang rajin beribadah. Ia membangun tempat peribadatan dan senantiasa beribadah di tempat itu. Ketika sedang melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba ibunya datang dan memanggilnya; 'Hai Juraij! ' Juraij bertanya dalam hati; 'Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, melanjutkan shalatku ataukah memenuhi panggilan ibuku? ' Akhirnya ia pun meneruskan shalatnya itu hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. Keesokan harinya, ibunya datang lagi kepadanya sedangkan Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Kemudian ibunya memanggilnya; 'Hai Juraij! ' Kata Juraij dalam hati; 'Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, memenuhi seruan ibuku ataukah shalatku? ' Lalu Juraij tetap meneruskan shalatnya hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. 

Hari berikutnya, ibunya datang lagi ketika Juraij sedang melaksanakan shalat sunnah. Seperti biasa ibunya memanggil; 'Hai Juraij! ' Kata Juraij dalam hati; 'Ya Allah, manakah yang harus aku utamakan, meneruskan shalatku ataukah memenuhi seruan ibuku? ' Namun Juraij tetap meneruskan shalatnya dan mengabaikan seruan ibunya. Tentunya hal ini membuat kecewa hati ibunya. Hingga tak lama kemudian ibunya pun berdoa kepada Allah; 'Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah dari perempuan pelacur! ' 

Kaum Bani Isra`il selalu memperbincangkan tentang Juraij dan ibadahnya, hingga ada seorang wanita pelacur yang cantik berkata; 'Jika kalian menginginkan popularitas Juraij hancur di mata masyarakat, maka aku dapat memfitnahnya demi kalian.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun meneruskan sabdanya: 'Maka mulailah pelacur itu menggoda dan membujuk Juraij, tetapi Juraij tidak mudah terpedaya dengan godaan pelacur tersebut. Kemudian pelacur itu pergi mendatangi seorang penggembala ternak yang kebetulan sering berteduh di tempat peribadatan Juraij. Ternyata wanita tersebut berhasil memperdayainya hingga laki-laki penggembala itu melakukan perzinaan dengannya sampai akhirnya hamil. Setelah melahirkan, wanita pelacur itu berkata kepada masyarakat sekitarnya bahwa; 'Bayi ini adalah hasil perbuatan aku dengan Juraij.' Mendengar pengakuan wanita itu, masyarakat pun menjadi marah dan benci kepada Juraij. Kemudian mendatangi rumah peribadatan Juraij dan bahkan menghancurkannya. Selain itu, mereka pun bersama-sama menghakimi Juraij tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya. Lalu Juraij bertanya kepada mereka; 'Mengapa kalian lakukan hal ini kepadaku? ' Mereka menjawab; 'Kami lakukan hal ini kepadamu karena kamu telah berbuat zina dengan pelacur ini hingga ia melahirkan bayi dari hasil perbuatanmu.' Juraij berseru; 'Dimanakah bayi itu? ' Kemudian mereka menghadirkan bayi hasil perbuatan zina itu dan menyentuh perutnya dengan jari tangannya seraya bertanya; 'Hai bayi kecil, siapakah sebenarnya ayahmu itu? ' Ajaibnya, sang bayi langsung menjawab; 'Ayah saya adalah si fulan, seorang penggembala.' Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: 'Akhirnya mereka menaruh hormat kepada Juraij. Mereka menciuminya dan mengharap berkah darinya. Setelah itu mereka pun berkata; 'Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu ini dengan bahan yang terbuat dari emas.' Namun Juraij menolak dan berkata; 'Tidak usah, tetapi kembalikan saja rumah ibadah seperti semula yang terbuat dari tanah liat.' Akhirnya mereka pun mulai melaksanakan pembangunan rumah ibadah itu seperti semula.

Dan bayi ketiga, Ada seorang bayi sedang menyusu kepada ibunya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian yang bagus pula. Lalu ibu bayi tersebut berkata; 'Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah anakku ini seperti laki-laki yang sedang mengendarai hewan tunggangan itu! ' Ajaibnya, bayi itu berhenti dari susuannya, lalu menghadap dan memandang kepada laki-laki tersebut sambil berkata; 'Ya Allah ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ' Setelah itu, bayi tersebut langsung menyusu kembali kepada ibunya. Abu Hurairah berkata; 'Sepertinya saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan susuan bayi itu dengan memperagakan jari telunjuk beliau yang dihisap dengan mulut beliau.' 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meneruskan sabdanya: 'Pada suatu ketika, ada beberapa orang yang menyeret dan memukuli seorang wanita seraya berkata; 'Kamu wanita tidak tahu diuntung. Kamu telah berzina dan mencuri.' Tetapi wanita itu tetap tegar dan berkata; 'Hanya Allah lah penolongku. Sesungguhnya Dialah sebaik-baik penolongku.' Kemudian ibu bayi itu berkata; 'Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ' Tiba-tiba bayi tersebut berhenti dari susuan ibunya, lalu memandang wanita tersebut seraya berkata; 'Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku sepertinya! ' Demikian pernyataan ibu dan bayinya itu terus berlawanan, hingga ibu tersebut berkata kepada bayinya; 'Celaka kamu hai anakku! Tadi, ada seorang laki-laki yang gagah dan menawan lewat di depan kita, lalu kamu berdoa kepada Allah; 'Ya Allah, jadikanlah anakku seperti laki-laki itu! Namun kamu malah mengatakan; 'Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! Kemudian tadi, ketika ada beberapa orang menyeret dan memukuli seorang wanita sambil berkata; 'Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ' Tetapi kamu malah berkata; 'Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu! ' Mendengar pernyataan ibunya itu, sang bayi pun menjawab; 'Sesungguhnya laki-laki yang gagah itu seorang diktator hingga aku mengucapkan; 'Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ' Sementara wanita yang dituduh mencuri dan berzina itu tadi sebenarnya adalah seorang wanita yang shalihah, tidak pernah berzina, ataupun mencuri. Oleh karena itu, aku pun berdoa; 'Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu! '"
(HR. Muslim no. 2550)

Sementara bayi keempat tersebut dalam hadits Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu.

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ صُهَيْبٍ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِي طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرُ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتْ النَّاسَ فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمْ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيَ النَّاسُ فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَيْ بُنَيَّ أَنْتَ الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى فَإِنْ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ وَكَانَ الْغُلَامُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِيَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَاهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِي فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّي قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِي قَالَ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ فَجِيءَ بِالْغُلَامِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَيْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَعَا بِالْمِئْشَارِ فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِالْغُلَامِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَرَجَفَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَانْكَفَأَتْ بِهِمْ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي ثُمَّ ضَعْ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ ارْمِنِي فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي فَجَمَعَ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبْدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي صُدْغِهِ فِي مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ فَأُتِيَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ فَأَمَرَ بِالْأُخْدُودِ فِي أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتْ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ يَا أُمَّهْ اصْبِرِي فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ

Telah menceritakan kepada kami Haddaab bin Khaalid; Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah; Telah menceritakan kepada kami Tsaabit, dari 'Abdurrahman bin Abu Laila, dari Shuhaib mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda : 

"Dulu, sebelum kalian ada seorang raja, ia memiliki tukang sihir, saat tukang sihir sudah tua, ia berkata kepada rajanya: 'Aku sudah tua, kirimlah seorang pemuda kepadaku untuk aku ajari sihir.' Lalu seorang pemuda datang padanya, ia mengajarkan sihir kepada pemuda itu. (Jarak) antara tukang sihir dan si raja terdapat seorang rahib. Si pemuda itu mendatangi rahib dan mendengar kata-katanya, ia kagum akan kata-kata si rahib itu sehingga bila datang ke si penyihir pasti dipukul, Pemuda itu mengeluhkan hal itu kepada si rahib, ia berkata: 'Bila tukang sihir hendak memukulmu, katakan: 'Keluargaku menahanku, ' dan bila kau takut pada keluargamu, katakan: 'Si tukang sihir menahanku.' Saat seperti itu, pada suatu hari ia mendekati sebuah hewan yang besar yang menghalangi jalanan orang, ia berkata, 'Hari ini aku akan tahu, apakah tukang sihir lebih baik ataukah pendeta lebih baik.' Ia mengambil batu lalu berkata: 'Ya Allah, bila urusan si rahib lebih Engkau sukai dari pada tukang sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang bisa lewat.' Ia melemparkan batu itu dan membunuhnya, orang-orang pun bisa lewat. Ia memberitahukan hal itu kepada si rahib. Si rahib berkata: 'Anakku, saat ini engkau lebih baik dariku dan urusanmu telah sampai seperti yang aku lihat, engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan menunjukkan padaku.' Si pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta dan berbagai penyakit. Salah seorang teman raja yang buta lalu ia mendengarnya, ia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, ia berkata: 'Sembuhkan aku dan kau akan mendapatkan yang aku kumpulkan disini.' Pemuda itu berkata: 'Aku tidak menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah, bila kau beriman padaNya, aku akan berdoa kepadaNya agar menyembuhkanmu.' Teman si raja itu pun beriman lalu si pemuda itu berdoa kepada Allah lalu ia pun sembuh. Teman raja itu kemudian mendatangi raja lalu duduk didekatnya. Si raja berkata: 'Hai fulan, siapa yang menyembuhkan matamu? ' Orang itu menjawab: 'Rabbku.' Si raja berkata: 'Kau punya Rabb selainku? ' Orang itu berkata: 'Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.' Si raja menangkapnya lalu menyiksanya hingga ia menunjukkan pada pemuda itu lalu pemuda itu didatangkan, Raja berkata: 'Hai anakku, sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan kau melakukan ini dan itu.' Pemuda itu berkata: 'Bukan aku yang menyembuhkan, yang menyembuhkan hanya Allah.' Si raja menangkapnya dan terus menyiksanya ia menunjukkan kepada si rahib. Si raja mendatangi si rahib, rahib pun didatangkan lalu dikatakan padanya: 'Tinggalkan agamamu.' Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. Setelah itu teman si raja didatangkan dan dikatakan padanya: 'Tinggalkan agamamu.' Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. Setelah itu pemuda didatangkan lalu dikatakan padanya: 'Tinggalkan agamamu.' Pemuda itu tidak mau. Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: 'Bawalah dia ke gunung ini dan ini, bawalah ia naik, bila ia mau meninggalkan agamanya (biarkanlah dia) dan bila tidak mau, lemparkan dari atas gunung.' Mereka membawanya ke puncak gunung lalu pemuda itu berdoa: 'Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.' Ternyata gunung mengguncang mereka dan mereka semua jatuh. Pemuda itu kembali pulang hingga tiba dihadapan raja. Raja bertanya: 'Bagaimana kondisi kawan-kawanmu? ' Pemuda itu menjawab: 'Allah mencukupiku dari mereka.' Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: 'Bawalah dia ke sebuah perahu lalu kirim ke tengah laut, bila ia mau meninggalkan agamanya (bawalah dia pulang) dan bila ia tidak mau meninggalkannya, lemparkan dia.' Mereka membawanya ke tengah laut lalu pemuda itu berdoa: 'Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.' Ternyata perahunya terbalik dan mereka semua tenggelam. Pemuda itu pulang hingga tiba dihadapan raja, raja bertanya: Bagaimana keadaan teman-temanmu? ' Pemuda itu menjawab: 'Allah mencukupiku dari mereka.' Setelah itu ia berkata kepada raja: 'Kau tidak akan bisa membunuhku hingga kau mau melakukan yang aku perintahkan, ' Raja bertanya: 'Apa yang kau perintahkan? ' Pemuda itu berkata: 'Kumpulkan semua orang ditanah luas lalu saliblah aku diatas pelepah, ambillah anak panah dari sarung panahku lalu ucapkan: 'Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.' Bila kau melakukannya kau akan membunuhku.' Akhirnya raja itu melakukannya. Ia meletakkan anak panah ditengah-tengah panah lalu melesakkannya seraya berkata: 'Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.' Anak panah di lesakkan ke pelipis pemuda itu lalu pemuda meletakkan tangannya ditempat panah menancap kemudian mati. Orang-orang berkata: 'Kami beriman dengan Rabb pemuda itu.' 

Kemudian didatangkan kepada raja dan dikatakan padanya: 'Tahukah kamu akan sesuatu yang kau khawatirkan, demi Allah kini telah menimpamu. Orang-orang beriman seluruhnya.' Si raja kemudian memerintahkan membuat parit di jalanan kemudian disulut api. Raja berkata: 'Siapa pun yang tidak meninggalkan agamanya, pangganglah didalamnya.' Mereka melakukannya hingga datanglah seorang wanita bersama anaknya, sepertinya ia hendak mundur agar tidak terjatuh dalam kubangan api lalu si bayi itu berkata: 'Ibuku, bersabarlah, sesungguhnya engkau berada diatas kebenaran."
(HR. Muslim no. 3005)

Hadits Palsu Tentang Doa Pernikahan dari Nabi kepada Ali dan Fathimah


Kisah pernikahan antara Ali dengan Fathimah -radhiallahu 'anhuma- telah shahih dalam beberapa hadits. Hanya saja yang saya bahas di sini adalah status doa pernikahan yang masyhur di tengah-tengah masyarakat :

جمع الله شملكما ، وأعز جدكما ، وأطاب نسلكما  وجعل نسلكما مفاتيح الرحمة ومعادن الحكمة ، وأمن الأمة ، وبارك الله لكما ، وبارك فيكما ، وبارك عليكما ، وأسعدكما ، وأخرج منكما الكثير الطيب

“Semoga Allah mengumpulkan yang terserak dari kalian berdua, memuliakan usaha kalian, memperbaiki anak keturunan kalian, dan menjadikan anak keturunan kalian sebagai pembuka pintu-pintu rahmat, sumber hikmah, dan keamanan bagi umat. Semoga Allah memberkahi untuk kalian berdua, memberkahi kalian, memberkahi atas kalian, memberikan kebahagiaan kepada kalian, dan memberikan kepada kalian keturunan yang banyak lagi baik.”

Doa semisal di atas diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam At-Talkhish, Abu Al-Hasan Ali bin Syadzan -dan Ibnu Abdil Hadi [1] dari jalannya- dan Ibnu Asakir dari jalur Muhammad bin Nahar bin Abi Al-Mahyah dari Abdul Malik bin Khiyar putra paman Yahya bin Ma'in dari Muhammad bin Dinar dari Husyaim dari Yunus bin Ubaid dari Al-Hasan dari Anas dengan lafazh :

جمع الله شملكما وبارك عليكما  وأخرج منكما صالحا طايبا
زاد في رواية ابن شاذان: وجعل نسلكما مفاتيح الرحمة ومعادن الحكمة

“Semoga Allah mengumpulkan yang terserak dari kalian berdua, memberkahi atas kalian, dan mengeluarkan dari kalian berdua keturunan yang shalih lagi baik.”

Dalam riwayat Ibnu Syadzan ada tambahan, “Dan menjadikan anak keturunan kalian sebagai pembuka pintu-pintu rahmat dan sumber hikmah.”

Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Qani’ dan selainnya dari jalur Muhammad bin Dinar di atas dari Jabir bin Abdillah.

Ibnu Asakir berkata setelah meriwayatkannya, “Gharib (aneh), saya tidak mengetahuinya.”

Status riwayat :
Ini adalah riwayat yang palsu.

Telah dinyatakan palsu oleh Ibnu Al-Jauzi, As-Suyuthi, Asy-Syaukani [2], dan diikuti juga oleh Adz-Dzahabi. Sementara Ibnu Abdi Al-Hadi berkata, “Ini adalah hadits yang batil.”

Yang memalsukan riwayat ini adalah Muhammad bin Dinar, dan dia adalah Al-Aufi.

Ibnu Al-Jauzi berkata, “(Muhammad) Ibnu Dinar memalsukan hadits ini. Dia memalsukan jalur sanad yang pertama dari Anas dan juga memalsukan jalur sanad yang kedua dari Jabir.”

Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan -pada biografi Muhammad bin Dinar-, “Dia membawakan satu hadits yang dusta, kami tidak mengetahui siapa dia.”

Kemudian, selain sebab di atas, masih ada lagi beberapa sebab lain yang semakin menambah kelemahan riwayat di atas, yaitu :

Pertama : Ibnu Thahir berkata, “Muhammad bin Dinar. Dia meriwayatkan dari Haitsam[3] dari Yunus dari Al-Hasan dari Anas, tentang pernikahan Fathimah. Yang meriwayatkan darinya adalah perawi yang majhul.”
Dan yang beliau maksud majhul di sini adalah Abdul Malik bin Khiyar.

Kedua : Muhammad bin Nahar bin Abi Al-Mahyah -guru Ibnu Syadzan dalam sanad ini- adalah At-Taimi. Dia dinyatakan sebagai perawi yang dha’if oleh Ad-Daraquthni.

Ketiga : Ibnu Abdil Hadi berkata dalam Tanqih At-Tahqiq, “Ibnu Syadzan tidak pernah bertemu dengan Muhammad bin Nahar. Namun ada seorang perawi di antara keduanya; Mungkin Abu Bakr Asy-Syafi’i, atau Ibnu Abi Najih, atau perawi lainnya.”

Karenanya, sanad antara Ibnu Syadzan dengan gurunya Muhammad bin Nahar dihukumi terputus. Wallahu a’lam.

Referensi : 

Ash-Shawa`iq Al-Muhriqah: 2/419-420, Ithaf As-Sa`il bimaa li Fathimah min Al-Manaqib wa Al-Fadha`il hal. 48-49, dan Tanqih At-Tahqiq: 4/340 no. 2731.

Catatan kaki :

[1] Dalam Tanqih At-Tahqiq (4/340 no. 2731)
[2] Dalam Al-Fawaid Al-Majmuah (1/391 no. 119)
[3] Demikian yang tertulis, namun yang benarnya adalah ‘Husyaim’. Sebagaimana yang tersebut dalam sanad Ibnu Asakir dan Ibnu Abdi Al-Hadi. 
___________________________________________________

Doa Pernikahan Untuk Pengantin yang Shahih

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ قَالَ مَا هَذَا قَالَ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Hammaad ia adalah Ibnu Zaid, dari Tsaabit, dari Anas radhiallahu 'anhu, 

"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat bekas Shufr pada 'Abdurrahman bin 'Auf, maka beliau pun bertanya: "Apa ini?" ia menjawab, "Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita dengan mahar Wazn Nawat dari emas." Beliau bersabda : 

بَارَكَ اللَّهُ لَك

"Semoga Allah memberkahimu."

Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing."
(HR. Bukhari no. 5155)

حَدَّثَنَا فَرْوَةُ بْنُ أَبِي الْمَغْرَاءِ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَتْنِي أُمِّي فَأَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ

Telah menceritakan kepada kami Farwah bin Abu Al Maghraa`; Telah menceritakan kepada kami 'Aliy bin Mushir, dari Hisyaam, dari Bapaknya, dari 'Aisyah radhiallahu 'anha, Ia berkata :

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku, lalu ibuku pun mendatangiku dan memasukkanku ke dalam rumah, ternyata di dalam ada beberapa kaum wanita dari Anshar. Mereka mendo'akan kebaikan dan keberkahan dan semoga selalu berada di atas kebaikan selamanya."
(HR. Bukhari no. 5156)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziiz bin Muhammad, dari Suhail bin Abu Shaalih, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah,

"Bahwa jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendo'akan orang yang baru menikah beliau membaca : 

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ

BARAKALLAH LAKA WA BARAKA 'ALAIKA WA JAMA'A BAINAKUMA FIL KHAIR

Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan keberkahan atas pernikahan kamu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan." 

(Abu 'Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari 'Aqiil bin Abu Thaalib." Abu 'Iisa berkata; "Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan shahih."
(HR. Tirmidzi no. 1091)

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَشْعَثَ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ
تَزَوَّجَ عَقِيلُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ امْرَأَةً مِنْ بَنِي جَثْمٍ فَقِيلَ لَهُ بِالرِّفَاءِ وَالْبَنِينَ قَالَ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ وَبَارَكَ لَكُمْ

Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Aliy dan Muhammad bin 'Abdul A'la mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Khaalid, dari Asy'ats, dari Al Hasan, ia berkata :

"'Aqiil bin Abi Thaalib menikahi seorang wanita dari Bani Jatsm. Kemudian ia diberi ucapan selamat; semoga senantiasa berkumpul dan banyak anak. Maka ia mengatakan; katakanlah sebagaimana yang dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : 

بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ وَبَارَكَ لَكُمْ

BAARAKALLAAHU FIIKUM WA BAARAKA LAKUM 

"Semoga Allah memberi berkah pada kalian dan melipatgandakan keberkahan bagi kalian."
(HR. Nasa'i no. 3371)

بَارَكَ اللَّهُ فِيْك