Oleh : Ustadz Maulana La Eda, Lc. MA
Tulisan ini hadir untuk lebih mendalami mana sih yang lebih sunnah antara merenggangkan dan merapatkan kedua kaki saat sujud ?
Sebelum mengkaji lebih jauh ada baiknya penulis menukil pernyataan dua ulama kontemporer yang juga berbeda pendapat dalam masalah ini.
1. Pernyataan Syaikh Al-Albani rahimahullah
Dalam kitab Ashli Shifah Shalaah An-Nabi shallallahu’alaihi wasallam (2/736), ketika beliau menjelaskan tentang tatacara sujud dan sampai pada pembahasan ini, beliau berkata : “Dan beliau shallallahu’alaihi wasallam (dalam sujud) merapatkan kedua tumitnya”. Dalam catatan kaki, beliau menyertakan takhrij hadits “merapatkan kedua tumit ini” dengan berkata : “Dalilnya berasal dari hadits 'Aisyah radhiyallahu’anha yang berkata :
فقدت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وكان معي على فراشي-؛ فوجدته ساجداً، راصّاً عقبيه ،مستقبلاً بأطراف أصابعه القبلة، … الخ.
“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam (padahal awalnya beliau bersama saya di tempat tidur)… ternyata (setelah mencarinya dalam gelap), saya mendapatinya sedang sujud (dalam shalat), sambil merapatkan kedua tumitnya, dan menghadapkan ujung-ujung jari kakinya ke kiblat…”.
Lalu beliau menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (1/30), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no,654), Al-Hakim dalam Mustadrak (1/228), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (2/116) semuanya dari jalur Sa'id bin Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari ‘Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu An-Nadhr, dari ‘Urwah, dari 'Aisyah radhiyallahu’anha. Beliau lantas menilai hadits ini shahih sesuai dengan syarat keshahihan menurut Muslim. Dan hadits ini dinilai shahih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis (3/475).
Tambahan Penulis : Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 1933), dari jalur Sa'id bin Abi Maryam, dengan sanad di atas.
2. Pernyataan Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam acara Nur ‘Ala Ad-Darb ditanya: Bagaimanakah cara menempatkan kedua kaki ketika sujud, apakah keduanya dirapatkan atau direnggangkan ?
Beliau menjawab :
“Keduanya direnggangkan, yang sunnah merenggangkan kedua kaki. Sebagaimana ia merenggangkan kedua tangan ketika sujud, maka harusnya ia juga merenggangkan kedua kakinya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau : sujud (dalam shalat), sambil merapatkan kedua tumitnya, dan menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat…”. Maka lafazh hadits ini lemah, yang benar adalah bahwa hadits ini (lafazh : sambil merapatkan kedua tumitnya-pent) adalah syaadz : menyelisihi hadits-hadits shahih (yang sepertinya tapi tanpa lafazh ini). Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan sekelompok penyusun kitab hadits, akan tetapi yang mahfuzh (benar) adalah Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menegakkan kedua kakinya ketika sujud, dan masing-masing kakinya tegak secara terpisah (tidak dirapatkan)”.
[Fataawa Nur Ala Al-Darb, 8/294]
Dari dua pernyataan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa titik perbedaan keduanya adalah sebagai berikut :
Yang berpendapat sunnahnya merapatkan kedua kaki; berhujjah dengan hadits di atas yang lengkap dengan lafazh: ”sambil merapatkan kedua tumitnya…”. Bahwa tambahan lafazh ini adalah shahih.
Hadits ini diriwayatkan dari jalur yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di atas, dan beliau menilainya sesuai dengan syarat keshahihan Shahih Imam Muslim. Bahkan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/228) menyatakan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat keshahihan dalam kitab Shahihain (Bukhari Muslim) namun mereka berdua tidak meriwayatkannya dengan lafazh ini, dan saya tidak mengetahui seorang rawi pun yang menyebutkan tambahan lafazh “merapatkan kedua tumit” dalam sujud kecuali dalam hadits ini saja”.
Komentar Al-Hakim ini bisa diklasifikasikan dalam dua bagian :
Pertama : Komentarnya bahwa hadits ini sesuai dengan syarat Shahihain adalah tidak benar, karena salah seorang rawi yang bernama 'Umarah bin Ghaziyyah -sebagaimana dalam sanad hadits di atas- bukan merupakan rawi dalam Shahih Bukhari. Sebab itu Syaikh Al-Albani rahimahullah menilai hadits ini hanya sesuai dengan syarat Muslim saja.
Kedua : Komentar beliau bahwa tambahan lafazh “merapatkan kedua tumit” hanya ada dalam hadits dengan jalur ini, dan tidak ada dalam hadits-hadits dari jalur lain, tidak mengisyaratkan bahwa ziyaadah/tambahan lafazh ini syaadz karena sanadnya hasan/shahih. Namun, bagi yang tidak sependapat menjadikan komentar ini sebagai hujjah kuat untuk meruntuhkan shahihnya tambahan lafazh ini, karena dalam jalur-jalur lain tidak pernah satupun menyebutkan ziyaadah/tambahan ini, sebagaimana dalam pembahasan selanjutnya.
Atas shahihnya tambahan lafazh ini, maka sebagian ulama berpendapat harus merapatkan tumit tatkala sujud, diantaranya: Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no. 654), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (2/116), dan Ibnul-Mundzir dalam Al-Awsath (3/172), semuanya meletakkan hadits ini dalam Bab: merapatkan kedua tumit dalam sujud. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat seperti selain Syaikh Al-Albani adalah Syaikh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah sebagaimana dalam kitabnya Asy-Syarh Al-Mumti’ (3/121-122).
Adapun yang berpendapat sebaliknya: maka berhujjah bahwa ziyaadah/tambahan lafazb tersebut: syaadz/dhaif karena menyelisihi hadits-hadits dari jalur lain yang tanpa ada tambahan lafazh tersebut.
Ini merupakan Madzhab Syafi'i sebagaimana disebutkan Imam Syafi’iyah dalam Al-Umm (1/137) dan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (3/341) dan Raudhah Ath-Thalibin (1/259), juga Madzhab Hanabilah sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/374), dan Imam Ibnu Muflih dalam Al-Mubdi’ Fi Syarh Al-Muqni’ (1/401) dan (1/404), juga Madzhab Imam Asy-Syaukani dalam Nail Al-Awthar (2/297) dan Syaikh Ibnu Baaz sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam Madzhab Syafi’iyah, disebutkan dalam Raudhah (1/359) bahwa jarak antara kedua kaki adalah sejengkal.
Oleh karenanya, untuk menentukan mana yang benar maka kita harus mengkaji apakah tambahan lafazh di atas shahih ataupun tidak.
Takhrij Hadits dari Berbagai Jalur dan Lafazhnya :
Hadits di atas diriwayatkan dari beberapa jalur :
1- Jalur Yahya bin Sa'id, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari 'Aisyah.
[HR. Malik dalam Al-Muwatha' (no. 150), Tirmidzi dalam Jami’ (no. 3493), Nasa'i dalam Sunan Sughra (2/222)]
2- Jalur 'Abdurrahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari 'Aisyah.
[HR. Muslim dalam Shahih (2/51), Ahmad dalam Musnad (6/201), Abu Dawud dalam Sunan (no. 879), Nasa'i dalam Sunan Sughra (2/210), Ibnu Majah (no. 3841), dan Ibnu Khuzaimah (no. 655)]
3- Jalur Ibnu Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari 'Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu Al-Nadhr, dari 'Urwah bin Zubair, dari 'Aisyah.
[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih (no. 654), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 1933), Al-Hakim dalam Mustadrak (1/228), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (2/116)].
INI ADALAH SATU-SATUNYA JALUR DENGAN TAMBAHAN LAFAZH “merapatkan kedua tumitnya” sebagaimana disebutkan sebelumnya.
4- Hisyam bin 'Urwah, dari 'Urwah dari 'Aisyah.
[HR. Baihaqi dalam Khilafiyyat (no. 495)]
5- Jalur Masruq dari 'Aisyah.
[HR. Nasa'i dalam Sughra (8/283)]
6- Jalur Ibnu Abi Mulaikah dari 'Aisyah.
[HR. Muslim dalam Shahih (2/51), Ahmad (6/151), Nasa'i dalam Sughra (2/223), dan Abu Awanah dalam Mustakhraj (1/489)]
7- Jalur Amrah, dari 'Aisyah.
[HR. Daruquthni (no. 35) dan Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani (1/234)]
8- Jalur Hilal bin Yasaaf dari 'Aisyah.
[HR. Ahmad dalam Musnad (6/147) dan Nasa'i dalam Sunan (2/220)]
9- Shalih bin Sa'id, dari 'Aisyah.
[HR. Ahmad dalam Musnad (6/209)]
Dari semua jalur periwayatan ini, tidak ada yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam merapatkan kedua tumitnya atau kakinya, kecuali riwayat Sa'id bin Abi Maryam, dari Yahya bin Ayyub, dari 'Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu An-Nadhr, dari 'Urwah bin Zubair, dari 'Aisyah, sebagaimana dalam jalur no. 3 di atas.
Kesimpulannya, hanya pada jalur ini saja (riwayat 'Urwah dari 'Aisyah) yang menyebutkan tambahan lafazh ini, adapun riwayat lain, seperti : Muhammad bin Ibrahim At-Taimi (lihat no. 1), Abdurrahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah (no. 2), Masruq (no. 5), Ibnu Abi Mulaikah (no. 6), Amrah (no. 7), Hilal bin Yasaaf (no. 8), dan Shalih bin Sa'id (no. 9). Tujuh rawi dari 'Aisyah ini meriwayatkan dari 'Aisyah tanpa tambahan lafazh (merapatkan kedua tumitnya atau kakinya).
Namun, ternyata murid-murid 'Urwah sendiri tidak sama persis meriwayatkan lafazh tambahan ini dari 'Urwah. Sebab ini hanya ada dalam riwayat 'Umarah bin Ghaziyyah, dari Abu An-Nadhr, dari 'Urwah bin Zubair, dari 'Aisyah. Buktinya, Hisyam bin 'Urwah, meriwayatkan dari ayahnya 'Urwah, dari 'Aisyah tanpa tambahan lafazh (merapatkan kedua tumitnya atau kakinya). (lihat jalur no. 4 di atas).
Pembahasan; Apakah Tambahan Lafazh ini Shahih dari Riwayat 'Urwah, atau Tidak ?
Pembahasan sanad Hisyam bin 'Urwah :
Dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin Abi Karimah, yang merupakan murid Hisyam bin 'Urwah. Penulis tidak mendapatkan komentar yang banyak dari para ulama Jarh wa Ta’dil tentangnya kecuali dari Abu Hatim dan Ibnu Adi :
Komentar Abu Hatim: Haditsnya dhaif.
[Al-Jarh wa Ta’dil (4/138)]
Komentar Ibnu Adi: Kebanyakan haditsnya munkar.
[Al-Kaamil (4/250)]
Ini menunjukkan bahwa Jalur sanad dari Hisyam bin 'Urwah ini dhaif karena di dalamnya terdapat Sulaiman bin Abi Karimah yang dinilai dhaif.
Pembahasan Sanad Abu An-Nadhr :
Dalam sanadnya terdapat rawi yang diperselisihkan oleh ulama yaitu Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi Al-Mishri. Berikut komentar para ulama :
Komentar yang menilainya tsiqah :
- Ibnu Adi: Shaduq La Ba’sa bihi (derajatnya Shaduq).
[Al-Kaamil (9/59)]
- Bukhari, Al-Fasawi, dan Ibnu Ma'in: Tsiqah. [Tarikh Darimi, Tarikh Kabir (2919), Al-Ma’rifah wa Tarikh, 2/449), dan (719), Al-Jarh wa Ta’dil (9/128)]
- Ibnu Ma'in dan Abu Dawud juga berkata: Shalih.
[Al-Jarh (9/128), Tahdzib Al-Kamal (31/236)
- Al-Tirmidzi: Shaduq.
[Al-‘Ilal Al-Kabir (hal. 117)]
- Juga dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban
[Ats-Tsiqat (7/600), dan Al-‘Ijliy (Ats-tsiqat: hal. 468)]
Komentar yang menilainya dhaif/mendekati :
- Nasa'i: Laisa bil Qawiy (Tidak kuat hafalannya/dhaif).
[Al-Dhu’afaa’ (626)]
- Ibnu Sa’ad: Munkarul Hadits (Haditsnya Munkar).
[Ath-Thabaqaat (7/357)]
- Ibnul-Qaththan: Laa Yuhtajju bihi (Tidak bisa dijadikan sebagai hujjah).
[Bayaan Al-wahm (4/69)]
- Abu Hatim: Yuktabu Haditsuhu wa laa yuhtajju bihi (Haditsnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya,, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya tafarrud/sendiri dalam meriwayatkan hadits).
[Al-Jarh Wa Al-Ta’dil (9/128)]
- Imam Ahmad: Yukhthiu Khathaan Katsiiran (Memiliki kesalahan yang banyak dalam riwayatnya).
[Al-‘Ilal (2/131)]
- Daruquthni: Fi Ba’dhi Hadiitsihi Idhthirab (Dalam haditsnya terdapat banyak kontradiksi).
[As-Sunan (1/68)]
- Ibnu Hazm: Saaqith (Artinya: Jatuh sisi tsiqahnya dan tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, atau sama dengan: dhaif jiddan).
[Al-Muhalla (4/180)]
- Abu Ahmad: Kalau ia meriwayatkan hadits dari hafalannya maka ia banyak salah, bila dari kitabnya maka: laisa bihi ba’sun.
[At-Tahdzib (11/187)]
Banyak ulama yang menilainya dhaif seperti Al-Uqailiy [Adh-Dhu’afaa’, 4/391], Ibnul-Jauzi [Adh-Dhu’afaa’, 3/191], Adz Dzahabi [Al-Mughni, 2/731] dan Ibnul-Qayyim [Zaad Al-Ma’aad 5/683] dan selain mereka, bahkan Al-Uqailiy, Ibnu Hazm dan Ibnul-Qayyim menukil bahwa Imam Malik mengomentarinya: “Kadzaab”.
[Adh-Dhu’afaa’ (4/391), Al-Muhalla (6/124) dan Zaad Al-Ma’aad (5/683)]
- Ibnu Hajar; Shaduuq Rubbama Akh’thaa.
[At-Taqrib (7511)]
Lihat juga : Tahdziib Al-Kamaal (31/233) dan At-Tahdzib (11/186 dan halaman setelahnya).
Dari komentar para ulama ini dapat disimpulkan bahwa Hujjah yang menilainya dhaif adalah kelemahan hafalannya, sebab itu Abu Ahmad menyatakan bahwa bila ia meriwayatkan dari hafalannya maka salah, bila dari kitabnya maka laisa bihi ba’sun. Bila rawi seperti ini sifat hafalannya maka hukumnya adalah sebagaimana dalam ucapan Abu Hatim: yuktabu hadiistuhu wa laa yuhtajju bihi. (Haditsnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya tafarrud/sendiri dalam meriwayatkan hadits).
Komentar penilaian dhaif ini begitu terperinci, dan begitu jelas penafsiran, dan penjelasan dhaifnya. Sedangkan para ulama yang menilainya tsiqah/shaduq: tidak memberikan penjelasan rinci akan sebab tsiqah/shaduq-nya.
Dan dalam kaidah Jarh wa Ta’dil adalah “Al-Jarh Al-Mufassar Muqaddamun ‘Alaa At-Ta’diil Al-Mubham” (Jarh/penilaian dhaif yang terperinci dengan sebab-sebabnya, lebih dikedepankan daripada Ta’dil/penilaian tsiqah-shaduq yang tanpa penyebutan sebab-sebabnya).
[Lihat Dhawabith Al-Jarh wa At-Ta’dil (hal. 58- 62)]
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Setiap rawi yang ‘adalah/sisi tsiqahnya telah jelas, maka jarh/penilaian dhaif atasnya tidaklah diterima kecuali harus dengan penjelasan yang gamblang akan sebab-sebabnya yang mana hal tersebut tidak bermakna kecuali memang sisi jarh/penilaian dhaifnya”.
[At-Tahdzib (7/273)]
Dan ini pula ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam halaman yang sama dalam kitabnya At-Tahdzib.
Dalam sanad ini; rawi Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi telah dinilai tsiqah atau shaduq oleh beberapa ulama tanpa ada penjelasan terperinci akan sebab tsiqahnya, lalu datang dari ulama lain bahkan lebih banyak, menilai bahwa ia dhaif dari segi hafalannya, dengan menjelaskan sebab dhaifnya secara terperinci dan gamblang, sehingga penilaian jarh ini harus diterima dan lebih dikedepankan dalam hukum rawi ini, sebagaimana ucapan Imam Ahmad dan Ibnu Hajar.
Jadi yang rajih dan benar dari derajat Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi ini adalah,
Haditsnya ditulis, dan dijadikan penguat, dan bisa dikuatkan bila ada jalur lain yang menopangnya, akan tetapi ia tidak dijadikan hujjah bila hanya sendiri dalam meriwayatkan hadits.
Kesimpulan :
Tambahan lafazh (merapatkan kedua tumitnya dalam sujud) adalah ziyaadah syaadzah/tambahan yang tidak shahih, sebagaimana disinggung oleh Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah di atas dengan beberapa sebab :
1. Riwayat Abu An-Nadhr dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ayyub yang tidak bisa dijadikan dalil bila meriwayatkan hadits secara tafarrud/sendiri, apalagi sampai menyelisihi rawi-rawi atau riwayat-riwayat yang lain.
Bahkan, apabila kita menilai bahwa Yahya bin Ayyub ini tsiqah/shaduq (sebagaimana pernyataan Al-Hakim dan Al-Albani bahwa sanadnya sesuai dengan syarat Muslim), maka sangat diyakini bahwa tambahan lafazh tersebut berasal darinya (karena kelemahan hafalannya) sehingga meriwayatkan hadits ini dengan makna, yang akhirnya terjatuh dalam kesalahan menambahkan lafazh tersebut. Dan kita telah ketahui bahwa ia memiliki sisi hafalan yang dhaif.
2. Bahkan andai sanad ini shahih dari riwayat 'Urwah, dan kita tetap ngotot bahwa Yahya bin Ayyub ini tsiqah atau shaduq, maka ziyaadah/tambahan lafazh tersebut tetap dinilai dhaif, karena para rawi dari 'Aisyah yang banyak sekali yaitu sekitar tujuh rawi tidak menyebutkan tambahan lafazh ini, padahal mereka adalah para ulama ahli hadits yang sangat tsiqah dan kuat hafalannya serta diantara mereka merupakan murid yang dekat sekali dengan 'Aisyah. Ini menunjukkan bahwa pasti ada rawi setelah 'Urwah yang menambahkan lafazh ini, karena kesalahan hafalan atau lainnya. Wallaahu a’lam.
Nah, dengan kesimpulan ini, maka kita bisa merajihkan bahwa pendapat yang benar adalah tambahan lafazh ini tidak shahih, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Sehingga yang benar dalam posisi kaki ketika sujud adalah tetap direnggangkan. Wallaahu a’lam.
Dalil Lain yang Dijadikan Sebagai Penguat Pendapat Ini :
HR. Abu Dawud dalam Sunannya (no. 735) dari Abi Humaid dengan sanad shahih bahwa :
إذا سجد فرج بين فخذيه غير حامل بطنه على شيء من فخذيه
“Apabila beliau shallallahu’alaihi wasallam sujud maka beliau menjauhkan antara kedua pahanya, tidak menempelkan perutnya pada pahanya”.
Dalam Syarah Hadits ini, Imam Asy-Syaukani menyatakan: lafazh “beliau menjauhkan antara kedua pahanya” artinya adalah menjauhkan kedua paha, kedua lutut, dan kedua kakinya”.
[Nail Al-Awthar (2/297)]
Tambahan :
Sebagian ulama yang berpendapat sunnahnya merapatkan kedua kaki juga berpendapat dengan lafazh lain dari hadits ini yaitu dalam Jalur Abdurrahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari 'Aisyah: HR Muslim dalam Shahih (2/51), dengan redaksi :
فقدت رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة من الفراش فالتمسته فوقعت يدي على بطن قدميه وهو في المسجد -وفي رواية: وهو ساجد- وهما منصوبتان…
“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam di tempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan”.
Dari lafazh hadits ini sebagian ulama menyatakan bahwa tidak mungkin satu tangan 'Aisyah menyentuh dua kaki Nabi yang masih sedang sujud, kecuali kaki beliau sedang dirapatkan. Dan ini merupakan dalil sunnahnya merapatkan dua tumit atau dua kaki ketika sujud.
Menjawab pernyataan sebagian ulama ini, Syaikh Ath-Tharifi dalam kitabnya Shifat Shalat Nabi (hal. 132-133) menyatakan :
“Ucapan 'Aisyah bahwa tangannya menyentuh kedua kaki beliau shallallahu’alaihi wasallam, tidak menunjukkan bahwa kedua kaki beliau dirapatkan ketika sujud, bahkan kemungkinan besar redaksi hadits yang ada dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (yang ada tambahan lafazh “merapatkan kedua tumitnya”) adalah yang dipahami sebagian rawi dari hadits ini (lafazh : menyentuh dua kaki beliau), sehingga iapun meriwayatkannya dengan pemahamannya tersebut (yaitu dengan mengganti redaksinya menjadi “beliau merapatkan kedua tumitnya”).
Redaksi hadits (hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya) dari riwayat -Aisyah, tidaklah bisa dijadikan sebagai dalil (bahwa beliau merapatkan dua kakinya) karena beberapa alasan :
Pertama : Bahwa 'Aisyah menyebutkan redaksinya dalam bentuk berlebihan, artinya bahwa ketika ia menyentuh satu kaki beliau, maka otomatis kaki beliau yang lain ada di sebelahnya, walaupun ia tak menyentuhnya. Namun untuk lebih memberikan keyakinan, ia mengucapkannya “menyentuh dua kaki”, bukan “satu kaki’. Hal ini merupakan hal biasa (dalam ungkapan bahasa arab).
Kedua : Bisa saja satu tangan, menyentuh langsung kedua kaki, walaupun kaki tersebut tidak dirapatkan satu sama lainnya, seperti ujung telapak tangan menyentuh kaki kanan, sedangkan ujung tangan lainnya/pangkal telapak tangan menyentuh kaki kiri, sehingga dibahasakan: Tanganku menyentuh kedua kakinya.
Sebab itu, yang lebih benar sesuai sunnah adalah kedua kaki sesuai kebiasaannya dalam sujud, tanpa harus sengaja berlebihan dalam merenggangkan, dan tanpa sengaja dalam merapatkan”.
Pernyataan beliau ini begitu jelas bahwa redaksi/lafazh (hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya) memiliki beberapa kemungkinan yaitu bisa saja kakinya disatukan/dirapatkan dan bisa saja dipisahkan/direnggangkan. Karena keduanya sama-sama bisa dijadikan kesimpulan dari redaksi hadits ini, maka sisi pendalilan dari redaksi ini dibatalkan dan tidak shahih, sebab kaidah fiqh menyatakan: “Maa Tathorraqa Ilaihi Al-Ihtimaal Bathula Bihi Al-Isidlaal” (Jika suatu dalil memiliki kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dalam bentuk pendalilannya, maka pendalilan dengan dalil tersebut batal/tidak shahih). Jadi dengan demikian, kita kembali ke hal semula, bahwa kaki tetap direnggangkan dengan memperhatikan ucapan Syaikh Ath-Tharifi, yaitu tanpa sengaja merenggangkan secara lebar, dan tanpa berlebihan merapatkannya, namun harus pada pertengahan, dan tanpa harus adanya takalluf/membebani kaki dalam melakukannya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar