Oleh : Ustadz Ginanjar Nugraha
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang telah ditentukan rukun dan syaratnya oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu dituntut untuk sesuai dengan kaifiyat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Malik bin Al-Khuwairits :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat."
(HR. Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 1/129)
Dalam menentukan kaifiyat shalat yang sesuai dengan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama aspek kekuatan dalil harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yaitu shahih atau hasan. Seandainya dhaif, maka dalil tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Kedua, aspek penunjukan dilalah harus menunjukan secara jelas dan pasti apa yang dimaksud (sharih) yaitu tidak mengandung berbagai kemungkinan penunjukan yang lain atau ihtimalat.
Dengan demikian jika hadits itu shahih tapi tidak sharih atau mengandung ihtimalah, maka tidak dapat dijadikan hujjah, begitu pula sebaliknya jika haditsnya sharih (tidak ihtimalat) namun haditsnya dhaif, maka tidak dapat dijadikan hujjah pula.
Terkait dengan kaifiyat sujud ada segolongan ulama yang mensyariatkan posisi kaki dirapatkan ketika sujud dengan argumentasi, pertama dari sahabat 'Aisyah radhiyallahu'anha.
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“Saya kehilangan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada suatu malam di tempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan.”
(HR. Muslim, Shahih Muslim, 2/51)
Dalam hadits tersebut, kalimat “maka aku memegang kedua telapak kakinya” secara zhahir menunjukkan posisi kedua kaki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah keadaan dirapatkan. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan kalimat “kedua kakinya tersebut ditegakkan” semakin jelas menunjukan bahwa kaki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam keduanya ditegakkan dalam keadaan rapat, sehingga memungkinkan dijangkau oleh 'Aisyah radhiyallahu'anha.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah pula :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ :« أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِى عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ
“Aku mencari-cari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelumnya beliau bersamaku di ranjangku, ternyata aku dapati beliau dalam keadaan bersujud dengan menempelkan kedua tumitnya sementara ujung jari jemari kakinya dihadapkan ke arah kiblat. Aku mendengar beliau membaca, “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari siksa-Mu, dengan-Mu (aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua apa yang ada pada-Mu.”
(HR. Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, 2/116)
Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Ibn Khuzaimah (Shahih Ibn Khuzaimah 1/328), Ath-Thahawi (Syarah Musykil Al-Atsar 1/104), Ibn Al-Mundzir (Al-Ausath 3/172) dan Al-Hakim (Al-Mustadrak, 1/228).
Wajhul istidlalnya kalimat :
فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
“Aku dapati beliau dalam keadaan bersujud dengan menempelkan kedua tumitnya sementara ujung jari jemari kakinya dihadapkan ke arah kiblat.”
Menunjukkan secara sharih bahwa hadits Rasul merapatkan atau menempelkan satu sama lain telapak kakinya ketika sujud. Diantara ulama kontemporer yang berpendapat dirapatkan diantaranya Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Utsaimin.
Menurut pandangan kami kedua hadits di atas tidak dapat dijadikan hujjah dirapatkannya kaki ketika sujud, alasannya sebagai berikut,
Pertama wajhul istidlal :
فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ
“Maka aku memegang kedua telapak kakinya.”
Kalimat di atas tidak menunjukan secara pasti bahwa kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dipastikan dirapatkan, tapi masih ihtimalat atau mengandung kemungkinan kesimpulan yang lain. Semata 'Aisyah memegang kedua kaki Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memastikan keduanya dirapatkan. Begitu juga dengan kalimat,
وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“Kedua kakinya tersebut ditegakkan.”
Tidak menunjukan bahwa ketika kedua kaki ditegakkan, dipastikan dirapatkan.
Kedua wajhul istidlal tersebut dilalahnya masih ihtimal, maka tidak dapat dijadikan hujjah. Sesuai dengan kaidah,
مع الاحتمال يسقط الإستدلال
"Bersamaan dengan adanya ihtimal maka gugurlah istidlal."
(Ta’sis Al-Ahkam, 2/80)
Sedangkan dalil yang kedua, walaupun diriwayatkan oleh banyak mukharrij, namun sanadnya bermuara pada rawi yang bernama Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi. Para ulama terbagi menjadi dua,
Pertama yang menta’dil atau mentsiqahkan;
- Imam Abu Dawud “Laisa bihi Ba’tsun”
- Yahya bin Ma’in “Shalih” pada kesempatan lain “tsiqah”
- Ibn Hibban memasukannya dalam kitab Ats-Tsiqat.
Kedua, ulama yang menjarh diantaranya;
- Imam Ahmad, “Sayyi’ Al-Hifdzi”,
- Abu Hatim “mahallu Yahya as-sidqu, yuktabu haditsuhu wa la yuhtajju bihi”,
- Imam Nasa’I “laisa bi al-Qawwi”
(Tahdzib Al-Kamal, 31/236)
Jika dianalisis, maka ta’dil masih mujmal atau ghair mufassar.
Disamping itu, lafazh ta’dil atau tautsiq tersebut dapat ditempatkan pada aspek ‘adalah saja, bukan dari aspek hafalan. Sedangkan yang menjarh, tidak mempermasalahkan keadilan rawi, tapi pada aspek hafalan. Disamping lafazh jarh termasuk jarh mufassar karena tertuju langsung pada hafalan-hafalan Yahya. Sesuai dengan kaidah jarh yang mufassar didahulukan dari pada ta’dil mujmal.
Karena itu Imam Abu Hatim sangat tepat memasukkan Yahya sebagai orang yang dicatat haditsnya, namun tidak dijadikan hujjah. Artinya jika tafarrud, maka haditsnya dhaif, namun jika ada mutaba’ah, maka haditsnya dapat naik menjadi hasan. Sedangkan hadits Yahya tidak ditemukan riwayat penguat, adapun hadits Aisyah dalam riwayat Muslim, tidak dapat menaikkan status hadits Yahya, karena dilalahnya berbeda. Sehingga status hadits Yahya adalah dhaif. Kesimpulannya walaupun dilalahnya sharih, namun hadits bermasalah dari segi kekuatan dalil, sehingga tetap tidak dapat dijadikan hujjah.
Jika hadits telapak kaki dirapatkan lemah, maka kaifiyat yang lebih tepat adalah direnggangkan dengan dalil-dalil dan qarinah sebagai berikut :
Pertama hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Humaid,
وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ
"Dan apabila beliau sujud, maka merenggangkan tanpa membebankan perutnya pada pahanya sedikitpun."
(HR. Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, 2/115)
Dalam hadits di atas, beliau merenggangkan pahanya. Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ungkapan ‘merenggangkan kedua pahanya’ maksudnya adalah merenggangkan antara kedua pahanya, kedua lututnya dan kedua telapak kakinya.” Para ulama dalam madzhab Syafi'i berkata, ‘Merenggangkan antara kedua telapak kaki seukuran sejengkal.” (Nailul Authar, 2/297) Walaupun hadits inipun ihtimal, namun secara tahqiq posisi kaki lebih dekat direnggangkan sebagaimana paha daripada dirapatkan.
Kedua, kesaksian Abdurrahman seorang tabi’in yang shalat di belakang 18 sahabat,
عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ
“Dari ‘Uyainah bin 'Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini."
(HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/109)
Ketiga, hadits dari Rifa’ah bin Rafi,
ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا
"Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya)."
(HR. Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, 2/100)
Keempat, hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi,
وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ
"Dan beliau menghadapkan jari-jari kedua kakinya kearah kiblat."
(HR. Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 1/165)
Posisi sebelum sujud adalah qiyam I’tidal. Sedangkan dalam posisi qiyam I’tidal disyariatkan untuk merenggangkan kaki, bukan merapatkannya. Begitu pula dalam posisi sujud kita diperintahkan untuk meluruskan sujudnya, tentu saja maksudnya posisi kaki direnggangkan sehingga sejajar dengan bahu, sebagaimana I’tidal dalam qiyam shalat, bukan dengan cara dirapatkan. Disamping itu, dalam hadits Abu Humaid As-Sa’idi disyariatkan untuk menghadapkan jari-jari kaki ketika sujud ke arah kiblat, maka yang paling memungkinkan adalah dengan cara merenggang kaki bukan dengan cara dirapatkan. Karena itu hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan berbagai qarinah di atas, sebagai tahqiq ihtimal bahwa posisi kaki Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam waktu itu adalah direnggangkan bukan dirapatkan.
Dengan demikian kesimpulannya :
Pertama, hadits yang dijadikan dalil sharih merapatkan telapak kaki ketika sujud haditsnya dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Kedua, hadits Aisyah yang shahih tidak dapat dijadikan dalil merapatkan telapak kaki, karena masih ihtimal antara merapatkan dan tidak.
Ketiga, tahqiq ihtimalnya adalah direnggangkan bukan dirapatkan berdasarkan qarinah hadits-hadits lain.
Keempat, kaifiyat posisi telapak kaki ketika sujud adalah direnggangkan, bukan dirapatkan.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar