Sebagian kalangan berhujjah dengan kisah Al-‘Utbiy untuk melegalkan amalan tawassul mereka di kuburan orang (yang dianggap) shaalih. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya membawakan kisah tersebut sebagai berikut :
وقد ذكر جماعة منهم: الشيخ أبو نصر بن الصباغ في كتابه “الشامل” الحكاية المشهورة عن العُتْبي، قال: كنت جالسا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء أعرابي فقال: السلام عليك يا رسول الله، سمعت الله يقول: { وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا } وقد جئتك مستغفرا لذنبي مستشفعا بك إلى ربي ثم أنشأ يقول :
يا خيرَ من دُفنَت بالقاع أعظُمُه … فطاب منْ طيبهنّ القاعُ والأكَمُ …
نَفْسي الفداءُ لقبرٍ أنت ساكنُه … فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ …
ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم فقال: يا عُتْبى، الحقْ الأعرابيّ فبشره أن الله قد غفر له
Dan telah disebutkan oleh sekelompok ulama, diantaranya : Asy-Syaikh Abu Nashr bin Ash-Shabbaagh dalam kitabnya Asy-Syaamil sebuah hikayat yang masyhur dari Al-‘Utbiy. Ia (Al-‘Utbiy) berkata :
“Aku pernah duduk di sisi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah seorang Arab baduwi yang berkata : ‘Assalaamu ‘alaika yaa Rasuulallaah (salam sejahtera bagimu wahai Rasulullah). Aku telah mendengar firman Allah : Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisaa’ : 64). Dan sungguh aku datang kepadamu sebagai orang yang meminta ampun atas dosaku meminta pertolongan melalui perantaraanmu kepada Rabb-ku’. Kemudian ia mengucapkan syair :
Menjadi harumlah tanah dan bukit karenanya
Jiwaku sebagai penebus bagi kubur yang engkau tempati
Di dalamnya ada kesucian, kemurahan, dan kemuliaan
Orang Baduwi itu lantas pergi. Kemudian aku ngantuk dan tertidur. Aku melihat (dalam mimpi) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Utbiy, kejarlah orang Arab baduwi itu, dan kabarkanlah kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya”
[Tafsir Ibnu Katsir 4/140; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421. Lihat pula Al-Adzkar lin-Nawawiy hal. 233-234; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Riyadh, Cet. 1/1417].[1]
Kisah tersebut dibawakan oleh Ibnu An-Najaar dalam Durratuts-Tsamiinah fii Taariikh Al-Madiinah (hal. 147) dengan sanad sebagai berikut :
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Abil-Hasan dalam kitabnya : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Faraj bin Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Nashiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Qaasim : Aku mendengar ‘Aliy bin Ghaalib Ash-Shuufiy berkata : Aku mendengar Ibraahiim bin Muhammad Al-Muzakkiy berkata : Aku mendengar Abul-Hasan Al-Faqiih menceritakan dari Al-Hasan bin Muhammad, dari Ibnu Fudhail An-Nahwiy, dari Muhammad bin Ruuh, dari Muhammad bin Harb Al-Hilaliy”.
“Hikayat/cerita ini disebutkan juga oleh sebagian fuqahaa’ dan muhadditsiin. Tidaklah shahih dan tsabit cerita ini sampai pada Al-‘Utbiy. Dan sungguh telah diriwayatkan dari selainnya dengan sanad yang gelap. Sebagian ulama meriwayatkannya dari ‘Utbiy tanpa sanad sebagaimana terdapat dalam Tafsir Ibni Katsiir pada ayat yang telah disebutkan sebelumnya (QS. An-Nisaa’ : 64). Dan sebagian lagi meriwayatkan dari Muhammad bin Harb Al-Hilaliy, sebagian lagi meriwayatkannya dari Muhamad bin Harb, dari Abul-Hasan Az-Za’faaraniy, dari Al-A’rabiy (orang Arab baduwi). Disebutkan pula oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iman dengan sanad yang gelap dari Muhammad bin Ruuh bin Yaziid Al-Bashriy : Telah menceritakan kepadaku Abu Harb Al-Hilaliy.”
[Tuhfatul-Qaariy fir-Radd ‘alal-Ghummariy yang terdapat dalam Rasaail fil-‘Aqiidah, hal. 247-248; Maktabah Al-Furqaan]
Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Hammad Al-Anshariy rahimahullah di atas adalah serupa dengan penjelasan Al-Haafizh Ibnu ‘Abdil-Hadiy rahimahullah dalam Ash-Shaarimul-Munkiy (hal. 212).
Adapun sanad riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dalam Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman (6/60 no. 3880 – Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423) adalah sebagai berikut :
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ar-Raudzabaariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Al-Husain bin Baqiyyah secara imlaa’ : Telah menceritakan kepada kami Syakr Al-Harawiy : Telah menceritakan kepada kami Yaziid Ar-Raqaasyiy, dari Muhammad bin Ruuh bin Yaziid Al-Bashriy : Telah menceritakan kepadaku Abu Harb Al-Hilaaliy”.
Komentar :
1. ‘Amr bin Muhammad bin ‘Amr bin Al-Husain bin Baqiyyah, Muhammad bin Ruuh bin Yaziid Al-Bashriy, dan Abu Harb Al-Hilaliy tidak ditemukan biografinya.
2. Yaziid Ar-Raqaasyiy adalah perawi dha’if menurut jumhur ulama.
[Al-Kunaa, lembar 76]
[Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, no. 673]
[Jaami’ At-Tirmidzi no. 3255]
Selengkapnya bisa dilihat dalam Al-Jaami’ fil-Jarh wat-Ta’dil 3/310 no. 4975; Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 1/1412.
Sebagian pendusta telah membuat-buat sanad riwayat yang kemudian mereka sandarkan kepada ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu. Tentu saja ini tidak bisa diterima.
Walhasil, riwayat ini tidak shahih, tidak benar, dan tidak pantas dijadikan hujjah dalam perkara syari’at/agama.
Allahu a'lam
[1] Sekaligus ini membuktikan kekeliruan quburiyyuun yang menuduh ‘Salafy’ telah khianat dalam mencetak kitab para ulama. Sesungguhnya tuduhan ini disebabkan mereka tidak memahami metodologi dalam tahqiq kitab. Jika di awal kitab muhaqqiq telah menjelaskan metodologinya untuk meringkas kitab dan hanya mencantumkan riwayat atau kisah yang shahih saja, tentu kisah ‘Utbiy dan yang semisalnya tidak akan dicantumkan. Namun jika metodologi muhaqqiq adalah memberikan ta’liq dan takhrij sesuai dengan naskah asli, maka semua matan kitab tidak ada yang dihilangkan. Sebagai bukti adalah dua kitab yang menjadi sandaran di atas yang ditahqiq dan dicetak oleh percetakan ‘Salafy’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar