الدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
“Agama itu adalah akal, dan barangsiapa yang tidak beragama maka dia orang yang tidak berakal.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dalam Al-Kuna dan Ad-Dawlabi dari jalannya (An-Nasa'i) dalam Al-Kuna wa Al-Asma (2/104) dari jalan Abu Maalik Bisyr bin Ghaalib bin Bisyr bin Ghaalib dari Az-Zuhriy dari Mujammi’ bin Jaariyah dari Pamannya secara marfu’ tanpa kalimat yang pertama, “Agama itu adalah akal.”
An-Nasa'i berkata setelah meriwayatkannya,
“Ini adalah hadits yang batil lagi mungkar.”
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa rawi yang bernama Bisyr ini majhuul sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Azdi. Hal itu juga ditegaskan oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dalam “Lisaanul Miizaan fi Naqdir Rijaal”, begitu pula Ibnu Hajar Al-‘Asqalaani dalam “Lisaanul Miizaan”.
Al Harits bin Abu Usamah dalam Musnad beliau meriwayatkan dari Daawud bin Al Muhabbir lebih dari 30 hadits menyebutkan tentang keutamaan akal. Namun, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar tentangnya, “Semua isinya adalah hadits yang palsu.” Demikian pula Al-Imam As-Suyuuthi dalam “Dzailul la’ali Mashnuu’ah fil Ahaadits Al-Mawdhuu’ah” (hal. 4-10). Al-‘Allaamah Muhammad Thaahir Al-Fatani Al-Hindi dalam “Tadzkiratul Mawdhuu’at” (hal. 29 -30) juga menukil dari Al-Imam As-Suyuuthi.
Para Ulama mencela dengan keras rawi yang bernama Daawud bin Al-Muhabbir yang menunjukkan tidak bolehnya meriwayatkan hadits darinya. Imam Ahmad berkata, “Orang ini tidak tahu apa itu hadits,” dan Ad-Daraquthni berkata, “Ditinggalkan haditsnya.”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah :
“Semua hadits yang berhubungan dengan akal adalah palsu.”
(Al Manarul Munif, hal. 25)
Demikian halnya kitab Al-Aql wa Fadhluhu karya Ibnu Abi Ad-Dun-ya, di dalamnya tidak ada satupun hadits yang bisa diterima. Karenanya Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Semua hadits yang menerangkan keutamaan akal, tidak ada satupun yang shahih, semua hanya berputar antara lemah dan palsu.”
[Ringkasan dari Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah hadits no. 1 karya Al-Albani -rahimahullah-]
Namun sebagian orang yang katanya banyak baca dan banyak paham, nyatanya menjadikan hadits palsu tersebut sebagai landasan menafsirkan ayat dengan akal-akalan dan menyeru madzhab abal-abal. Akibatnya ia berakidah, beribadah, bermuamalah menyalahi petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Aqidah Ahlussunnah wal Jamaa’ah mengakui peran akal, akan tetapi membatasi wilayah kerjanya sehingga tidak melampaui batas dalam memfungsikannya dan tidak meremehkan perannya dalam kehidupan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd dalam kitabnya Aqiidah Ahlissunnah wal Jamaa’ah (hal. 39) menjelaskan, bahwa Aqidah Islamiyyah senantiasa memuliakan akal yang benar, serta mengagungkannya dan mengangkat kedudukannya. Demikian pula aqidah Islamiyyah tidaklah mengkarantina akal dan tidak pula mengingkari kecemerlangannya.
Islam tidak ridha terhadap seorang muslim yang melenyapkan cahaya akalnya, kemudian lebih condong kepada taqlid buta dalam memahami persoalan di seputar keyakinan (i’tiqaad) maupun yang selainnya (Ta’liqaat Samaahatus Syaikh Abdul ‘Aziiz bin Baaz). Bahkan seorang muslim dituntut untuk berpikir dengan manhaj yang benar tentang kebesaran langit maupun bumi, tentang keadaan dirinya, dan tentang ayat-ayat Allah yang ada di sekitar dia. Dengan begitu ia mampu menjangkau segala rahasia dibalik penciptaan alam ini, serta mengenal hakikat kehidupan di dunia ini. Maka melalui perantara berpikir seperti itulah akan mengantarkan seseorang kepada banyak perkara i’tiqaad yang sesuai dengan batas kemampuan akalnya.
Islam sangat mencela orang-orang yang mengkebiri peran akalnya atau sekedar mengikuti rujukan-rujukan yang dikarang oleh nenek moyang mereka tanpa mengoptimalkan potensi akalnya. Serta mengambil pelajaran darinya dan kosong dari bimbingan ilmu.
Kendati demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan wilayah kerja akal sehingga dapat berfungsi lebih proporsional. Pembatasan ini semata-mata untuk melindungi kemampuan akal, sehingga akal tidak terpecah konsentrasinya dan tidak tercerai-berai dalam memahami segala perkara ghaib. Karena sesungguhnya akal tidak mampu menjangkaunya serta menyibak hakikatnya dibalik itu semua. Perkara ghaib yang dimaksud seperti Dzat Allah, eksistensi ruh, surga, neraka dan lainnya. Demikian ini oleh karena akal manusia memiliki wilayah kerjanya sendiri dan bukan bidang garapannya. Maka apabila ia tidak berupaya menempuh bidang yang sebenarnya telah disediakan bagi akal itu, sungguh ia akan sesat dan meraba-raba dalam memahami perkara yang tersembunyi yang sesungguhnya mustahil untuk dicapainya.
Maka wilayah kerja akal itu ialah semua yang bisa disaksikan serta dirasakan keberadaannya. Adapun perkara ghaib yang sesungguhnya tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, maka tidak ada peluang bagi akal untuk menelitinya. Dan hendaknya akal itu jangan keluar dari apa yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah.
[Al-Aqiidah Al-Islamiyyah bainal ‘Aql wal ‘Aathifah. DR. Ahmad As-Syariif, hal. 4/73-79]
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar