Ada beberapa hadits lemah yang menyebutkan tentang hal ini :
1. Hadits Ziyad ibnul Harits Ash-Shuda`iy radhiallahu ‘anhu
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ وَيَعْلَى بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادِ بْنِ أَنْعُمٍ الْأَفْرِيقِيِّ عَنْ زِيَادِ بْنِ نُعَيْمٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ زِيَادِ بْنِ الْحَارِثِ الصُّدَائِيِّ قَالَ
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُؤَذِّنَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فَأَذَّنْتُ فَأَرَادَ بِلَالٌ أَنْ يُقِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخَا صُدَاءٍ قَدْ أَذَّنَ وَمَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيمُ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ زِيَادٍ إِنَّمَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ الْأَفْرِيقِيِّ وَالْأَفْرِيقِيُّ هُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ وَغَيْرُهُ قَالَ أَحْمَدُ لَا أَكْتُبُ حَدِيثَ الْأَفْرِيقِيِّ قَالَ وَرَأَيْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يُقَوِّي أَمْرَهُ وَيَقُولُ هُوَ مُقَارِبُ الْحَدِيثِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيمُ
Telah menceritakan kepada kami Hannaad berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdah dan Ya'la bin 'Ubaid, dari 'Abdurrahman bin Ziyaad bin An'um Al Afriiqiy, dari Ziyaad bin Nu'aim Al Hadhramiy, dari Ziyaad bin Al Haarits Ash Shuda'iy ia berkata :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk adzan subuh maka aku pun adzan. Kemudian Bilal ingin mengumandangkan iqamah, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Saudara Shuda` telah mengumandangkan adzan, maka dialah yang berhak untuk melakukan iqamah."
Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ibnu 'Umar." Abu 'Iisa berkata; "Kami mengetahui hadits Ziyaad dari hadits yang diriwayatkan oleh Al Afriiqiy, dan Al Afriiqiy menurut ahli hadits adalah seorang yang lemah. Ia telah dilemahkan oleh Yahya bin Sa'iid bin Al Qaththaan dan selainnya." Ahmad berkata; "Aku tidak menulis hadits Al Afriiqiy." Ia berkata; "Aku melihat Muhammad bin Isma'iil menguatkan pendapatnya dia berpendapat hal ini lebih mendekati hadits yang lain, hadits ini juga diamalkan oleh ahli ilmu, bahwa barangsiapa melakukan adzan maka dialah yang melakukan iqamah."
[HR. Tirmidzi (1/383-384/199)]
Keterangan hadits :
Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (1/142/514), Ibnu Majah (1/237/717), Ahmad (4/169).
Dan juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (1/381), Ath-Thabarani (5/262/5285) dan Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (9/445-446). Semuanya dari jalan ‘Abdurrahman bin Ziyaad bin An’um Al-Afriiqiy dari Ziyaad bin Nu’aim Al-Hadhramiy dari Ziyaad ibnul Haarits secara marfu’.
Hadits ini dhaif karena ada seorang perawi bernama 'Abdurrahman bin Ziyaad bin An'um Al Afriiqiy. Berikut komentar ulama :
- Yahya bin Ma'in, Abu Zur'ah, An Nasa'i, As Saji dan Ibnu Hajar : dhaif
- Ya'kub bin Sufyan : la ba'sa bih
- Ibnu Kharasy : matruk
- Adz Dzahabi : mereka mendhaifkannya.
Namun Al-Ifriiqiy telah didukung oleh Al-Mubaarak bin Fudhalah, dia meriwayatkan hadits ini dari ‘Abdul Ghaffar bin Maisarah dari Ash-Shuda`iy radhiallahu ‘anhu sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (2/481).
Akan tetapi Al-Ifriiqiy tidak bisa bergembira dengan dukungan ini, karena ternyata jalan ini lebih lemah dengan adanya beberapa cacat :
-->. Al-Mubaarak, walaupun dia adalah rawi yang jujur, akan tetapi dia dikenal sebagai mudallis tadlis taswiyah dan dia di sini memakai kata ‘an (dari) pada gurunya dan guru-gurunya. Hadits ini kemungkinan termasuk dari tadlisnya, karena telah berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wat Ta’dil (6/54) : “’Abdul Ghaffar bin Maisarah meriwayatkan dari seorang lelaki dari Ash-Shuda`iy tentang adzan, meriwayatkan darinya Al-Mubaarak bin Fudhalah. Saya bertanya kepada ayahku tentangnya, maka beliau berkata : majhul (tidak diketahui)”.
-->. Sanadnya terputus antara Al-Mubarak dan antara ‘Abdul Ghaffar dan setelah diketahui perantaranya ternyata adalah rawi yang mubham (tidak disebutkan namanya) dan ini adalah suatu kelemahan yang sangat parah dalam sebuah hadits.
-->. ‘Abdul Ghaffar ini adalah rawi yang majhul dan zhahirnya yang diinginkan oleh Abu Hatim adalah majhulul ‘ain (tidak diketahui orangnya), karena semua ulama yang memberikan biografinya menyebutkan hanya Al-Mubaarak saja yang meriwayatkan darinya, wallahu a’lam.
Ulama yang menegaskan lemahnya hadits ini adalah Syaikh Syuaib Al-Arnauth dalam ta’liq musnad Imam Ahmad (19/79).
2. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (1/324), Ath-Thabarani (3/27/2), Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil (3/381), Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa` dan lain-lainnya dari jalan Sa’iid bin Raasyid Al-Maziniy dia berkata menceritakan kepada kami ‘Atha` bin Abi Rabah dari Ibnu ‘Umar secara marfu’ dengan lafazh :
… إِنَّمَا يُقِيْمُ مَنْ أَذَّنَ
“Yang (mengumandangkan) iqamah hanyalah orang yang (mengumandangkan) adzan”.
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-‘Ilal (1/122) mengomentari hadits ini :
“Ini adalah hadits yang mungkar dan Sa’iid bin Raasyid adalah lemah haditsnya”. Dan di tempat lain beliau berkata : “matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)”.
Maka hadits ini lemah sekali, tidak bisa mendukung dan tidak bisa mendapat dukungan dari hadits yang lain. Adapun Sa’iid bin Raasyid ini, maka dia telah sangat dilemahkan dan diingkari oleh para ulama.
Berikut sebagian perkataan mereka :
- Berkata Yahya bin Ma’in : Sa’iid As-Sammak, yang meriwayatkan “siapa yang adzan maka dia yang iqamah”, tidak ada apa-apanya”,
- Berkata Al-Bukhari : “mungkarul hadits (mungkar haditsnya)”
- Berkata An-Nasa`iy : “matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)”.
3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kamil (6/122) dari jalan Muhammad bin Fadhl bin ‘Athiyyah dari Muqatil bin Hayyan dari ‘Atha' dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma seperti lafazh hadits Ash-Shuda`iy.
Muhammad bin Fadhl bin ‘Athiyyah ini adalah “matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)” bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai pendusta.
4. Berkata Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/196) : Menceritakan kepada kami Usamah dari Al-Fazariy dari Al-Auza’iy dari Az-Zuhriy dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara mursal mirip dengan lafazh hadits Ibnu ‘Umar.
Walaupun hadits mursal yang shahih bisa dipakai untuk mendukung hadits yang lemah, akan tetapi di sini yang melakukan irsal adalah Imam Az-Zuhriy dan hadits-hadits mursal beliau termasuk dari hadits-hadits mursal yang paling lemah, bahkan sebagian ulama menolak semua hadits mursal Az-Zuhriy, di antara yang berpendapat seperti itu : Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Yahya bin Ma’in, Imam Asy-Syafi’iy dan dari kalangan muta`akhkhirin (ulama belakangan) Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.
Sikap Ulama Terhadap Hadits ini
Mengingat hadits di atas statusnya lemah maka para ulama tidaklah melarang iqamah dikumandangkan oleh selain muadzin. Maksimal yang terjadi, mereka menjadikan hadits lemah di atas sebagai pertimbangan tentang siapakah orang yang lebih berhak (afdhal) dalam mengumandangkan iqamah. Inilah yang bisa kita pahami dari keterangan At-Turmudzi. Ketika beliau menjelaskan sisi lemahnya hadits ini, kemudian beliau menegaskan :
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ: أَنَّ مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيمُ
”Mayoritas ulama mengamalkan kandungan hadits ini, bahwa orang yang adzan, dia yang mengumandangkan iqamah.”
(Jami’ At-Turmudzi, 1/383)
Kemudian, ada keterangan lainnya yang disampaikan Syaikh Al-Hazimi. Beliau rahimahullah mengatakan :
واتفق أهلُ العلم في الرجل يؤَذِّنُ ويقيم غيرُه على أَنَّ ذلك جائز، واختلفوا في الأَولَوية، فذهبَ أكثرُهم إلى أنه لا فرق، وأن الأمر مُتسع، وممن رأى ذلك مالكٌ وأكثرُ أهل الحجاز، وأبو حنيفة وأكثرُ أهل الكوفة وأبو ثور.
"Para ulama sepakat bahwa hukumnya boleh ketika ada orang adzan (di sebuah masjid) kemudian orang lain yang iqamah. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang siapakah yang lebih berhak dalam mengumandangkan iqamah. Mayoritas ulama berpendapat, tidak ada bedanya antara muadzin dengan orang lain. Dalam masalah ini cukup longgar. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, mayoritas ulama Mekkah dan Madinah, Abu Hanifah dan mayoritas ulama Kufah, dan Abu Tsaur."
Syaikh Al-Hazimi rahimahullah kembali melanjutkan :
وذهب بعضُهم إلى أن الأولى: أن مَن أذَّنَ فهو يقيم. وقال سفيان الثوري: كان يقال: مَن أذَّنَ فهو يقيم. ورُوِّينا عن أبي مَحذورة: أنه جاء وقد أَذنَ إنسانٌ، فأَذّنَ وأقام. وإلى هذا ذهب أحمد، وقال الشافعي في رواية الربيع عنه: وإذَا أَذنَ الرجلُ، أحببتُ أن يتولى الإقامة، لشيء يُروى فيه: أَن من أَذَّنَ فهو يقيم.
"Sementara ulama lain berpendapat bahwa yang paling tepat, orang yang adzan, dialah yang iqamah. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: ‘Dinyatakan bahwa orang yang adzan, maka dia yang iqamah.’ Dan kami mendapat riwayat dari Abu Mahzurah, bahwa beliau datang sementara di masjid sudah ada seseorang yang adzan. Kemudian beliau mengulangi adzan dan mengumandangkan iqamah. Inilah pendapat Imam Ahmad. Kemudian Imam Asy-Syafi'i menurut riwayat dari Rabi' (murid Asy-Syafi'i), beliau mengatakan, ‘Apabila ada seseorang yang beradzan, saya berharap dia yang mengumandangkan iqamah. Berdasarkan satu hadits yang diriwayatkan (secara dhaif), bahwa orang yang adzan, dia yang iqamah.’
(Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar, hlm. 66)
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar