Oleh : Ustadz Neno Triyono
Air Musyamas adalah air yang dipanaskan di bawah sinar terik matahari, sehingga air tersebut berubah menjadi panas. Telah ternashkan dari Imam Asy-Syafi’I bahwa beliau memakruhkan air musyamas. Beliau berkata :
وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ
“Aku tidak memakruhkan air musyamas, melainkan dari sisi kesehatan.”
(Al-Umm vol. 1/hal. 16)
Dalil dalam masalah ini adalah 2 jenis hadits, yang pertama secara marfu’ dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha dan hadits Mauquf 'Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Haditsnya 'Umar dibawakan oleh Imam Syafi’I setelah menyebutkan kalam di atas, dengan sanadnya sampai kepada Jaabir bin 'Abdullah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ الِاغْتِسَالَ بِالْمَاءِ الْمُشَمَّسِ وَقَالَ: إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ
“Bahwa 'Umar radhiyallahu ‘anhu tidak suka mandi dengan air musyamas, katanya : “itu dapat menyebabkan penyakit kusta”.
Adapun hadits 'Aisyah, Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam sunannya dengan sanadnya sampai kepada 'Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :
قَالَتْ: أَسْخَنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَاءُ، فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ “.
“Aku memanaskan air di bawah terik matahari, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “jangan lakukan itu wahai Humairaa’, sesungguhnya itu akan menyebabkan kusta”.
Imam Baihaqi setelah menyebutkan hadits ini berkata, hadits ini tidak shahih.
Imam Nawawi dalam “Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab” telah memberikan penilaian untuk kedua hadits di atas dengan penilaian kedua hadits tersebut Dhaif dan menyandarkannya sebagai kesepakatan ahli hadits.
(Vol. 1, hal. 87, cet. Daarul Fikr)
Imam Syafi’I kelihatannya sudah paham dengan status hadits di atas, oleh karenanya alasan pe-makruh-an air musyamas, menurut beliau adalah dari sisi kesehatan. Pendapat makruhnya air musyamas itu adalah mu’tamad menurut sebagian ulama syafi’iyyah seperti : Imam Al-Mawardi di dalam kitabnya “Al-Hawi” (1/42), Imam Abu Suja’ dalam “Al-Ghayah wa At-Taqriib (hal. 3), Imam Nawawi dalam “Minhajuth Thalibin” (hal. 9), Imam Ar-Rafi’I sebagaimana dinukil dalam “Kifayatul Akhyar” (hal. 12), Al-‘Alamah Zakariya Al-Anshari dalam “Asaanil Mathalib” (1/8), Al-‘Alamah Asy-Syarbiiniy dalam “Mughnil Muhtaj” (1/119), dan lain-lain.
Muhammad Az-Zuhailiy dalam kitabnya “Al-Mu’tamad fii Fiqih Asy-Syafi’I” (1/38) pun menyebutkan masalah makruhnya air musyamas. Ini menunjukkan bahwa pendapat makruhnya air musyamas adalah menjadi pegangan dalam madzhab Syafi’i. namun Imam Nawawi sebagai muhaqiqnya Syafi’iyyah berpendapat lain dengan mengatakan bahwa air musyamas tidak makruh, beliau berkata :
فَحَصَلَ مِنْ هَذَا أَنَّ الْمُشَمَّسَ لَا أَصْلَ لِكَرَاهَتِهِ وَلَمْ يَثْبُتْ عن الاطباء فيه شئ فَالصَّوَابُ الْجَزْمُ بِأَنَّهُ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ وَهَذَا هُوَ الْوَجْهُ الَّذِي حَكَاهُ الْمُصَنِّفُ وَضَعَّفَهُ وَكَذَا ضَعَّفَهُ غَيْرُهُ وَلَيْسَ بِضَعِيفٍ بَلْ هُوَ الصَّوَابُ الْمُوَافِقُ لِلدَّلِيلِ
“Kesimpulannya, air musyamas tidak ada dasar pe-makruh-annya, dan tidak mantap dari para dokter terkait adanya penyakit yang ditimbulkan olehnya. Maka yang benar adalah kepastian tidak makruhnya air musyamas. Ini adalah wajh (salah satu) pendapat yang diriwayatkan oleh Mushanif (Imam Asy-Syairaziy), namun beliau dan ulama lain melemahkan wajh qaul ini. Akan tetapi qaul tersebut tidak lemah, bahkan itulah yang benar karena bersesuaian dengan dalil (umum)” (1/87).
Dalam kitab “Al-Muhadzdzab” tulisan Imam Asy-Syairazi yang dijadikan sebagai bahan syarah oleh Imam Nawawi, memang Imam Asy-Syairazi berkata :
وَلَا يُكْرَهُ مِنْ ذَلِكَ إلَّا مَا قُصِدَ إلَى تَشْمِيسِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ الْوُضُوءُ بِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُكْرَهُ كَمَا لَا يُكْرَهُ بِمَاءٍ تَشَمَّسَ فِي الْبِرَكِ وَالْأَنْهَارِ وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ
“Tidak dimakruhkan air musyamas, kecuali jika sengaja untuk dipanasi dibawah sinar terik matahari, maka ia makruh untuk berwudhu. Diantara madzhab kami ada yang mengatakan tidak makruh, sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai. Dan madzhab (yang mu’tamad) adalah pendapat pertama”.
Dari perkataan Imam Asy-Syairazi tersirat bahwa air musyamas ada 2 kondisi, yakni sengaja dipanaskan dan tidak sengaja, kalau tidak sengaja maka tidak makruh, adapun yang disengaja maka itulah yang makruh. Imam Abul Khair dalam kitabnya “Al-Bayaan fii Madzhabi Imam Syafi’I” (1/13-14) merinci ada 5 pendapat jika air sengaja dipanaskan dibawah terik matahari :
1. Makruh ini nash (Imam asy-Syafi’i);
2. Tidak makruh alasannya sebagaimana tidak makruhnya air yang kena panas matahari di kolam dan sungai, ini juga pendapatnya Imam Abu Hanifah;
3. Jika air yang dipanaskan terdapat dalam bejana kuningan, maka makruh karena katanya dapat menyebabkan kusta, jika selain bejana kuningan tidak makruh;
4. Makruh jika digunakan di badan, namun tidak makruh untuk mencuci pakaian, ini pendapatnya Imam Asy-Syaasyi;
5. Jika 2 orang dokter yang adil mengatakan air tersebut bisa menyebabkan kusta, maka makruh, namun jika tidak maka tidak makruh.
Akan tetapi Imam Abul Khoir mengisyaratkan beliau berpegang dengan pendapat yang mu’tamad.
Sedangkan Asy-Syaikh DR. Muhammad Az-Zuhaily agaknya condong kepada pendapatnya Imam Nawawi, begitu juga penyusun artikel ini condong kepada pendapat tidak makruhnya secara mutlak, karena 2 alasan yang disebutkan oleh Imam Nawawi, yaitu :
1. Hadits yang dijadikan dalil tidak shahih.
2. Tidak adanya kepastian dari hasil penelitian dokter (ahli kesehatan) yang menyatakan bahwa air musyamas menyebabkan kusta.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya “Al-Mughni” (1/15) berkata :
وَحُكِيَ عَنْ أَهْلِ الطِّبِّ أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُونَ لِذَلِكَ تَأْثِيرًا فِي الضَّرَرِ.
“Diriwayatkan dari para ahli kesehatan, mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut menyebabkan bahaya/penyakit”.
Sekian. Semoga bermanfaat.
Allahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar